[nasional_list] [ppiindia] Freeport dan Gerakan Sosial Politik

  • From: "Ambon" <sea@xxxxxxxxxx>
  • To: <"Undisclosed-Recipient:;"@freelists.org>
  • Date: Mon, 27 Feb 2006 23:38:52 +0100

** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com 
**http://www.pikiran-rakyat.co.id/cetak/2006/022006/28/0902.htm



Freeport dan Gerakan Sosial Politik
Oleh CECEP DARMAWAN  


KEMBALI, tanah Papua menunjukkan suhu politik yang menghangat. Kantor pusat PT 
Freeport Indonesia (PT FI) dilempari batu hingga kaca kantor PT FI berantakan. 
Sementara di Grasberg, massa pun memblokir jalan di daerah Tembagapura, 
sehingga menyebabkan operasi PT FI sontak berhenti sementara. Persoalan 
Freeport selalu saja mencuat di tengah-tengah tarikan berbagai kepentingan 
domestik dan internasional. Bak, membangunkan raksana yang sedang tidur, 
persoalan di tanah Papua ini akan menjadi perhatian dunia internasional. 
Mengapa isu Freeport selalu terkait dengan problema tanah Papua secara politik 
internasional? Dalam memahami isu politik dan gerakan sosial di Papua ini, 
kiranya dapat ditelaah dalam beberapa perspektif. 

Masalah Papua kembali menghangat, ketika pada tahun yang lalu tepatnya 14 Maret 
2005 anggota Kongres Amerika Serikat membuat surat yang ditujukan kepada 
Menteri Luar Negeri AS dan Sekjen PBB. Isi surat tersebut mempersoalkan 
legalitas proses bergabungnya Papua ke dalam NKRI melalui Pepera pada 1969. 
Masalah ini bertambah rumit ketika Kongres AS membahas usulan RUU yang 
mempertanyakan kebijakan domestik pemerintah Indonesia terhadap Papua. Usulan 
RUU dalam Kongres AS tersebut sebenarnya hanya desakan dari dua orang anggota 
Kongres yaitu Donald M Payne (asal Newark, New Jersey) dan Eni FH Faleomafalega 
(Samoa Amerika). Dalam RUU tersebut ditegaskan, Menteri Luar Negeri AS diminta 
laporan mengenai kajian terhadap pelaksanaan Act of Free Choice (Pepera) pada 
1969 dan penilaian implementasi otonomi khusus di Papua dalam waktu 180 hari 
setelah UU tersebut disahkan. 

Usaha penilaian kembali Pepera sebelumnya muncul dari Dewan Adat Papua yang 
meminta negara-negara Pasifik, Eropa, dan AS meninjau kembali Resolusi 2504 
(XXIV). Tuntutan tersebut mendapat dukungan dari Bishop Desmond Tutu dan 175 
anggota parlemen serta 80 LSM internasional pada tanggal 24 Februari 2004.

Menurut versi pemerintah kita, keberadaan Papua sebagai bagian dari 
pemerintahan NKRI adalah sudah sah secara hukum sejak dikeluarkannya Resolusi 
MU-PBB No. 2504 (XXIV) tanggal 19 Nopember 1969. Dengan demikian kembalinya 
Papua (waktu itu, Irian Barat) ke NKRI sudah bersifat final dan sah secara 
hukum nasional maupun internasional. Namun, sayangnya masih terdapat sebagian 
rakyat Papua yang menginginkan pelurusan sejarah Pepera sebagai entry point 
untuk menuntut dilaksanakannya referendum. Mereka berasumsi bahwa perwakilan 
rakyat Irian Barat yang mengikuti Pepera tidak sah karena dianggap tidak 
merupakan cerminan representasi dari wakil-wakil rakyat Irian Barat secara 
keseluruhan pada waktu itu. 

Kelompok-kelompok tersebut kemudian mengadakan perlawanan (senjata dan 
politik-diplomatik) terhadap pemerintah Indonesia dan menghimpun diri dalam 
gerakan separatis Organisasi Papua Merdeka (OPM). Inilah yang menjadi batu 
sandungan secara domestik bagi pemerintah Indonesia. 

