[UntirtaNet] Telekomunikasi untuk Rakyat atau Kelompok

  • From: "Irianto, Yayan" <yayantea@xxxxxxxxxxxxx>
  • To: <untirtanet@xxxxxxxxxxxxx>
  • Date: Thu, 9 May 2002 18:04:43 -0400

Telekomunikasi untuk Rakyat atau Kelompok

DALAM dua pekan terakhir ini, kita dikejutkan pada dua kejadian heboh
sekitar dunia pertelekomunikasian, pertama, dilakukannya sweeping penggunaan
frekuensi 2,4 GHz (biasanya dipakai untuk menyambung dua atau lebih titik,
supaya tersambung ke jaringan Internet atau jaringan komputer
antarperusahaan), Peristiwa kedua adalah sweeping pengusaha VoIP (Voice over
Internet Protocol, teknologi kompresi data suara, sekaligus disalurkan
melalui jaringan Internet) yang tidak terdaftar.

Dengan kemajuan teknologi Internet beserta mailing list, maka kedua berita
tersebut memacu banyak pihak untuk memberikan komentar. Ada yang cool down,
ada yang marah-marah, dan ada yang berteriak dengan menulis huruf besar
semua di e-mail-nya. Memang dunia keterbukaan membuat kita semua menjadi
sadar, peraturan itu dibuat bukan untuk menyusahkan masyarakat tetapi untuk
menyejahterakan rakyat. Walaupun pada kenyataannya, sering sekali terjadi
perbuatan licik atau berusaha untuk mengelak dari tanggung jawab sebagai
masyarakat Indonesia, terutama pada satu individu atau kelompok tertentu.

Keterlibatan pihak swasta dalam dialog pemakaian frekuensi 2,4 GHz dan
pemanfaatan teknologi VoIP rasanya cukup besar. Sejak tahun lalu kelompok
aktivis pemakai frekuensi 2,4GHz yang disebut IndoWLI sering mondar-mandir
ke gedung Postel untuk berdiskusi dengan pihak pengambil keputusan (yang
biasanya diwakilkan). Demikian juga pemain VoIP yang sebagian besar adalah
Internet Service Provider yang tergabung dalam APJII, sering bolak-balik ke
Postel untuk memprotes soal pemberian izin yang hanya pada lima perusahaan
terpilih saja.

Soal 2,4GHz

Gonjang-ganjing pemakaian frekuensi 2,4 GHz ini cukup seru, sama halnya
seperti nonton tinju Mohammad Ali yang selalu disertai perang urat syaraf.
Bahkan, pakar Internet Dr Onno W Purbo mengajukan sumpah, untuk tidak pernah
menginjak Gedung Postel kalau pengaturan pemakaian frekuensi 2,4 GHz ini
tidak diselesaikan dengan baik.

Seperti tulisan sebelumnya di Kompas, pemakaian frekuensi 2,4 GHz ini harus
bijaksana serta dipikirkan secara matang, karena dampaknya adalah
ketidakmampuan kita mengatur penggunaan yang kacau- balau. Dan pada saat
kekacauan datang, sudah tentu ada pihak-pihak tertentu yang melihat semuanya
sebagai peluang. Kemungkinan dimanfaatkan dengan cara memperjual-belikan
frekuensi yang seharusnya bebas digunakan untuk kepentingan dan untuk
kemajuan bersama, bisa saja terjadi.

Sweeping pemakaian frekuensi 2,4 GHz ini mengacu pada peraturan yang sedang
berlaku saat ini. Di sisi lain, para petinggi Postel belum bisa mengambil
keputusan yang tegas tentang penggunaannya, sehingga keadaan sekarang bisa
disebut sebagai sebuah cara untuk memanfaatkan kesempatan di dalam
kesempitan. Perdebatan dan diskusi selama satu tahun terakhir ini
betul-betul tidak dianggap sebagai usaha yang tulus dari pihak swasta untuk
mengikuti peraturan yang berlaku, walaupun diakui banyak pihak yang memang
tidak mempunyai itikad baik.

Kita tidak tahu siapa yang salah dan siapa yang benar. Karena pada
kenyataannya, para pemakai frekuensi 2,4 GHz ini harus sedikit miris akan
terkena penggeladahan dan penyitaan perangkatnya. Perangkat-perangkat
tersebut sudah dibeli dan dipakai untuk memperpanjang napas bisnisnya, di
tengah kesulitan pihak berwenang untuk memenuhi semua infrastruktur yang
diperlukan, terutama berhubungan dengan sambungan dan akses ke jaringan
Internet.

Kalau kita lihat AS dan Eropa, tampaknya mereka tidak banyak menggunakan
teknologi nirkabel pada frekwensi 2,4 GHz. Karena, infrastrukturnya sudah
sangat baik. Untuk mendapatkan sambungan Fibre Optic di daerah Palo Alto,
Silicon Valley, hanya dibutuhkan waktu lima hari kerja dan dilayani oleh
lebih dari 20 perusahaan swasta untuk populasi yang kira-kira sama dengan
salah satu wilayah Jakarta.

