[list_indonesia] [ppiindia] Ulama, Pewaris Para Nabi

  • From: "Ambon" <sea@xxxxxxxxxx>
  • To: <"Undisclosed-Recipient:;"@freelists.org>
  • Date: Sat, 26 Mar 2005 09:54:30 +0100

** Mailing-List Indonesia Nasional Milis PPI-India www.ppi-india.da.ru **

http://www.harianbatampos.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=8016

      Ulama, Pewaris Para Nabi 
      Oleh redaksi 
            Jumat, 18-Maret-2005, 07:50:46   
     
     
            Oleh: Jaafar Usman Al-Qari 
     
     
      Sebagai pewaris nabi dan orang yang tertanam akarnya di masyarakat, para 
ulama dengan semestinya memainkan diri sebagai figur moral, anutan publik, 
berwatak sosial, serta menjadi suri tauladan dalam kehidupan sehari-hari. 
Dengan fungsi-fungsi seperti itu, maka peran ulama sebagai rausyan fikr- 
meminjam istilah Ali Syariati akan betul-betul membumi di masyarakat. 

      Intelektual organik semacam itulah, yang akan memberikan pencerahan dan 
keoptimisan bangsa ini ke depan. Demokratisasi dan pengentasan krisis tidak 
akan berhasil dilakukan, jika di kalangan bawah tidak dibangun civil society 
yang kuat dalam melakukan kerja-kerja peradaban secara konsisten. Tapi, 
bagaimana halnya jika sekarang ulama juga ikut berkompetisi dalam kancah 
politik untuk menjadi bagian dari kepemerintahan, dan atau bahkan 
mengeksploitasi nama-nama kelompok ulama untuk mendukung misinya? 
      Menjelang pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada), fenomena para 
balon kepala daerah (kada) yang sowan ke masyarakat kembali marak terjadi. 
Begitu juga dengan para ulama yang aktif menjadi tim sukses balon kada. Memang, 
kedua fenomena itu telah menunjukkan adanya kesalingtergantungan antara 
keduanya. Hal itu, mempunyai preseden sejarah yang sudah sangat lama. Sejak 
zaman penjajahan dan kemerdekaan, kesaling-eratan hubungan antara ulama dan 
politisi-pemerintah marak terjadi. 

      Ditambah lagi sekarang ini ada pribadi-pribadi yang dikenal sebagai ulama 
juga ikut-ikutan mencalonkan diri di kancah pilkada, yang akhirnya juga sibuk 
melakukan lobi-lobi dengan pihak politisi untuk kepentingan tersebut. 
Khawatirnya, kalau mereka itu sampai terjebak kepada hal-hal yang tidak pas 
dilakukan oleh seorang yang dianggap sebagai ulama oleh masyarakat, seperti 
melakukan ghibah apalagi menyebar fitnah. 

      Saat ini, sudah mulai ada kecenderungan untuk sulit membedakan mana yang 
penjahat dan mana musuh penjahat, itulah yang disebut dalam surah Al-an am ayat 
112: Dan begitulah kami adakan musuh-musuh untuk masing-masing dari nabi-nabi, 
yaitu manusia-manusia %@!#$& dan jin, yang sebagian mereka membisikkan 
kata-kata manis kepada orang lain untuk menipu. Dan tentunya bagi mereka yang 
tidak punya hati kecil, dan tidak punya landasan iman yang kokoh serta dasar 
pemahaman keagamaan yang baik akan bisa terpengaruh dengan berbagai tipu daya 
yang disebarkan. 

      Dalam ajaran Islam, ulama mempunyai kedudukan yang sangat tinggi dan 
peran yang maha penting dalam kehidupan umat, agama, dan bangsa. Secara garis 
besar, peran itu berupa tugas pencerahan bagi umat manusia sesuai dengan 
kedudukannya sebagai para pewaris nabi (waratsatul anbiya) (QS. al-Jumu ah: 2). 
Peran itu biasa disebut dengan amar ma ruf nahi munkar yang rinciannya adalah 
bertugas untuk mendidik umat di bidang agama dan lainnya, melakukan kontrol 
terhadap masyarakat, memecahkan problem yang terjadi di masyarakat, menjadi 
agen perubahan sosial. Kesemua tugas itu, akan berusaha dijalankan oleh para 
ulama sepanjang hidupnya, meski jalur yang ditempuh berbeda (Masykuri Abdillah, 
1999). 

