[nasional_list] [ppiindia] Bagaimana ini mbak Aris?

  • From: "RM Danardono HADINOTO" <rm_danardono@xxxxxxxx>
  • To: ppiindia@xxxxxxxxxxxxxxx
  • Date: Tue, 28 Feb 2006 14:37:29 -0000

** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com **Bagaiamana ini mbak Aris? 
keIndonesiaan diatas keAgamaan?

"      Dalam survei Lembaga Survei Indonesia (LSI), agama sebagai 
instrumen kolonial, tercermin dalam pertanyaan yang diajukan kepada 
responden di Aceh:

"Apakah ibu/bapak lebih merasa sebagai orang dari suku-bangsa asal 
seperti Jawa, Sunda, Batak, Minang, dll., lebih sebagai orang dari 
agama tertentu (Islam, Kristen, dll.), atau lebih merasa sebagai 
orang Indonesia?" 

Perumus pertanyaan tersebut membandingkan antara identitas etnik, 
religius dan ideologis. Hasilnya, menurut LSI bahwa orang Aceh lebih 
bangga menjadi orang Indonesia daripada seorang muslim. Dengan lain 
kata, keindonesiaan (identitas ideologis) telah melampaui keislaman 
(identitas religiusitas) dan keacehan (identitas etnis)...."

Ya. inilah fakta kehidupan bangsa kita, syukurlah.

Salam

Danardono

Selamat membaca:



