[nasional_list] [ppiindia] Mengenang Gandhi: Gerakan Pantang Kekerasan Itu Masih Relevan

  • From: "Ambon" <sea@xxxxxxxxxx>
  • To: <"Undisclosed-Recipient:;"@freelists.org>
  • Date: Mon, 13 Feb 2006 11:10:41 +0100

** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com 
**http://www.indomedia.com/bpost/022006/13/opini/opini1.htm

Mengenang Gandhi: Gerakan Pantang Kekerasan Itu Masih Relevan

Oleh : RE Nadalsyah 



Pada 30 Januari 1948, Mahatma Gandhi tewas di tangan pembunuh fanatik beragama 
Hindu. Bagi generasi yang hidup di masa perjuangan, nama Gandhi --pahlawan 
kemerdekaan India itu-- cukup akrab di telinga. Founding fathers seperti Bung 
Karno, Bung Hatta, Syahrir dan H Agus Salim sering menyitir ucapannya untuk 
dijadikan inspirasi perjuangan.

Di India sendiri, Gandhi identik sebagai simbol perjuangan melawan penjajah 
Inggris. Dengan falsafah perjuangan yang dinamakan Ahima (perjuangan pantang 
kekerasan) dan satyagraha (perjuangan tanpa menggunakan kekuasaan), Gandhi 
membakar semangat juang rakyatnya sehingga India berhasil bangkit sebagai 
sebuah negara merdeka.

Gandhi adalah penggagas Konferensi Asia Tenggara yang pertama di New Delhi, 
juga dihadiri Indonesia yang dipimpin Sutan Syahrir. Pidato Syahrir yang sangat 
menggugah, mendorong PM Nehru mengundang Wakil Presiden Muhammad Hatta 
berkunjung ke India untuk mengetahui lebih dekat situasi Indonesia. Bung Hatta 
berhasil diberangkatkan lewat penerbangan rahasia menembus blokkade Belanda, 
dengan pesawat yang dipiloti Biju Patnaik dan istrinya sebagai co-pilot. Di 
India (New Delhi) beliau bertemu Nehru dan Gandhi, pada bulan Mei 1947. Hasil 
pertemuan itu lebih mengenalkan dunia dengan perjuangan bangsa Indonesia untuk 
merdeka, sehingga masalah Indonesia pun dibicarakan di PBB, sekaligus 
mempermalukan Belanda.

Gandhi Dan Relevansi

Sehari-hari sosok mungil bertubuh kecil, berkacamata dengan sandal lusuh dan 
suka berpakaian putih kasar hasil pintalan tangannya, dikenal sebagai 
inspirator perjuangan kemerdekaan India. Kendati teramat sederhana dibandingkan 
Nehru misalnya, namun sorot matanya memancarkan keyakinan yang kuat terhadap 
kebenaran perjuangannya. Suaranya tidak mengguntur nyaring seperti Bung Karno 
atau Bung Tomo saat berorasi. Namun di balik suara lembut itu, mengalir kalimat 
yang mampu menyihir jutaan rakyat India untuk bangkit melawan Inggris.

Bagi dunia, Gandhi bukan hanya simbol tapi juga seorang pejuang. Suaranya bukan 
lagi Asia yang lapar, yang terjerembab di jalan berderu, tapi Asia yang bangkit 
dan bergolak menegakkan martabatnya yang terinjak-injak oleh Barat yang rakus. 
Doktrin hasil karyanya Ahimsa dan Satyagraha, adalah dua kata kembar sarat 
makna yang melandasi perjuangan politiknya melawan pendudukan. Dengan doktrin 
itulah ia mengangkat India sebagai suatu dharma, menurut keyakinan yang 
dipeluknya. Lebih dari kearifan ritus sakral di kuil, Gandhi menemukan India 
ketika ia menemukan jatidirinya sendiri.

Memahami kehidupan politik Gandhi, hendaknya dimulai dari pemahaman yang tepat 
terhadap doktrin tersebut yang sejatinya hasil pembelajaran tradisi universal 
nilai humanisme spiritual Timur yang juga ditemukan di Barat. Gandhi sebagai 
hasil didikan Barat yang dulu berdasi, berpantolan dan sepatu mengkilat dari 
kasta Brahmana, mengidentifikasikan dirinya dengan massa rakyat yang kelaparan 
terutama kasta terendah Hariyan yang terbuang. Peradaban Barat yang unggul, 
menurut Gandhi, gagal memberikan pengayoman kepada rakyat jajahannya. Ia makin 
memaknai perjuangannya setelah perkenalannya dengan pengarang Leo Tolstoy dan 
Thoreu, dan menemukan jatidiri lewat tradisinya sendiri.

Agama dan humanisme spiritual membuka mata batinnya terhadap makna cinta kasih 
dan kearifan yang diekspresikannya lewat simbol perjuangan dan falsapah 
bangsanya. Diakuinya, manusia tak mungkin dipisahkan dari nilai esensial entah 
berupa agama, etika, spiritualitas, asketis dan filosofi, demi memperkaya 
kebermaknaan diri dari proses degradasi. Karena itu, menurut Gandhi: "Selama 
masih ada keinginan mempertahankan pedang, belumlah terdapat kebebasan 
sepenuhnya dari rasa takut." Tentang perang: "Apa bedanya bagi yang sudah 
meninggal, yatim piatu dan yang kehilangan rumah, apakah kehancuran itu dibuat 
di bawah nama totaliterisme, atau kata suci kebebasan atau demokrasi?"