Selain masalah di atas, Papua dengan otonomi khususnya mengalami berbagai 
problema. Akar masalahnya adalah hilangnya kepercayaan (trust) masyarakat lokal 
terhadap pemerintah pusat dan elit lokal Papua. Di samping itu, dampak dari 
kebijakan pemerintah masa lalu yang kurang sensitif terhadap nilai budaya 
masyarakat lokal mengakibatkan masyarakat Papua merasa dinomorduakan di NKRI 
ini. Sehingga timbul kesan bahwa model otonomi apapun, termasuk Otonomi Khusus 
(UU No.21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus di Papua) tidak berkorelasi secara 
nyata (signifikan) dengan peningkatan kesejahteraan. Padahal dengan penerapan 
otonomi khusus diharapkan terjadi percepatan dan pemerataan pembangunan di 
seluruh Papua guna menyelesaikan persoalan mendasar yaitu menghilangkan 4 K 
(Kemiskinan, Ketidakadilan, Kebodohan, dan Kesehatan).

Kaitan dengan masalah otonomi khusus, saat ini telah terjadi konflik 
pemerintahan, menyangkut pemekaran Papua dengan berdirinya Provinsi Irian Jaya 
Barat. Keberadaan provinsi Irian Jaya Barat serta beberapa Kabupaten/Kota hasil 
pemekaran berdasarkan UU No. 45 Tahun 1999 masih menyisakan masalah (yuridis 
dan politik) yang pelik. Hal ini berkaitan dengan UU No. 45 Tahun 1999 Tentang 
Pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah, Provinsi Irian Jaya Barat, dan sejumlah 
kabupaten/kota lainnya yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Tetapi khusus 
mengenai Irian Jaya Barat, Mahkamah Konstitusi telah mengesahkan keberadaannya 
dan beberapa kabupaten/kota pemekaran serta hasil pemekaran serta lembaga 
eksekutif dan legislatif telah terbentuk melalui Pemilu 2004. Dalam realitas 
sosial politik di Papua, keberadaan Provinsi Irian Jaya Barat masih menyisakan 
pro dan kontra dan berakibat munculnya gagasan pengembalian otonomi khusus ke 
pusat. 

Sebenarnya sumber utama masalah di atas adalah kebijakan pemerintah yang tidak 
konsisten dan terkesan tumpang tindih dalam penanganan masalah di Provinsi 
Papua (UU No. 45 Tahun 1999 Tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah, 
Provinsi Irian Jaya Barat dan sejumlah kabupaten/kota lainnya; UU No. 21 Tahun 
2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua; Inpres No. 1 Tahun 2003 
Tentang Percepatan Pelaksanaan UU No. 45 Tahun 1999). Secara the facto, 
pemerintahan Provinsi Irian Jaya Barat telah berjalan, namun bagaimana 
kaitannya dengan pasal 1 ayat (a) UU No. 21 Tahun 2001 yang menyatakan bahwa 
Provinsi Papua adalah Provinsi Irian Jaya yang diberi otonomi khusus. 
Persoalannya apakah Propinsi Irian Jaya Barat juga termasuk provinsi yang 
terkena otonomi khusus? Apalagi menyangkut pemekaran wilayah di Papua, Majelis 
Rakyat Papua (MRP) harus terlibat. Hal ini juga yang memicu pertentangan dan 
konflik yang berkepanjangan di Papua. 

Kerusuhan sosial politik

Sesungguhnya, konflik di PT FI, telah terjadi sejak tahun 1986 selama lebih 
dari 20 tahun (khususnya konflik dengan suku Amungme) dalam skala dan eskalasi 
yang beragam. Dengan kata lain, fenomena kerusuhan ini, bukan semata-samata 
terlecut oleh masalah aktual saat ini, melainkan merupakan sebuah akumulasi 
kekecewaan masyarakat Papua terhadap kebijakan pembangunan (baca: penambangan) 
yang dilaksanakan di tanah Papua. 

Sejarah pertambangan dan kontrak kerja RI dengan negara asing, merupakan bagian 
dari pemicu terjadi kerusuhan. Apalagi pemerintah Indonesai hanya memiliki 
saham sebesar 9,36%, sisanya milik asing. Kontribusi PT FI ke APBN hanya Rp 2 
triliunan dalam setahun. Nilai yang sangat minim untuk ukuran perusahaan yang 
raksasa seperti itu. 