--- In ppiindia@xxxxxxxxxxxxxxx, "Ambon" <sea@...> wrote:
>
>       AGAR SYARIAT ISLAM DI ACEH TIDAK MENJADI SIASAT BUDAYA 
>       NEO-SNOUCKIS 
> 
>       Oleh: Otto Syamsuddin Ishak
>       Sosiolog, Penasehat Aceh Institute 
>       (Tulisan serupa pernah dimuat di AcehKita)
>        
> 
> 
>       Apakah agama diperuntukkan bagi penciptaan manusia yang 
bercitra sebagaimana yang dikehendaki oleh Tuhan? Namun, bukankah 
agama juga bisa diperuntukkan bagi penciptaan manusia yang bercitra 
sebagaimana yang dikehendaki oleh manusia. Bahkan, negara pun bisa 
menggunakan agama untuk mencitra manusia sesuai dengan yang 
dikendaki ideologinya (nasionalisme).
> 
>       Persoalan pertama, agama masih berada dalam wilayah 
teologis. Sedangkan persoalan berikutnya, agama sudah berada di 
wilayah ideologis. Dalam perspektif pascakolonial, agama sudah 
Menjadi instrumen dalam proyek kolonialisme. Perbedaannya, jika 
persoalan yang kedua aktornya adalah individu atau komunitas ulama, 
maka persoalan yang ketiga aktornya adalah negara (institusi 
politik). Celakanya, bahkan kerap, aktor individu jumbuh dengan 
aktor negara jika kita melihat pada konteks kehidupan orang Aceh.
> 
>       Dalam survei Lembaga Survei Indonesia (LSI), agama sebagai 
instrumen kolonial, tercermin dalam pertanyaan yang diajukan kepada 
responden di Aceh: "Apakah ibu/bapak lebih merasa sebagai orang dari 
suku-bangsa asal seperti Jawa, Sunda, Batak, Minang, dll., lebih 
sebagai orang dari agama tertentu (Islam, Kristen, dll.), atau lebih 
merasa sebagai orang Indonesia?" Perumus pertanyaan tersebut 
membandingkan antara identitas etnik, religius dan ideologis. 
Hasilnya, menurut LSI bahwa orang Aceh lebih bangga menjadi orang 
Indonesia daripada seorang muslim. Dengan lain kata, keindonesiaan 
(identitas ideologis) telah melampaui keislaman (identitas 
religiusitas) dan keacehan (identitas etnis).
> 
>       Untuk mendapatkan konteks historis dan kekinian agama dalam 
perspektif pascakolonial, Aceh memang merupakan wilayah-dalam artian 
teritori dan waktu-di mana agama telah menjadi prototipe ideal 
instrumen kolonialisasi. Meskipun hal ini sering berada di luar 
kesadaran sosiologis orang Aceh. Bahkan ulama Aceh itu sendiri, 
serta cendekiawan muslim nusantara serta komunitasnya tidak sadar 
jika mereka telah berubah dari aktor teologis menjadi aktor 
ideologis yang mana mereka telah menggunakan agama sebagai instrumen 
kolonialisasi-teristimewa dalam periode bernegara pascakolonial 
(selepas 1945, red).
> 
>       Dalam teori pascakolonial, negara pusat bukan saja mengambil 
alih secara paksa sebuah wilayah dan populasi manusia, tetapi juga 
menciptakan sistem ekonomi, politik dan budaya kolonial di wilayah 
itu yang memberikan keuntungan semaksimal mungkin pada negara pusat. 
Negara pusat terus berpikir untuk menciptakan siasat militer, dan 
siasat kebudayaan agar wilayah dan populasi yang dikuasainya 
menjelma menjadi sebuah koloni yang kompleks.
> 
>       Pada intinya, siasat kebudayaan adalah penghilangan keaslian 
karakter budaya di koloni (dekonstruktif) sehingga terbentuk 
mental "kompleks inferioritas", serta membentuk budaya baru yang 
berkiblat ke pusat koloni (rekonstruktif).
> 
> 
>       Snouckis
>       Dalam kerangka berpikir siasat kebudayaan (kolonialisasi) 
itulah, Pemerintah Kolonial Belanda mengirim Snock Hurgronje. 
Apalagi, siasat militer tidak berhasil menjadikan Aceh sebagai 
sebuah koloni yang utuh. Perang Aceh berhasil mengulur waktu yang 