Jikalau pendangan itu dikaitkan dengan berbagai peristiwa di tanah air saat 
ini, terasa sekali relevansinya. Bangsa ini perlu mengendalikan diri, agar 
tidak terjerumus menggunakan 'pedang' atau tindakan anarki setiap kali 
mengatasi permasalahan yang dihadapinya. Sebab pedang, teror atau kekerasan, 
selalu menuai munculnya kekerasan baru yang terus menerus berakumulasi tidak 
habis-habisnya. Setelah Indonesia merdeka, sikap pantang kekerasan itu menjadi 
barang luks yang langka. Benar ungkapan, masyarakat yang hidup diselimuti 
kerakusan dan ketakutan serta menggunakan cara teror yang sistematis mengatasi 
masalahnya, selalu cenderung berada dalam situasi kacau balau dan 
ketidakpastian.

Bila ditelisik ke belakang, fenomena kekerasan itu selalu membayangi. Munculnya 
penjajahan Barat, Jepang, berlanjut kehadiran sekutu dengan dalih melucuti 
senjata Jepang, selalu mempertontonkan kekerasan. Puncaknya, perjuangan 
kemerdekaan yang dilukiskan penuh kekejaman, kesengsaraan dan air mata. 
Renungkanlah ucapan Gandhi ketika sekutu menghentikan perlawanan militerisme 
Jepang: "Sejauh penglihatanku, bom atom telah membunuh perasaan terhalus yang 
berabad-abad lamanya menopang umat manusia. Kupandang penggunaan bom atom untuk 
penghancurkan besar-besaran terhadap laki-laki, perempuan dan anak-anak sebagai 
penerapan biadab dari ilmu pengetahuan. Bom atom telah membawa kemenangan hampa 
ke tangan sekutu ...."

Jejak kekerasan terus berlanjut. Setelah tumbangnya Hitler, Mussolini, Stalin, 
dan jatuhnya rezim militer-fasis Jepang, rasa aman yang didambakan itu belum 
juga menjadi kenyataan. Sebaliknya, hasil teknologi menjadi alat pembunuh yang 
paling ampuh untuk menghancurkan negara yang dipandang tidak sejalan dengan 
kepentingan negara besar seperti kini dialami Afganistan, Palestina dan Irak.

Pada awal kelahirannya, perilaku manusia memang tak berbeda dengan hewan buas. 
Tepat sekali ucapan Thomas Hobbes, Homo Humini Lupus, mereka saling memangsa 
dan kekejamannya bisa melebihi binatang buas sekalipun. Ironisnya, kekejaman 
itu sering bersembunyi di balik kampanye memberantas terorisme, radikalisme dan 
fundamentalisme, memanipulasi serta menggeneralisasinya terhadap agama tertentu 
dengan cara halus maupun kasar.

Karena itu, sikap atau gerakan pantang-kekerasan itu terasa sekali 
relevansinya. Dan, makin relevan dalam dunia yang bergerak pesat serta menuntut 
terbentuknya tatanilai baru bagi umat manusia. Tuntutan itu makin kencang 
seiring makin meningkatnya kadar kemanusiawian itu. Misalnya menghentikan 
kekerasan dalam mengatasi masalah kesenjangan sosial, penertiban PKL, rumah 
liar dan pemberantasan kriminal. Atau pun praktik monopoli kekuasaan di bidang 
ekonomi, politik dan lain-lain yang terjadi di sekitar kita, dan masyarakat 
Indonesia.

Kecenderungan kembali kepada agama dan spiritualitas, dan pikiran yang tertuang 
dalam penegakan HAM serta rakyat di negara negara berdaulat, gerakan pantang 
kekerasan dan antipenggunaan kekuatan itu perlu dihidupkan. Almarhum Munir 
mengingatkan, bila kekerasan dibiarkan dan telah menjadi keyakinan bahkan 
mungkin menjadi cara hidup, kekerasan akan menjadi ritus yang dianggap penting 
dan dibutuhkan. Akibatnya, semua proses ritualitas tersebut akan menimbulkan 
citra di kalangan rakyat bahwa kekerasan itu adalah alat penunduk paling 
efektif dan fungsional.

Kenyataan di sekitar hidup kita sendiri, bukankah menunjukkan kekerasan itu 
bukan saja datang dari kelompok masyarakat tapi juga dari pihak kekuasaan? 
Renungkanlah kata-kata Gandhi: "Demokrasi hanya dapat diselamatkan dengan 
pantang kekerasan, karena selama ditopang kekerasan tidak dapat menjamin 
kebutuhan atau melindungi kaum lemah."

Di lain bagian Gandhi berucap: "Jika kebebasan dan demokrasi benar-benar harus 
diselamatkan, hal itu hanya akan terjadi melalui perlawanan pantang kekerasan, 
yang tidak kalah berani dan tidak kalah gemilangnya dari perlawanan kekerasan."

* Wartawan tinggal di Banjarmasin


[Non-text portions of this message have been removed]



***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx
5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx
6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com **

Other related posts:

  • » [nasional_list] [ppiindia] Mengenang Gandhi: Gerakan Pantang Kekerasan Itu Masih Relevan