Telekomunikasi untuk Rakyat atau Kelompok DALAM dua pekan terakhir ini, kita dikejutkan pada dua kejadian heboh sekitar dunia pertelekomunikasian, pertama, dilakukannya sweeping penggunaan frekuensi 2,4 GHz (biasanya dipakai untuk menyambung dua atau lebih titik, supaya tersambung ke jaringan Internet atau jaringan komputer antarperusahaan), Peristiwa kedua adalah sweeping pengusaha VoIP (Voice over Internet Protocol, teknologi kompresi data suara, sekaligus disalurkan melalui jaringan Internet) yang tidak terdaftar. Dengan kemajuan teknologi Internet beserta mailing list, maka kedua berita tersebut memacu banyak pihak untuk memberikan komentar. Ada yang cool down, ada yang marah-marah, dan ada yang berteriak dengan menulis huruf besar semua di e-mail-nya. Memang dunia keterbukaan membuat kita semua menjadi sadar, peraturan itu dibuat bukan untuk menyusahkan masyarakat tetapi untuk menyejahterakan rakyat. Walaupun pada kenyataannya, sering sekali terjadi perbuatan licik atau berusaha untuk mengelak dari tanggung jawab sebagai masyarakat Indonesia, terutama pada satu individu atau kelompok tertentu. Keterlibatan pihak swasta dalam dialog pemakaian frekuensi 2,4 GHz dan pemanfaatan teknologi VoIP rasanya cukup besar. Sejak tahun lalu kelompok aktivis pemakai frekuensi 2,4GHz yang disebut IndoWLI sering mondar-mandir ke gedung Postel untuk berdiskusi dengan pihak pengambil keputusan (yang biasanya diwakilkan). Demikian juga pemain VoIP yang sebagian besar adalah Internet Service Provider yang tergabung dalam APJII, sering bolak-balik ke Postel untuk memprotes soal pemberian izin yang hanya pada lima perusahaan terpilih saja. Soal 2,4GHz Gonjang-ganjing pemakaian frekuensi 2,4 GHz ini cukup seru, sama halnya seperti nonton tinju Mohammad Ali yang selalu disertai perang urat syaraf. Bahkan, pakar Internet Dr Onno W Purbo mengajukan sumpah, untuk tidak pernah menginjak Gedung Postel kalau pengaturan pemakaian frekuensi 2,4 GHz ini tidak diselesaikan dengan baik. Seperti tulisan sebelumnya di Kompas, pemakaian frekuensi 2,4 GHz ini harus bijaksana serta dipikirkan secara matang, karena dampaknya adalah ketidakmampuan kita mengatur penggunaan yang kacau- balau. Dan pada saat kekacauan datang, sudah tentu ada pihak-pihak tertentu yang melihat semuanya sebagai peluang. Kemungkinan dimanfaatkan dengan cara memperjual-belikan frekuensi yang seharusnya bebas digunakan untuk kepentingan dan untuk kemajuan bersama, bisa saja terjadi. Sweeping pemakaian frekuensi 2,4 GHz ini mengacu pada peraturan yang sedang berlaku saat ini. Di sisi lain, para petinggi Postel belum bisa mengambil keputusan yang tegas tentang penggunaannya, sehingga keadaan sekarang bisa disebut sebagai sebuah cara untuk memanfaatkan kesempatan di dalam kesempitan. Perdebatan dan diskusi selama satu tahun terakhir ini betul-betul tidak dianggap sebagai usaha yang tulus dari pihak swasta untuk mengikuti peraturan yang berlaku, walaupun diakui banyak pihak yang memang tidak mempunyai itikad baik. Kita tidak tahu siapa yang salah dan siapa yang benar. Karena pada kenyataannya, para pemakai frekuensi 2,4 GHz ini harus sedikit miris akan terkena penggeladahan dan penyitaan perangkatnya. Perangkat-perangkat tersebut sudah dibeli dan dipakai untuk memperpanjang napas bisnisnya, di tengah kesulitan pihak berwenang untuk memenuhi semua infrastruktur yang diperlukan, terutama berhubungan dengan sambungan dan akses ke jaringan Internet. Kalau kita lihat AS dan Eropa, tampaknya mereka tidak banyak menggunakan teknologi nirkabel pada frekwensi 2,4 GHz. Karena, infrastrukturnya sudah sangat baik. Untuk mendapatkan sambungan Fibre Optic di daerah Palo Alto, Silicon Valley, hanya dibutuhkan waktu lima hari kerja dan dilayani oleh lebih dari 20 perusahaan swasta untuk populasi yang kira-kira sama dengan salah satu wilayah Jakarta. Berbeda dengan di Indonesia. Untuk mendapatkan sambungan telepon saja (teknologi sambungan telepon usianya sudah lebih dari 30 tahun, sementara sambungan fibre optic baru berusia kurang dari 20 tahun), kita mesti berdebat, menyita waktu lebih banyak, harus membuat terobosan-terobosan, dan merogoh kantung dengan lebih dalam. Walaupun dalam