Inggris dan Jerman Galau India Pilih Rafale <http://beritahankam.blogspot.com/2012/02/inggris-dan-jerman-galau-india-pilih.html> <http://4.bp.blogspot.com/-VRzxVKx3-SQ/Typa7t91McI/AAAAAAAAYhA/C1zI6tzFG8Y/s1600/SR_DSF6870.jpg> Jalur perakitan akhir Rafale di fasilitas Dassault Aviation di Bordeaux-Mérignac, Perancis. (Foto: ©Dassault Aviation/S. Randé ) 2 Februari 2012, London: Kemenangan jet tempur Rafale buatan Dassault Aviation, Perancis dalam tender Medium Multi-Role Combat Aircraft (MMRCA), pembelian 126 jet tempur senilai 16,4 milyar dolar oleh pemerintah India. Menimbulkan kegalauan di Jerman dan Inggris, jet tempur Eurofighter Typhoon buatan konsorsium Inggris, Jerman dan Spanyol kalah dalam tender alutsista terbesar di dunia saat ini. Pemerintah Jerman melalui Steffen Seibert juru bicara pemerintah, menyesalkan keputusan India memilih Rafale dibandingkan Eurofighter, Rabu (1/2). "Pemerintah Jerman menyesalkan sebuah penawaran dari konsorsium Eurofighter telah diserahkan, hingga sekarang, tidak diterima," ujar Seibert. Perdana Menteri Inggris David Cameron pada parlemen mengatakan akan berusaha keras agar India beralih memilih Typhoon, menurutnya pesawat tempurnya bagus. Eurofighter jauh lebih baik kemampuannya dibandingkan Rafale dan Cameron akan berusaha membujuk India melihat dari sisi ini. Kekalahan ini berakibat hilangnya sejumlah lapangan pekerjaan di Inggris, Jerman dan Spanyol. Angkatan Udara India telah menghitung Rafale lebih murah dibandingkan Eurofighter dalam harga jual, pembuatan dan biaya perawatan dalam empat dekade usia pakai pesawat. Konsorsium Eropa masih berharap pilihan India berubah dan memilih Eurofighter. India dan Perancis belum melakukan penandatangan kontrak. Valerie Pecresse juru bicara pemerintah Perancis mengatakan pembicaraan antara Perancis dan India terkait pembelian 126 jet tempur Rafale akan selesai dalam enam hingga sembilan bulan. Pembelian Rafale menghidupkan kembali produksi jet tempur Rafale, setelah gagal dalam beberapa tender di luar Perancis. Angkatan Udara dan Laut Perancis telah memotong pembelian pesawat Rafale dari 336 unit menjadi 180 unit. Muamar Gaddafi mengumumkan akan membeli Rafale sebelum ditumbangkan dari kekuasaanya. Mantan Presiden Brasil Luiz Inacio de Silva tertarik mengakuisisi 36 unit Rafale tetapi penggantinya Presiden Dilma Rousseff memilih jet tempur lain. Dassult diminta menyerahkan 18 unit Rafale yang dibuat di Perancis dalam tiga hingga empat tahun. Kemudian, sisa pesawat akan dibangun di Hindustan Aeronautics Ltd (HAL), Bangalore. Rafale akan memperkuat enam skuadron AU India, setiap skuadron diperkuat 21 pesawat. Rafale dapat mendarat di kapal induk yang dioperasikan AL India, ini kelebihannya dibanding Eurofighter. Rafale hanya memerlukan landasan sepanjang 1300-1400 kaki, cocok dioperasikan di pangkalan dekat perbatasan. Dua mesin Snecma M88 membuat Rafale terbang pada kecepatan supersonik tanpa menggunakan afterburner. Radar Thales Active Electronically Scanned Array (AESA) akan dipasang di Rafale dan India mensyaratkan alih teknologi AESA dalam kontrak pembelian. Angkatan Udara India telah menyeleksi enam jet tempur, Boeing F/A-18 Super Hornet, Lockheed Martin F-16IN Super Viper, Mikoyan MiG-35, Saab Gripen NG, Eurofighter Typhoon dan Dassult Rafale. Pemerintah India selalu membeli alutsista dari luar negeri dalam