[nasional_list] [ppiindia] Kenaikan TDL, Ekonomi Biaya Tinggi

  • From: "Ambon" <sea@xxxxxxxxxx>
  • To: <"Undisclosed-Recipient:;"@freelists.org>
  • Date: Tue, 14 Feb 2006 23:05:28 +0100

** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com 
**http://www.pikiran-rakyat.co.id/cetak/2006/022006/15/0608.htm


Kenaikan TDL, Ekonomi Biaya Tinggi
Oleh H. SOEHARSONO SAGIR 


"EKONOMI biaya tinggi itu urusan pengusaha, tidak bisa dijadikan alasan untuk 
menolak kenaikan tarif dasar listrik (TDL)," demikian statemen Fahmi Idris, 
Menteri Perindustrian; seorang akuntan dan pengusaha, dan sebelumnya dua kali 
menjabat sebagai Menteri Tenaga Kerja RI. Apakah benar biaya tinggi bukan 
masalah yang terkait dengan pemerintah, tetapi sepenuhnya merupakan urusan 
pengusaha/dunia bisnis? Merupakan kajian yang kali ini ingin saya ajukan.

Ekonomi biaya tinggi (EBT)/high cost economy merupakan faktor penyebab internal 
maupun eksternal perusahaan (BUMN/PLN) maupun rumah tangga negara/pemerintah. 
Dampak EBT adalah rumah tangga perusahaan maupun rumah tangga negara tidak 
mampu bekerja secara efisien dan efektif. Banyak terjadi pemborosan dalam 
biaya/belanja, sehingga hasilnya tidak bernilai tambah maksimal/efektif.

Untuk perusahaan, faktor internal yang berdampak EBT, di antaranya adalah suku 
bunga tinggi yang harus dibayar karena kebijakan moneter yang ketat, untuk 
mengendalikan inflasi dengan suku bunga simpanan/deposito tinggi -- ditambah 
dengan besarnya biaya siluman/pungli untuk memperoleh kredit (moral hazard).

Selain itu, pelayanan pemerintah/prosedur perizinan penuh dengan biaya 
siluman/pungli; beban pajak yang tidak profesional, proporsional, progresif 
(pungutan liar bagi wajib pajak, baik PPh maupun PPN); kaitan antarkegiatan 
usaha lemah, besar - menengah - kecil.

Budaya 7C tetap bercokol: Conglomeration, Concentration, Collusion, 
Conspiration, Conection, Cronism, dan Corruption. Selama budaya 7C tersebut 
masih ada di kalangan dunia usaha sebagai mitra pemerintah (fiskal) dan 
perbankan (lembaga intermediasi/moneter/BI), EBT masih tetap menjadi faktor 
internal penghambat pengembangan dunia usaha. 

EBT ini berdampak pada biaya produksi yang tinggi sehingga produk tidak 
memiliki unggulan daya saing (competitive advantage) terhadap produk impor 
(khususnya eks Cina RRC) apalagi di pasar luar negeri, kalah bersaing dengan 
produk India, Korea, bahkan Vietnam.

Faktor eksternal EBT terjadi karena lemahnya posisi tawar Indonesia di luar 
negeri -- salah satu negara berkembang yang mata uangnya terus- menerus naik -- 
turun, sejak krisis ekonomi 1997 cenderung melemah secara permanen, sekitar Rp 
9.000 - 10.000/1 USD; dunia bisnis kita sulit memperoleh fasilitas kredit bank 
luar negeri dengan tarif SIBOR/LIBOR - selalu di atas SIBOR/LIBOR 
(Singapore/London Bank Offered Rate) karena kondisi negara kita yang termasuk 
kelompok bad debt) nyaris tidak mampu membayar utang jatuh tempo). 

Dari kenyataan tersebut di atas, jelaslah kiranya bahwa EBT (pemborosan dan 
kebocoran) tidak hanya terjadi di dunia bisnis swasta, tetapi juga pada 
BUMN/PLN dan RTN/pemerintah. Suatu kebijakan yang fatal jika kenaikan TDL tidak 
didahului dengan upaya menekan EBT; karena subsidi yang diminta PLN merupakan 
sumber EBT (pemborosan) bagi RTN/APBN, belanja pemerintah.

**

Kenaikan TDL yang akan dilakukan pemerintah/PLN akan berdampak pada konsumen 
(RTK) produsen (RTP, barang, dan jasa), PLN dan pemerintah. Bagi konsumen 
(termasuk rumah sakit dan lembaga sosial/panti asuhan dll.) , jelas dampak 
kenaikan TDL akan mengurangi daya beli atau menaikkan beban biaya hidup. 
Konsumen terpaksa mengurangi konsumsi untuk belanja kebutuhan tertentu, demi 
memenuhi kewajiban membayar tarif listrik yang naik. 

Kenaikan TDL tidak menjadi masalah bagi konsumen berpenghasilan tinggi karena 
kualitas hidupnya tidak merosot akibat kenaikan TDL. Berbeda dengan kelompok 
masyarakat berpenghasilan tetap dan rendah, apalagi miskin (pensiunan, 
penganggur, terkena PHK) yang jumlahnya cukup besar jelas kenaikan TDL akan 
semakin menurunkan kualitas hidup mereka.

