[nasional_list] [ppiindia] AGAR SYARIAT ISLAM DI ACEH TIDAK MENJADI SIASAT BUDAYA

  • From: "Ambon" <sea@xxxxxxxxxx>
  • To: <"Undisclosed-Recipient:;"@freelists.org>
  • Date: Tue, 28 Feb 2006 09:05:46 +0100

** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com **      AGAR SYARIAT ISLAM DI ACEH TIDAK 
MENJADI SIASAT BUDAYA 
      NEO-SNOUCKIS 

      Oleh: Otto Syamsuddin Ishak
      Sosiolog, Penasehat Aceh Institute 
      (Tulisan serupa pernah dimuat di AcehKita)
       


      Apakah agama diperuntukkan bagi penciptaan manusia yang bercitra 
sebagaimana yang dikehendaki oleh Tuhan? Namun, bukankah agama juga bisa 
diperuntukkan bagi penciptaan manusia yang bercitra sebagaimana yang 
dikehendaki oleh manusia. Bahkan, negara pun bisa menggunakan agama untuk 
mencitra manusia sesuai dengan yang dikendaki ideologinya (nasionalisme).

      Persoalan pertama, agama masih berada dalam wilayah teologis. Sedangkan 
persoalan berikutnya, agama sudah berada di wilayah ideologis. Dalam perspektif 
pascakolonial, agama sudah Menjadi instrumen dalam proyek kolonialisme. 
Perbedaannya, jika persoalan yang kedua aktornya adalah individu atau komunitas 
ulama, maka persoalan yang ketiga aktornya adalah negara (institusi politik). 
Celakanya, bahkan kerap, aktor individu jumbuh dengan aktor negara jika kita 
melihat pada konteks kehidupan orang Aceh.

      Dalam survei Lembaga Survei Indonesia (LSI), agama sebagai instrumen 
kolonial, tercermin dalam pertanyaan yang diajukan kepada responden di Aceh: 
"Apakah ibu/bapak lebih merasa sebagai orang dari suku-bangsa asal seperti 
Jawa, Sunda, Batak, Minang, dll., lebih sebagai orang dari agama tertentu 
(Islam, Kristen, dll.), atau lebih merasa sebagai orang Indonesia?" Perumus 
pertanyaan tersebut membandingkan antara identitas etnik, religius dan 
ideologis. Hasilnya, menurut LSI bahwa orang Aceh lebih bangga menjadi orang 
Indonesia daripada seorang muslim. Dengan lain kata, keindonesiaan (identitas 
ideologis) telah melampaui keislaman (identitas religiusitas) dan keacehan 
(identitas etnis).

      Untuk mendapatkan konteks historis dan kekinian agama dalam perspektif 
pascakolonial, Aceh memang merupakan wilayah-dalam artian teritori dan waktu-di 
mana agama telah menjadi prototipe ideal instrumen kolonialisasi. Meskipun hal 
ini sering berada di luar kesadaran sosiologis orang Aceh. Bahkan ulama Aceh 
itu sendiri, serta cendekiawan muslim nusantara serta komunitasnya tidak sadar 
jika mereka telah berubah dari aktor teologis menjadi aktor ideologis yang mana 
mereka telah menggunakan agama sebagai instrumen kolonialisasi-teristimewa 
dalam periode bernegara pascakolonial (selepas 1945, red).

      Dalam teori pascakolonial, negara pusat bukan saja mengambil alih secara 
paksa sebuah wilayah dan populasi manusia, tetapi juga menciptakan sistem 
ekonomi, politik dan budaya kolonial di wilayah itu yang memberikan keuntungan 
semaksimal mungkin pada negara pusat. Negara pusat terus berpikir untuk 
menciptakan siasat militer, dan siasat kebudayaan agar wilayah dan populasi 
yang dikuasainya menjelma menjadi sebuah koloni yang kompleks.

      Pada intinya, siasat kebudayaan adalah penghilangan keaslian karakter 
budaya di koloni (dekonstruktif) sehingga terbentuk mental "kompleks 
inferioritas", serta membentuk budaya baru yang berkiblat ke pusat koloni 
(rekonstruktif).


