** Mailing-List Indonesia Nasional Milis PPI-India www.ppi-india.da.ru ** http://www.harianbatampos.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=8016 Ulama, Pewaris Para Nabi Oleh redaksi Jumat, 18-Maret-2005, 07:50:46 Oleh: Jaafar Usman Al-Qari Sebagai pewaris nabi dan orang yang tertanam akarnya di masyarakat, para ulama dengan semestinya memainkan diri sebagai figur moral, anutan publik, berwatak sosial, serta menjadi suri tauladan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan fungsi-fungsi seperti itu, maka peran ulama sebagai rausyan fikr- meminjam istilah Ali Syariati akan betul-betul membumi di masyarakat. Intelektual organik semacam itulah, yang akan memberikan pencerahan dan keoptimisan bangsa ini ke depan. Demokratisasi dan pengentasan krisis tidak akan berhasil dilakukan, jika di kalangan bawah tidak dibangun civil society yang kuat dalam melakukan kerja-kerja peradaban secara konsisten. Tapi, bagaimana halnya jika sekarang ulama juga ikut berkompetisi dalam kancah politik untuk menjadi bagian dari kepemerintahan, dan atau bahkan mengeksploitasi nama-nama kelompok ulama untuk mendukung misinya? Menjelang pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada), fenomena para balon kepala daerah (kada) yang sowan ke masyarakat kembali marak terjadi. Begitu juga dengan para ulama yang aktif menjadi tim sukses balon kada. Memang, kedua fenomena itu telah menunjukkan adanya kesalingtergantungan antara keduanya. Hal itu, mempunyai preseden sejarah yang sudah sangat lama. Sejak zaman penjajahan dan kemerdekaan, kesaling-eratan hubungan antara ulama dan politisi-pemerintah marak terjadi. Ditambah lagi sekarang ini ada pribadi-pribadi yang dikenal sebagai ulama juga ikut-ikutan mencalonkan diri di kancah pilkada, yang akhirnya juga sibuk melakukan lobi-lobi dengan pihak politisi untuk kepentingan tersebut. Khawatirnya, kalau mereka itu sampai terjebak kepada hal-hal yang tidak pas dilakukan oleh seorang yang dianggap sebagai ulama oleh masyarakat, seperti melakukan ghibah apalagi menyebar fitnah. Saat ini, sudah mulai ada kecenderungan untuk sulit membedakan mana yang penjahat dan mana musuh penjahat, itulah yang disebut dalam surah Al-an am ayat 112: Dan begitulah kami adakan musuh-musuh untuk masing-masing dari nabi-nabi, yaitu manusia-manusia %@!#$& dan jin, yang sebagian mereka membisikkan kata-kata manis kepada orang lain untuk menipu. Dan tentunya bagi mereka yang tidak punya hati kecil, dan tidak punya landasan iman yang kokoh serta dasar pemahaman keagamaan yang baik akan bisa terpengaruh dengan berbagai tipu daya yang disebarkan. Dalam ajaran Islam, ulama mempunyai kedudukan yang sangat tinggi dan peran yang maha penting dalam kehidupan umat, agama, dan bangsa. Secara garis besar, peran itu berupa tugas pencerahan bagi umat manusia sesuai dengan kedudukannya sebagai para pewaris nabi (waratsatul anbiya) (QS. al-Jumu ah: 2). Peran itu biasa disebut dengan amar ma ruf nahi munkar yang rinciannya adalah bertugas untuk mendidik umat di bidang agama dan lainnya, melakukan kontrol terhadap masyarakat, memecahkan problem yang terjadi di masyarakat, menjadi agen perubahan sosial. Kesemua tugas itu, akan berusaha dijalankan oleh para ulama sepanjang hidupnya, meski jalur yang ditempuh berbeda (Masykuri Abdillah, 1999). Bisa jadi juga, seorang ulama akan konsisten menjadi -meminjam istilah Clifford Geertz- perantara dan pialang budaya (cultural broker), dan mungkin saja ia akan masuk jalur politik praktis. Sebagai seorang pialang budaya, ulama berfungsi untuk menghubungkan budaya lokal atau rakyat dengan budaya asing guna lebih memudahkan pemahaman rakyat. Fungsi ini, bisa tampak dari, semisal penjelasan para ulama tentang Pancasila