panjang (1873-1949), menyita energi yang melelahkan dan menguras 
dana yang sangat besar. Bahkan melampaui daya dukung keuangan 
serikat dagang dan negara itu sendiri.
> 
>       Dampak negatif lainnya bagi negara pusat, siasat militer 
justru mengkristalkan spirit perlawanan yang manifes maupun laten di 
dalam diri orang Aceh. Di satu sisi, orang Aceh semakin mengidealkan 
dirinya menjadi gerilyawan, dan berakhir sebagai syuhada. Idealisasi 
orang Aceh bukan dalam artian sentimen terhadap nonmuslim, melainkan 
bertindak memerangi kemungkaran yang aktornya secara kebetulan 
jumbuh dengan individu non-muslim dan negara asing. Di sisi lain, 
serdadu mengalami stress dan menjadi bertindak brutal, juga para 
perwira tingginya.
> 
>       Apakah siasat kebudayaan kolonial yang dijalankan Snouck di 
Aceh?
>       Target siasat itu langsung ke akar yang menghidupkan orang 
Aceh, yakni Islam. Karena itu, Snouck melakukan riset yang intensif 
untuk mengetahui pengaruh Islam terhadap kehidupan politik, ekonomi 
dan budaya orang Aceh. Meskipun hasil risetnya lebih tepat disebut 
sebagai studi kasus tentang eksistensi agama dalam kehidupan orang 
Aceh yang
>       berada di wilayah dataran rendah, Aceh Besar. Meskipun 
demikian, studi ini memberikan inspirasi pada Snouck untuk 
merumuskan siasat budaya bagaimana 'menjinakkan' Islam di Aceh 
khususnya, dan wilayah koloni Hindia Belanda umumnya.
> 
>       Siasat kebudayaan ini bukanlah kristenisasi, melainkan 
reislamisasi orang Aceh. Bukan pula, transformasi identitas dari 
keislaman Menjadi kebelandaan. Islam yang berspirit melawan 
(kemungkaran) negara pusat harus direkonstruksi menjadi Islam yang 
loyal terhadap pusat kolonial, tanpa peduli terhadap kemungkaran. 
Islam harus dijadikan instrumen utama kolonialisasi.
> 
>       Ada perbedaan yang tajam antara siasat militer dan siasat 
kebudayaan kolonial. Siasat militer, jika jenderal mati, maka mesjid 
di bakar. Ketika Kohler mati, maka Masjid Raya pun dibakar oleh 
serdadunya. Siasat kebudayaan justru sebaliknya, aktor kolonial 
harus menjadi imam mesjid, maka mesjid harus dibangun lebih megah 
lagi. Karena itu, proyek budaya yang utama adalah membangun kembali 
Masjid Raya dengan merujuk pada arsitektur Taj Mahal yang megah dan 
menyimbolkan kecintaan yang dalam.
> 
>       Di sisi lain, Snouck mendekonstruksi identitas keacehan. 
Bahwa negara tradisional Aceh adalah negara perompak. Bahwa tingkat 
intelektualitas keagamaan ulama Aceh adalah rendah. Bahwa 
religiusitas orang Aceh adalah mistis dan takhayul. Padahal, di sisi 
lain, Snouck mengakui spirit keagamaan orang Aceh berbasis pada 
sufisme.
> 
>       Selain merekonstruksi mesjid, Snouck mengintervensi 
manajemen masjid-bahkan ia berhasil menjadi imam besar-setelah 
bekerjasama dengan seorang kadi hulubalang Aceh. Tahap berikutnya, 
Snouck menata kembali institusi keagamaan agar lebih birokratis. Hal 
yang penting adalah pengangkatan H. Hasan Mustapa-kenalan utamanya 
sejak di Mekkah dan ulama yang berasal dari kalangan kelas menengah 
Sunda-sebagai
>       Penghulu Besar di Aceh selama dua tahun. Lalu, ia diganti 
oleh Raden Haji Muhammad Rusydi-yang masih memiliki tali 
kekerabatan. Sejak itulah Islam menjadi instrumen politik kolonial 
yang terlembaga, yang kemudian dilanjutkan di dalam konteks 
Indonesia sebagai departemen agama.
> 
>       Neo-Snouckis
>       Dari perspektif pascakolonial, apakah siasat budaya kolonial 
masih terus dilanjutkan di dalam negara modern Indonesia-dengan 
