[nasional_list] [ppiindia] Dilema Demokrasi Pilgab

  • From: "Ambon" <sea@xxxxxxxxxx>
  • To: <"Undisclosed-Recipient:;"@freelists.org>
  • Date: Fri, 15 Sep 2006 00:29:20 +0200

** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com 
**http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2006/092006/15/0901.htm


Dilema Demokrasi Pilgab
Oleh CECEP DARMAWAN 


GAGASAN pilkada gabungan (pilgab) telah menjadi diskursus publik khususnya di 
Jawa Barat. Wacana politik ini mengemuka berkaitan dengan persoalan 
pilkada-pilkada yang secara serempak hampir bersamaan dengan pemilihan Gubernur 
Jawa Barat (2008) dan persiapan pemilu legislatif (pileg) maupun pemilu 
presiden (2009) yang diemban oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD). Meski 
wacana tersebut terus bergulir dan menjadi polemik, utamanya berkenaan dengan 
substansi demokrasi, payung hukum, dan persoalan teknis, keputusan politik pada 
tingkat pusat belum menunjukkan responsnya. 

Demokrasi memang mahal, karena menciptakan sistem dan budaya demokrasi itu 
bukanlah seperti membalikkan telapak tangan (taken for granted) . Namun jika 
pilihan kita sudah jatuh pada demokrasi, itu artinya sebagai konsekuensi logis, 
kita harus berani membayarnya dengan mahal pula. Sistem politik fasisme dan 
otoritarianisme diyakini memang "murah". Biaya politik untuk kedua sistem itu 
tidak akan menyedot sumber daya politik dan ekonomi yang tinggi. Namun hasilnya 
kita tahu bersama, yaitu akan menyengsarakan rakyat sebab rakyat selalu 
dimarginalkan dan dipandang sebagai objek politik para penguasa. 

Dari sisi efisiensi, pilgab di Jawa Barat akan memangkas anggaran pilkada yang 
cukup lumayan. Menurut perhitungan KPU Jawa Barat, pilgab akan dapat menghemat 
anggaran provinsi dan kabupaten/kota sekira 150 miliar rupiah. Kendati demikan 
dari tataran substansi demokrasi, apakah pilihan pilgab ini menyokong atau 
mereduksi demokrasi? Apakah dengan pilgab kualitas demokrasi akan meningkat 
atau sebaliknya? Ataukah hanya sekadar efisiensi anggaran? Inilah seputar 
persoalan yang menggelayut pada nurani politik publik saat ini. 

Negeri pilkada 

Negeri kita telah menjadi negeri penuh pilkada. Tidak kurang dari 350 kali 
selama 5 tahun, negeri kita menyelenggarakan pilkada. Artinya selama lima tahun 
itu, hampir setahunnya diisi oleh pilkada. Bisa dibayangkan berapa biaya yang 
harus dikeluarkan untuk persoalan menjaring para pemimpin pada tingkat lokal 
itu? Ironisnya justru banyak dijumpai, biaya untuk pilkada melebihi perolehan 
PAD pada sebuah kabupaten/kota. Alih-alih mau menyejahterakan rakyat, biaya 
pilkada pun harus nombok anggaran berikutnya. 

Secara teoretis dan praktis, varian penentuan kepala daerah di berbagai negara 
hanya mengenal 3 model yaitu melalui pemilu langsung, dipilih oleh legislatif 
daerah, dan ditunjuk atau diangkat oleh pemerintah pusat. Pada banyak negara 
pemilihan kepada daerah tidak semeriah dan seramai seperti di Indonesia. Di 
negeri ini pemilihan kepada daerah menjadi isu sentral ketika berbicara otonomi 
daerah. Ikon putra daerah pun menjadi pelengkap pilkada. 

