** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List ** ** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: ** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ ** ** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral scholarship, kunjungi http://informasi-beasiswa.blogspot.com **http://www.suarapembaruan.com/News/2006/02/09/index.html SUARA PEMBARUAN DAILY "Playboy" Bukan Sekadar Erotisme T Yulianti MASYARAKAT dihebohkan dengan akan terbitnya Majalah Playboy edisi Indonesia mulai bulan Maret nanti. Lebih dari 50 ormas Islam dan LSM secara resmi menolak peredaran majalah berbau porno itu di Tanah Air. Namun, tidak sedikit pula orang yang diam-diam menyambutnya dengan suka cita. Selamat datang pornografi, seksualisasi, dan konsumerisme! Playboy telah berperan sangat penting dalam membawa pornografi ke luar dari kamar tidur dan memasuki ruang publik secara terbuka. Lebih dari itu, Playboy telah membuka jalan bagi industri pornografi yang omsetnya sekarang ini mencapai US$ 10 triliun. Sejak didirikan bulan Oktober 1953 oleh Hugh Hefner, konsep awal Majalah Playboy memang bukan sekadar membuat pria ejakulasi, melainkan juga mendorong berkembangnya seksualisasi dan konsumerisme. Majalah Playboy sedari awal memang telah diarahkan --meminjam istilah Gail Dines-- untuk "selling consumerism, selling women". Jelas, Playboy bukan majalah keluarga. Ia majalah kaum pria yang gandrung pada wanita-wanita seperti Hefner sendiri. Makanya dinamakan Playboy. Jika terbit di Medan dan berbahasa Batak, majalah itu mungkin dinamakan "Si Doli Par-jalang". Dari namanya saja, penerbitannya di Tanah Air sudah mengundang masalah. Se- orang wakil rakyat di DPR yang dengan keras menolak penerbitan Playboy edisi Indonesia, misalnya, mengatakan, "Kalau memang baik, tentu namanya bukan Playboy. Tapi Goodboy". Terlepas dari penolakan tersebut, pihak pemegang lisensi Playboy di Indonesia akan tetap menerbitkan majalah itu dengan "mengedepankan artikel" dan bukan mengeksploitasi "explicit picture and nudity". Bagi yang belum mengenal sejarah dan jatidiri Playboy, tentu penjelasan itu bisa meredam panas hati pihak-pihak yang menolak peredaran majalah itu di Indonesia. Tapi, orang yang mengenal siapa Hugh Hefner akan mengatakan bahwa justru konsep tidak secara vulgar menampilkan ketelanjangan itulah yang menjadi ciri khusus majalah Playboy. Dalam terminologi populer, Playboy (dan juga Penthouse) sering diacu kepada "soft-core" pornografi, sementara majalah semacam Hustler dan Tit Torture diacu kepada "hard-core". Bedanya, hard-core pornografi menampilkan wanita sebagai komoditi seks dan ditampilkan secara telanjang dengan memperlihatkan alat-alat genitalnya, sedangkan soft-core pornografi menawarkan lifestyle yang menca- kup komersialisasi produk- produk gaya hidup. Pornografi Baik Playboy maupun Hustler tetap dikategorikan pornografi, karena sama- sama menyajikan erotisme yang bertujuan untuk memfasilitasi kaum pria ereksi dan bermasturbasi. Yang membedakan adalah Majalah Playboy memiliki tempat khusus di dunia ekonomi dan industri penerbitan, sedangkan Hustler melulu menjual erotisme. Playboy dan Penthouse, dua majalah gaya hidup pornografi tertua dan tersukses, bukan hanya menyajikan gambar wanita-wanita molek berpose seksi, melainkan juga menyediakan tulisan mengenai produk-produk konsumsi mutakhir, kolom nasehat seksual, cerita pendek dari penulis terkemuka, wawancara dengan selebritis, ulasan film-film baru, kartun seronok, dan surat pembaca. Saat perusahaan-perusahaan menghindarkan diri untuk memasang iklan di Hustler atau Tit Torture, halaman-halaman Playboy dan Penthouse dipenuhi iklan-iklan dari