versi barunya, yakni kolonialisme modern-yang selaras dengan prinsip 
negara kesatuan?
> 
>       Jika kita mengacu pada tesis Loomba, maka kemerdekaan tidak 
secara otomatis memusnahkan siasat budaya kolonial. Bahkan, 
kelangsungan siasat budaya kolonial bisa dimanipulasi sebagai bagian 
dari semangat nasionalisme yang terus-menerus dipompa oleh elite 
penguasa negara baru.
> 
>       Dalam kolonialisme modern, wilayah politik terbagi dua, 
yakni pusat dan daerah dalam relasi yang sentralistik. Sistem 
demikian juga dipakai di Indonesia. Polanya, sistem politik harus 
memperkuat otoritas pusat dan memperlemah otoritas daerah. Sistem 
ekonominya, daerah adalah wilayah eksploitasi sumberdaya alam dan 
pusat adalah pengelola hasil sumberdaya alam itu.
> 
>       Dalam sistem kolonial lama, daerah yang memberikan upeti ke 
pusat. Sekarang, bukan lagi upeti, tetapi semua alat produksi 
dimiliki dan dikelola oleh pusat. Pusat 'menyedekahkan' hasilnya 
kepada setiap daerah, sesuai dengan kemurahan hati pusat. Kemudian, 
daerah adalah pasar dan konsumen terhadap industri yang menumpuk di 
(wilayah) pusat kekuasaan.
> 
>       Bagaimanakah dengan siasat yang berkenaan dengan identitas 
Budaya daerah? Apakah setelah kemerdekaan, identitas budaya lokal 
yang telah dipunahkan oleh pemerintah kolonial mendapat kesempatan 
atau didorong kembali untuk hidup oleh penguasa pusat?
> 
>       Rezim Soekarno
>       Fenomena gerakan pemberontakan daerah, khususnya DI/TII di 
Aceh dalam periode Soekarno, jika dilihat dari perspektif 
pascakolonial, adalah akibat dari masih dilanjutkannya sistem-sistem 
kolonial itu. Apa yang dilakukan oleh Tgk Daud Beureueh adalah 
perlawanan terhadap dominasi sistem kolonial modern yang 
dipraktekkan rezim Soekarno. Praktek kolonial modern ini sangat 
terasa di luar wilayah Indonesia Luar ketimbang di Indonesia Dalam 
(dalam pembagian Geertz).
> 
>       Di wilayah Indonesia Luar, pihak kolonial relatif tidak 
memiliki waktu yang cukup untuk membangun sistem politik dan ekonomi 
yang kuat atau, wilayah ini tidak pernah menjadi pusat kolonial. 
Akibatnya, ada pola metamorfose yang berbeda dalam menyikapi 
kelanjutan sistem kolonial antar komunitas keagamaan di Indonesia. 
Di sana, komunitas keagamaan membangun perlawanan terhadap dominasi 
pusat, termasuk menjadi gerakan
>       politik bersenjata. Apalagi sebagian dari tokohnya adalah 
pemimpin gerilya di masa kolonial.
> 
>       Di Indonesia Dalam, komunitas keagamaan berupaya 
mengintegrasikan diri ke dalam struktur birokrasi pemerintahan. 
Karena itu terjadi kompetisi politik yang tajam, misalnya antara NU 
dan Muhammadiyah, dalam perebutan jabatan kementerian agama-yang 
merupakan proyek kolonial. Mereka berebut menjadi bagian dari rezim 
baru yang melanjutkan proyek kolonial.
> 
>       Relasinya dengan kekuasaan, NU mengeluarkan fatwa bughat 
Terhadap gerakan perlawanan muslim di wilayah Indonesia Luar. Fatwa 
ini merupakan bentuk awal komunitas keagamaan yang jumbuh dengan 
kekuasaan. Sebuah fatwa yang menghalalkan pembunuhan muslim di 
Indonesia. Berikutnya, adalah keterlibatan mereka dalam aksi 
pembasmian PKI yang dimobilisasi serdadu.
> 
>       Sementara siasat budaya yang menyangkut identitas daerah, 
Pusat membangun versi baru. Jika dahulu kebanggaan identitas 
dikaitkan dengan Hindia Belanda, maka sekarang kebanggaan terhadap 
keindonesiaan (nasionalisme), mulai dari propaganda "ganyang 
Malaysia" hingga kebanggaan terhadap proyek-proyek mercusuar. 
