[nasional_list] [ppiindia] Prahara di Republik Tengkulak

  • From: "Ambon" <sea@xxxxxxxxxx>
  • To: <"Undisclosed-Recipient:;"@freelists.org>
  • Date: Mon, 6 Feb 2006 00:36:22 +0100

** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com 
**http://www.kompas.com/kompas-cetak/0602/06/opini/2408224.htm

 
Prahara di Republik Tengkulak 


Riswandha Imawan

Pesan paling nyata dari keputusan Sidang Paripurna DPR 24 Januari 2006 yang 
menolak penggunaan hak angket dalam impor beras adalah rakyat tetap harus kalah 
oleh logika pemerintah yang tidak mereka pahami. Boleh jadi, rakyat Indonesia 
hanya merasakan kemenangan saat Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.

Fakta ini menguatkan argumentasi Ricci, The Tragedy of Political Science 
(1987), salah satu "dosa besar" ilmu politik adalah mengubah rakyat yang 
powerful (karena berdaulat) menjadi powerless (karena menjadi obyek perintah).

Etika politik menggariskan, pemegang kewenangan (pemerintah) tidak boleh 
memberi derita pemegang kedaulatan (rakyat). Sekali kekuasaan digenggam, 
penyimpangan terhadap aturan main tak terhindari, apalagi di Indonesia, di mana 
hukum menjadi alat perjuangan politik.

Sekilas seperti telah dilakukan penegakan hukum tanpa pandang bulu, tetapi 
koruptor akan diampuni apabila mengembalikan uang negara. Namun, bagaimana 
dengan maling ayam karena kelaparan? Bolehkah pencuri ayam diampuni begitu dia 
atau keluarganya mengembalikan ayam yang dicuri?

Sisi gelap demokrasi

Ilmu politik mengenal semacam black hole dalam tata politik, populer disebut 
the dark-side of democracy (sisi gelap demokrasi). Melalui proses yang 
demokratis, terjadi transformasi kedaulatan menjadi kewenangan. Karena 
merupakan turunan kedaulatan, maka ruang lingkup pemegang kewenangan terbatas.

Namun, karena posisinya di pucuk piramida kekuasaan, pemegang kewenangan 
leluasa menentukan corak kepolitikan satu negara. Transformasi sifat populis 
menjadi elitis dalam ajaran demokrasi terjadi di sini. Hukum besi munculnya 
oligarki dalam politik seperti diutarakan Robert Michels tak terhindari. Sekali 
oligarki terbentuk, semangat untuk mengeksploitasi dan mempertahankan kekuasaan 
terjadi.

Wujud nyata semangat ini adalah berani mengambil kebijakan tidak populis pada 
periode awal jabatan, lalu kembali ke kebijakan populis pada akhir masa 
jabatan. Dengan cara ini pemilih diharapkan ingat kebijakan populis yang 
berpihak kepada rakyat di akhir jabatan, dibanding mengingat kebijakan tidak 
berpihak kepada rakyat pada awal jabatan (Alvarez and Glasgow, Do Voters Learn 
from Presidential Election?, 1997).

Dari sketsa itu tampak, elite amat berkepentingan memelihara memori pendek 
rakyatnya. Apalagi dalam masyarakat Indonesia yang permisif, mudah memaafkan. 
Melalui permainan isu dan pengendalian informasi, rakyat bisa dibuat bingung 
bahkan frustrasi oleh elite yang mereka pilih.

Republik tengkulak

Kini muncul indikasi, rakyat sadar, salah memilih orang-orang yang mengagungkan 
logika tengkulak. Bagi mereka, nasib rakyat identik komoditas dagang dan 
peluang berbisnis yang harus dimanfaatkan.

Simak heboh kasus impor beras. Mengapa impor beras dilakukan saat terjadi 
surplus di Tanah Air? Ternyata harga beras di Vietnam lebih murah daripada 
produksi petani kita. Masuk akal. Selain membeli "beras surplus", biaya 
produksi petani kita sudah dinaikkan pemerintah melalui penetapan harga pupuk 
yang tinggi.