      Bisa jadi juga, seorang ulama akan konsisten menjadi -meminjam istilah 
Clifford Geertz- perantara dan pialang budaya (cultural broker), dan mungkin 
saja ia akan masuk jalur politik praktis. Sebagai seorang pialang budaya, ulama 
berfungsi untuk menghubungkan budaya lokal atau rakyat dengan budaya asing guna 
lebih memudahkan pemahaman rakyat. Fungsi ini, bisa tampak dari, semisal 
penjelasan para ulama tentang Pancasila yang tidak bertentangan dengan Islam, 
halal haramnya bunga bank dan sah-tidaknya bank konvensional yang terus menerus 
diteriakkan, dan perlunya lembaga pengontrol makanan halal LPPOM MUI untuk 
membantu mewujudkan kebersihan dan kehalalan makanan yang dikonsumsi masyarakat 
Muslim yang terbesar penduduknya di negeri ini. 

      Sedang ulama yang masuk jalur politik praktis, ada juga yang memang 
berniat menjadikan politik sebagai jalur ibadah dan pengabdian kepada umat. 
Semisal tokoh pada zaman dulu Muhamad Natsir, Kasman Singodimedjo, serta Buya 
Hamka, betul-betul menjadikan politik sebagai jalur untuk mewujudkan aspirasi 
umat dan menentang segala bentuk penindasan dan kediktatoran. Meski hal itu 
mengakibatkan kesengsaraan hidup pada diri dan keluarganya. 

      Sayangnya, saat ini masih ada yang menjadikan fungsi-fungsi budaya dan 
politik itu kebanyakan hanya menjadi lipstik yang terlihat cantik di permukaan. 
Sebagian ulama yang berjuang di jalur politik, kebanyakan hanya sibuk mengurusi 
pengikutnya sendiri dan memenangkan golongannya di arena pemilihan (baca: 
pilkada). Begitu juga, orang-orang yang menjadi perantara budaya, akhirnya juga 
banyak yang hanya menjadi corong pembenar kebijakan bagi kelompoknya. Kalau pun 
toh mereka bisa disebut maju, itu demi kepentingan politik sesaat mereka saja. 
Itu membuktikan bahwa wacana politik selama ini telah mendominasi wacana 
keislaman kita. 

      Menurut al-Ghazali, ulama yang hanya diam ketika terjadi kemungkaran di 
hadapannya, digolongkan sebagai ulama al-su (ulama dunia). Ulama jenis ini, 
biasanya bila berbicara atau mengeluarkan fatwa hanya sekadar basa-basi atau 
pengguguran tugasnya saja, agar dia tetap dianggap kompeten di bidangnya. 
Jarang sekali, fatwa yang diberikan betul-betul ke luar dari hati nurani dan 
berniat membela rakyat yang tertindas. 

      Terhadap fenomena banjir, penggusuran, perdagangan wanita dan anak kecil, 
serta TKI bermasalah, prostitusi, judi, bahaya konsumsi makanan tidak halal 
bagi masyarakat biasanya mereka ini hanya akan diam saja. Namun, terhadap 
persoalan yang sebetulnya hanya bersifat fiqh oriented yang menekankan pada 
hal-hal sepele, mereka akan buka suara sekeras-kerasnya, adalah salah satu 
contoh betapa rendahnya sense of belonging mereka terhadap penderitaan rakyat 
kecil yang sebetulnya tidak terlalu membutuhkan hal itu. 

      Berbicara masalah ulama yang konsisten, tentu saja Buya Hamka harus 
dicatat sebagai ulama yang konsisten dengan perjuangannya dengan bersedia 
mengundurkan diri dari MUI, ketika berseberangan dengan pemerintah. 

      Rasanya, sudah selayaknyalah para ulama konsisten dengan fungsinya 
sebagai penjaga moral dan alat kontrol terhadap kekuasaan, guna membangun 
peradaban alternatif. Mereka harus menjadi pembela kaum tertindas dan 
orang-orang yang selama ini terhinakan, baik oleh struktur kekuasaan atau 
pemahaman keagamaan yang sempit. 

      Perjuangan lewat jalur kekuasaan yang dilakukan oleh para politisi, sudah 
semestinya disinergikan dengan perjuangan budaya dan keadilan sosial yang 
dilakukan oleh para ulama. Sebab, tanpa hal itu semua, maka politik hanya 
menjadi ajang bagi-bagi kekuasaan yang tanpa pernah menyentuh kebutuhan 
mendasar rakyat kecil di pedesaan, hinterland atau kaum miskin di kota. 