Ganyang Malaysia menunjuk pada kebencian sesama etnik melayu akibat 
nasionalisme (hitam).
> 
>       Di Aceh, orang mulai bangga menyebutkkan bahwa pabrik Gula 
Cot Girek adalah pabrik terbesar dan termodern di Indonesia. Orang 
Aceh merasa inferior atau tidak modern bila tidak berbahasa 
Indonesia. Sementara, konsesi politik pasca DI/TII yang berkenaan 
dengan tiga keistimewaan Aceh (dalam bidang agama, adat dan 
pendidikan)-yang sebenarnya dapat menjadi basis bagi siasat budaya 
perlawanan lokal terhadap budaya dominan-tidak berjalan.
> 
>       Rezim Soeharto
>       Pada periode Soeharto, tiga keistimewaan itu diabaikan 
secara legal dengan Undang-undang Pemerintah Daerah dan Pendidikan 
Nasional. Bahkan, upaya mengimplementasikan tiga keistimewaan itu 
dengan mudah dihantam oleh isu komando jihad, dan Gerakan Pengacau 
Liar (GPK) dalam periode DOM (1989-1998).
> 
>       Identitas lokal diorientasikan pada kebanggaan terhadap 
industri eksploitasi gas alam Arun. Industri itu dipropagandakan 
sebagai penghasil gas terbesar di dunia, yang menggunakan teknologi 
tercanggih (supra modern). Orang Aceh bangga-khususnya kaum birokrat 
dan kelas menengah atas-bahwa gagasan pembentukan Bappenas berasal 
dari pengembangan gagasan Aceh Development Board (ADB). Orang Aceh 
bangga bahwa pelembagaan ulama (Majelis Ulama Indonesia) adalah 
berasal dari Aceh. Elite agama Aceh tidak sadar bahwa pelembagaan 
ulama merupakan kelanjutan dari proyek kolonialisasi yang telah 
dilakukan oleh Snock Hurgronje. Pelembagaan itu merupakan siasat 
budaya pusat untuk mengontrol ulama melalui institusi birokrasi.
> 
>       Dalam periode negara modern, komunitas muslim selalu 
disediakan musuh oleh penguasa politik. Islam dan muslim dibenturkan 
dengan non-Islam dan non-muslim. Islam dan muslim dibenturkan dengan 
komunisme (Tragedi '65). Hal ini membentuk karakter Islam eksklusif. 
Islam dan muslim dibenturkan dengan Islam dan muslim yang dilabel 
dan dipropagandakan oleh penguasa sebagai Islam radikal dan 
komunitas komando jihad (komji). Hal ini membentuk karakter Islam 
introvert. Jadi proyek kolonialisme modern melahirkan Islam 
eksklusif dan introvert-yang sesuai dengan ranah budaya agraris 
pedalaman dan rezim politik yang represif.
> 
>       Suatu kala, saya bertemu dengan seorang inisiator PKI di 
Aceh yang telah bermukim di Amsterdam. Saya terkejut ketika ia 
mengatakan bahwa yang pertama sekali dieksekusi (extra judicial 
killing) di Aceh adalah enam perempuan. Hal ini menunjukkan proyek 
kolonialisme modern yang menjadikan Islam sebagai instrumen politik 
berdarahnya telah merasuk sangat dalam. Muslim membantai muslim yang 
berideologi berbeda, bersimpati atau berkerabat dengan pengikut 
komunisme.
> 
>       Oleh serdadu, pola ini digunakan lagi di masa DOM. Sejumlah 
ulama dibawa ke kamp-kamp penyiksaan dan pembantaian serdadu untuk 
memberikan 'siraman rohani'. Kesaksian para tahanan bahwa ulama 
justru menyalahkan, bahkan memberikan label berdosa pada mereka 
karena melawan pemerintah. Hal ini menunjukkan bahwa ulama Aceh 
telah memiliki karakter politik yang sama dengan ulama di Indonesia 
Dalam. Ulama menjadi buta terhadap tindakan mungkar dan dzalim 
(serdadu) yang terjadi di dalam kamp militer tersebut.
> 
>       Ketika Islam dan muslim telah menjadi instrumen dan aktor 
proyek kolonialisme modern, maka spirit perlawanan (jihad) Terhadap 
kemungkaran (korupsi) dan kezaliman (pelanggaran HAM) penguasa 