Di sini ada yang ganjil. Catatan Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), 
harga beras Vietnam 247 dollar AS per ton, dibeli Pemerintah Indonesia 268 
dollar AS per ton. Jadi, ada indikasi mark up 21 dollar AS per ton. Tengkulak 
segera mencium dua keuntungan, selisih harga dan kenaikan harga beras yang 
tajam akhir-akhir ini. Buktinya, beras Vietnam sudah disalurkan untuk menjaga 
stabilitas harga meski harga beras terus merambat naik.

Itulah taktik tengkulak, "melenyapkan" barang agar harga naik, lalu sedikit 
demi sedikit barang dikeluarkan lagi dengan harga tinggi? Pelayanan publik 
dibuat jelek, memberi pesan agar harga dinaikkan. Setelah naik, pelayanan tetap 
jelek.

Selayaknya DPR meneliti melalui hak angket. Sidang pertama, 17 Januari 2006, 
pengusul hak angket menang (207 suara setuju berbanding 167 menolak). Pada 
sidang kedua, 24 Januari 2006, yang menolak hak angket menang (184 suara 
menolak berbanding 151 setuju). Ini tidak lepas dari keberhasilan gerilya 
pemerintah memecah suara wakil rakyat dengan mengusulkan solusi hak interpelasi.

Ada apa? Tengkulak melihat kesulitan pendanaan partai politik sebagai bisnis. 
Cara berpolitik devide et impera ada di sini. Bukan saja terhadap kekompakan 
kerja anggota DPR, juga antara wakil rakyat dan rakyat, bahkan di antara rakyat 
sendiri.

Kasus SUTET bisa menjadi contoh. Siapa pun tahu hidup di bawah radiasi listrik 
adalah berbahaya. Pemerintah membalas dengan iklan layanan masyarakat, hidup di 
bawah SUTET aman. Cara ini sama seperti pemerintah memobilisasi tokoh 
masyarakat-dari ilmuwan sampai rohaniwan-guna mendukung kenaikan harga BBM 
Oktober 2005. Terbukti para tokoh sadar, terperangkap logika tengkulak dan 
memunculkan prahara.

Permainan politik yang dikembangkan para tengkulak kini kian mencemaskan. 
Penyesatan informasi dilakukan. Para wakil rakyat diajak berunding saat 
kapal-kapal pembawa beras dari Vietnam sudah menuju ke Indonesia. Jajaran 
pemerintahan pun terkena imbasnya. Beras impor menohok gubernur dan bupati yang 
saat pilkada berjanji melindungi dan meningkatkan pendapatan petani. Mereka 
punya kewajiban moral menolak beras impor.

Para politikus tengkulak sama sekali tidak sensitif dengan situasi 
kemasyarakatan yang berkembang. Sejarah Gerakan Politik mencatat, prahara akan 
meledak apabila kebijakan tidak populer yang diambil pemerintah menyentuh tiga 
segmen masyarakat: buruh, tani, dan nelayan.

Bagaimana dengan kekompakan pemerintah? Rapuh. Buktinya Presiden memanggil 
pimpinan partai, menuntut loyalitas mereka. Selain itu, setelah Presiden 
berusaha habis-habisan menghadang hak angket dan berhasil, muncul pernyataan 
Wakil Presiden saat di Tokyo: "Interpelasi atau angket tidak ada masalah. Itu 
bagian proses demokrasi. Bagi saya, kalaupun ada angket atau interpelasi, itu 
biasa." Jadi untuk apa ngotot habis-habisan?

Riswandha Imawan Guru Besar Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta


[Non-text portions of this message have been removed]



***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx
5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx
6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com **

Other related posts:

  • » [nasional_list] [ppiindia] Prahara di Republik Tengkulak