** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List ** ** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: ** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ ** ** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral scholarship, kunjungi http://informasi-beasiswa.blogspot.com **http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2006/092006/15/0901.htm Dilema Demokrasi Pilgab Oleh CECEP DARMAWAN GAGASAN pilkada gabungan (pilgab) telah menjadi diskursus publik khususnya di Jawa Barat. Wacana politik ini mengemuka berkaitan dengan persoalan pilkada-pilkada yang secara serempak hampir bersamaan dengan pemilihan Gubernur Jawa Barat (2008) dan persiapan pemilu legislatif (pileg) maupun pemilu presiden (2009) yang diemban oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD). Meski wacana tersebut terus bergulir dan menjadi polemik, utamanya berkenaan dengan substansi demokrasi, payung hukum, dan persoalan teknis, keputusan politik pada tingkat pusat belum menunjukkan responsnya. Demokrasi memang mahal, karena menciptakan sistem dan budaya demokrasi itu bukanlah seperti membalikkan telapak tangan (taken for granted) . Namun jika pilihan kita sudah jatuh pada demokrasi, itu artinya sebagai konsekuensi logis, kita harus berani membayarnya dengan mahal pula. Sistem politik fasisme dan otoritarianisme diyakini memang "murah". Biaya politik untuk kedua sistem itu tidak akan menyedot sumber daya politik dan ekonomi yang tinggi. Namun hasilnya kita tahu bersama, yaitu akan menyengsarakan rakyat sebab rakyat selalu dimarginalkan dan dipandang sebagai objek politik para penguasa. Dari sisi efisiensi, pilgab di Jawa Barat akan memangkas anggaran pilkada yang cukup lumayan. Menurut perhitungan KPU Jawa Barat, pilgab akan dapat menghemat anggaran provinsi dan kabupaten/kota sekira 150 miliar rupiah. Kendati demikan dari tataran substansi demokrasi, apakah pilihan pilgab ini menyokong atau mereduksi demokrasi? Apakah dengan pilgab kualitas demokrasi akan meningkat atau sebaliknya? Ataukah hanya sekadar efisiensi anggaran? Inilah seputar persoalan yang menggelayut pada nurani politik publik saat ini. Negeri pilkada Negeri kita telah menjadi negeri penuh pilkada. Tidak kurang dari 350 kali selama 5 tahun, negeri kita menyelenggarakan pilkada. Artinya selama lima tahun itu, hampir setahunnya diisi oleh pilkada. Bisa dibayangkan berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk persoalan menjaring para pemimpin pada tingkat lokal itu? Ironisnya justru banyak dijumpai, biaya untuk pilkada melebihi perolehan PAD pada sebuah kabupaten/kota. Alih-alih mau menyejahterakan rakyat, biaya pilkada pun harus nombok anggaran berikutnya. Secara teoretis dan praktis, varian penentuan kepala daerah di berbagai negara hanya mengenal 3 model yaitu melalui pemilu langsung, dipilih oleh legislatif daerah, dan ditunjuk atau diangkat oleh pemerintah pusat. Pada banyak negara pemilihan kepada daerah tidak semeriah dan seramai seperti di Indonesia. Di negeri ini pemilihan kepada daerah menjadi isu sentral ketika berbicara otonomi daerah. Ikon putra daerah pun menjadi pelengkap pilkada. Sejak diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai revisi UU No. 22 Tahun 1999, politik demokrasi di tingkat lokal telah mengalami "revolusi" demokrasi. Pemilihan kepala daerah yang tadinya dimandatkan kepada wakil rakyat di DPRD, mulai Juni 2005 bangsa kita telah melakukan pemilihan kepala daerah langsung oleh rakyat. Publik menyambut baik era demokrasi langsung ini. Suasana antusiasme masyarakat terhadap pilkada langsung