** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List ** ** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: ** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ ** ** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral scholarship, kunjungi http://informasi-beasiswa.blogspot.com **http://www.pikiran-rakyat.co.id/cetak/2006/022006/28/0902.htm Freeport dan Gerakan Sosial Politik Oleh CECEP DARMAWAN KEMBALI, tanah Papua menunjukkan suhu politik yang menghangat. Kantor pusat PT Freeport Indonesia (PT FI) dilempari batu hingga kaca kantor PT FI berantakan. Sementara di Grasberg, massa pun memblokir jalan di daerah Tembagapura, sehingga menyebabkan operasi PT FI sontak berhenti sementara. Persoalan Freeport selalu saja mencuat di tengah-tengah tarikan berbagai kepentingan domestik dan internasional. Bak, membangunkan raksana yang sedang tidur, persoalan di tanah Papua ini akan menjadi perhatian dunia internasional. Mengapa isu Freeport selalu terkait dengan problema tanah Papua secara politik internasional? Dalam memahami isu politik dan gerakan sosial di Papua ini, kiranya dapat ditelaah dalam beberapa perspektif. Masalah Papua kembali menghangat, ketika pada tahun yang lalu tepatnya 14 Maret 2005 anggota Kongres Amerika Serikat membuat surat yang ditujukan kepada Menteri Luar Negeri AS dan Sekjen PBB. Isi surat tersebut mempersoalkan legalitas proses bergabungnya Papua ke dalam NKRI melalui Pepera pada 1969. Masalah ini bertambah rumit ketika Kongres AS membahas usulan RUU yang mempertanyakan kebijakan domestik pemerintah Indonesia terhadap Papua. Usulan RUU dalam Kongres AS tersebut sebenarnya hanya desakan dari dua orang anggota Kongres yaitu Donald M Payne (asal Newark, New Jersey) dan Eni FH Faleomafalega (Samoa Amerika). Dalam RUU tersebut ditegaskan, Menteri Luar Negeri AS diminta laporan mengenai kajian terhadap pelaksanaan Act of Free Choice (Pepera) pada 1969 dan penilaian implementasi otonomi khusus di Papua dalam waktu 180 hari setelah UU tersebut disahkan. Usaha penilaian kembali Pepera sebelumnya muncul dari Dewan Adat Papua yang meminta negara-negara Pasifik, Eropa, dan AS meninjau kembali Resolusi 2504 (XXIV). Tuntutan tersebut mendapat dukungan dari Bishop Desmond Tutu dan 175 anggota parlemen serta 80 LSM internasional pada tanggal 24 Februari 2004. Menurut versi pemerintah kita, keberadaan Papua sebagai bagian dari pemerintahan NKRI adalah sudah sah secara hukum sejak dikeluarkannya Resolusi MU-PBB No. 2504 (XXIV) tanggal 19 Nopember 1969. Dengan demikian kembalinya Papua (waktu itu, Irian Barat) ke NKRI sudah bersifat final dan sah secara hukum nasional maupun internasional. Namun, sayangnya masih terdapat sebagian rakyat Papua yang menginginkan pelurusan sejarah Pepera sebagai entry point untuk menuntut dilaksanakannya referendum. Mereka berasumsi bahwa perwakilan rakyat Irian Barat yang mengikuti Pepera tidak sah karena dianggap tidak merupakan cerminan representasi dari wakil-wakil rakyat Irian Barat secara keseluruhan pada waktu itu. Kelompok-kelompok tersebut kemudian mengadakan perlawanan (senjata dan politik-diplomatik) terhadap pemerintah Indonesia dan menghimpun diri dalam gerakan separatis Organisasi Papua Merdeka (OPM). Inilah yang menjadi batu sandungan secara domestik bagi pemerintah Indonesia. Selain masalah di atas, Papua dengan otonomi khususnya mengalami berbagai problema. Akar masalahnya adalah hilangnya kepercayaan (trust) masyarakat lokal terhadap pemerintah pusat dan elit lokal Papua. Di samping itu, dampak dari kebijakan pemerintah masa lalu yang kurang sensitif terhadap nilai budaya masyarakat lokal mengakibatkan masyarakat