[nasional_list] Re: [ppiindia] Refleksi: Sensitif Internal, Insensitif Eksternal

  • From: Nugroho Dewanto <ndewanto@xxxxxxxxxxxxxxxx>
  • To: ppiindia@xxxxxxxxxxxxxxx
  • Date: Wed, 15 Feb 2006 13:48:32 +0700

** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com **

bung mario,

jangan terjebak pada dilema antara kepekaan
(keberpihakan?) dan keadilan.

menegakkan keadilan memang sulit sekali.
terlebih ketika "biang kerok" ada di luar maupun
di dalam diri kita. toh, kita tak boleh menyerah
untuk terus mengupayakannya.

berikut ada contoh tulisan, spesial buat anda.

salam,


Karikatur

Seraut paras tembam. Alisnya tebal. Misainya lebat kasar. Sorbannya hitam, 
dengan kalimat syahadat berkaligrafi Arab. Yang lebih menarik: sorban itu 
bulat dengan sumbu--sorban itu sebuah bom. Seandainya gambar itu terpasang 
tanpa kata-kata, kita tak akan tahu itu karikatur tentang Nabi Muhammad. 
Tapi toh kita akan tahu: itu sebuah gambar cemooh buat orang Islam.

Bagi saya, itu saja sudah menunjukkan satu hal yang layak dikecam. Koran 
Jyllands-Posten, dengan tiras sekitar 175 ribu, adalah surat kabar terlaku 
di Denmark. Kantornya terletak agak di luar Aarhus, kota kedua terbesar. 
Gedungnya mirip sebuah pabrik yang rapi, dengan cat putih di bagian 
interior. Orang yang tahu bilang koran itu dibaca para petani yang makmur 
dan taat dan kelas menengah di daerah udik. Mereka sopan, tapi tak 
mengherankan bila mereka tak nyaman melihat berbondong orang datang dari 
negeri Selatan yang miskin dan umumnya muslim dan ?bukan-orang-kita?. Sebab 
selama berabad-abad mereka terlindung dari apa saja yang ganjil dan 
mengejutkan.

Hari-hari ini mereka dukung sebuah pemerintah yang, seperti mereka, menatap 
para imigran dengan waswas, bahkan bermusuhan. "Kita berangkat perang 
menentang ideologi multikultural,? kata Brian Mikkelsen. Politisi berusia 
39 tahun itu, kini menteri kebudayaan, meneriakkan bahwa ?perang 
kebudayaan? yang berkecamuk kini adalah untuk melawan gagasan yang bersedia 
menerima ?norma dan cara berpikir muslim? di masyarakat Denmark. Baginya, 
?warisan budaya? (dan itu berarti ?budaya asli? atau ?pribumi?) merupakan 
sumber kekuatan untuk menghadapi ?globalisasi? dan arus masuk migrasi.

Seberapa jauh sebenarnya suara itu berbeda dari aum Hitler pada tahun 1937, 
yang menyerukan ?sifat-sifat kesatuan dan homogenitas? dalam kebudayaan 
?Jerman?? Lupakah mereka akan konsekuensinya: perang atau pembersihan untuk 
menghabisi kebudayaan yang tak bertanah air, dan waktu itu disebut ?Yahudi??

Mungkin inilah tanda kekeruhan jiwa kini: kamp konsentrasi di Auschwitz 
belum dilupakan, tapi masih cukup terhormat suara yang menyerukan ?perang 
kebudayaan? terhadap para pengusik ?persatuan? dan ?homogenitas?.

  Tentu, harus diakui, karikatur Jyllands-Posten yang terbit pada 30 
September 2005 itu memang karikatur. Tiap karikatur (dari kata caricare, 
bahasa Italia) mencemooh dengan ?melebih-lebihkan? satu atau beberapa ciri 
khas seorang tokoh. Tapi si penggambar belum pernah melihat bagaimana wajah 
sang tokoh. Bagaimana paras Nabi Muhammad? Apa pula ciri khasnya? Artikel 
yang menyertainya berjudul Muhammeds ansig (Wajah Muhammad), tapi pada 
akhirnya ?wajah? itu bertolak dari imaji sang penggambar tentang 
?Islam?--dalam bentuk yang tak terlampau jauh dari apa yang dibayangkan 
orang ramai di Denmark.