perusahaan terkemuka seperti Benson & Hedges, Mercedes, Sony, dan Bugle Boy. Majalah hard-core tidak memuat tulisan bagaimana Presiden Jimmy Carter bicara tentang fantasi seksualnya seperti di Playboy atau Ratu Anne dari Keluarga Kerajaan Inggris meresmikan pembukaan kantor perwakilan Penthouse di London. Penerimaan (tokoh) publik semacam Presiden Carter dan Ratu Anne terhadap Playboy dan Penthouse sering digembar-gemborkan dan dikesankan bahwa majalah-majalah itu memiliki "cita rasa" atau "bukanlah pornografi yang sesungguhnya". Tapi, pemberian kesan itu sangat bias kasta sosial. Seolah-olah pornografi yang sesungguhnya adalah yang diproduksi secara murah meriah, yang menampilkan gambar wanita seronok dengan latar belakang seadanya, seperti sofa butut, kamar motel murah, atau aksesoris ala kadarnya. Sedangkan gambar-gambar wanita di Playboy adalah yang berkasta tinggi (high-class) dengan latar belakang glamour, pernik-pernik mewah, dan kualitas nomor satu. Model Playboy selalu diambil gambarnya di ruang yang wah, pantai yang indah dan furnitur yang mahal. Konsep ini, menurut pengamatan Gail Dines dalam "Playboy Magazine and the Sexualization of Consumerism", bukanlah suatu kebetulan. Hugh Hefner, pemilik dan pendiri Playboy, merancangnya demikian. Semuanya diarahkan untuk kepuasan pembaca kalangan menengah atas. Kualitas Nomor Satu Semua produk yang ada di Playboy (juga Penthouse) diproduksi dalam kualitas tinggi, seperti cerita pendek yang ditulis cerpenis kondang, wawancara dengan tokoh terkenal, mobil mewah keluaran terbaru, alkohol yang membuai, pakaian dalam yang seksi, makanan yang merangsang kejantanan, dan tentu saja wanita-wanita bahenol yang jadi modelnya. Semuanya kualitas nomor satu. Begitulah cara Hugh Hefner memasarkan majalahnya dan dia meraih sukses luar biasa. Sejak awal, Hefner sudah jelas siapa target audiensnya. Ia menulis dalam Playboy edisi perdananya di bulan Oktober 1953 bahwa: "Jika Anda pria berusia antara 18 sampai 80, Playboy adalah untuk Anda" Hefner menyatakan pihaknya ingin membuat kejelasan sejak awal bahwa Playboy bukanlah majalah keluarga. "Di halaman-halaman Playboy, Anda akan menemukan artikel, cerita fiksi, gambar-gambar, humor, kartun... yang dimaksudkan untuk memberi kenikmatan bagi cita rasa kelaki-lakian". Strategi Hefner yang menawarkan gaya hidup, lebih dari sekadar membuat pria ejakulasi, ternyata menarik perhatian bukan saja para pembaca tapi juga pemasang iklan. Terbitan perdana terjual 53.991 eksemplar. Setahun kemudian sudah naik menjadi 175.000 eksemplar. Se- karang ini setiap bulannya Playboy menjual lebih dari 7.000.000 eksemplar. Jika penerbit Playboy edisi Indonesia berani mengeluarkan kocek lebih dari Rp1 miliar hanya untuk mendapatkan lisensi, berarti dari kalkulasi bisnis, peredaran majalah itu di Tanah Air akan sangat menguntungkan. Masalahnya, apakah Hugh Hefner juga bisa berjaya di negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia? Waktu akan membuktikan. * Penulis adalah pemerhati masalah internasional Last modified: 9/2/06 [Non-text portions of this message have been removed] *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://groups.yahoo.com/group/ppiindia *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx 5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx 6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/ ** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List ** ** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: ** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ ** ** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral scholarship, kunjungi http://informasi-beasiswa.blogspot.com **