[nasional_list] [ppiindia] Skenario Plato, Oedipus, dan Sisyphus

  • From: "Ambon" <sea@xxxxxxxxxx>
  • To: <"Undisclosed-Recipient:;"@freelists.org>
  • Date: Sun, 5 Feb 2006 00:40:08 +0100

** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com 
**http://www.suarapembaruan.com/News/2006/02/04/index.html

SUARA PEMBARUAN DAILY 
Skenario Plato, Oedipus, dan Sisyphus
Oleh Imam Cahyono 

TRANSISI demokrasi tak selamanya berjalan mulus seindah mimpi. Janji perubahan 
yang menggiurkan, kenyataannya seringkali jauh dari harapan. Di negara-negara 
berkembang, buaian masa peralihan justru menuai kekecewaan. Periode transisi, 
konsolidasi, dan demokratisasi ternyata bisa stagnan dan berjalan mundur ke 
belakang. Reformasi demokrasi bisa layu sebelum berkembang dan bahkan, dapat 
menemui ajal. 

Lise Garon dalam studinya Dangerous Alliances: Civil Society, The Media & 
Democratic Transition in North Africa (Zed Books: 2003) mengungkapkan, transisi 
demokrasi dapat terperangkap dalam skenario persekutuan mematikan (fatal 
alliance) yang tidak hanya menyebabkan rumitnya jalan transisi, tapi juga dapat 
menggagalkan konsolidasi demokrasi. 

Tiga skenario evolusi politik pada pengujung abad ke-20 di negeri maghribi, 
yakni Tunisia, Aljazair, dan Maroko memiliki persamaan, terjadinya 
persekongkolan antara aktor sipil, pemerintah (state) dan militer untuk 
melanggengkan pengaruh kekuasaan. 

Pemerintahan dikontrol oleh rezim tiran, Bourghiba di Tunisia, Raja Hassan di 
Maroko, dan Aljazair oleh partai tunggal FLN (Front de Liberation Nationale). 
Demokrasi dijadikan legitimasi sekaligus topeng penguasa otoriter. Masa 
peralihan membuka peluang besar terjadinya persekongkolan sipil-militer dalam 
tubuh pemerintahan. Kepemimpinan sipil yang lemah memanfaatkan militer untuk 
memperkuat dukungan. Apa yang terjadi di Tunisia serupa dengan kisah Plato, 
Maroko mirip dengan filosofi Sisyphus, dan Aljazair senada dengan legenda 
Oedipus. 


Konspirasi Elite Sipil 

dan Pemerintah 

Kendati tidak sama persis, tiga skenario itu ternyata pas dan cocok untuk 
memotret perkembangan transisi demokrasi di Indonesia. Skenario politik pertama 
terjadi seperti yang dilukiskan oleh Plato, bapak filsafat Barat dan Arab. 
Plato membandingkan forum publik dengan dinding sebuah goa yang gelap (Plato's 
cave) sebagai proyeksi atas realitas. 

Pertunjukan yang dipentaskan aktor-aktor politik tidak memiliki tujuan berarti 
(unmeaninglessness) melainkan hanya bayang-bayang kenyataan belaka. Secara 
intensif berbagai akrobat politik dipertontonkan, tapi secara substansi 
menyangkal dan mengingkari realitas. Skenario semacam ini terus digelar dan 
dipentaskan dalam panggung publik negeri ini. 

Secara prosedural, demokrasi yang digelar telah mencapai prestasi memuaskan. 
Namun, secara substantif, demokrasi kita masih sebatas slogan. Pemilu untuk 
memilih pemimpin secara langsung telah berjalan sukses dan lancar, namun para 
pemimpin yang terpilih masih jauh dari harapan. Pertunjukan politik yang 
dipentaskan para elite (pemerintah) dan wakil rakyat (DPR/D) seringkali justru 
mengingkari keberadaan rakyat. 

Atas nama rakyat, pemerintah maupun wakil rakyat membuat berbagai kebijakan 
yang tidak peka dan justru menyakiti hati rakyat. Mereka mengklaim mewakili 
aspirasi rakyat tapi sejatinya lebih memperjuangkan kepentingan pribadi. Dalam 
persidangan, wakil rakyat justru tidur, sibuk berebut jabatan dan lahan basah, 
serta berlomba-lomba menaikkan tunjangan merupakan tontonan politik yang 
dominan. Sementara rakyat terus menderita, dibiarkan sengsara. Ini sesungguhnya 
merupakan kebohongan dan pembohongan terhadap publik. 

DPR tidak lagi menjalankan peran check and balance terhadap pemerintah, tapi 
membuat kompromi politik yang saling menguntungkan posisi masing-masing. Mereka 
bersekongkol untuk melanggengkan kekuasaan meski harus mengorbankan rakyat. 
Rakyat pun hanya bisa melihat bayang-bayang demokrasi tanpa pernah menik- mati. 