Berbeda dengan di Indonesia. Untuk mendapatkan sambungan telepon saja
(teknologi sambungan telepon usianya sudah lebih dari 30 tahun, sementara
sambungan fibre optic baru berusia kurang dari 20 tahun), kita mesti
berdebat, menyita waktu lebih banyak, harus membuat terobosan-terobosan, dan
merogoh kantung dengan lebih dalam. Walaupun dalam persentasi yang sangat
kecil, para pengambil keputusan dan perusahaan terkait ada juga yang dapat
bekerja profesional, memenuhi kebutuhan kita dengan cepat dan tanpa
bertele-tele.

Jadi, kalau boleh usul, apakah sebaiknya pemakaian frekuensi 2,4 GHz ini
dikaitkan dengan kesiapan pemerintah dalam memberikan solusi sambungan dan
pemasangan infrastruktur. Artinya, kalau berbagai pilihan sambungan sudah
bisa terpenuhi dengan cepat, silakan saja mengatur 2,4 GHz. Atau, kalau
perlu memperjualbelikannya, karena kelihatannya memang metode jual-beli ini
yang paling disenangi oleh pihak-pihak tertentu, karena semuanya bisa happy!

Soal VoIP

Ketimbang masalah pemakaian frekuensi 2,4 GHz, pebisnis VoIP mengalami
masalah yang lebih ruwet, karena bisnis ini sudah betul-betul menyerempet
kepentingan pihak tertentu yang dikategorikan sebagai kepentingan negara.
Apalagi, masih berlakunya undang-undang monopoli sekitar telekomunikasi,
khususnya telekomunikasi suara.

Pemakaian frekuensi 2,4 GHz terbatas hanya pada kelompok pengguna komputer
dan pengolahan data, yang menurut beberapa survai, penambahan komputer per
tahunnya tidak mencapai tiga juta unit (kurang dari dua persen dari populasi
Indonesia). Sementara pemanfaatan teknologi VoIP lebih meluas, bisa sampai
ke pengguna rumahan yang tidak mengetahui dengan tepat teknologi komputer,
dan hanya bisa bicara saja.

Meluasnya pemakaian VoIP, masyarakat sudah tentu sangat diuntungkan. Karena,
mereka mendapat alternatif murah untuk berkomunikasi, yang tadinya berbicara
hanya lima menit bisa diperpanjang sampai 20 menit. Sementara biaya yang
dikeluarkan sama. Sayangnya, pihak penyelenggara komunikasi yang sudah
menginvestasikan perangkatnya dengan uang yang sangat besar, akhirnya tidak
bisa mendapatkan penghasilan yang diharapkan.

Dan, karena mengacu pada perundangan dan ketentuan yang sebetulnya sudah
absolut, maka yang bersangkutan mengambil tindakan memberangus para pebisnis
VoIP yang dikategorikan "gelap". Walaupun kenyataannya para pengusaha itu
bayar pajak (paling tidak sebagian dari nilai yang seharusnya mereka bayar),
punya pegawai, bayar listrik, bayar PBB, bayar pemakaian pulsa ke pemilik
jaringan, dan yang pasti mereka juga warga Indonesia yang pantas diberi
kesempatan untuk maju, terutama karena keberanian dan pengetahuan tentang
teknologi telekomunikasi yang cukup canggih untuk dapat mewujudkan impian
membuat komunikasi murah-meriah.

Kesimpulan

Dari perjalanan sejarah dan diskusi panjang kedua permasalahan ini, sudah
terlihat keterbukaan pemerintah untuk urusan kebijaksanaan telekomunikasi.
Para pejabat muda yang enerjik, sudah mau mendengar suara dari pihak swasta.
Sudah mau diajak diskusi. Walaupun pada akhirnya, mereka yang dengan gigih
membantu pihak swasta harus menyerah pada keadaan menghhadapai kekuatan yang
tidak "jelas" yang bisa memutar balik jarum jam hingga kembali ke posisi
awal untuk bisa memberikan keuntungan dan kesempatan emas pada pihak-pihak
tertentu saja.

Sebagai masyarakat pemakai telekomunikasi yang melihat kenyataan ini,
menyadari semua yang dibicarakan tidak akan sama dengan yang semua terjadi.
Karena, di balik kebijaksanaan yang dikeluarkan, ada berbagai macam
pemikiran, alasan, dan pertimbangan untuk membuat satu keputusan yang
nantinya akan bermanfaat untuk seluruh masyarakat Indonesia. Atau, juga
hanya untuk sekelompok tertentu saja.

Akhirnya, masyarakat umum dan orang awam, harus menarik napas panjang sambil
menutup mata, merasakan bagaimana harus bersyukur, bisa bernapas lega, dan
menghirup udara kehidupan ini.

Ir Michael S Sunggiardi, Managing Director PT BoNet Utama Bogor


===============================================================
(C)opyright 1999-2002 UntirtaNet
Milis ini dikelola oleh alumni Universitas Tirtayasa Banten - Indonesia 
dan terbuka untuk semua Civitas Academica Universitas Tirtayasa Banten 
Untuk berlangganan, kirim email ke: untirtanet@xxxxxxxxxxxxx, dengan  
Subject 'Subscribe' atau lansung ke  //www.freelists.org/cgi-bin/list?
list_id=untirtanet Untuk kirim pesan: untirtanet@xxxxxxxxxxxxx
Please visit our Homepage: http://www.untirtanet.org
---------------------------------------------------------------------------

Other related posts:

  • » [UntirtaNet] Telekomunikasi untuk Rakyat atau Kelompok