      Snouckis
      Dalam kerangka berpikir siasat kebudayaan (kolonialisasi) itulah, 
Pemerintah Kolonial Belanda mengirim Snock Hurgronje. Apalagi, siasat militer 
tidak berhasil menjadikan Aceh sebagai sebuah koloni yang utuh. Perang Aceh 
berhasil mengulur waktu yang panjang (1873-1949), menyita energi yang 
melelahkan dan menguras dana yang sangat besar. Bahkan melampaui daya dukung 
keuangan serikat dagang dan negara itu sendiri.

      Dampak negatif lainnya bagi negara pusat, siasat militer justru 
mengkristalkan spirit perlawanan yang manifes maupun laten di dalam diri orang 
Aceh. Di satu sisi, orang Aceh semakin mengidealkan dirinya menjadi gerilyawan, 
dan berakhir sebagai syuhada. Idealisasi orang Aceh bukan dalam artian sentimen 
terhadap nonmuslim, melainkan bertindak memerangi kemungkaran yang aktornya 
secara kebetulan jumbuh dengan individu non-muslim dan negara asing. Di sisi 
lain, serdadu mengalami stress dan menjadi bertindak brutal, juga para perwira 
tingginya.

      Apakah siasat kebudayaan kolonial yang dijalankan Snouck di Aceh?
      Target siasat itu langsung ke akar yang menghidupkan orang Aceh, yakni 
Islam. Karena itu, Snouck melakukan riset yang intensif untuk mengetahui 
pengaruh Islam terhadap kehidupan politik, ekonomi dan budaya orang Aceh. 
Meskipun hasil risetnya lebih tepat disebut sebagai studi kasus tentang 
eksistensi agama dalam kehidupan orang Aceh yang
      berada di wilayah dataran rendah, Aceh Besar. Meskipun demikian, studi 
ini memberikan inspirasi pada Snouck untuk merumuskan siasat budaya bagaimana 
'menjinakkan' Islam di Aceh khususnya, dan wilayah koloni Hindia Belanda 
umumnya.

      Siasat kebudayaan ini bukanlah kristenisasi, melainkan reislamisasi orang 
Aceh. Bukan pula, transformasi identitas dari keislaman Menjadi kebelandaan. 
Islam yang berspirit melawan (kemungkaran) negara pusat harus direkonstruksi 
menjadi Islam yang loyal terhadap pusat kolonial, tanpa peduli terhadap 
kemungkaran. Islam harus dijadikan instrumen utama kolonialisasi.

      Ada perbedaan yang tajam antara siasat militer dan siasat kebudayaan 
kolonial. Siasat militer, jika jenderal mati, maka mesjid di bakar. Ketika 
Kohler mati, maka Masjid Raya pun dibakar oleh serdadunya. Siasat kebudayaan 
justru sebaliknya, aktor kolonial harus menjadi imam mesjid, maka mesjid harus 
dibangun lebih megah lagi. Karena itu, proyek budaya yang utama adalah 
membangun kembali Masjid Raya dengan merujuk pada arsitektur Taj Mahal yang 
megah dan menyimbolkan kecintaan yang dalam.

      Di sisi lain, Snouck mendekonstruksi identitas keacehan. Bahwa negara 
tradisional Aceh adalah negara perompak. Bahwa tingkat intelektualitas 
keagamaan ulama Aceh adalah rendah. Bahwa religiusitas orang Aceh adalah mistis 
dan takhayul. Padahal, di sisi lain, Snouck mengakui spirit keagamaan orang 
Aceh berbasis pada sufisme.

      Selain merekonstruksi mesjid, Snouck mengintervensi manajemen 
masjid-bahkan ia berhasil menjadi imam besar-setelah bekerjasama dengan seorang 
kadi hulubalang Aceh. Tahap berikutnya, Snouck menata kembali institusi 
keagamaan agar lebih birokratis. Hal yang penting adalah pengangkatan H. Hasan 
Mustapa-kenalan utamanya sejak di Mekkah dan ulama yang berasal dari kalangan 
kelas menengah Sunda-sebagai
      Penghulu Besar di Aceh selama dua tahun. Lalu, ia diganti oleh Raden Haji 
Muhammad Rusydi-yang masih memiliki tali kekerabatan. Sejak itulah Islam 
menjadi instrumen politik kolonial yang terlembaga, yang kemudian dilanjutkan 
di dalam konteks Indonesia sebagai departemen agama.