Sejak diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai 
revisi UU No. 22 Tahun 1999, politik demokrasi di tingkat lokal telah mengalami 
"revolusi" demokrasi. Pemilihan kepala daerah yang tadinya dimandatkan kepada 
wakil rakyat di DPRD, mulai Juni 2005 bangsa kita telah melakukan pemilihan 
kepala daerah langsung oleh rakyat. Publik menyambut baik era demokrasi 
langsung ini. Suasana antusiasme masyarakat terhadap pilkada langsung terlihat 
di mana-mana. Bahkan hasil survei International Foundation for Election (2005) 
terhadap 2.020 responden di 33 provinsi menyatakan 92% pilkada langsung akan 
mampu meningkatkan pelayanan pemerintah terhadap masyarakat. 

Namun secara empiris, dalam atmosfer euforia reformasi tidak jarang ekses 
negatif muncul ke permukaan. Konflik-konflik horizontal dan vertikal turut 
mewarnai pilkada langsung. Konflik antarpartai dan para pendukungnya hampir 
marak di mana-mana. Pemicunya bisa karena persoalan koalisi partai, tidak 
adanya kesamaan calon kepala daerah dari DPP dan DPD partai tertentu, kegagalan 
meraih suara mayoritas, ketidakpuasan massa atas kenyataan politik yang berbeda 
dari harapan dll. Ujung-ujungnya rakyat kecil juga yang menjadi korban. 
Sementara elite politik lokal yang seolah-olah mengenakan "jubah" reformasi 
tetap meraup untung dari berbagai persoalan itu. 

Seperti sering menjadi kritik publik, pemilihan kepala daerah yang dilakukan 
oleh DPRD hampir selalu menuai reaksi dari masyarakat. Aspirasi rakyat 
"dikebiri" oleh elite anggota DPRD. Apa yang diinginkan rakyat kerap tak 
berkesesuaian dengan pilihan anggota DPRD. Aroma politik uang (money politic) 
pun sangat kental. Calon kepala daerah tidak perlu susah-susah mencari simpatik 
publik, cukup dengan "membeli" 50 plus 1 suara anggota DPRD. Terjadilah proses 
distorsi politik atau praktik hukum besi oligarki. Kedaulatan rakyat diubah 
menjadi kedaulatan anggota DPRD. Aspirasi dan pilihan publik dipelintir menjadi 
aspirasi dan pilihan anggota DPRD. Akibatnya adalah rakyat tidak merasa 
terlibat dalam proses memilih dan menentukan pimpinan di daerahnya. Wajar jika 
kemudian rakyat bersikap apatis terhadap pimpinannya. Lebih jauh, alih-alih 
mendapatkan dukungan rakyat dalam berbagai programnya, kepala daerah mungkin 
tidak dikenal rakyat dan tidak mengenal rakyatnya. Apalagi kalau kem
 udian terjadi ketidakpercayaan (distrust) masyarakat terhadap pimpinannya yang 
memicu sikap masyarakat yang tidak patuh (disobedience) dan melakukan 
pembangkangan sosial. 

Atas fenomena baru ini, sekarang sedang terjadi loncatan praktik demokrasi yang 
luar biasa. Bobot legitimasi kepala daerah memiliki daya dukung signifikan yang 
diharapkan turut memperkokoh dan memperkuat demokrasi. Kedudukan DPRD dengan 
kepala daerah menjadi sejajar. Implikasinya kepala daerah tidak dapat 
dijatuhkan (impechment) secara semena-mena oleh DPRD karena sama-sama dipilih 
langsung oleh rakyat. Preseden pelengseran kepala daerah oleh DPRD hanya karena 
persoalan like and dislike tidak akan memiliki tempat lagi. Adagium Vox populi 
vox dei, suara rakyat suara Tuhan telah mengubah Vox populi vox elite, suara 
rakyat suara elite. 

Di samping itu, konfigurasi politik pada pilkada sering menunjukkan anomali 
politik. Partai-partai yang memperoleh banyak kursi di DPRD tidak berkorelasi 
secara positif dengan perolehan suara bagi calon yang disung pada pilkada. 
Dengan demikian, mesin politik partai dipertanyakan. Sejauh mana parpol-parpol 
kita hari ini telah menjalankan fungsi artikulasi dan agregasi kepentingan 
konstituennya. Bagaimana parpol memerankan sebagai agen peredam dan pengendali 
konflik-konflik di masyarakat. Upaya apa yang telah dilakukan parpol dalam 
pendidikan politik untuk meningkatkan kesadaran politik warganya. Gugatan 
seperti ini patut diujikan kepada parpol yang selama ini sering mengklaim wakil 
dari aspirasi publik. 