terlihat di mana-mana. Bahkan hasil survei International Foundation for Election (2005) terhadap 2.020 responden di 33 provinsi menyatakan 92% pilkada langsung akan mampu meningkatkan pelayanan pemerintah terhadap masyarakat. Namun secara empiris, dalam atmosfer euforia reformasi tidak jarang ekses negatif muncul ke permukaan. Konflik-konflik horizontal dan vertikal turut mewarnai pilkada langsung. Konflik antarpartai dan para pendukungnya hampir marak di mana-mana. Pemicunya bisa karena persoalan koalisi partai, tidak adanya kesamaan calon kepala daerah dari DPP dan DPD partai tertentu, kegagalan meraih suara mayoritas, ketidakpuasan massa atas kenyataan politik yang berbeda dari harapan dll. Ujung-ujungnya rakyat kecil juga yang menjadi korban. Sementara elite politik lokal yang seolah-olah mengenakan "jubah" reformasi tetap meraup untung dari berbagai persoalan itu. Seperti sering menjadi kritik publik, pemilihan kepala daerah yang dilakukan oleh DPRD hampir selalu menuai reaksi dari masyarakat. Aspirasi rakyat "dikebiri" oleh elite anggota DPRD. Apa yang diinginkan rakyat kerap tak berkesesuaian dengan pilihan anggota DPRD. Aroma politik uang (money politic) pun sangat kental. Calon kepala daerah tidak perlu susah-susah mencari simpatik publik, cukup dengan "membeli" 50 plus 1 suara anggota DPRD. Terjadilah proses distorsi politik atau praktik hukum besi oligarki. Kedaulatan rakyat diubah menjadi kedaulatan anggota DPRD. Aspirasi dan pilihan publik dipelintir menjadi aspirasi dan pilihan anggota DPRD. Akibatnya adalah rakyat tidak merasa terlibat dalam proses memilih dan menentukan pimpinan di daerahnya. Wajar jika kemudian rakyat bersikap apatis terhadap pimpinannya. Lebih jauh, alih-alih mendapatkan dukungan rakyat dalam berbagai programnya, kepala daerah mungkin tidak dikenal rakyat dan tidak mengenal rakyatnya. Apalagi kalau kem udian terjadi ketidakpercayaan (distrust) masyarakat terhadap pimpinannya yang memicu sikap masyarakat yang tidak patuh (disobedience) dan melakukan pembangkangan sosial. Atas fenomena baru ini, sekarang sedang terjadi loncatan praktik demokrasi yang luar biasa. Bobot legitimasi kepala daerah memiliki daya dukung signifikan yang diharapkan turut memperkokoh dan memperkuat demokrasi. Kedudukan DPRD dengan kepala daerah menjadi sejajar. Implikasinya kepala daerah tidak dapat dijatuhkan (impechment) secara semena-mena oleh DPRD karena sama-sama dipilih langsung oleh rakyat. Preseden pelengseran kepala daerah oleh DPRD hanya karena persoalan like and dislike tidak akan memiliki tempat lagi. Adagium Vox populi vox dei, suara rakyat suara Tuhan telah mengubah Vox populi vox elite, suara rakyat suara elite. Di samping itu, konfigurasi politik pada pilkada sering menunjukkan anomali politik. Partai-partai yang memperoleh banyak kursi di DPRD tidak berkorelasi secara positif dengan perolehan suara bagi calon yang disung pada pilkada. Dengan demikian, mesin politik partai dipertanyakan. Sejauh mana parpol-parpol kita hari ini telah menjalankan fungsi artikulasi dan agregasi kepentingan konstituennya. Bagaimana parpol memerankan sebagai agen peredam dan pengendali konflik-konflik di masyarakat. Upaya apa yang telah dilakukan parpol dalam pendidikan politik untuk meningkatkan kesadaran politik warganya. Gugatan seperti ini patut diujikan kepada parpol yang selama ini sering mengklaim wakil dari aspirasi publik. Pilgab Pilgab ingin menggabungkan hari pelaksanaan pilkada-pilkada yang maraton dengan tetap tidak mengurangi esensi dan substansi demokrasi. Dalam konteks Jawa Barat, pilgab ini suatu ikhtiar