      Neo-Snouckis
      Dari perspektif pascakolonial, apakah siasat budaya kolonial masih terus 
dilanjutkan di dalam negara modern Indonesia-dengan versi barunya, yakni 
kolonialisme modern-yang selaras dengan prinsip negara kesatuan?

      Jika kita mengacu pada tesis Loomba, maka kemerdekaan tidak secara 
otomatis memusnahkan siasat budaya kolonial. Bahkan, kelangsungan siasat budaya 
kolonial bisa dimanipulasi sebagai bagian dari semangat nasionalisme yang 
terus-menerus dipompa oleh elite penguasa negara baru.

      Dalam kolonialisme modern, wilayah politik terbagi dua, yakni pusat dan 
daerah dalam relasi yang sentralistik. Sistem demikian juga dipakai di 
Indonesia. Polanya, sistem politik harus memperkuat otoritas pusat dan 
memperlemah otoritas daerah. Sistem ekonominya, daerah adalah wilayah 
eksploitasi sumberdaya alam dan pusat adalah pengelola hasil sumberdaya alam 
itu.

      Dalam sistem kolonial lama, daerah yang memberikan upeti ke pusat. 
Sekarang, bukan lagi upeti, tetapi semua alat produksi dimiliki dan dikelola 
oleh pusat. Pusat 'menyedekahkan' hasilnya kepada setiap daerah, sesuai dengan 
kemurahan hati pusat. Kemudian, daerah adalah pasar dan konsumen terhadap 
industri yang menumpuk di (wilayah) pusat kekuasaan.

      Bagaimanakah dengan siasat yang berkenaan dengan identitas Budaya daerah? 
Apakah setelah kemerdekaan, identitas budaya lokal yang telah dipunahkan oleh 
pemerintah kolonial mendapat kesempatan atau didorong kembali untuk hidup oleh 
penguasa pusat?

      Rezim Soekarno
      Fenomena gerakan pemberontakan daerah, khususnya DI/TII di Aceh dalam 
periode Soekarno, jika dilihat dari perspektif pascakolonial, adalah akibat 
dari masih dilanjutkannya sistem-sistem kolonial itu. Apa yang dilakukan oleh 
Tgk Daud Beureueh adalah perlawanan terhadap dominasi sistem kolonial modern 
yang dipraktekkan rezim Soekarno. Praktek kolonial modern ini sangat terasa di 
luar wilayah Indonesia Luar ketimbang di Indonesia Dalam (dalam pembagian 
Geertz).

      Di wilayah Indonesia Luar, pihak kolonial relatif tidak memiliki waktu 
yang cukup untuk membangun sistem politik dan ekonomi yang kuat atau, wilayah 
ini tidak pernah menjadi pusat kolonial. Akibatnya, ada pola metamorfose yang 
berbeda dalam menyikapi kelanjutan sistem kolonial antar komunitas keagamaan di 
Indonesia. Di sana, komunitas keagamaan membangun perlawanan terhadap dominasi 
pusat, termasuk menjadi gerakan
      politik bersenjata. Apalagi sebagian dari tokohnya adalah pemimpin 
gerilya di masa kolonial.

      Di Indonesia Dalam, komunitas keagamaan berupaya mengintegrasikan diri ke 
dalam struktur birokrasi pemerintahan. Karena itu terjadi kompetisi politik 
yang tajam, misalnya antara NU dan Muhammadiyah, dalam perebutan jabatan 
kementerian agama-yang merupakan proyek kolonial. Mereka berebut menjadi bagian 
dari rezim baru yang melanjutkan proyek kolonial.

      Relasinya dengan kekuasaan, NU mengeluarkan fatwa bughat Terhadap gerakan 
perlawanan muslim di wilayah Indonesia Luar. Fatwa ini merupakan bentuk awal 
komunitas keagamaan yang jumbuh dengan kekuasaan. Sebuah fatwa yang 
menghalalkan pembunuhan muslim di Indonesia. Berikutnya, adalah keterlibatan 
mereka dalam aksi pembasmian PKI yang dimobilisasi serdadu.