yang tidak bertentangan dengan Islam, halal haramnya bunga bank dan sah-tidaknya bank konvensional yang terus menerus diteriakkan, dan perlunya lembaga pengontrol makanan halal LPPOM MUI untuk membantu mewujudkan kebersihan dan kehalalan makanan yang dikonsumsi masyarakat Muslim yang terbesar penduduknya di negeri ini. Sedang ulama yang masuk jalur politik praktis, ada juga yang memang berniat menjadikan politik sebagai jalur ibadah dan pengabdian kepada umat. Semisal tokoh pada zaman dulu Muhamad Natsir, Kasman Singodimedjo, serta Buya Hamka, betul-betul menjadikan politik sebagai jalur untuk mewujudkan aspirasi umat dan menentang segala bentuk penindasan dan kediktatoran. Meski hal itu mengakibatkan kesengsaraan hidup pada diri dan keluarganya. Sayangnya, saat ini masih ada yang menjadikan fungsi-fungsi budaya dan politik itu kebanyakan hanya menjadi lipstik yang terlihat cantik di permukaan. Sebagian ulama yang berjuang di jalur politik, kebanyakan hanya sibuk mengurusi pengikutnya sendiri dan memenangkan golongannya di arena pemilihan (baca: pilkada). Begitu juga, orang-orang yang menjadi perantara budaya, akhirnya juga banyak yang hanya menjadi corong pembenar kebijakan bagi kelompoknya. Kalau pun toh mereka bisa disebut maju, itu demi kepentingan politik sesaat mereka saja. Itu membuktikan bahwa wacana politik selama ini telah mendominasi wacana keislaman kita. Menurut al-Ghazali, ulama yang hanya diam ketika terjadi kemungkaran di hadapannya, digolongkan sebagai ulama al-su (ulama dunia). Ulama jenis ini, biasanya bila berbicara atau mengeluarkan fatwa hanya sekadar basa-basi atau pengguguran tugasnya saja, agar dia tetap dianggap kompeten di bidangnya. Jarang sekali, fatwa yang diberikan betul-betul ke luar dari hati nurani dan berniat membela rakyat yang tertindas. Terhadap fenomena banjir, penggusuran, perdagangan wanita dan anak kecil, serta TKI bermasalah, prostitusi, judi, bahaya konsumsi makanan tidak halal bagi masyarakat biasanya mereka ini hanya akan diam saja. Namun, terhadap persoalan yang sebetulnya hanya bersifat fiqh oriented yang menekankan pada hal-hal sepele, mereka akan buka suara sekeras-kerasnya, adalah salah satu contoh betapa rendahnya sense of belonging mereka terhadap penderitaan rakyat kecil yang sebetulnya tidak terlalu membutuhkan hal itu. Berbicara masalah ulama yang konsisten, tentu saja Buya Hamka harus dicatat sebagai ulama yang konsisten dengan perjuangannya dengan bersedia mengundurkan diri dari MUI, ketika berseberangan dengan pemerintah. Rasanya, sudah selayaknyalah para ulama konsisten dengan fungsinya sebagai penjaga moral dan alat kontrol terhadap kekuasaan, guna membangun peradaban alternatif. Mereka harus menjadi pembela kaum tertindas dan orang-orang yang selama ini terhinakan, baik oleh struktur kekuasaan atau pemahaman keagamaan yang sempit. Perjuangan lewat jalur kekuasaan yang dilakukan oleh para politisi, sudah semestinya disinergikan dengan perjuangan budaya dan keadilan sosial yang dilakukan oleh para ulama. Sebab, tanpa hal itu semua, maka politik hanya menjadi ajang bagi-bagi kekuasaan yang tanpa pernah menyentuh kebutuhan mendasar rakyat kecil di pedesaan, hinterland atau kaum miskin di kota. Dalam membangun sebuah peradaban ini, menurut KH Mustofa Bisri, para ulama sudah semestinya menjaga jarak dengan kekuasaan. Dengan begitu, mereka akan lebih kuat dari kekuasaan dan tidak akan menghegemoni kekuasaan demi ambisi pribadinya. Mereka tentu akan lebih leluasa membangun nilai dan pranata yang akan dianut oleh masyarakat. Bukan malah sebaliknya, menjadikan masyarakat sebagai pengikut yang dimanfaatkan untuk mendukung calon atau kelompok tertentu yang sesuai subjektivitasnya. Dengan kerja-kerja peradaban