[list_indonesia] [ppiindia] Jangankan Sekolah, Bisa Makan Saja Sudah Untung

  • From: "Ambon" <sea@xxxxxxxxxx>
  • To: <"Undisclosed-Recipient:;"@freelists.org>
  • Date: Tue, 22 Mar 2005 00:01:49 +0100

** Mailing-List Indonesia Nasional Milis PPI-India www.ppi-india.da.ru **

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0503/22/utama/1633640.htm

 Jangankan Sekolah, Bisa Makan Saja Sudah Untung 

BULAN Februari lalu, saat musim hujan turun di Jawa Barat, setiap hari sepulang 
sekolah, Irman Maulana (16), siswa Kelas II SMP Negeri Cibatu I, Kabupaten 
Garut, Jawa Barat, harus menaiki Gunung Kancil dalam keadaan lapar. Guyuran 
hujan dan sambaran petir tak mematahkan usahanya mendaki.

Anak kelima dari enam bersaudara ini sudah yatim. Ibunya bekerja di Jakarta 
sebagai pembantu rumah tangga, sedangkan dia tinggal bersama keluarga kakaknya 
di rumah panggung milik orangtuanya di Kampung Kancil, Kecamatan Cibatu, 
Kabupaten Garut. Kampung ini berada di puncak Gunung Kancil. Jarak antara rumah 
dan sekolahnya sekitar enam kilometer.

Kampung tersebut sebetulnya hanya bisa dicapai dengan berjalan kaki. Ketika 
menuju kampung itu, Kompas harus menggunakan ojek motor. Namun, untuk bisa 
sampai ke rumah Irman, Kompas harus berjalan kaki lebih dari setengah 
perjalanan karena bongkahan batunya cukup besar dan sulit dilalui kendaraan 
roda dua, apalagi berboncengan.

Bongkahan batu ini sudah disusun masyarakat Kampung Kancil. Mereka berharap 
pemerintah bisa segera menutupinya dengan batu-batu tajam sekaligus 
mengaspalnya. Namun, sampai sekarang harapan itu masih tinggal harapan. Di 
beberapa bagian jalan setapak selebar satu meter tersebut masih terdapat 
jalan-jalan yang hanya bertanah merah. Di jalan inilah biasanya Irman 
tergelincir.

TIBA di rumah, dengan tubuh menggigil, Irman langsung mencuci seragamnya agar 
bisa digunakan kembali ke sekolah esok harinya. Ia hanya memiliki dua kemeja 
dan satu celana seragam sekolah.

Jika keluarganya memiliki makanan, Irman bisa langsung makan. Namun, dia lebih 
sering melupakan rasa lapar dengan tidur siang atau mencari kayu bakar ke hutan 
karena kakaknya tidak memiliki makanan.

Meski hidup begitu sulit, Irman yang hobi membuat puisi dan menggambar itu 
tidak pernah berniat berhenti sekolah. Bahkan, meski dia tahu bahwa dirinya 
tidak pernah mengantongi uang sepeser pun.

Impitan ekonomi tidak hanya membuat Irman harus belajar dalam keadaan lapar, 
tetapi membuatnya minder kalau harus bergaul dengan teman-teman sebayanya di 
sekolah. Ia sering diledek sebagai anak gunung. Irman kini duduk sendiri di 
kelas karena merasa tidak nyaman berada bersama teman- temannya yang 
berkehidupan lebih baik. Kondisi psikologi yang tertekan sebetulnya membuatnya 
semakin sulit memecahkan masalah.

Ketika guru mengadakan ulangan mendadak, misalnya, Irman beberapa kali tidak 
bisa mengikutinya. "Kalau pinjam ke teman, sering kali tidak dikasih," kata 
Irman. Akibatnya, dia hanya duduk melamun di kelas sambil menahan kesedihan 
karena tidak bisa ikut ulangan dan mendapat kesempatan memiliki nilai seperti 
teman- temannya.

Hal yang sama sering menimpa Ade Sutrisna (14), teman sekelas Irman.

ADE kerap tidak ikut ulangan karena tidak mempunyai uang. Kehidupan keluarga 
Ade semakin sulit sebab ayah tirinya, yang bekerja sebagai pedagang asongan di 
Jakarta, sudah dua bulan tidak pulang atau mengirimkan uang.

Ayah kandungnya meninggal sejak Ade berusia dua tahun. Ibunya, Sunengsih, 
menikah lagi dan melahirkan dua anak. Salah seorang sudah sekolah di sekolah 
dasar.

Sebelum harga BBM naik, ayah tiri Ade mengirimkan uang sebesar Rp 50.000 per 
bulan. Kini setelah harga BBM naik, diikuti dengan melonjaknya harga-harga 
kebutuhan lainnya, keluarga ini tidak bisa membeli barang apa pun.