      Sementara siasat budaya yang menyangkut identitas daerah, Pusat membangun 
versi baru. Jika dahulu kebanggaan identitas dikaitkan dengan Hindia Belanda, 
maka sekarang kebanggaan terhadap keindonesiaan (nasionalisme), mulai dari 
propaganda "ganyang Malaysia" hingga kebanggaan terhadap proyek-proyek 
mercusuar. Ganyang Malaysia menunjuk pada kebencian sesama etnik melayu akibat 
nasionalisme (hitam).

      Di Aceh, orang mulai bangga menyebutkkan bahwa pabrik Gula Cot Girek 
adalah pabrik terbesar dan termodern di Indonesia. Orang Aceh merasa inferior 
atau tidak modern bila tidak berbahasa Indonesia. Sementara, konsesi politik 
pasca DI/TII yang berkenaan dengan tiga keistimewaan Aceh (dalam bidang agama, 
adat dan pendidikan)-yang sebenarnya dapat menjadi basis bagi siasat budaya 
perlawanan lokal terhadap budaya dominan-tidak berjalan.

      Rezim Soeharto
      Pada periode Soeharto, tiga keistimewaan itu diabaikan secara legal 
dengan Undang-undang Pemerintah Daerah dan Pendidikan Nasional. Bahkan, upaya 
mengimplementasikan tiga keistimewaan itu dengan mudah dihantam oleh isu 
komando jihad, dan Gerakan Pengacau Liar (GPK) dalam periode DOM (1989-1998).

      Identitas lokal diorientasikan pada kebanggaan terhadap industri 
eksploitasi gas alam Arun. Industri itu dipropagandakan sebagai penghasil gas 
terbesar di dunia, yang menggunakan teknologi tercanggih (supra modern). Orang 
Aceh bangga-khususnya kaum birokrat dan kelas menengah atas-bahwa gagasan 
pembentukan Bappenas berasal dari pengembangan gagasan Aceh Development Board 
(ADB). Orang Aceh bangga bahwa pelembagaan ulama (Majelis Ulama Indonesia) 
adalah berasal dari Aceh. Elite agama Aceh tidak sadar bahwa pelembagaan ulama 
merupakan kelanjutan dari proyek kolonialisasi yang telah dilakukan oleh Snock 
Hurgronje. Pelembagaan itu merupakan siasat budaya pusat untuk mengontrol ulama 
melalui institusi birokrasi.

      Dalam periode negara modern, komunitas muslim selalu disediakan musuh 
oleh penguasa politik. Islam dan muslim dibenturkan dengan non-Islam dan 
non-muslim. Islam dan muslim dibenturkan dengan komunisme (Tragedi '65). Hal 
ini membentuk karakter Islam eksklusif. Islam dan muslim dibenturkan dengan 
Islam dan muslim yang dilabel dan dipropagandakan oleh penguasa sebagai Islam 
radikal dan komunitas komando jihad (komji). Hal ini membentuk karakter Islam 
introvert. Jadi proyek kolonialisme modern melahirkan Islam eksklusif dan 
introvert-yang sesuai dengan ranah budaya agraris pedalaman dan rezim politik 
yang represif.

      Suatu kala, saya bertemu dengan seorang inisiator PKI di Aceh yang telah 
bermukim di Amsterdam. Saya terkejut ketika ia mengatakan bahwa yang pertama 
sekali dieksekusi (extra judicial killing) di Aceh adalah enam perempuan. Hal 
ini menunjukkan proyek kolonialisme modern yang menjadikan Islam sebagai 
instrumen politik berdarahnya telah merasuk sangat dalam. Muslim membantai 
muslim yang berideologi berbeda, bersimpati atau berkerabat dengan pengikut 
komunisme.

      Oleh serdadu, pola ini digunakan lagi di masa DOM. Sejumlah ulama dibawa 
ke kamp-kamp penyiksaan dan pembantaian serdadu untuk memberikan 'siraman 
rohani'. Kesaksian para tahanan bahwa ulama justru menyalahkan, bahkan 
memberikan label berdosa pada mereka karena melawan pemerintah. Hal ini 
menunjukkan bahwa ulama Aceh telah memiliki karakter politik yang sama dengan 
ulama di Indonesia Dalam. Ulama menjadi buta terhadap tindakan mungkar dan 
dzalim (serdadu) yang terjadi di dalam kamp militer tersebut.