jumlah besar dan disertai syarat alih teknologi. Naif rasanya, suatu negara membeli alutsista secara retail dari luar negeri mempersyaratkan alih teknologi dan bebas embargo. India juga memesan alutsista dalam negeri dalam jumlah besar. HAL mengumumkan telah memperoleh pesanan 159 helikopter Dhruv untuk Angkatan Darat India. HAL juga akan memproduksi ratusan jet tempur Tejas untuk AL dan AU India. Lebih Canggih, RI Pilih Pesawat Intai Israel <http://defense-studies.blogspot.com/2012/02/lebih-canggih-ri-pilih-pesawat-intai.html> 02 Februari 2012 UAV buatan Israel telah dipakai di banyak negara, teknologi autonomous UAV secara penuh dan predikat "battle proven" untuk UAV berjenis MALE dan HALE baru dikuasai oleh Amerika dan Israel (photo : Canada DoD) REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Simpang siur pembelian pesawat intai UAV buatan Israel Aerospace Industries (IAI) oleh TNI AU bukan sekadar isu. Kepala Pusat Komunikasi Publik Kementerian Pertahanan (Kemenhan) Brigjen Hartind Asrin, mengatakan pembelian pesawat tanpa awak itu dimasukkan dalam daftar belanja TNI AU periode 2010-2014. Dijelaskannya, pembelian pesawat buatan Israel lebih didasarkan pada persoalan teknis. Setelah dilakukan diskusi dan kajian matang, papar Hartind, TNI AU menjatuhkan putusan untuk membeli pesawat intai Israel. Pihaknya juga mengharap pembelian yang ditujukan untuk meningkatkan alat utama sistem persenjataan (alutista) ini tidak dikait-kaitkan dengan isu macam-macam. Seperti, Israel digolongkan sebagai negara pelanggar hak asasi manusia (HAM) maupun isu lain yang tidak ada hubungannya dengan penambahan kekuatan matra udara. "Pesawat ini kualitasnya bagus, paling canggih. Karena industri pertahanan mereka paling maju," kata Hartind, Kamis (2/2). Pembelian pesawat ini menggunakan mekanisme pembiayaan kredit ekspor. Meski begitu, pihaknya tidak tahu kapan pesawat intai UAV tersebut datang ke Indonesia. "Kami berharap pada 2012 ini paling sedikit tiga pesawat UAV datang. Tapi, tidak tahu lagi setelah DPR ramai begini." ujar Hartin. TNI AU Berencana Beli 16 Pesawat Tanpa Awak Israel 02 Februari 2012 REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Mabes TNI AU mengakui berencana membentuk satu skuadron pesawat tanpa awak alias unmanned aero vehicle (UAE). Kepala Dinas Penerangan TNI AU, Marsekal Pertama Azman Yunus, menyatakan kebutuhan TNI AU yang mendesak di antaranya adalah pemenuhan pesawat tanpa awak. Azwan mengaku, pesawat intai diperlukan untuk membantu operasionalisasi TNI AU dalam merekam data potensi ancaman wilayah perbatasan dari udara. "Kami ingin membentuk satu skuadron atau 16 unit pesawat tanpa awak," kata Azwan kepada Republika, Kamis (2/2). Menurut Azwan, TNI AU dalam kapasitas sebagai operator atau pengguna pesawat. Adapun pemilihan pesawat dan dari mana negara tempat pembelian pesawat menjadi kewenangan penuh Kementerian Pertahanan (Kemenhan). Karena itu, pihaknya tidak mengetahui alasan mengapa akhirnya pilihannya jatuh kepada pesawat buatan Israel. "Kami hanya menyodorkan pesawat intai yang bisa terbang selama 10 sampai 13 jam. Yang memilih spesifikasi itu Kemenhan," terangnya. PTDI Bisnis Simulator Pesawat <http://defense-studies.blogspot.com/2012/02/ptdi-bisnis-simulator-pesawat.html> 02 Februari 2012 Simulator helikopter Bell-412 (photo : Kaskus Militer) JAKARTA - PT Dirgantara