[nasional_list] [ppiindia] Resistensi Utang LN dalam APBN 2006

  • From: "Ambon" <sea@xxxxxxxxxx>
  • To: <"Undisclosed-Recipient:;"@freelists.org>
  • Date: Tue, 14 Feb 2006 23:01:08 +0100

** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com 
**http://www.pikiran-rakyat.co.id/cetak/2006/022006/15/0902.htm


Resistensi Utang LN dalam APBN 2006
Oleh H. EDDY JUSUF  


Tahun 2006 merupakan babak baru bagi perekonomian Indonesia. Di balik optimisme 
pemerintah menyongsong kondisi ekonomi yang lebih prospektif pada 2006, sektor 
riil dan moneter masih saja harus bekerja ekstra ketat untuk mewujudkan impian 
pemerintah tersebut. Sementara itu, bayangan resistensi inflasi dan suku bunga 
yang tinggi akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) masih menghantui.  

Persoalan lain yakni masih tingginya utang kita yang mengimpit bangsa ini. 
Bayangkan, utang saat ini mencapai USD 130 miliar atau lebih dari Rp 1.200 
triliun. Ini belum termasuk utang dari IMF, yang telah jatuh tempo pembayaran, 
sehingga peluang fiskal yang ekspansif sulit diharapkan.

Sejarah utang pemerintah sebenarnya tidak dapat dipisahkan dari krisis ekonomi 
1997-1998. Pemerintah yang semula tidak bermasalah dengan utang tiba-tiba 
menjadi pengutang raksasa karena mengambil alih utang konglomerat dan perbankan 
sebesar Rp 700 triliun. Warisan utang karena kebijakan di masa lalu tidaklah 
mudah untuk segera dibersihkan. Penyalahgunaan kebijakan ketika itu pun tidak 
jelas proses hukumnya, bahkan hingga kini. Kondisi itulah yang membuat APBN 
kemudian cenderung menjadi tidak ekspansif, bahkan sangat konservatif dan 
berhati-hati dalam beberapa tahun terakhir.

Hal utama yang menjadi perhatian pemerintah dalam mengelola utangnya adalah 
menjamin terpenuhinya financing gap dan ketahanan fiskal yang berkesinambungan 
(fiscal sustainability) secara efisien, meningkatkan manajemen risiko utang, 
dan meningkatkan efektivitas perencanaan utang. 

Dari konsidi di atas ada dua catatan yang perlu menjadi perhatian kita, yakni 
pertama, jumlah utang pemerintah pada awal 2005 yang setara dengan 52 persen 
Produk Domestik Bruto (PDB) masih dianggap terlalu besar oleh pemerintah. 
Dengan demikian, debt sustainability, pada 2009 ditargetkan rasio utang 
terhadap PDB tinggal 40 persen. Dalam UU No.17/2003 masih memperkenankan 
pemerintah memiliki utang hingga 60 persen PDB. 

Dalam praktiknya Uni Eropa juga mematok angka 60 persen. Oleh karena itu, dalam 
APBN pemerintah berusaha menekan besarnya defisit di bawah 1 persen dari PDB. 
Pemerintah berhak melakukan defisit hingga 3 persen dari PDB, tetapi pemerintah 
secara teguh memilih besarnya keseimbangan primer sekira 2 persen dari PDB 
--biarpun kondisi ekonomi memburuk-- dan memilih penarikan pinjaman netto 
kurang 1 persen dari PDB dengan jumlah rupiahnya menurun secara bertahap. 

Kedua, komposisi utang dalam mata uang asing dan domestik yang hampir seimbang, 
maka portofolio utang pemerintah menjadi sangat rentan terhadap risiko 
pembiayaan kembali (refinancing risk) akibat struktur utang jatuh tempo yang 
tidak seimbang maupun risiko pasar akibat perubahan suku bunga dan nilai tukar. 
Refinancing risk ini muncul akibat struktur jatuh tempo (pokok) surat utang 
negara yang terkonsentrasi pada 2006-2009. Rata-rata kewajiban utang pemerintah 
per tahun adalah Rp 85,9 triliun, yang terdiri dari pembayaran utang pokok 
sebesar Rp 34,1 triliun dan pembayaran bunga Rp 51,8 triliun. Untuk itu, 
berbagai upaya reprofiling utang yang dilakukan dimaksudkan untuk mengurangi 
beban pokok utang. 

Memang ada indikasi usaha pelunasan utang dilakukan lebih serius. Keluarnya 
Indonesia dari Paris Club menjadi poin positif keseriusan pemerintah untuk 
mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri (LN). Pemerintah juga berusaha 
mengurangi stok utang, yaitu dari 100% terhadap PDB (1998) menjadi 40% terhadap 
PDB (2005). Meskipun dalam kenyataannya dalam APBN 2006 dianggarkan utang 500 
juta dolar AS dari Bank Dunia. 

Beberapa pengamat menilai bahwa pemerintah terlalu sok gengsi untuk meminta 
pemotongan utang, sehingga utang menjadi dibutuhkan karena ketiadaan sumber 
pembiayaan lain. Pemerintah berargumen bahwa negara kita memang bukan dalam 
posisi layak untuk memperoleh pengampunan.

Indonesia bukan termasuk negara miskin di mana pendapatan per kapita telah 
mencapai kisaran 800 dolar AS pada 2004. Negara-negara yang memperoleh 
pengampunan utang tidak ada yang mencapai 500 dolar AS pendapatan per 
kapitanya. 

Walaupun demikian, bola tetaplah di tangan penguasa. Karena itu, pemerintah 
harus membuktikan komitmen akan adanya political will bagi penyelesaian tradisi 
utang ini, yakni utang-utang para pelaku koruptor harus benar-benar 
diselesaikan. Mereka, para penikmat utang-utang harus membayar apa yang telah 
diperoleh.