Dengan kata lain, yang digambar adalah sebuah stereotip. Yang pada hari itu 
digambar adalah sesuatu yang diringkas dari prasangka, antusiasme, 
ketakutan, ejekan kepada liyan, kepada orang lain--perasaan yang diam-diam 
mengendap di kepala orang-orang Denmark di sebuah masa yang dipanasi syak 
wasangka kepada orang Islam, dengan derajat rasa benci yang berbeda-beda.

Tak mengherankan bila beberapa dari kartun itu bisa mengingatkan kita akan 
sesuatu yang menakutkan: poster untuk film Jud Süss di Jerman pada tahun 
1940 dan poster untuk pameran Der Ewige Jude di sebuah pameran di Austria 
pada tahun 1938: gambar-gambar buat mencemooh orang Yahudi, reproduksi 
stereotip yang lahir dari benci dan gentar. Dalam Jud Süss: sebuah wajah 
gelap brewok, dengan sorot mata yang misterius dan tajam. Dalam Der Ewige 
Jude: sosok dengan hidung bengkok, dengan cambang dan misai menggelambir. 
Tangan kanannya memegang uang emas dan tangan kirinya cambuk.

Artinya, Si Asing, yang merayap di jalan tetangga kita, begitu rendah, 
begitu penuh teka-teki, begitu mengerikan?.

Jytte Klausen, guru besar ilmu politik di Universitas Brandeis di Boston, 
(pengarang buku The Islamic Challenge: Politics and Religion in Western 
Europe) menunjukkan bahwa pekik peperangan kebudayaan yang diteriakkan kaum 
ekstrem kanan itu memang bisa begitu brutal. Beberapa waktu yang lalu, dua 
anggota Partai Rakyat Denmark, Jesper Langballe dan Soren Krarup, 
menggambarkan orang Islam sebagai ?sebuah kanker di masyarakat Denmark?. 
Kedua mereka pastor Gereja Lutheran.

Seperti kaum ekstrem kanan lain (juga seperti MUI di antara kita), kedua 
pastor itu menentang pluralisme. Seperti kaum pembenci lain (juga seperti 
Front Pembela Islam di celah-celah kita), kedua pastor itu hendak 
merobohkan asas multikulturalisme yang mencegah masyarakatnya ditaklukkan 
oleh monopoli satu jenis nilai-nilai. Dan seperti kaum fanatik lain, mereka 
memakai standar ganda. Tiga tahun yang lalu, Jyllands-Posten menampik 
menerbitkan karikatur yang menggambarkan Yesus, atas dasar tak hendak 
melukai hati para pembaca.

Maka yang merisaukan bukanlah hanya karena ada orang yang menghina Nabi. 
Yang juga merisaukan adalah ketidakadilan dan kebencian, dan gagalnya 
banyak pihak, yang beragama maupun yang tidak, yang sekuler ataupun yang 
muslim, yang marah dan dimarahi, untuk tak ditulari borok itu.

Rasanya kita belum bisa berharap banyak dari sebuah zaman yang tiba-tiba 
membuat kagum dan kecut sekaligus: inilah zaman ketika teknologi--khususnya 
Internet--mampu membuat jarak waktu dan ruang seakan-akan raib. Seorang 
penggambar kartun di Aarhus membuat sebuah cemooh bagi sebuah kalangan 
lokal, tapi ia sebenarnya juga berhadapan dengan sebuah khalayak yang tak 
dikenal. Seorang ulama di Ponorogo marah karena satu hal yang berlaku di 
sebuah benua entah berentah, karena yang benar dan tak benar kini lepas 
dari situasi yang sebenarnya terbatas.