politik hilang. Akar spirit gerakan perlawanan terhadap rezim 
Soeharto bukan bersumber pada agama dan bukan digerakkan oleh ulama, 
melainkan bersumber dari akumulasi pengalaman hidup rakyat yang 
pahit dan berdarah selama tiga dasawarsa Orde Baru.
> 
>       Pasca Reformasi
>       Hal yang lebih tragis lagi bagi Aceh, di pascareformasi 
terjadi kejumbuhan antara aktor agama dan aktor negara dalam 
melanjutkan proyek-proyek kolonialisme modern di masa kekuasaan 
Abdurrahman Wahid. Siasat budaya yang berlaku-dengan menggunakan 
dana bantuan Sultan Brunei Darussalam-adalah merelasikan antara 
ulama Aceh dan NU. Dalam setiap muktamar NU, misalnya muktamar 
tarekat yang muktabarah, maka ulama Aceh dihadirkan.
> 
>       Kemudian rezim mempropagandakan ulama sebagai pemilik 
otoritas tertinggi terhadap seluruh tatanan kehidupan orang Aceh. 
Penguasa pusat bermaksud untuk memotong pengaruh GAM dalam 
masyarakat dengan meminjam tangan ulama Aceh.
> 
>       Di sisi lain, penguasa pusat mempropagandakan pada komunitas 
internasional bahwa orang Aceh adalah penganut Islam yang sangat 
fanatik dan radikal. Orang Aceh adalah kaum muslim yang tertutup dan 
eksklusif. Orang Aceh sangat membenci orang asing, apalagi non-
muslim.
> 
>       Pada awalnya, serdadu memberikan tekanan khusus bahwa 
pendanaan GAM ditopang dari hasil penjualan ganja. Sementara sebaran 
ganja Aceh ke seluruh pelosok nusantara paralel dengan asal-usul 
kesatuan serdadu yang dikirim ke Aceh.
> 
>       Lalu siasat budaya ini dikembangkan menjadi proyek 
kriminalisasi manusia. Orang Aceh adalah pemadat ganja. Media 
elektronik dan cetak di Indonesia pun mengekspose penangkapan 
anggota sindikat ganja, apalagi bila ada pelakunya yang berasal dari 
Aceh. Media melanjutkan dan ikut mempertajam diskriminasi etnis yang 
berbasis ganja sebagaimana yang diskenariokan oleh serdadu. Lalu, 
serdadu memaksa pihak ulama untuk mengeluarkan fatwa yang menyangkut 
ganja.
> 
>       Dari perspektif pascakolonial, tindakan kriminalisasi orang 
Aceh-dengan menggunakan ganja-adalah salah satu bagian dari paket 
dehumanization jika kita merujuk pada konsep kolonialisasi Frantz 
Fanon. Masih ada tindakan lainnya di dalam paket tersebut, antara 
lain, pemarakan perdagangan ilegal, perjudian, pelacuran, pencurian, 
pembunuhan massal, perbudakan seks di kamp militer, disgregasi etnis 
dan pembunuhan misterius. Ada dua hal yang diharapkan dari siasat 
ini, pertama inferioritas orang Aceh, konflik horizontal, dan orang 
Aceh menjadi manusia traumatik. Kedua, membangkitkan gairah 
masyarakat di luar Aceh untuk mencurigai, men-sweeping dan menghukum 
orang Aceh yang bermukim di daerahnya.
> 
>       Proyek budaya lainnya adalah memberikan legalitas 
pemberlakukan syariat Islam. Hal ini justru digunakan untuk 
meneguhkan propaganda pada komunitas internasional: "Lihatlah, orang 
Aceh sangat fanatik. Mereka ingin mendirikan negara Islam di dalam 
Indonesia. Mereka kaum muslim yang potensial menjadi kelompok 
teroris. Buktinya, lihatlah apa yang dilakukan GAM!"
> 
>       Dalam realitasnya, pemberlakuan syariat Islam merupakan 
proyek kolonialisme modern untuk memasukkan orang Aceh ke 
dalam 'kerangkeng besi'. Padahal, kasus-kasus korupsi tidak diadili 
dengan syariat, melainkan dengan UU Tindak Pidana. Kasus-kasus 
pelanggaran HAM oleh serdadu tidak bisa disentuh oleh syariat, 
melainkan dengan peradilan koneksitas dan peradilan militer. Kasus-
kasus pemerkosaan juga hanya masalah indisipliner serdadu. Kasus-
