** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List ** ** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: ** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ ** ** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral scholarship, kunjungi http://informasi-beasiswa.blogspot.com **http://www.kompas.com/kompas-cetak/0602/15/opini/2439343.htm Betulkah Kita Surplus Beras? Her Suganda Belum pernah terjadi perdebatan impor beras sealot akhir tahun lalu. Bahkan sampai beras impor masuk pelabuhan di Indonesia pun, persoalannya masih belum tuntas. Terbukti dibentuknya tim investigasi dua fraksi di DPR. Sebagai negeri agraris, Indonesia memang amat tidak pantas mengimpor beras. Apalagi menurut perkiraan, produksi beras tahun 2005 mengalami surplus. Bahkan akhir Januari lalu, Menteri Pertanian menyatakan, Departemen Pertanian memproyeksikan produksi padi nasional tahun 2006 mencapai lebih dari 54 juta ton sehingga tidak perlu impor beras. Luas panen musim tanam I tahun 2005/2006 diproyeksikan 5,5 juta hektar sehingga paling sedikit menghasilkan 15 juta ton beras (Kompas, 30/1). Namun belum lagi hilang dari ingatan, banjir sudah datang melanda. Sebagian besar daerah utara Pulau Jawa tergenang. Padahal, umur tanaman padi di daerah itu baru berkisar satu-dua bulan, bahkan ada yang siap panen. Sejak zaman penjajahan Belanda, daerah utara Pulau Jawa merupakan daerah pertanian subur, ditopang sistem pengairan irigasi yang relatif lebih baik. Areal sawahnya bisa ditanami padi dua kali setahun sehingga memberi sumbangan tidak kecil terhadap pengadaan stok pangan nasional. Namun, banjir dan bencana alam lain merupakan faktor yang berada di luar kemampuan manusia. Kerusakan tanaman hingga mengalami puso amat ter gantung seberapa lama tanaman padi itu tergenang air. Ada yang tidak jujur Banjir dan bencana alam lainnya bukan satu-satunya faktor penghambat peningkatan produksi beras. Faktor lainnya adalah, bagaimana cara kita menghitung produksi padi/beras yang dihasilkan. Zaman Orde Baru dahulu, tiap daerah berlomba meningkatkan produksi padinya dengan berbagai cara. Karena itu, kita sering mendengar, kelompok tani A mampu menghasilkan 10 ton gabah kering pungut per hektar. Seolah tidak mau kalah, kelompok tani dari daerah lain menyatakan mampu menghasilkan 12 ton gabah kering pungut per hektar. Produksi sebesar itu sebenarnya diperoleh dari hasil ubinan yang diambil dari beberapa tempat dalam satu hamparan sawah yang akan dipanen. Area tanaman padi itu dibagi dalam beberapa petak ubinan sebagai sampel. Tiap petak ubinan luasnya 2,5 x 2,5 meter. Untuk mengetahui berapa produksi per hektar, tinggal menghitung berdasar perkalian (hasil gabah yang petak ubinan seluas 2,5 x 2,5 meter) kemudian dikalikan dengan 1.600. Namun, namanya juga perlombaan. Ada saja yang tidak jujur, yang penting asal bapak senang (ABS). Malam hari sebelum dipanen, beberapa rumpun padi yang ada di luar sampel ubinan dicabuti, lalu dipindahkan ke areal yang dijadikan sampel ubinan. Walhasil, saat dipanen produksi padi hasil ubinan tinggi. Hasil ubinan itu sebenarnya tidak mencerminkan produksi padi secara keseluruhan. Kita kadang lupa, atau mungkin juga sengaja melupakan, bahwa tidak seluruh areal sawah bisa ditanamani padi. Sawah memiliki pematang, saluran air, dan jalan desa. Semua itu harus diperhitungkan sebagai faktor koreksi yang besarnya sekitar 10 persen. Penanganan pascapanen Faktor pembatas produksi lain adalah penanganan pascapanen yang selama itu belum tertangani dengan baik. Karena itu, kehilangan produksi setelah panen masih