persentasi yang sangat kecil, para pengambil keputusan dan perusahaan terkait ada juga yang dapat bekerja profesional, memenuhi kebutuhan kita dengan cepat dan tanpa bertele-tele. Jadi, kalau boleh usul, apakah sebaiknya pemakaian frekuensi 2,4 GHz ini dikaitkan dengan kesiapan pemerintah dalam memberikan solusi sambungan dan pemasangan infrastruktur. Artinya, kalau berbagai pilihan sambungan sudah bisa terpenuhi dengan cepat, silakan saja mengatur 2,4 GHz. Atau, kalau perlu memperjualbelikannya, karena kelihatannya memang metode jual-beli ini yang paling disenangi oleh pihak-pihak tertentu, karena semuanya bisa happy! Soal VoIP Ketimbang masalah pemakaian frekuensi 2,4 GHz, pebisnis VoIP mengalami masalah yang lebih ruwet, karena bisnis ini sudah betul-betul menyerempet kepentingan pihak tertentu yang dikategorikan sebagai kepentingan negara. Apalagi, masih berlakunya undang-undang monopoli sekitar telekomunikasi, khususnya telekomunikasi suara. Pemakaian frekuensi 2,4 GHz terbatas hanya pada kelompok pengguna komputer dan pengolahan data, yang menurut beberapa survai, penambahan komputer per tahunnya tidak mencapai tiga juta unit (kurang dari dua persen dari populasi Indonesia). Sementara pemanfaatan teknologi VoIP lebih meluas, bisa sampai ke pengguna rumahan yang tidak mengetahui dengan tepat teknologi komputer, dan hanya bisa bicara saja. Meluasnya pemakaian VoIP, masyarakat sudah tentu sangat diuntungkan. Karena, mereka mendapat alternatif murah untuk berkomunikasi, yang tadinya berbicara hanya lima menit bisa diperpanjang sampai 20 menit. Sementara biaya yang dikeluarkan sama. Sayangnya, pihak penyelenggara komunikasi yang sudah menginvestasikan perangkatnya dengan uang yang sangat besar, akhirnya tidak bisa mendapatkan penghasilan yang diharapkan. Dan, karena mengacu pada perundangan dan ketentuan yang sebetulnya sudah absolut, maka yang bersangkutan mengambil tindakan memberangus para pebisnis VoIP yang dikategorikan "gelap". Walaupun kenyataannya para pengusaha itu bayar pajak (paling tidak sebagian dari nilai yang seharusnya mereka bayar), punya pegawai, bayar listrik, bayar PBB, bayar pemakaian pulsa ke pemilik jaringan, dan yang pasti mereka juga warga Indonesia yang pantas diberi kesempatan untuk maju, terutama karena keberanian dan pengetahuan tentang teknologi telekomunikasi yang cukup canggih untuk dapat mewujudkan impian membuat komunikasi murah-meriah. Kesimpulan Dari perjalanan sejarah dan diskusi panjang kedua permasalahan ini, sudah terlihat keterbukaan pemerintah untuk urusan kebijaksanaan telekomunikasi. Para pejabat muda yang enerjik, sudah mau mendengar suara dari pihak swasta. Sudah mau diajak diskusi. Walaupun pada akhirnya, mereka yang dengan gigih membantu pihak swasta harus menyerah pada keadaan menghhadapai kekuatan yang tidak "jelas" yang bisa memutar balik jarum jam hingga kembali ke posisi awal untuk bisa memberikan keuntungan dan kesempatan emas pada pihak-pihak tertentu saja. Sebagai masyarakat pemakai telekomunikasi yang melihat kenyataan ini, menyadari semua yang dibicarakan tidak akan sama dengan yang semua terjadi. Karena, di balik kebijaksanaan yang dikeluarkan, ada berbagai macam pemikiran, alasan, dan pertimbangan untuk membuat satu keputusan yang nantinya akan bermanfaat untuk seluruh masyarakat Indonesia. Atau, juga hanya untuk sekelompok tertentu saja. Akhirnya, masyarakat umum dan orang awam, harus menarik napas panjang sambil menutup mata, merasakan bagaimana harus bersyukur, bisa bernapas lega, dan menghirup udara kehidupan ini. Ir Michael S Sunggiardi, Managing Director PT BoNet Utama Bogor =============================================================== (C)opyright 1999-2002 UntirtaNet Milis ini dikelola oleh alumni Universitas Tirtayasa Banten - Indonesia dan terbuka untuk semua Civitas Academica Universitas Tirtayasa Banten Untuk berlangganan, kirim email ke: untirtanet@xxxxxxxxxxxxx, dengan Subject 'Subscribe' atau lansung ke //www.freelists.org/cgi-bin/list? list_id=untirtanet Untuk kirim pesan: untirtanet@xxxxxxxxxxxxx Please visit our Homepage: http://www.untirtanet.org ---------------------------------------------------------------------------