Melihat kesulitan keluarga, anak lelaki bertubuh kurus ini sering membantu 
ibunya, yang buruh tani, merontokkan padi atau mencari kayu bakar untuk 
tetangganya. Dari menjual tenaga itu, Ade bisa menerima upah sebanyak Rp 1.000 
atau sepiring nasi dan lauk. Tak jarang ia bekerja sampai malam.

Sebulan lalu ibunya meminta Ade berhenti sekolah karena tidak punya uang untuk 
mengongkosi pergi pulang ke sekolah, membelikan bahan-bahan untuk pelajaran 
keterampilan dan olahraga, serta membayar fotokopian soal ulangan. Ibunya pun 
mengirim surat pengunduran diri anaknya sebagai siswa di SMP Negeri Cibatu I.

Sejak itu, selama dua minggu, Ade tinggal di rumah. "Saya sering melihatnya 
bengong sambil mengasuh adiknya. Saya merasa berdosa menyuruhnya berhenti 
sekolah. Tapi, saya tidak punya jalan lain," ujar Sunengsih.

>small 2small 0< mengirim surat pengunduran diri, pihak sekolah mencoba 
>mencarikan solusi dengan membentuk teman asuh. Sejak dua minggu lalu 
>teman-teman sekelasnya menyumbang agar Ade bisa tetap sekolah. Tiap hari, 
>sepulang sekolah, melalui bendahara kelas, Ade diberi ongkos Rp 1.500.

"Tapi, saya malu juga setiap hari merepotkan teman-teman," ujar Ade yang 
bercita-cita jadi insinyur elektro untuk membahagiakan keluarganya.

Ade dan keluarganya kini menumpang di rumah keluarga ayahnya di Desa Mekarsari, 
Kecamatan Cibatu, Kabupaten Garut. Rumah panggung berdinding dan berlantai 
bambu itu hanya memiliki satu kamar, ruang tengah, dan dapur kecil. Mereka 
menumpang karena gubuk mereka sudah roboh.

Agar tidak membebani ibunya, Ade yang tidak memiliki buku Lembar Kerja Siswa 
(LKS) lebih banyak menghabiskan waktu istirahatnya dengan menyalin soal-soal 
dalam LKS. Dalam hati kecilnya, saat istirahat, Ade ingin juga jajan seperti 
teman-temannya. Sudah lama Ade ingin membeli roti seharga Rp 1.000 yang dijual 
di koperasi sekolah.

KISAH Euis Nurhayati (13) pun miris. Anak yatim yang ditinggal ibunya bekerja 
di Arab Saudi ini hanya tinggal dengan neneknya, Murbaisih (64). Sejak bekerja 
di Arab Saudi, bulan November 2004, ibunya tidak pernah mengirimkan uang 
ataupun memberi kabar.

Karena tidak punya uang, neneknya memutuskan agar Euis berhenti sekolah. Euis 
langsung menangis menjerit-jerit. Tiap hari ia mengurung diri karena sedih 
melihat teman-temannya bisa berangkat ke sekolah. Melihat perilaku Euis, 
Murbaisih diam-diam sering menangis.

Seminggu setelah berhenti, guru-gurunya datang dan memintanya melanjutkan 
sekolah dengan bantuan biaya dari para guru. Saat neneknya bercerita, Euis 
hanya mendengarkan sambil menengadahkan kepala dan menelan ludah. Ia berusaha 
menahan tangis.

Peristiwa putus sekolah yang sempat dialaminya sangat mengguncang jiwa Euis. 
Saat Kompas mengajaknya berbincang, bibir Euis bergerak-gerak, tetapi tidak ada 
suara yang keluar.

Rumah Euis terletak di Desa Sukaluyu, Kecamatan Sukawangi, Kabupaten Garut. 
Setiap hari, selama sebulan, Euis pergi ke sekolah yang berjarak dua kilometer 
dari rumahnya. Adakalanya ia berjalan sambil menangis karena tidak punya uang 
sepeser pun untuk ongkos, apalagi untuk jajan seperti anak yang lain. "Saya 
malu, tidak pernah ikut menyumbang iuran di sekolah," ujarnya tercekat, 
berusaha untuk bicara.

Sekolah merupakan kebutuhan mewah buat anak-anak dari keluarga miskin. Di Jawa 
Barat masih ada ratusan ribu anak yang terancam putus sekolah. Yang mereka 
butuhkan bukan cuma kebijakan pemerintah, tetapi tindakan yang bisa 
menyelamatkan mereka secepatnya. (Y09)


[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
DonorsChoose. A simple way to provide underprivileged children resources 
often lacking in public schools. Fund a student project in NYC/NC today!
http://us.click.yahoo.com/5F6XtA/.WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx
5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx
6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



** Mailing-List Indonesia Nasional Milis PPI-India www.ppi-india.uni.cc **

Other related posts:

  • » [list_indonesia] [ppiindia] Jangankan Sekolah, Bisa Makan Saja Sudah Untung