atau ijtihad politik untuk mengatasi berbagai persoalan yaitu (1) Pergantian (overhaul) seluruh anggota KPUD pada Mei-Juni 2008, (2) Persiapan pemilihan anggota KPUD baru periode 2008-2013, (3) Penumpukan penyelenggaraan pilkada pada tahun 2008 (karena menurut UU No 32 tahun 2006 pasal 233 bahwa "Kabupaten/Kota yang masa jabatan kepada daerahnya berakhir pada tahun 2009 pemungutan suaranya dilaksanakan pada bulan Desember 2008", dan (4) adanya persiapan pemilu legislatif 2009. Jika mengacu pada aturan yang ada, pada 2008 Jawa Barat akan mengadakan 16 kali pemungutan suara Pilkada kabupaten/kota dan satu pemungutan suara untuk pemilihan gubernur. Penumpukan Pilkada ini dinilai rawan secara politik dan manajerial. Sebab pada Mei-Juni 2008 masa jabatan anggota KPUD akan berakhir di samping beberapa bulan berikutnya KPUD juga harus mempersiapkan pemilu legislatif. Melihat realitas seperti itu publik bisa dipahaminya. Hanya persoalannya menjadi tidak sederhana ketika berkaitan dengan aspek hukum masa jabatan-jabatan kepada daerah yang sudah ditentukan akhir masa jabatannya kecuali yang dinyatakan lain seperti dalam pasal 233 UU No. 32 Tahun 2004. Oleh karenanya perlu payung hukum mengenai persoalan ini. Dengan kata lain secara prosedural kondisi ini memungkinkan dilaksanakan pilgab, jika jelas payung hukumnya. Selain itu diperlukan juga akseptabilitas politik dari stakeholder (parpol, kepala daerah, pemerintah pusat, DPR RI), dan rumusan gand design teknis operasional pelaksanaan pilgab mulai dari teknis penyediaan alat-alat, waktu kampanye, hari H pelaksanaan dll. Dengan demikian pilgab haruslah menjadi momentum bagi proses pembelajaran politik. Bahwa demokrasi itu adalah pilihan yang mahal, tetapi juga suatu realitas bahwa kemampuan anggaran negara dan pemerintah daerah amat terbatas. Pilgab ini suatu ikhtiar atau political engineeri ng untuk membangun kesadaran nurani politik rakyat. Di sinilah perlunya penyadaran nurani berdemokrasi, bahwa pilgab harus ditopang oleh budaya politik yang demokratis yang menjauhkan diri dari sikap sektarian, primordial, dan nepotis. Lewat pilgab yang demokratis diharapkan pula terjadi sirkulasi elite dan rotasi kekuasaan yang damai, alamiah dan harmonis untuk kesejahteraan rakyatnya. Semoga Pilgab ini tidak hanya sebuah keniscayaan demokrasi lokal, tetapi juga meningkatkan kualitas dan kadar demokrasi.*** Penulis, dosen Ilmu Politik Universitas Pendidikan Indonesia, kandidat Doktor Ilmu Sosial Politik PPS Unpad, Koordinator PTN Konsorsium Data Entry Pemilu 2004 di Jawa Barat. [Non-text portions of this message have been removed] *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://groups.yahoo.com/group/ppiindia *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx 5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx 6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> Your email settings: Individual Email | Traditional <*> To change settings online go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/join (Yahoo! ID required) <*> To change settings via email: mailto:ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx mailto:ppiindia-fullfeatured@xxxxxxxxxxxxxxx <*> To unsubscribe from this group, send an email to: ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/ ** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List ** ** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: ** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ ** ** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral scholarship, kunjungi http://informasi-beasiswa.blogspot.com **