cukup tinggi. Kehilangan setelah panen terjadi, yaitu sejak padi dipanen di sawah, saat ditimbun, sampai diangkut ke tempat penjemuran atau penampungan. Hal ini terjadi karena varietas, waktu dan masa memanen, serta cara memanen dan cara pengangkutan. Varietas unggul disukai karena produksinya tinggi. Namun, varietas ini memiliki kelemahan karena mudah rontok. Padi yang dipanen terlalu masak mengakibatkan gabah mudah lepas dari malainya. Apalagi saat panen raya yang serempak, padi yang dipanen tidak bisa segera diangkut. Karena kesulitan tenaga kerja, padi ditimbun di sawah selama satu-dua hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa angka kehilangan setelah panen berkisar 10-15 persen atau lebih. Bayangkan jika produksi padi tahun ini mencapai 50 juta ton, maka kehilangan produksi diperkirakan bisa mencapai 500.000-750.000 ton gabah. Jumlah itu kira-kira setara dengan 250.000-375.000 ton beras. Konversi lahan Sering dipertanyakan, apakah luas baku sawah, baik sawah lahan basah maupun lahan kering, sudah mendekati kenyataan di lapangan? Pertanyaan ini muncul mengingat penyusutan lahan pertanian terus berlangsung dari tahun ke tahun akibat tiga pokok kebijakan pemerintah. Pertama, kebijakan privatisasi kawasan industri. Kedua, pembangunan permukiman skala besar dan kota baru. Ketiga, terjadinya deregulasi investasi serta perizinan. Memang berdasar Keppres No 30/1990, lahan pertanian teknis irigasi dilarang dialihkan menjadi lahan nonpertanian. Tetapi ketentuan itu sudah lama dikangkangi. Pada tahun 1995, misalnya, Badan Pertanahan Nasional (BPN) mengungkapkan lebih dari 50.000 hektar sawah teknis irigasi telah dikonversi menjadi lahan nonpertanian. Bahkan Departemen Pertanian pada tahun 1991 pernah mengemukakan perkiraan pengalihan lahan sawah yang selama ini terjadi di Jawa dan Bali mencapai 35.000-40.000 hektar. Lebih dari separuhnya ada di Jawa Barat sehingga daerah ini tergolong paling jeblok. Jika diasumsikan sawah seluas 50.000 hektar yang sudah beralih fungsi bisa ditanami padi dan dipanen dua kali setahun dengan produksinya lima ton gabah per hektar, maka kehilangan produksi mencapai sekitar 500.000 ton gabah per tahun. Maka dengan bertambahnya penduduk, masihkah kita mengalami surplus mengingat konsumsi beras terus meningkat? Intensifikasi juga bukan satu-satunya cara untuk meningkatkan produksi. Melalui ekstensifikasi, dilakukan perluasan jaringan irigasi dan pencetakan sawah baru. Tetapi, kedua hal itu tidak mudah dilakukan karena pencetakan sawah baru membutuhkan biaya besar dan waktu lama. Paling tidak dibutuhkan waktu lima sampai enam tahun dengan biaya sekitar 4.000-6.000 dollar AS per hektar. Bahkan adakalanya mengalami kegagalan seperti terjadi dalam pencetakan sawah baru di lahan gambut satu juta hektar. Bagaimanapun, mempertahankan sawah teknis irigasi lebih penting karena dari segi mana pun lebih menguntungkan. Her Suganda Pengurus Forum Wartawan dan Penulis Jawa Barat (FWP-JB) [Non-text portions of this message have been removed] *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://groups.yahoo.com/group/ppiindia *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx 5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx 6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/ ** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List ** ** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: ** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ ** ** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral scholarship, kunjungi http://informasi-beasiswa.blogspot.com **