Indonesia (DI) mulai melakukan ekspansi bisnisnya dengan membuat simulator pesawat. Pengembangan tersebut tidak jauh bisnis utama perusahaan yaitu membuat pesawat dan komponen pesawat. Direktur Aircraft Service PT DI Rudi Wuraskito mengatakan, sudah ada beberapa unit simulator yang berhasil dibuat. Misalnya untuk pesawat jenis CN 235 dan Helikopter Super Puma. Tidak hanya itu, perusahaan yang dahulunya bernama Industri Pesawat Terbang Nasional (IPTN) tersebut juga membuat simulator untuk kapal laut. "Ada 3-4 simulator yang sudah kita buat," ungkap Rudi. Untuk 1 unit simulator CN 235, lanjut Rudi, dijual seharga USD 12 juta. Sementara simulator Super Puma harga jualnya tidak diketahui. Sebab, PT DI hanya salah satu pemasok komponen. Bukan kontraktor utama. Tapi, untuk 1 unitnya perusahaan yang berpusat di Bandung tersebut mendapatkan USD 3 juta. "Itu sebagian saja. Kita subkontraktor. Kontraktor utama di Kementerian Pertahanan," katanya. Menurut Rudi, PT DI baru mau fokus menekuni bisnis simulator tersebut. Dulunya, perseroan tidak bisa melakukan ekspansi usaha karena diminta fokus membuat pesawat saja."Awal kita membuat simulator karena ada yang minta. Malaysia yang memiliki 8 pesawat CN 235 meminta dibuatkan simulatornya. Super Puma karena TNI Angkatan Udara butuh. Cuma kita sifatnya membantu. Ada main kontraktor," kata Rudi. Ditegaskan Rudi, saat ini pihaknya belum bisa langsung bersaing dengan produsen simulator lainnya. Terutama dari sisi branding. Harus dibangun kepercayaan dengan konsumen terlebih dahulu. "Kita lakukan kerja sama dengan yang sudah branded. Sehingga lebih murah harganya," ucap Rudi. Untuk membuat simulator, tambah Rudi, hal utama yang diperlukan adalah data base pesawat. Data perilaku pesawat pasti dimiliki pabrik. Hanya, untuk mendapatkan data base tersebut tidak mudah. Harganya pun sangat mahal, mencapai 20 persen dari total harga simulator. "Kalau harga simulator USD 10 juta, maka data basenya USD 2 juta. Kalau bikin sendiri pakai teknologi kita bisa saving 30-40 persen. Ada penghematan yang cukup banyak," katanya. Dikatakan Rudi, dalam 4-5 tahun mendatang diharapkan PT DI sudah mampu bersaing dengan produsen simulator lainnya. Saat ini, perusahaan sedang merintis dari yang keculu. Jika langsung memulai dengan besar banyak yang tidak percaya. "Simulator banyak ke aplikasinya. Sejauh ini kita lihat produk karena pesawat terbangnya apa," ujarnya. (cdl) Pemda Dilarang Terima Bantuan Militer dari AS <http://3.bp.blogspot.com/-_bgh8BWMfhA/TyoUas-QgiI/AAAAAAAAYgo/mESLhRH15Ng/s1600/01+pemeliharaan+kri.jpg> Korvet kelas Sigma di dermaga Ujung Surabaya. (Foto: Koarmatim) 2 Pebruari 2012, Jakarta: Pemerintah Provisin (Pemprov) Sulawesi Utara (Sulut) diminta tidak mengambil keputusan sendiri soal bantuan berupa dukungan militer untuk menjaga perbatasan laut dari Amerika Serikat (AS). Setiap bantuan dari luar negeri dalam bentuk apapun harus melalui pemerintah pusat. Hal ini dikatakan Juru Bicara Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Reydonnyzar Moenek, Kamis (2/2). "Penerimaan bantuan luar negeri tidak termasuk wewenang pemda (pemerintah daerah). Ada baiknya Gubernur Sulawesi Utara konsultasi dengan pemerintah pusat dan DPR," kata Reydonnizar. Dia mengingatkan, sebelum menerima bantuan penjagaan militer perbatasan dengan Filipina tersebut, harus ada kesepakatan