Pilgab

Pilgab ingin menggabungkan hari pelaksanaan pilkada-pilkada yang maraton dengan 
tetap tidak mengurangi esensi dan substansi demokrasi. Dalam konteks Jawa 
Barat, pilgab ini suatu ikhtiar atau ijtihad politik untuk mengatasi berbagai 
persoalan yaitu (1) Pergantian (overhaul) seluruh anggota KPUD pada Mei-Juni 
2008, (2) Persiapan pemilihan anggota KPUD baru periode 2008-2013, (3) 
Penumpukan penyelenggaraan pilkada pada tahun 2008 (karena menurut UU No 32 
tahun 2006 pasal 233 bahwa "Kabupaten/Kota yang masa jabatan kepada daerahnya 
berakhir pada tahun 2009 pemungutan suaranya dilaksanakan pada bulan Desember 
2008", dan (4) adanya persiapan pemilu legislatif 2009. 

Jika mengacu pada aturan yang ada, pada 2008 Jawa Barat akan mengadakan 16 kali 
pemungutan suara Pilkada kabupaten/kota dan satu pemungutan suara untuk 
pemilihan gubernur. Penumpukan Pilkada ini dinilai rawan secara politik dan 
manajerial. Sebab pada Mei-Juni 2008 masa jabatan anggota KPUD akan berakhir di 
samping beberapa bulan berikutnya KPUD juga harus mempersiapkan pemilu 
legislatif. 

Melihat realitas seperti itu publik bisa dipahaminya. Hanya persoalannya 
menjadi tidak sederhana ketika berkaitan dengan aspek hukum masa 
jabatan-jabatan kepada daerah yang sudah ditentukan akhir masa jabatannya 
kecuali yang dinyatakan lain seperti dalam pasal 233 UU No. 32 Tahun 2004. Oleh 
karenanya perlu payung hukum mengenai persoalan ini. Dengan kata lain secara 
prosedural kondisi ini memungkinkan dilaksanakan pilgab, jika jelas payung 
hukumnya. Selain itu diperlukan juga akseptabilitas politik dari stakeholder 
(parpol, kepala daerah, pemerintah pusat, DPR RI), dan rumusan gand design 
teknis operasional pelaksanaan pilgab mulai dari teknis penyediaan alat-alat, 
waktu kampanye, hari H pelaksanaan dll. Dengan demikian pilgab haruslah menjadi 
momentum bagi proses pembelajaran politik. Bahwa demokrasi itu adalah pilihan 
yang mahal, tetapi juga suatu realitas bahwa kemampuan anggaran negara dan 
pemerintah daerah amat terbatas. Pilgab ini suatu ikhtiar atau political 
engineeri
 ng untuk membangun kesadaran nurani politik rakyat. Di sinilah perlunya 
penyadaran nurani berdemokrasi, bahwa pilgab harus ditopang oleh budaya politik 
yang demokratis yang menjauhkan diri dari sikap sektarian, primordial, dan 
nepotis. Lewat pilgab yang demokratis diharapkan pula terjadi sirkulasi elite 
dan rotasi kekuasaan yang damai, alamiah dan harmonis untuk kesejahteraan 
rakyatnya. Semoga Pilgab ini tidak hanya sebuah keniscayaan demokrasi lokal, 
tetapi juga meningkatkan kualitas dan kadar demokrasi.*** 

Penulis, dosen Ilmu Politik Universitas Pendidikan Indonesia, kandidat Doktor 
Ilmu Sosial Politik PPS Unpad, Koordinator PTN Konsorsium Data Entry Pemilu 
2004 di Jawa Barat. 


[Non-text portions of this message have been removed]



***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx
5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx
6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx 
    mailto:ppiindia-fullfeatured@xxxxxxxxxxxxxxx

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com **

Other related posts:

  • » [nasional_list] [ppiindia] Dilema Demokrasi Pilgab