Skenario kedua pararel dengan legenda Yunani, Oedipus yang secara brilian 
disusun kembali oleh Bapak Psikoanalisis, Sigmund Freud. Oedipus adalah 
representasi mitos seseorang yang berhasrat untuk membebaskan diri dari ikatan 
pertalian masa kanak-kanak dengan berusaha keluar, mengusir, dan meruntuhkan 
posisi dominan ayahnya. Setelah berhasil, dia justru meminta perlindungan sang 
Ibu, Jacosta. 

Sejak runtuhnya belenggu otoritarianisme Soeharto, pengaruh militer 
terus-menerus terkikis. Tentara dikandangkan ke barak, peran politiknya 
dibatasi. Ini tentu prestasi menggembirakan, berbeda dengan masa transisi 
demokrasi di negara-negara Amerika Latin yang umumnya masih didominasi dan 
dikontrol militer (O'Donnell, Schmitter and Whitehead, Transition from 
Authoritarian rule, Johns Hopkins University Press, 1991). 

Lantaran trauma terhadap militer, pemimpin berbaju sipil menjadi harapan 
alternatif. Celakanya, elite sipil yang berperan dominan dalam pemerintahan 
Susilo Bambang Yudhoyono disetir dan didominasi kalangan pengusaha. 

Kepemimpinan Yudhoyono yang lemah, mau tidak mau harus berkompromi, 
bersekongkol dengan para pengusaha. Tanpa segan, rakyat pun dikorbankan demi 
kepentingan mereka. Tak pelak, Indonesia memasuki babak baru, dalam cengkeraman 
kaum pedagang. 

Idealnya, pengusaha merupakan kelas menengah bagian dari civil society. Seperti 
di Thailand, kelas menengah semestinya otonom sehingga mampu melakukan 
bargaining power terhadap pemerintah. Parahnya, di Indonesia para pengusaha 
(yang juga pejabat) seperti memiliki privilege, dwi-fungsi kepemimpinan ganda 
sebagai pemerintah sekaligus pengusaha. 

Padahal, bisnis adalah urusan pribadi sementara pemerintah mestinya mengurusi 
publik. Sulit dibayangkan bagaimana seseorang memerintah yang berarti mengabdi 
untuk rakyat sembari berbisnis untuk mengeruk untung. Mengurus negara jalan, 
bisnis pun tak mau ketinggalan. Dan lagi-lagi, rakyat yang harus siap dijadikan 
tumbal? 

Skenario ketiga adalah legenda Sisyphus, pahlawan dari Yunani yang dihukum 
untuk memindahkan batu yang berat ke puncak sebuah bukit dengan cara 
menggelindingkannya. Sisyphus selalu berhenti untuk istirahat tiap setengah 
perjalanan. Dari sini, batu itu jatuh lagi ke bawah sehingga ia harus mulai 
bekerja lagi, menggelindingkannya lagi dari awal. 

Bangsa ini menghadapi ujian dan kesengsaraan akibat cengkeraman militer dan 
rezim otoriter. Indonesia harus berjuang sekuat tenaga untuk mengakhiri 
belenggu otoritarianisme tanpa mencegah batu kebebasan jatuh kembali ke dalam 
jurang. 

Lepas dari sangkar besi militer, bangsa ini masuk dalam genggaman pengusaha. 
Setelah susah payah menggulingkan otoritarianisme Soeharto, bangsa ini jatuh 
dalam kekuasaan kaum pedagang. Sejujurnya, kita kembali ke titik nol. 


"Civil Society" 

Tiga skenario ini -hemat penulis- sejatinya merupakan skenario buruk yang 
sedang kita hadapi dan kita jalani. Sementara, skenario baru yang lebih 
menjanjikan belum juga muncul. Tidak hanya militer yang harus diwaspadai, 
mengontrol kepemimpinan sipil juga tak kalah penting. Dalam banyak kasus, para 
pemimpin berbaju sipil pun dapat menghadirkan tirani, otoritarianisme dan 
fasisme yang menindas. 

Maka, pilar-pilar civil society harus ditegakkan. Cita-cita menuju masyarakat 
madani yang mandiri dan otonom harus terus ditumbuhkan. Aktor-aktor diluar 
negara seperti kaum intelektual, akademisi, ormas, LSM dan pers harus terus 
mengawasi dan mengontrol jalannya pemerintahan. 

Tanpa itu, transisi menuju demokrasi tak lebih dari sekadar ilusi, manis di 
bibir tapi pahit sekali di hati. Ibarat lepas dari mulut singa, masuk ke 
kandang buaya. Lolos dari belenggu militer, kita masuk dalam cengkeraman 
pengusaha. Ya, sama saja ...! * 


Penulis adalah Koordinator Riset Al Maun Institute, Jakarta. 


Last modified: 4/2/06 

[Non-text portions of this message have been removed]



***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx
5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx
6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com **

Other related posts:

  • » [nasional_list] [ppiindia] Skenario Plato, Oedipus, dan Sisyphus