Dalam kehidupan konsumen, terjadi proses cross elasticity of demand (ced), 
setiap terjadi kenaikan harga/tarif barang/jasa; dampaknya akan terjadi proses 
substitusi, konsumsi listrik berkurang diganti dengan pemakaian minyak tanah 
(untuk penerangan) dan akan berdampak terjadinya kenaikan harga minyak tanah 
(karena naiknya permintaan). 

Atau dapat terjadi kenaikan harga beras (kualitas baik) - karena inflasi - 
berdampak kenaikan harga beras kualitas rendah atau pengganti beras (jagung, 
gaplek). Dari sinilah kita dapat mengambil kesimpulan bahwa kenaikan TDL 
dampaknya secara langsung akan terasa terutama bagi konsumen. Menurunnya 
kualitas hidup dampak menurunnya daya beli, terutama kelompok masyarakat 
berpenghasilan tetap dan rendah.

Bagi produsen, terutama industri barang dan jasa (anggota Kadin) yang menolak 
kenaikan TDL, jelas dampaknya akan terjadi pada peningkatan biaya produksi 
(cost) yang baru saja bertambah dampak kenaikan BBM (sumber energi untuk 
industri), kenaikan tarif transportasi yang belum kembali normal. 

Jadi jelaslah masalahnya bukan hanya berdampak EBT yang makin meningkat, bukan 
disebabkan oleh inefisiensi internal RTP (dunia usaha), tetapi dipicu oleh 
kebijakan pemerintah, dari kenaikan harga BBM dan TDL. Dengan kata lain, selama 
dampak kenaikan harga BBM belum teratasi, dampak EBT belum dipangkas (tidak 
efisiennya pelayanan pemerintah) dan pungutan liar dihapus, maka kenaikan TDL 
layak untuk ditolak.

Sebenarnya rencana kenaikan TDL yang dicanangkan sejak bulan September 2005, 
tidak dapat terlepas dari upaya pemerintah, agar dapat menekan belanja 
pengeluaran subsidi untuk PLN, tanpa melihat atau mengaudit, apakah PLN sebagai 
produsen energi listrik telah memenuhi standar efisiensi yang benar; tidak 
terjadi pemborosan dan kebocoran dalam biaya produksinya. 

Alasan menekan belanja rutin belanja subsidi untuk PLN khususnya, bagi 
pemerintah tidak dapat dipertanggungjawabkan, jika ternyata kenaikan TDL 
sebenarnya hanya membenarkan dan mendukung inefisiensi yang terjadi di PLN. 
Pemerintah mengorbankan kepentingan konsumen dan produsen yang jelas jauh lebih 
besar dilihat dari kepentingan pemerintah (masuknya pajak) daripada kepentingan 
PLN yang sekadar mengurangi beban belanja rutin dalam APBN.

**

Ekonomi biaya tinggi (EBT) selama ini merupakan sumber dari cost push 
inflation; karena kenaikan biaya produksi, harga jual produk akan meningkat. 
Kenaikan harga BBM dan TDL akan berdampak kenaikan biaya produksi, hingga harga 
jual produk lebih mahal dan akhirnya tidak terjual karena kalah bersaing dengan 
produk impor dan tidak mungkin menjadi andalan produk ekspor, karena tidak lagi 
memiliki unggulan daya saing.

Selain kenaikan harga BBM dan TDL, cost push inflation dapat terjadi jika 
tingkat suku bunga kredit perbankan tidak dapat ditekan di bawah dua digit/per 
tahun. Karena inefisiensi ekonomi Indonesia secara makro (EBT), dampaknya jelas 
terjadi cost of money tinggi (biaya menarik dana masyarakat, simpanan/deposito 
tinggi) dan berakhir dengan makin tingginya EBT. 

EBT dan inflasi (cost push inflation) sebenarnya sudah menjadi penyakit ekonomi 
kita selama hampir empat dasawarsa, yang tidak pernah terselesaikan konsisten 
dan tuntas. Kuncinya adalah bagaimana kita bekerja efisien, efektif dan mampu 
menghapus ekonomi biaya tinggi (EBT).

Dari apa yang telah dikaji di atas, sebagai catatan akhir dapat disimpulkan 
bahwa ekonomi biaya tinggi, merupakan sebab bukan akibat dari rencana kenaikan 
tarif dasar listrik (TDL). Ekonomi biaya tinggi, bukan hanya urusan/kesalahan 
pengusaha, tetapi juga kesalahan pemerintah yang tidak melaksanakan prinsip 
good governance;

Selain itu kemerosotan tenaga beli masyarakat, tidak hanya akibat kenaikan BBM 
dan TDL yang diprakarsai pemerintah dan ini akan terus berlangsung selama EBT 
tidak terpangkas habis. Pemerintah diharap tidak menaikkan TDL, sebelum 
mengaudit PLN. Cost push inflation yang menurunkan kualitas hidup masyarakat, 
akan dapat ditekan atau dikurangi jika ekonomi kita mampu mengatasi EBT.***

 -Penulis, pengamat ekonomi senior.


[Non-text portions of this message have been removed]



***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx
5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx
6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com **

Other related posts:

  • » [nasional_list] [ppiindia] Kenaikan TDL, Ekonomi Biaya Tinggi