** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List ** ** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: ** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ ** ** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral scholarship, kunjungi http://informasi-beasiswa.blogspot.com **SOLO POS Edisi : Senin, 27 Februari 2006 , Hal.4 Negeri ini perlu pemimpin yang punya empati... Rasanya, kita belum bisa bernafas lega akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang mencapai 80% Oktober silam. Betapa banyak di antara kita masih terengah-engah, sulit bernafas untuk mensinkronkan pendapatan dengan kebutuhan hidup sehari-hari yang terus melambung. Ketika kesulitan demi kesulitan masih mendera, di akhir bulan Februari ini para pemimpin negeri ini kembali menyulut sinyal-sinyal kekhawatiran masyarakat dengan rencana menaikkan tarif dasar listrik (TDL). Menteri Perindustrian Fahmi Idris, akhir pekan lalu bahkan telah menegaskan bahwa kenaikan TDL diperkirakan akan diberlakukan pada Mei atau Juni 2006. Inilah yang mengkhawatirkan banyak kalangan pengusaha, termasuk masyarakat kebanyakan. Listrik adalah salah satu komponen penting dalam kehidupan sehari-hari, seperti halnya BBM. Ketika harga komoditas itu dinaikkan, maka efek domino yang akan diakibatkan sudah dapat dipastikan bakal segera terjadi. Rakyat bawah, kaum dhuafa adalah korban pertama yang bakal merasakan betapa pahitnya menjalani kehidupan. Yang sering kali tidak bisa mereka terima atas kebijakan itu adalah, sikap masa bodoh, cara mengambil jalan pintas atau tak dimilikinya rasa empati para pemimpin kita atas kondisi ekonomi yang sedang kita hadapi sekarang ini. Malah ada yang bilang, di antara sekian banyak pemimpin kita sekarang ini begitu lahir telah kaya raya. Akibatnya, ketika memimpin mereka tak pernah merasakan hidup susah. Yang terjadi, kini pemimpin itu hanya bisa maido jika ada rakyat atau bahkan pengusaha yang mengeluh akibat kebijakan mereka yang nyata-nyata memiliki multiefek luar biasa terhadap perekonomian dan kehidupan masyarakat itu. Belum lagi ekonomi biaya tinggi akibat bergam pungutan tak resmi, atau dana-dana siluman yang hingga kini masih banyak dipraktekkan para aparat dan birokrat. Dua pekan lalu, misalnya, saya bertemu kawan semasa kuliah. Dia kini telah menjadi seorang pemimpin sebuah perusahaan multinasional yang bergerak di bidang pembiayaan atau istilah populernya leasing. Penampilannya tentu saja sangat jauh beda dibanding tatkala dia masih menuntut ilmu di Solo dengan dana yang pas-pasan setiap bulan, duapuluh satu tahun silam. Kini kawan saya itu sudah menjadi orang yang berhasil. Setidaknya, jika dilihat secara kasat mata. Wajahnya bersih, terawatt. Bajunya bermerk. Kendaraan pribadinya Mercy Tiger, meskipun bukan keluaran terbaru. Singkat kata, dia tampak sudah mapan dan sejahtera tak kurang suatu apa. "Sapa ngomong. Aku lagi posing mikirna gawean iki rek..." kata kawan saya itu bersungut-sungut dengan logat khas jawatimuran, ketika apa yang saya lihat atas keberhasilannya itu saya sampaikan. Dia kemudian bertutur, betapa saat ini dirinya sedang begitu banyak berurusan dengan aparat negeri ini karena bisnis yang dia geluti. Persoalannya bukan karena melakukan kesalahan-kesalahan prosedur ketika bertransaksi, namun katanya lebih karena tersandung permasalahan yang biasa terjadi dalam dunia bisnis. Misalnya, ada sejumlah nasabah yang mengalihkan kredit mereka kepada orang lain. Celakanya, orang yang mengambil alih kendaraan yang dibeli secara kredit itu adalah aparat negara. Sialnya lagi, mereka mati-matian tak bersedia menyerahkan kendaraan yang katanya sudah dia beli secara resmi itu. Sekalipun sesungguhnya pembelian itu ternyata dengan harga murah. Karena itulah, kawan saya tadi mengaku bingung ketika harus menarik kendaraan milik perusahaannya. Dia harus begitu banyak berhadapan dengan aparat hukum yang kemudian bermain-main dengan hukum. "Tak ada cara lain selain saya harus mengeluarkan begitu banyak uang siluman," keluh kawan tadi. Makanya, dia juga tidak heran kalau banyak pengusaha yang hingga sekarang tetap berkeras bahwa ekonomi biaya tinggi tetap ada karena banyaknya "uang siluman" yang harus disispkan kepada para aparat. Kawan saya tadi juga mengaku tak kuasa mengelak, apalagi menentang praktik pungutan liar seperti itu. "Risikonya jauh lebih besar. Bisa-bisa bisnis saya tak jalan, kalau saya menentang arus," katanya. Itulah mengapa, dia sangat tidak heran jika kemudian berani menyebut bahwa "Negeri ini banyak dihuni pemimpin yang tak punya nurani dan tak memiliki rasa empati. Kalau begini terus, kita rasanya tak akan pernah keluar dari krisis multidimensi," katanya. Benar kata kawan saya yang lain, bahwa negeri ini memang tetap membutuhkan pemimpin-pemimpin yang mumpuni. Seperti kata Peter F Drucker, seorang pakar serta praktisi manajemen modern bahwa semua pemimpin efektif yang dia jumpai, baik yang bekerja sama dengan dia maupun yang semata-mata dia amati, mengetahui empat hal sederhana: Pertama, seorang pemimpin adalah seseorang yang memiliki pengikut. Sebagian orang adalah pemikir. Sebagian lain adalah nabi. Kedua peran itu penting. Namun, tanpa pengikut, tidak ada pemimpin. Kedua, seorang pemimpin yang efektif bukanlah seseorang yang disukai atau dikagumi. Ia adalah seseorang yang pengikutnya melakukan hal yang tepat. Kepopuleran bukanlah kepemimpinan. Hasil adalah kepemimpinan itu sendiri. Ketiga, pemimpin sangat terlihat jelas. Oleh karena itu, mereka memberikan teladan. Sedang keempat, kepemimpinan bukanlah masalah peringkat, hak istimewa, gelar, atau uang. Kepemimpinan adalah tanggung jawab. Dan negeri ini membutuhkan pemimpin yang seperti ini... - Mulyanto Utomo, Wartawan Harian SOLOPOS [Non-text portions of this message have been removed] *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://groups.yahoo.com/group/ppiindia *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx 5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx 6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/ ** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List ** ** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: ** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ ** ** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral scholarship, kunjungi http://informasi-beasiswa.blogspot.com **