** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List ** ** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: ** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ ** ** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral scholarship, kunjungi http://informasi-beasiswa.blogspot.com **http://www.kompas.com/kompas-cetak/0602/06/opini/2408224.htm Prahara di Republik Tengkulak Riswandha Imawan Pesan paling nyata dari keputusan Sidang Paripurna DPR 24 Januari 2006 yang menolak penggunaan hak angket dalam impor beras adalah rakyat tetap harus kalah oleh logika pemerintah yang tidak mereka pahami. Boleh jadi, rakyat Indonesia hanya merasakan kemenangan saat Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Fakta ini menguatkan argumentasi Ricci, The Tragedy of Political Science (1987), salah satu "dosa besar" ilmu politik adalah mengubah rakyat yang powerful (karena berdaulat) menjadi powerless (karena menjadi obyek perintah). Etika politik menggariskan, pemegang kewenangan (pemerintah) tidak boleh memberi derita pemegang kedaulatan (rakyat). Sekali kekuasaan digenggam, penyimpangan terhadap aturan main tak terhindari, apalagi di Indonesia, di mana hukum menjadi alat perjuangan politik. Sekilas seperti telah dilakukan penegakan hukum tanpa pandang bulu, tetapi koruptor akan diampuni apabila mengembalikan uang negara. Namun, bagaimana dengan maling ayam karena kelaparan? Bolehkah pencuri ayam diampuni begitu dia atau keluarganya mengembalikan ayam yang dicuri? Sisi gelap demokrasi Ilmu politik mengenal semacam black hole dalam tata politik, populer disebut the dark-side of democracy (sisi gelap demokrasi). Melalui proses yang demokratis, terjadi transformasi kedaulatan menjadi kewenangan. Karena merupakan turunan kedaulatan, maka ruang lingkup pemegang kewenangan terbatas. Namun, karena posisinya di pucuk piramida kekuasaan, pemegang kewenangan leluasa menentukan corak kepolitikan satu negara. Transformasi sifat populis menjadi elitis dalam ajaran demokrasi terjadi di sini. Hukum besi munculnya oligarki dalam politik seperti diutarakan Robert Michels tak terhindari. Sekali oligarki terbentuk, semangat untuk mengeksploitasi dan mempertahankan kekuasaan terjadi. Wujud nyata semangat ini adalah berani mengambil kebijakan tidak populis pada periode awal jabatan, lalu kembali ke kebijakan populis pada akhir masa jabatan. Dengan cara ini pemilih diharapkan ingat kebijakan populis yang berpihak kepada rakyat di akhir jabatan, dibanding mengingat kebijakan tidak berpihak kepada rakyat pada awal jabatan (Alvarez and Glasgow, Do Voters Learn from Presidential Election?, 1997). Dari sketsa itu tampak, elite amat berkepentingan memelihara memori pendek rakyatnya. Apalagi dalam masyarakat Indonesia yang permisif, mudah memaafkan. Melalui permainan isu dan pengendalian informasi, rakyat bisa dibuat bingung bahkan frustrasi oleh elite yang mereka pilih. Republik tengkulak Kini muncul indikasi, rakyat sadar, salah memilih orang-orang yang mengagungkan logika tengkulak. Bagi mereka, nasib rakyat identik komoditas dagang dan peluang berbisnis yang harus dimanfaatkan. Simak heboh kasus impor beras. Mengapa impor beras dilakukan saat terjadi surplus di Tanah Air? Ternyata harga beras di Vietnam lebih murah daripada produksi petani kita. Masuk akal. Selain membeli "beras surplus", biaya produksi petani kita sudah dinaikkan pemerintah melalui penetapan harga pupuk yang tinggi. Di sini ada yang ganjil. Catatan Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), harga beras Vietnam 247 dollar AS per ton, dibeli Pemerintah Indonesia 268 dollar AS per ton. Jadi, ada indikasi mark up 21 dollar AS per ton. Tengkulak segera mencium dua keuntungan, selisih harga dan kenaikan harga beras yang tajam akhir-akhir ini. Buktinya, beras Vietnam sudah disalurkan untuk menjaga stabilitas harga meski harga beras terus merambat naik. Itulah taktik tengkulak, "melenyapkan" barang agar harga naik, lalu sedikit demi sedikit barang dikeluarkan lagi dengan harga tinggi? Pelayanan publik dibuat jelek, memberi pesan agar harga dinaikkan. Setelah naik, pelayanan tetap jelek. Selayaknya DPR meneliti melalui hak angket. Sidang pertama, 17 Januari 2006, pengusul hak angket menang (207 suara setuju berbanding 167 menolak). Pada sidang kedua, 24 Januari 2006, yang menolak hak angket menang (184 suara menolak berbanding 151 setuju). Ini tidak lepas dari keberhasilan gerilya pemerintah memecah suara wakil rakyat dengan mengusulkan solusi hak interpelasi. Ada apa? Tengkulak melihat kesulitan pendanaan partai politik sebagai bisnis. Cara berpolitik devide et impera ada di sini. Bukan saja terhadap kekompakan kerja anggota DPR, juga antara wakil rakyat dan rakyat, bahkan di antara rakyat sendiri. Kasus SUTET bisa menjadi contoh. Siapa pun tahu hidup di bawah radiasi listrik adalah berbahaya. Pemerintah membalas dengan iklan layanan masyarakat, hidup di bawah SUTET aman. Cara ini sama seperti pemerintah memobilisasi tokoh masyarakat-dari ilmuwan sampai rohaniwan-guna mendukung kenaikan harga BBM Oktober 2005. Terbukti para tokoh sadar, terperangkap logika tengkulak dan memunculkan prahara. Permainan politik yang dikembangkan para tengkulak kini kian mencemaskan. Penyesatan informasi dilakukan. Para wakil rakyat diajak berunding saat kapal-kapal pembawa beras dari Vietnam sudah menuju ke Indonesia. Jajaran pemerintahan pun terkena imbasnya. Beras impor menohok gubernur dan bupati yang saat pilkada berjanji melindungi dan meningkatkan pendapatan petani. Mereka punya kewajiban moral menolak beras impor. Para politikus tengkulak sama sekali tidak sensitif dengan situasi kemasyarakatan yang berkembang. Sejarah Gerakan Politik mencatat, prahara akan meledak apabila kebijakan tidak populer yang diambil pemerintah menyentuh tiga segmen masyarakat: buruh, tani, dan nelayan. Bagaimana dengan kekompakan pemerintah? Rapuh. Buktinya Presiden memanggil pimpinan partai, menuntut loyalitas mereka. Selain itu, setelah Presiden berusaha habis-habisan menghadang hak angket dan berhasil, muncul pernyataan Wakil Presiden saat di Tokyo: "Interpelasi atau angket tidak ada masalah. Itu bagian proses demokrasi. Bagi saya, kalaupun ada angket atau interpelasi, itu biasa." Jadi untuk apa ngotot habis-habisan? Riswandha Imawan Guru Besar Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta [Non-text portions of this message have been removed] *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://groups.yahoo.com/group/ppiindia *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx 5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx 6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/ ** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List ** ** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: ** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ ** ** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral scholarship, kunjungi http://informasi-beasiswa.blogspot.com **