Selain itu, keadilan dan kesenjangan ekonomi antara penduduk asli dengan orang 
asing, menyebabkan adanya kecemburuan politis yang sulit diterima oleh 
masyarakat Papua. Pada tahun 2004, jumlah karyawan PT FI sebanyak 18.700 orang. 
Dari sejumlah karyawan tersebut, 97,2% adalah WNI (18.199 orang) dan 2,8% 
adalah WNA. Hanya saja, dari 97,2% WNI tersebut, hanya 26% di antaranya adalah 
orang Papua. Kondisi inilah, yang mungkin pula terjadi kecemburuan sosial dan 
kesenjangan ekonomi di Papua. 

Realitas sosial serupa ini, pada gilirannya menyulut munculnya perebutan laba 
keuntungan PT FI antara masyarakat adat yang ada di sekitar PT FI tersebut. 
Mulai tahun 1996, PT FI mengeluarkan kebijakan mengenai pemberian dana 1 % dari 
laba kotor perusahaan, dana ini disebut "Freeport Fund for Irian Jaya 
Development" (FFIJD). Saat ini, dana tersebut bernilai lebih dari seratus 
miliar rupiah, yang diperuntukkan bagi masyarakat sekitarnya. Peluncuran dana 
tersebut telah menimbulkan masalah baru, mengenai siapa yang paling berhak 
memperolehnya. Sehingga terjadilah konflik antarsuku (Amungme dan suku-suku 
lainnya). 

Selama beroperasinya PT FI, juga menyebabkan adanya dampak lingkungan yang 
kurang menguntungkan, baik bagi ekologi Papua maupun bagi kesehatan masyarakat. 
Sekadar ilustrasi jika produksi harian PT FI sebesar 200 ribu ton, maka 
keberadaan limbah pasir berkimiawi (tailing) diperkirakan sekitar 190 ribu ton 
sehari. Dapat dibayangkan bagaimana dampak taling tersebut bagi kerusakan 
lingkungan sekitar setiap harinya. 

Salah satu upaya menanggulangi problema di tanah Papua disarankan membangun 
iklim dialog dan komunikasi yang intens mengenai berbagai persoalan yang 
melibatkan semua stakeholder, pemerintah pusat, pemerintah lokal, dan 
masyarakat adat. Dengan cara ini diharapkan terbangun kembali kepercayaan 
masyarakat Papua terhadap pemerintah pusat maupun elit di Papua. Seiring dengan 
itu perlu dilakukan mengembangkan kapasitas (capacity building) institusi dan 
masyarakat lokal guna menumbuhkan kemandirian daerah dan rasa percaya diri. 
Pada gilirannya martabat, harkat, dan jati diri masyarakat Papua merasa 
dihargai, dan mulailah terbangun kesetaraan dengan masyarakat lainnya. 

Selama ini upaya penyelesaian secara musyawarah antara masyarakat Papua, 
pemerintah pusat, dan pemerintah provinsi hasil pemekaran belum dilakukan 
secara optimal. Secara teoritis pemekaran wilayah ini hendaknya dilakukan 
dengan memperhatikan faktor-faktor sosial, politik, ekonomi, budaya, kesiapan 
SDM, demografi, dan geografi. Bercermin dari "Konvensi Protection for 
Minorities Rightz" (1995) yang relevan untuk penerapan otonomi daerah di 
masyarakat multikulturalisme, maka pembangunan di Papua mesti menyandarkan 
kepada kedaulatan penentuan model partisipasi masyarakat lokal yang sesuai 
dengan koridor nilai-nilai sosial budaya setempat.

Kasus PT FI adalah salah satu fenomena ketidakadilan yang sudah sekian lama 
dipertontonkan, di antara ketidakadilan lainnya di tanah Papua. Ini pula yang 
membuktikan bahwa hadirnya PT FI dengan mesin ekonomi kapitalistiknya telah 
menimbulkan guncangan-guncangan sosial politik yang sangat kuat. Masyarakat 
Papua di wilayah penambangan Freeport sedang mencari "Ratu Adil" di tengah 
kehampaan bangsa atas keadilan bagi rakyatnya. ***  

Penulis, dosen ilmu politik Universitas Pendidikan Indonesia, kandidat doktor 
ilmu sosial politik PPS Unpad, pernah melakukan survei pertahanan ke puncak 
Grasberg, pertambangan Freeport Tembagapura di Mimika tahun 2005.


[Non-text portions of this message have been removed]



***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx
5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx
6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com **

Other related posts:

  • » [nasional_list] [ppiindia] Freeport dan Gerakan Sosial Politik