Papua merasa dinomorduakan di NKRI ini. Sehingga timbul kesan bahwa model otonomi apapun, termasuk Otonomi Khusus (UU No.21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus di Papua) tidak berkorelasi secara nyata (signifikan) dengan peningkatan kesejahteraan. Padahal dengan penerapan otonomi khusus diharapkan terjadi percepatan dan pemerataan pembangunan di seluruh Papua guna menyelesaikan persoalan mendasar yaitu menghilangkan 4 K (Kemiskinan, Ketidakadilan, Kebodohan, dan Kesehatan). Kaitan dengan masalah otonomi khusus, saat ini telah terjadi konflik pemerintahan, menyangkut pemekaran Papua dengan berdirinya Provinsi Irian Jaya Barat. Keberadaan provinsi Irian Jaya Barat serta beberapa Kabupaten/Kota hasil pemekaran berdasarkan UU No. 45 Tahun 1999 masih menyisakan masalah (yuridis dan politik) yang pelik. Hal ini berkaitan dengan UU No. 45 Tahun 1999 Tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah, Provinsi Irian Jaya Barat, dan sejumlah kabupaten/kota lainnya yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Tetapi khusus mengenai Irian Jaya Barat, Mahkamah Konstitusi telah mengesahkan keberadaannya dan beberapa kabupaten/kota pemekaran serta hasil pemekaran serta lembaga eksekutif dan legislatif telah terbentuk melalui Pemilu 2004. Dalam realitas sosial politik di Papua, keberadaan Provinsi Irian Jaya Barat masih menyisakan pro dan kontra dan berakibat munculnya gagasan pengembalian otonomi khusus ke pusat. Sebenarnya sumber utama masalah di atas adalah kebijakan pemerintah yang tidak konsisten dan terkesan tumpang tindih dalam penanganan masalah di Provinsi Papua (UU No. 45 Tahun 1999 Tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah, Provinsi Irian Jaya Barat dan sejumlah kabupaten/kota lainnya; UU No. 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua; Inpres No. 1 Tahun 2003 Tentang Percepatan Pelaksanaan UU No. 45 Tahun 1999). Secara the facto, pemerintahan Provinsi Irian Jaya Barat telah berjalan, namun bagaimana kaitannya dengan pasal 1 ayat (a) UU No. 21 Tahun 2001 yang menyatakan bahwa Provinsi Papua adalah Provinsi Irian Jaya yang diberi otonomi khusus. Persoalannya apakah Propinsi Irian Jaya Barat juga termasuk provinsi yang terkena otonomi khusus? Apalagi menyangkut pemekaran wilayah di Papua, Majelis Rakyat Papua (MRP) harus terlibat. Hal ini juga yang memicu pertentangan dan konflik yang berkepanjangan di Papua. Kerusuhan sosial politik Sesungguhnya, konflik di PT FI, telah terjadi sejak tahun 1986 selama lebih dari 20 tahun (khususnya konflik dengan suku Amungme) dalam skala dan eskalasi yang beragam. Dengan kata lain, fenomena kerusuhan ini, bukan semata-samata terlecut oleh masalah aktual saat ini, melainkan merupakan sebuah akumulasi kekecewaan masyarakat Papua terhadap kebijakan pembangunan (baca: penambangan) yang dilaksanakan di tanah Papua. Sejarah pertambangan dan kontrak kerja RI dengan negara asing, merupakan bagian dari pemicu terjadi kerusuhan. Apalagi pemerintah Indonesai hanya memiliki saham sebesar 9,36%, sisanya milik asing. Kontribusi PT FI ke APBN hanya Rp 2 triliunan dalam setahun. Nilai yang sangat minim untuk ukuran perusahaan yang raksasa seperti itu. Selain itu, keadilan dan kesenjangan ekonomi antara penduduk asli dengan orang asing, menyebabkan adanya kecemburuan politis yang sulit diterima oleh masyarakat Papua. Pada tahun 2004, jumlah karyawan PT FI sebanyak 18.700 orang. Dari sejumlah karyawan tersebut, 97,2% adalah WNI (18.199 orang) dan 2,8% adalah WNA. Hanya saja, dari 97,2% WNI tersebut, hanya 26% di antaranya adalah orang Papua. Kondisi inilah, yang mungkin pula terjadi kecemburuan sosial