      Ketika Islam dan muslim telah menjadi instrumen dan aktor proyek 
kolonialisme modern, maka spirit perlawanan (jihad) Terhadap kemungkaran 
(korupsi) dan kezaliman (pelanggaran HAM) penguasa politik hilang. Akar spirit 
gerakan perlawanan terhadap rezim Soeharto bukan bersumber pada agama dan bukan 
digerakkan oleh ulama, melainkan bersumber dari akumulasi pengalaman hidup 
rakyat yang pahit dan berdarah selama tiga dasawarsa Orde Baru.

      Pasca Reformasi
      Hal yang lebih tragis lagi bagi Aceh, di pascareformasi terjadi 
kejumbuhan antara aktor agama dan aktor negara dalam melanjutkan proyek-proyek 
kolonialisme modern di masa kekuasaan Abdurrahman Wahid. Siasat budaya yang 
berlaku-dengan menggunakan dana bantuan Sultan Brunei Darussalam-adalah 
merelasikan antara ulama Aceh dan NU. Dalam setiap muktamar NU, misalnya 
muktamar tarekat yang muktabarah, maka ulama Aceh dihadirkan.

      Kemudian rezim mempropagandakan ulama sebagai pemilik otoritas tertinggi 
terhadap seluruh tatanan kehidupan orang Aceh. Penguasa pusat bermaksud untuk 
memotong pengaruh GAM dalam masyarakat dengan meminjam tangan ulama Aceh.

      Di sisi lain, penguasa pusat mempropagandakan pada komunitas 
internasional bahwa orang Aceh adalah penganut Islam yang sangat fanatik dan 
radikal. Orang Aceh adalah kaum muslim yang tertutup dan eksklusif. Orang Aceh 
sangat membenci orang asing, apalagi non-muslim.

      Pada awalnya, serdadu memberikan tekanan khusus bahwa pendanaan GAM 
ditopang dari hasil penjualan ganja. Sementara sebaran ganja Aceh ke seluruh 
pelosok nusantara paralel dengan asal-usul kesatuan serdadu yang dikirim ke 
Aceh.

      Lalu siasat budaya ini dikembangkan menjadi proyek kriminalisasi manusia. 
Orang Aceh adalah pemadat ganja. Media elektronik dan cetak di Indonesia pun 
mengekspose penangkapan anggota sindikat ganja, apalagi bila ada pelakunya yang 
berasal dari Aceh. Media melanjutkan dan ikut mempertajam diskriminasi etnis 
yang berbasis ganja sebagaimana yang diskenariokan oleh serdadu. Lalu, serdadu 
memaksa pihak ulama untuk mengeluarkan fatwa yang menyangkut ganja.

      Dari perspektif pascakolonial, tindakan kriminalisasi orang Aceh-dengan 
menggunakan ganja-adalah salah satu bagian dari paket dehumanization jika kita 
merujuk pada konsep kolonialisasi Frantz Fanon. Masih ada tindakan lainnya di 
dalam paket tersebut, antara lain, pemarakan perdagangan ilegal, perjudian, 
pelacuran, pencurian, pembunuhan massal, perbudakan seks di kamp militer, 
disgregasi etnis dan pembunuhan misterius. Ada dua hal yang diharapkan dari 
siasat ini, pertama inferioritas orang Aceh, konflik horizontal, dan orang Aceh 
menjadi manusia traumatik. Kedua, membangkitkan gairah masyarakat di luar Aceh 
untuk mencurigai, men-sweeping dan menghukum orang Aceh yang bermukim di 
daerahnya.

      Proyek budaya lainnya adalah memberikan legalitas pemberlakukan syariat 
Islam. Hal ini justru digunakan untuk meneguhkan propaganda pada komunitas 
internasional: "Lihatlah, orang Aceh sangat fanatik. Mereka ingin mendirikan 
negara Islam di dalam Indonesia. Mereka kaum muslim yang potensial menjadi 
kelompok teroris. Buktinya, lihatlah apa yang dilakukan GAM!"