Dan kita? Jadi dekatkah kita sebenarnya? Atau kacau?

Goenawan Mohamad
(catatan pinggir majalah Tempo, 13 Pebruari 2006)


At 03:49 PM 2/12/06 +0530, you wrote:
>Dalam konteks hubungan personal, umumnya kita ingin agar orang lain mengerti
>kita, memahami kita, dan memaklumi semua yg kita lakukan. Kita
>ingin lingkungan sekeliling memiliki sensitivitas tinggi pada kita. Walaupun
>terkadang tanpa kita sadari, kita tidak melakukan hal yg sama pada orang
>lain.
>
>Dalam bahasa Jawa ada istilah tepo seliro. Arti kontekstualnya, kalau tidak
>suka dicubit, jangan mencubit orang karena orang lain juga tidak suka.
>Kecuali kalau si pencubit adalah orang khusus bagi kita yg sudah mendapat SK
>resmi untuk mencubit.
>
>Kalau cubitan fisik mudah dicerna dan dipahami, tidak demikian dg "cubitan"
>non-fisik. Definisinya mungkin mudah dipaham yaitu "setiap sikap dan/atau
>kata-kata yg menyinggung perasaan orang lain."
>
>Masalahnya, apa sikap dan kata-kata kita yg dapat menyinggung atau melukai
>hati orang lain? Setiap orang memiliki kadar sensitivitas tipikal yg
>berbeda-beda. Kata-kata yg sama bisa menyinggung si A, tapi malah menghibur
>bagi si B, dst. Ini artinya, diperlukan pemahaman tinggi dalam menghadapi
>setiap individu. Apa sikap dan/atau kata-kata yg dapat menghibur atau
>melukai si A, si B, si C, dst.
>
>Kadar kemampuan kita dalam memahami setiap individu tsb akan mempengaruhi
>pada kadar karisma dan 'aura' kita di mata orang lain. Semakin tinggi kadar
>pemahaman kita pada karakter orang lain, akan semakin banyak teman yg
>mengelilingi kita. Sebaliknya, semakin rendah kemampuan kita di bidang ini,
>akan semakin sedikit "kawan" dan semakin banyak "lawan" dan akhirnya
>hidup dalam pengasingan.
>
>Take and Give
>
>Falsafah Jawa Tepo Seliro sebenarnya sama dg falsafah Barat Take and Give,
>walaupun yg pertama terkesan non-fisikal dan yg kedua lebih cenderung
>berkonotasi material. Poin penting di sini adalah kenapa mesti ada falsafah
>Tepo Seliro dan Take and Give?
>
>Karena secara insting, kita selalu menuntut untuk Take More, & Give Less
>pada orang lain. Dalam dunia non-fisikal (baca, perasaan) kita ingin agar
>orang lain sensitif pada kita, walaupun kita tidak sensitif pada orang lain.
>Dg kata lain, sebelum mereformasi diri, manusia cenderung bersikap "sensitif
>internal dan insensitif eksternal." Dan karena itu, para pujangga di Timur
>dan Barat memperkenalkan falsafah tepo seliro dan take and give untuk
>mengingatkan kita bahwa "take more and give less" atau "sensitif internal
>dan insensitif eksternal" adalah sikap yg kurang baik dan untuk itu perlu
>ditinjau kembali alias direformasi.
>
>P.S. Tulisan ini konteksnya hubungan personal antar-manusia, bukan dalam
>konteks hubungan rakyat-pejabat.
>
>salam,
>
>
>--
>Mario Gagho
>----------------------------------------
>"What sets worlds in motion is the interplay of differences, their
>attractions and repulsions; life is plurality, death is uniformity."
>- Octavio Paz


[Non-text portions of this message have been removed]



***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx
5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx
6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com **

Other related posts:

  • » [nasional_list] Re: [ppiindia] Refleksi: Sensitif Internal, Insensitif Eksternal