[nasional_list] [ppiindia] Jangan Ada Lagi Diskriminasi

  • From: "Ambon" <sea@xxxxxxxxxx>
  • To: <"Undisclosed-Recipient:;"@freelists.org>
  • Date: Fri, 24 Feb 2006 02:29:02 +0100

** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com 
**http://www.indopos.co.id/index.php?act=detail_c&id=213234

Jumat, 24 Feb 2006,


Jangan Ada Lagi Diskriminasi
Oleh Tomy Su *

Presiden Yudhoyono dalam sambutan Perayaan Tahun Baru Imlek Nasional 2557 di 
Jakarta Convention Center, Sabtu (4/2) menegaskan, bangsa Indonesia saat ini 
tidak ingin lagi bersikap diskriminatif. Khusus terkait status agama Konghucu, 
Presiden Yudhoyono kembali mengingatkan sesuai Penetapan Presiden No 1/1965 
yang diundangkan melalui UU No 5/1969, agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, 
Buddha, dan Konghucu merupakan agama yang dipeluk penduduk di Indonesia. 

Presiden kemudian menyatakan pada 24 Januari lalu, Depag telah melayani umat 
Konghucu sebagai penganut agama Konghucu. Demikian pula pelaksanaan pencatatan 
perkawinan di kantor catatan sipil berdasarkan UU No1/1974 tentang Perkawinan. 

Presiden meminta kantor catatan sipil di Indonesia mencatatkan perkawinan bagi 
pemeluk agama Konghucu seperti pencatatan perkawinan bagi penganut agama 
Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha. 

Terkait dengan ketentuan pasal 12 A UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan 
Nasional, ke depan Depag juga akan memfasilitasi penyediaan guru agama Konghucu 
untuk mengajarkan agama itu bagi murid sekolah yang menganutnya.

Tentu saja segenap warga Tionghoa, khususnya penganut Konghucu, menyambut 
gembira pernyataan presiden, seperti tampak pada cukup banyaknya iklan ucapan 
terima kasih dari tokoh-tokoh Konghucu kepada presiden di beberapa media 
nasional. 


Buah Cultural Genocide 

Seperti kita tahu akibat Gerakan 30 September 1965, penganut agama Konghucu 
selama 40 tahun lebih harus ikut menanggung diskriminasi sebagai buah kebijakan 
cultural genocide, yang justru dilakukan negara. Yang dimaksud cultural 
genocide -meminjam istilah Geoffrey Robertson- adalah by prohibiting the use of 
a group's language, rewriting or obliterating its history or destroying its 
icon (dengan melarang penggunaan bahasa dari suatu kelompok, mengubah atau 
menghancurkan sejarahnya atau menghancurkan simbol-simbol peradabannya).

Kebijakan cultural genocide itu juga banyak termanifestasi dalam produk-produk 
hukum yang diskriminatif dan itu masih terus diberlakukan hingga sekarang. 
Maka, Direktur Partnership H.S. Dillon dalam rapat dengar pendapat dengan 
Panitia Khusus (Pansus) RUU Antidiskriminasi Etnis dan Ras di gedung DPR, 
mendesak pansus mengkaji ulang semua peraturan perundang-undangan yang 
mengandung unsur-unsur diskriminasi, entah dengan menghapus, merevisi, atau 
meluruskannya. 

Usaha menghilangkan diskriminasi tidak dapat dilakukan secara parsial melalui 
sebuah UU jika dalam perundang-undangan lain telah ada unsur diskriminasi 
(9/2). 

Diskriminasi bagi yang menjadi korban memang terasa sangat pahit. Tidak heran 
walaupun Presiden SBY sudah mengungkapkan hal-hal yang memberi harapan, di 
lapangan mereka yang menjadi korban diskriminasi masih diliputi kekhawatiran 
dan pertanyaan benarkah yang disampaikan Presiden SBY di atas? 

Apalagi, antara retorika di atas dan realita pahit yang sering dialami warga di 
bawah jelas berbeda. Dalam bahasa Frans Hendrawinarta, memang sering ada gap 
antara The law in books dan the law in practice. Salah satu buktinya adalah 
kebijakan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI). Yang di atas 
menyatakan SBKRI dihapus, tapi di lapangan SBKRI masih diterapkan. 

Akibatnya, hingga kini masih ada ratusan ribu warga Tionghoa merasa stateless 
karena tidak bisa memiliki KTP yang salah satu syaratnya harus disertai SBKRI, 
seperti di Tangerang, Jakarta, Pangkal Pinang, Surabaya, Malang, dan sebagainya.

Apalagi dalam praktik, hingga sekarang cukup banyak penganut Konghucu yang jadi 
korban diskriminasi. Kawan dekat Gus Dur yang sekaligus tokoh Konghucu Bingky 
Irawan asal Surabaya dan para penganut agama Konghucu lain masih harus 
menuliskan agama lain di KTP-nya. 

Itu belum terhitung dengan ratusan ribu penganut agama Tao di negeri ini yang 
juga menuntut pengakuan serupa seperti umat Konghucu. Jadi, masih ada 
pertanyaan besar apakah sampai institusi paling bawah, pernyataan presiden 
tersebut benar-benar diaplikasikan? 

Apalagi, berdasarkan laporan International Religious Freedom Report 2005 yang 
diterbitkan The Bureau of Democracy, Human Rights and Labor of USA, sebuah 
lembaga kajian demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) terkemuka di Amerika 
Serikat, Indonesia termasuk salah satu negara yang sangat diskriminatif dan 
banyak mencampuri hak warganya untuk beribadah dan berkepercayaan.


Group Think

Dampak diskriminasi dari negara, ditambah pandangan minor etnis lain mendorong 
sebagian etnis Tionghoa membuat group think. Di dalam group think, mereka 
merasa nyaman, enak karena bergabung dengan kelompoknya sendiri. 

Sebaliknya, mereka merasa tidak nyaman atau tidak enak jika bergabung dengan 
kelompok lain. Tentu saja hal ini berdampak amat buruk karena justru gampang 
memicu rasialisme dan diskriminasi.

Ujung-ujungnya, orang yang merasa nyaman dalam group think ini akan cenderung 
punya mentalitas kami versus mereka dan menegasikan semua kelompok lain. 
Keberadaan kelompok semacam ini jelas sangat kontraproduktif bagi negeri kita.

Masih terjadinya group think atau kekhawatiran yang mempertanyakan pernyataan 
presiden sebenarnya dipicu oleh sikap pemerintah sendiri yang kurang 
menyosialisasikan secara komprehensif produk-produk hukum diskriminatif mana 
yang sudah dicabut dan mana yang belum. 

Soal SBKRI, misalnya, Surat Edaran Mendagri atau Surat Edaran Dirjen Imigrasi 
14 April 2004 sudah mencabutnya. Tetapi, oknum-oknum di Imigrasi justru masih 
sering meraup untung dari warga Tionghoa yang masih saja dimintai SBKRI. 

Jadi, jika pemerintah dan negara tidak ingin lagi diskriminatif, segala produk 
hukum atau praktik hidup bernegara dan berbangsa yang diskriminatif harus 
dihapus, diakhiri, dan disosialisasikan seluas-luasnya. Jangan ada lagi 
diskriminasi, bukan hanya terhadap etnis Tionghoa, tetapi terhadap semua etnis 
lain. 


* Tomy Su, koordinator Masyarakat Pelangi Pencinta Indonesia


[Non-text portions of this message have been removed]



***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx
5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx
6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com **

Other related posts:

  • » [nasional_list] [ppiindia] Jangan Ada Lagi Diskriminasi