      Dalam realitasnya, pemberlakuan syariat Islam merupakan proyek 
kolonialisme modern untuk memasukkan orang Aceh ke dalam 'kerangkeng besi'. 
Padahal, kasus-kasus korupsi tidak diadili dengan syariat, melainkan dengan UU 
Tindak Pidana. Kasus-kasus pelanggaran HAM oleh serdadu tidak bisa disentuh 
oleh syariat, melainkan dengan peradilan koneksitas dan peradilan militer. 
Kasus-kasus pemerkosaan juga hanya masalah indisipliner serdadu. Kasus-kasus 
judi, togel dan narkoba (shabu-shabu) yang dibekingi serdadu tak terjangkau 
syariat. Bahkan kasus pembunuhan yang dilakukan serdadu terhadap istri mantan 
walikota pun tidak masuk ke dalam peradilan syariat.

      Hukum syariat hanya menjangkau laki-laki Aceh yang tidak pergi ke masjid 
di hari Jumat. Perempuan Aceh tidak memakai jilbab. Kaum muda Aceh yang pacaran 
di pinggir pantai. Singkatnya, pemberlakuan syariat ibarat memakaikan sepatu 
besi yang kekecilan pada kaki-kaki orang Aceh yang melakukan perlawanan 
terhadap aktor kolonial versi baru-yakni kaum dan penguasa Neo-Snouckis. 
Pemberlakuan syariat di Aceh hanya merupakan salah satu siasat budaya 
kolonialisme modern yang menguntungkan pusat.

      Penutup
      Islam dan muslim dalam ranah non-teologis dapat ditafsir dari perspektif 
pascakolonial. Aceh menjadi konteks historis dan politik kekinian yang ideal 
untuk menemukan bagaimanakah Islam dan muslim digunakan sebagai instrumen dan 
aktor dalam proyek budaya kolonialisme modern.

      Proyek kolonialisme ini tanpa disadari telah tertanam di dalam kaum 
terpelajar muslim, atau kelas menengah Aceh. Fenomena itu semakin tampak tegas 
pada perilaku elite agama periode pascatsunami. Ceramah-ceramah agama di mesjid 
menegaskan bahwa bencana alam tsunami terjadi karena kemurkaan Allah SWT 
terhadap amoralitas orang Aceh yang sudah keluar batas.

      Korban tsunami mendapat siraman rohani, misalnya: "Bersabarlah dalam 
menghadapi cobaan Tuhan, Tuhan akan menyayangi mereka yang bersabar." Sementara 
bantuan kemanusiaan dari seluruh penjuru dunia tidak sampai kepada mereka 
karena ada kontrol dan akumulasi yang dilakukan oleh serdadu. Ulama bukannya 
menyiram rohani serdadu: "Bahwa tindakan mengontrol, mengakumulasi dan 
melakukan diskriminasi politik dalam
      kaitannya dengan bantuan adalah perbuatan mungkar dan dzalim. Allah SWT 
akan melaknati kalian, wahai kaum serdadu!"

      Tanda-tanda berikutnya, ulama mulai peka dan mudah terhasut dengan isu 
kristenisasi. Bahkan, segala sesuatu yang asing (LSM dan serdadu) adalah 
identik dengan Kristen. Ulama pun meminta elite penguasa untuk mengontrol dan 
menyeleksi orang asing dengan mindset orang kafir. Di dalam benak mereka sudah 
terjadi dialog: "Tidak mungkin orang asing membantu Aceh dengan tanpa 
kepentingan. Adapun kepentingan itu adalah kristenisasi."

      Hal yang juga penting, apakah muskil rekonstruksi pascatsunami merupakan 
proyek budaya neo-snouckis (kolonialisme modern) yang terbesar di abad 21? 
Proyek budaya kolonial modern yang bertujuan merubah orang Aceh menjadi 
manusia-manusia kolonial dan beragama sesuai dengan format kolonial modern, dan 
pelakunya berasal dari etnik dengan agama yang sama dengan orang Aceh itu 
sendiri.

      Jika hal ini betul-betul terjadi, maka bukan saja orang Aceh telah 
ditipu, melainkan komunitas internasional yang membantu Aceh atas dasar spirit 
kemanusiaan juga telah ditipu. Bayangkan saja, Bantuan kemanusiaan telah 
digunakan untuk mendehumanisasi manusia lainnya (orang Aceh). Naudzubillah! 
(acehkita)

      http://www.acehinstitute.org/
     
        


[Non-text portions of this message have been removed]



***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx
5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx
6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com **

Other related posts:

  • » [nasional_list] [ppiindia] AGAR SYARIAT ISLAM DI ACEH TIDAK MENJADI SIASAT BUDAYA