kasus judi, togel dan narkoba (shabu-shabu) yang dibekingi serdadu 
tak terjangkau syariat. Bahkan kasus pembunuhan yang dilakukan 
serdadu terhadap istri mantan walikota pun tidak masuk ke dalam 
peradilan syariat.
> 
>       Hukum syariat hanya menjangkau laki-laki Aceh yang tidak 
pergi ke masjid di hari Jumat. Perempuan Aceh tidak memakai jilbab. 
Kaum muda Aceh yang pacaran di pinggir pantai. Singkatnya, 
pemberlakuan syariat ibarat memakaikan sepatu besi yang kekecilan 
pada kaki-kaki orang Aceh yang melakukan perlawanan terhadap aktor 
kolonial versi baru-yakni kaum dan penguasa Neo-Snouckis. 
Pemberlakuan syariat di Aceh hanya merupakan salah satu siasat 
budaya kolonialisme modern yang menguntungkan pusat.
> 
>       Penutup
>       Islam dan muslim dalam ranah non-teologis dapat ditafsir 
dari perspektif pascakolonial. Aceh menjadi konteks historis dan 
politik kekinian yang ideal untuk menemukan bagaimanakah Islam dan 
muslim digunakan sebagai instrumen dan aktor dalam proyek budaya 
kolonialisme modern.
> 
>       Proyek kolonialisme ini tanpa disadari telah tertanam di 
dalam kaum terpelajar muslim, atau kelas menengah Aceh. Fenomena itu 
semakin tampak tegas pada perilaku elite agama periode pascatsunami. 
Ceramah-ceramah agama di mesjid menegaskan bahwa bencana alam 
tsunami terjadi karena kemurkaan Allah SWT terhadap amoralitas orang 
Aceh yang sudah keluar batas.
> 
>       Korban tsunami mendapat siraman rohani, 
misalnya: "Bersabarlah dalam menghadapi cobaan Tuhan, Tuhan akan 
menyayangi mereka yang bersabar." Sementara bantuan kemanusiaan dari 
seluruh penjuru dunia tidak sampai kepada mereka karena ada kontrol 
dan akumulasi yang dilakukan oleh serdadu. Ulama bukannya menyiram 
rohani serdadu: "Bahwa tindakan mengontrol, mengakumulasi dan 
melakukan diskriminasi politik dalam
>       kaitannya dengan bantuan adalah perbuatan mungkar dan 
dzalim. Allah SWT akan melaknati kalian, wahai kaum serdadu!"
> 
>       Tanda-tanda berikutnya, ulama mulai peka dan mudah terhasut 
dengan isu kristenisasi. Bahkan, segala sesuatu yang asing (LSM dan 
serdadu) adalah identik dengan Kristen. Ulama pun meminta elite 
penguasa untuk mengontrol dan menyeleksi orang asing dengan mindset 
orang kafir. Di dalam benak mereka sudah terjadi dialog: "Tidak 
mungkin orang asing membantu Aceh dengan tanpa kepentingan. Adapun 
kepentingan itu adalah kristenisasi."
> 
>       Hal yang juga penting, apakah muskil rekonstruksi 
pascatsunami merupakan proyek budaya neo-snouckis (kolonialisme 
modern) yang terbesar di abad 21? Proyek budaya kolonial modern yang 
bertujuan merubah orang Aceh menjadi manusia-manusia kolonial dan 
beragama sesuai dengan format kolonial modern, dan pelakunya berasal 
dari etnik dengan agama yang sama dengan orang Aceh itu sendiri.
> 
>       Jika hal ini betul-betul terjadi, maka bukan saja orang Aceh 
telah ditipu, melainkan komunitas internasional yang membantu Aceh 
atas dasar spirit kemanusiaan juga telah ditipu. Bayangkan saja, 
Bantuan kemanusiaan telah digunakan untuk mendehumanisasi manusia 
lainnya (orang Aceh). Naudzubillah! (acehkita)
> 
>       http://www.acehinstitute.org/
>      
>         
> 
> 
> [Non-text portions of this message have been removed]
>







***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx
5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx
6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com **

Other related posts:

  • » [nasional_list] [ppiindia] Bagaimana ini mbak Aris?