ini, maka energi umat akan lebih termanfaatkan untuk urusan jangka panjang. Semisal: perbaikan pendidikan, penyebaran dakwah, pengembangan ekonomi kerakyatan, pemberantasan korupsi, serta kemandirian terhadap kekuatan asing. Determinisme ekonomi dan politik lewat jalur kekuasaan, sudah semestinya diimbangi dengan perubahan budaya dan sosial yang dilakukan oleh para ulama dan rakyat. Seseorang baru dapat dikatakan sebagai Muslim jika ia mampu mentransfer ruh keimanan ke dalam sistem budaya-budaya ihsan (akhlak). Sebagai contoh keberimanan yang praktis adalah seperti yang dikatakan dalam hadis Rasulullah, bahwa tidak beriman seseorang jika membiarkan tetangganya kelaparan sedangkan dia sendiri tidur kekenyangan. Karena itu, persenyawaan antara iman, Islam dan ihsan menjadi tolok ukur bagi terselenggaranya aksi-aksi sosial keagamaan. Maka, dalam kaitan ini ada tiga hal yang perlu dipikirkan sebagai bahan perenungan; Pertama, para ulama harus berani meninggalkan tafsir mistis atas agama. Problem-problem konkret kemanusiaan tidak lagi relevan untuk didekati secara tradisional. Ia membutuhkan perangkat yang rasional dan ilmiah. Para ulama harus jeli melihat denyut perubahan. Problem kemiskinan misalnya tidak lagi cocok didekati secara tradisional dengan menyebut bahwa itu sudah suratan nasib. Masalah krisis ekonomi yang dialami bangsa ini tidak pas lagi jika difahami semata sebagai ujian dari Tuhan. Ada nalar keagamaan yang lebih tepat yaitu bagai mana memberdayakan aset umat yang ada melalui dana zakat, infak, sedekah dan wakaf yang dikelola dengan amanah dan professional, itu akan menjadi bagian dari cara beragama kita. Agama harus masuk jadi juru runding dengan memakai pendekatan yang tepat, bukan apriori tetapi a-posteriori (berangkat dari yang konkret). Kedua, kita harus menggaris bawahi bahwa kebangkitan umat beragama harus berimplikasi pada kebangkitan umat beragama, baik pada wilayah sosial-ekonomi-politik dan pembangunan kultural. Karena itu strategi membangkitkan agama harus juga melibatkan strategi pembangunan ekonomi-sosial-politik dan kultur. Membangkitkan agama harus selalu dalam pengertian pluraris, tidak sekterian. Ketiga, Islam harus selalu difahami sebagai pola tindak. Aspek afektif (berbuat) dalam beragama harus menjadi prioritas ketimbang aspek kognitifnya. Hal ini bukan berarti mempelajari agama secara teoritis tidak penting. Persoalan agama, dalam ini Islam, haruslah selalu berorientasi pada amal. Dengan begini, tafsir keagamaan akan tertuju ke arah aksi pembebasan dan pemberdayaan umat. Dengan demikian, gerakan-gerakan pembebasan sosio-kultural maupun politik-ekonomis akan mekar dan menjadi mode di mana-mana. Para ulama dengan sendirinya tidak boleh absen dari aksi pembebasan ini. Para ulama dengan sendirinya tidak boleh lagi mengurung diri di singgahsananya. Mereka secara harfiah dan metaforik meminjam bahasa Kang Sobari- harus mencampakkan jubah dan ikut terjun dalam praksis kehidupan. Inilah panggilan keduniaan para ulama yang diharapkan dapat menyemarakkan hidup keberagamaan, bisa menerjemahkan sukma Islam ke dalam aksi-aksi kemanusiaan secara nyata dan terasa agar tidak terperangkap dalam kebingungan. Wallahua'lam.*** *) Jaafar Usman Al-Qari. Sekretaris Eksekutif MUI Batam. Pengurus Masjid Raya Batam [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Give the gift of life to a sick child. Support St. Jude Children's Research Hospital's 'Thanks & Giving.' http://us.click.yahoo.com/lGEjbB/6WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx 5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx 6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/ ** Mailing-List Indonesia Nasional Milis PPI-India www.ppi-india.uni.cc **