yang melibatkan Kementerian Keuangan, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Kementerian Pertahanan. Karena itu, pihaknya meminta agar Pemprov Sulut tidak gegabah menerima bantuan, apalagi Kemendagri belum menerima laporan tersebut secara resmi. Meski begitu, pihaknya menyatakan, pengelolaan wilayah perbatasan bukan menjadi ranah Kemendagri. "Kami hanya mengelola potensi wilayah perbatasan. Soal pertahanan bukan ranah kami," ujar Reydonnyzar. AS menawarkan bantuan ke Indonesia untuk memperkuat keamanan di kawasan Laut Sulut, salah satunya yang berbatasan dengan Filipina. Wakil Gubernur Sulawesi Utara (Sulut) Djouhari Kansil, Selasa (24/1), menggelar pertemuan dengan Deputy Political Counselor Kedutaan Besar AS di Indonesia Daniel Rochman dan Kapten Adriaan J Jansen dari Angkatan Laut AS. "Pertemuan ini mendiskusikan bentuk-bentuk dukungan Amerika Serikat dalam rangka memperkuat pengamanan perbatasan di Sulawesi Utara yang memiliki daerah berbatasan dengan negara tetangga seperti Filipina," ungkap Juru Bicara Pemprov Sulut, Christian Sumampow. Bantuan Militer AS untuk Keamanan Maritim Indonesia Dari tahun anggaran 2006 hingga 2008, pemerintah Amerika Serikat (AS) telah memberikan bantuan dana sebesar 57 juta dolar AS atau sekitar Rp 510 miliar lebih melalui the National Defense Authorization Act Section 1206. Bantuan itu untuk mendukung Indonesia dalam membuat sebuah sistem pengawasan maritim terpadu atau IMSS. Sistem pengawasan tersebut ditempatkan di beberapa lokasi strategis, seperti Selat Malaka, Laut Sulawesi, dan Selat Maluku. Pengoperasian IMSS secara penuh akan meningkatkan kemampuan Indonesia untuk mendeteksi, melacak, serta memantau kapal-kapal yang melewati perairan Indonesia dan internasional. "Kemampuan seperti ini sangat penting untuk memerangi pembajakan, penangkapan ikan secara ilegal, penyelundupan, dan terorisme baik di dalam perairan wilayah Indonesia maupun di perbatasan," kata laman Kedutaan Besar AS untuk Indonesia seperti dikutip Republika, Rabu (1/2). IMSS juga membantu untuk mencapai tujuan AS dan Indonesia di bidang maritim, seperti yang telah dicanangkan dalam Kemitraan Komprehensif, serta menjadikannya sebuah contoh untuk kerjasama multilateral dengan Malaysia dan Filipina. IMSS adalah jaringan terintegrasi antara kapal dengan pantai berbasiskan sensor, perangkat komunikasi, dan komputasi dengan mengumpulkan, mengirimkan, menganalisis dan menampilkan larik yang luas mengenai data kelautan. Dalam sistem ini, juga termasuk sistem identifikasi otomatis (AIS), radar permukaan, kamera pengintai, sistem pemosisi global (GPS), monitor peralatan, dan transmisi radio lalu lintas maritim di daerah operasional yang luas. "Kemampuan melakukan sensor berulang-ulang dan banyakanya jalur komunikasi yang tersedia membuat IMSS menjadi sebuah sistem yang kuat dan handal." IMSS secara resmi diserahkan kepada Pemerintah Indonesia setelah dilakukan uji coba di Surabaya tanggal 25 Oktober 2011. IMSS dioperasikan oleh Angkatan Laut Indonesia, yang terdiri dari 18 Stasiun Pengawasan Pesisir (CSS), 11 Kapal berbasis radar, dua Pusat Komando Daerah, dan dua Pusat Komando Armada (Jakarta dan Surabaya). Pemerintah AS tetap berkomitmen untuk meningkatkan kewaspadaan di wilayah perairan ini, dan telah mengalokasikan dana tambahan sebesar 4,6 juta dolar AS untuk pemeliharaan hingga 2014.