dan kesenjangan ekonomi di Papua. Realitas sosial serupa ini, pada gilirannya menyulut munculnya perebutan laba keuntungan PT FI antara masyarakat adat yang ada di sekitar PT FI tersebut. Mulai tahun 1996, PT FI mengeluarkan kebijakan mengenai pemberian dana 1 % dari laba kotor perusahaan, dana ini disebut "Freeport Fund for Irian Jaya Development" (FFIJD). Saat ini, dana tersebut bernilai lebih dari seratus miliar rupiah, yang diperuntukkan bagi masyarakat sekitarnya. Peluncuran dana tersebut telah menimbulkan masalah baru, mengenai siapa yang paling berhak memperolehnya. Sehingga terjadilah konflik antarsuku (Amungme dan suku-suku lainnya). Selama beroperasinya PT FI, juga menyebabkan adanya dampak lingkungan yang kurang menguntungkan, baik bagi ekologi Papua maupun bagi kesehatan masyarakat. Sekadar ilustrasi jika produksi harian PT FI sebesar 200 ribu ton, maka keberadaan limbah pasir berkimiawi (tailing) diperkirakan sekitar 190 ribu ton sehari. Dapat dibayangkan bagaimana dampak taling tersebut bagi kerusakan lingkungan sekitar setiap harinya. Salah satu upaya menanggulangi problema di tanah Papua disarankan membangun iklim dialog dan komunikasi yang intens mengenai berbagai persoalan yang melibatkan semua stakeholder, pemerintah pusat, pemerintah lokal, dan masyarakat adat. Dengan cara ini diharapkan terbangun kembali kepercayaan masyarakat Papua terhadap pemerintah pusat maupun elit di Papua. Seiring dengan itu perlu dilakukan mengembangkan kapasitas (capacity building) institusi dan masyarakat lokal guna menumbuhkan kemandirian daerah dan rasa percaya diri. Pada gilirannya martabat, harkat, dan jati diri masyarakat Papua merasa dihargai, dan mulailah terbangun kesetaraan dengan masyarakat lainnya. Selama ini upaya penyelesaian secara musyawarah antara masyarakat Papua, pemerintah pusat, dan pemerintah provinsi hasil pemekaran belum dilakukan secara optimal. Secara teoritis pemekaran wilayah ini hendaknya dilakukan dengan memperhatikan faktor-faktor sosial, politik, ekonomi, budaya, kesiapan SDM, demografi, dan geografi. Bercermin dari "Konvensi Protection for Minorities Rightz" (1995) yang relevan untuk penerapan otonomi daerah di masyarakat multikulturalisme, maka pembangunan di Papua mesti menyandarkan kepada kedaulatan penentuan model partisipasi masyarakat lokal yang sesuai dengan koridor nilai-nilai sosial budaya setempat. Kasus PT FI adalah salah satu fenomena ketidakadilan yang sudah sekian lama dipertontonkan, di antara ketidakadilan lainnya di tanah Papua. Ini pula yang membuktikan bahwa hadirnya PT FI dengan mesin ekonomi kapitalistiknya telah menimbulkan guncangan-guncangan sosial politik yang sangat kuat. Masyarakat Papua di wilayah penambangan Freeport sedang mencari "Ratu Adil" di tengah kehampaan bangsa atas keadilan bagi rakyatnya. *** Penulis, dosen ilmu politik Universitas Pendidikan Indonesia, kandidat doktor ilmu sosial politik PPS Unpad, pernah melakukan survei pertahanan ke puncak Grasberg, pertambangan Freeport Tembagapura di Mimika tahun 2005. [Non-text portions of this message have been removed] *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://groups.yahoo.com/group/ppiindia *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx 5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx 6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/ ** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List ** ** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: ** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ ** ** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral scholarship, kunjungi http://informasi-beasiswa.blogspot.com **