Kalaupun recovery rate dari jaminan yang mereka bayar rendah, harus ada 
kepastian hukum bahwa mereka dan keluarga tetap bertanggung jawab terhadap 
penyelesaian utang di kemudian hari, atau paling tidak di-blacklist dari dunia 
usaha. Kalau tidak, masyarakat tak akan pernah percaya dengan usaha pemerintah. 

Pada sisi lain, persoalan utang ini juga diperkeruh oleh kenaikan suku bunga 
dan kurs, hingga berdampak terhadap beban utang. Bila dihitung-hitung setiap 1 
persen kenaikan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) berjangka waktu tiga 
bulan akan menambah biaya utang dari obligasi variable rate sebesar Rp 2,09 
triliun dan meningkatkan yield dari obligasi fixed rate yang diterbitkan 
sebesar 1,038 persen. Sehingga dampak yang muncul biaya utang pada 2006 akan 
naik menjadi Rp 2,41 triliun untuk setiap persen dari kenaikan SBI, maka utang 
terus bertambah. 

Dari indikasi tersebut, kemungkinan pemerintah kita akan mengejar stabilitas 
ekonomi makro daripada pertumbuhan ekonomi dan pemerataan. Sebagaimana diakui 
Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Paskah Suzetta 
bahwa dalam perekonomian Indonesia saat ini, tidak adanya stimulus perekonomian 
dalam APBN. Menurut dia, dalam APBN hanya sekira 11,5 persen untuk membayar 
bunga utang, sedangkan anggaran untuk belanja modal yang mestinya bisa menjadi 
stimulus justru relatif kecil, yakni hanya 9,7 persen. (metro.tv, 27/1/06). 

Ketergantungan yang cukup besar pada bantuan dunia luar selama proses 
pembangunan ekonomi telah berlangsung lama dari era permerintahan Soeharto 
hingga sekarang. Tidak bisa dihindari bahwa ketidakcukupan dana yang berujung 
pada defisit anggaran menjadi salah satu faktor pemicu argumen pemerintah untuk 
kembali berutang kepada pihak luar negeri. 

Secara teoretis, ada tiga cara untuk mencari dana pembangunan. Pertama, 
mencetak uang melalui Bank Sentral. Kedua, lewat penjualan kepada luar negeri 
atas sumber daya yang dimiliki. Ketiga, berutang baik lewat penciptaan surat 
utang maupun meminta dalam bentuk likuid 

Faktor pertama sulit ditempuh tanpa pengontrolan yang ketat mengingat dampak 
inflasi yang mengancam. Di era Soekarno, inflasi pernah mencapai 600 persen 
lebih akibat pencetakan uang secara berlebihan untuk projek mercusuar, kala 
itu. Masalah kepercayaan, baik dari dalam dan apalagi dari luar negeri terhadap 
nilai tukar efektif yang seharusnya berlaku, juga akan muncul mengingat 
pemerintah akan berusaha menjaga stabilitas nilai tukar walaupun sebenarnya 
mungkin under valued atau sebaliknya. Karenanya, cara ini relatif dihindari 
negara kita.

Alternatif kedua, negara kita memang melakukannya mengingat karunia sumber alam 
yang begitu besar. Hasil tersebut kebanyakan dijual dalam bentuk raw material 
dan karena kurang memperhatikan rehabilitasi lebih lanjut atas hasil alam yang 
diambil, dampak kerusakan dan gangguan kondisi sosial menjadi harga mahal yang 
baru kita rasakan saat ini. Sehingga, sekarang ini yang dijual adalah aset 
BUMN, dan berbagai sektor publik yang sangat strategis. Yang jadi pertanyaan, 
kalau semua telah habis dijual, apalagi yang tersisa? 

Ketiga merupakan jalan termudah yang diambil oleh semua negara. Pembentukan 
hubungan internasional dan adanya posisi extradependent bagi pembangunan sebuah 
negara untuk mendukung integrasi ekonomi dunia membuat argumen utang luar 
negeri tidak bisa dielakkan.

Dari laporan Bank Dunia 2003 menyebutkan sejak akhir 1980-an, rasio total utang 
seluruh negara berkembang terhadap pendapatan nasional stabil di kisaran 100 
persen. Artinya, utang yang dibuat setara dengan pendapatan yang diperoleh. 
Sampai 2005, posisi utang Indonesia masih cukup tinggi lebih dari 40 persen 
PDB. Alhasil, skenario ketigalah yang menjadi sumber utama negara kita untuk 
mencari pemasukan dana. 

Dari fenomena ini, tentunya harus ada perubahan paradigma dan ideologi ekonomi 
dari para pemimpin kita. Harus ada keberanian pemerintah untuk memiliki arah 
ekonomi yang independen, tidak sekadar mengikuti arus kapitalisme, dan tidak 
ada istilah gengsi jika layak mendapatkan pengampunan utang.

Usaha untuk melepaskan dari jerat utang luar negeri memang harus dilakukan 
secara bertahap mengingat harus lebih dulu disiapkan fondasi ekonomi berupa 
alternatif pembiayaan yang bersifat jangka panjang. Yang jelas, hampir 40 puluh 
tahun ini hanya dapat dihentikan jika sistem ekonomi yang mendukung proses 
pengutangan tersebut direformasi. ***

Penulis, Pembantu Rektor I Unpas, Ketua Bidang Ekonomi Paguyuban Pasundan, dan 
Wakil Ketua LP3E Kadin Jabar.


[Non-text portions of this message have been removed]



***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx
5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx
6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com **

Other related posts:

  • » [nasional_list] [ppiindia] Resistensi Utang LN dalam APBN 2006