      Dalam membangun sebuah peradaban ini, menurut KH Mustofa Bisri, para 
ulama sudah semestinya menjaga jarak dengan kekuasaan. Dengan begitu, mereka 
akan lebih kuat dari kekuasaan dan tidak akan menghegemoni kekuasaan demi 
ambisi pribadinya. Mereka tentu akan lebih leluasa membangun nilai dan pranata 
yang akan dianut oleh masyarakat. Bukan malah sebaliknya, menjadikan masyarakat 
sebagai pengikut yang dimanfaatkan untuk mendukung calon atau kelompok tertentu 
yang sesuai subjektivitasnya. 

      Dengan kerja-kerja peradaban ini, maka energi umat akan lebih 
termanfaatkan untuk urusan jangka panjang. Semisal: perbaikan pendidikan, 
penyebaran dakwah, pengembangan ekonomi kerakyatan, pemberantasan korupsi, 
serta kemandirian terhadap kekuatan asing. Determinisme ekonomi dan politik 
lewat jalur kekuasaan, sudah semestinya diimbangi dengan perubahan budaya dan 
sosial yang dilakukan oleh para ulama dan rakyat. 

      Seseorang baru dapat dikatakan sebagai Muslim jika ia mampu mentransfer 
ruh keimanan ke dalam sistem budaya-budaya ihsan (akhlak). Sebagai contoh 
keberimanan yang praktis adalah seperti yang dikatakan dalam hadis Rasulullah, 
bahwa tidak beriman seseorang jika membiarkan tetangganya kelaparan sedangkan 
dia sendiri tidur kekenyangan. Karena itu, persenyawaan antara iman, Islam dan 
ihsan menjadi tolok ukur bagi terselenggaranya aksi-aksi sosial keagamaan. 

      Maka, dalam kaitan ini ada tiga hal yang perlu dipikirkan sebagai bahan 
perenungan; Pertama, para ulama harus berani meninggalkan tafsir mistis atas 
agama. Problem-problem konkret kemanusiaan tidak lagi relevan untuk didekati 
secara tradisional. Ia membutuhkan perangkat yang rasional dan ilmiah. Para 
ulama harus jeli melihat denyut perubahan. Problem kemiskinan misalnya tidak 
lagi cocok didekati secara tradisional dengan menyebut bahwa itu sudah suratan 
nasib. 

      Masalah krisis ekonomi yang dialami bangsa ini tidak pas lagi jika 
difahami semata sebagai ujian dari Tuhan. Ada nalar keagamaan yang lebih tepat 
yaitu bagai mana memberdayakan aset umat yang ada melalui dana zakat, infak, 
sedekah dan wakaf yang dikelola dengan amanah dan professional, itu akan 
menjadi bagian dari cara beragama kita. Agama harus masuk jadi juru runding 
dengan memakai pendekatan yang tepat, bukan apriori tetapi a-posteriori 
(berangkat dari yang konkret). 

      Kedua, kita harus menggaris bawahi bahwa kebangkitan umat beragama harus 
berimplikasi pada kebangkitan umat beragama, baik pada wilayah 
sosial-ekonomi-politik dan pembangunan kultural. Karena itu strategi 
membangkitkan agama harus juga melibatkan strategi pembangunan 
ekonomi-sosial-politik dan kultur. Membangkitkan agama harus selalu dalam 
pengertian pluraris, tidak sekterian. 

      Ketiga, Islam harus selalu difahami sebagai pola tindak. Aspek afektif 
(berbuat) dalam beragama harus menjadi prioritas ketimbang aspek kognitifnya. 
Hal ini bukan berarti mempelajari agama secara teoritis tidak penting. 
Persoalan agama, dalam ini Islam, haruslah selalu berorientasi pada amal. 
Dengan begini, tafsir keagamaan akan tertuju ke arah aksi pembebasan dan 
pemberdayaan umat. Dengan demikian, gerakan-gerakan pembebasan sosio-kultural 
maupun politik-ekonomis akan mekar dan menjadi mode di mana-mana. 

      Para ulama dengan sendirinya tidak boleh absen dari aksi pembebasan ini. 
Para ulama dengan sendirinya tidak boleh lagi mengurung diri di singgahsananya. 
Mereka secara harfiah dan metaforik meminjam bahasa Kang Sobari- harus 
mencampakkan jubah dan ikut terjun dalam praksis kehidupan. 

      Inilah panggilan keduniaan para ulama yang diharapkan dapat menyemarakkan 
hidup keberagamaan, bisa menerjemahkan sukma Islam ke dalam aksi-aksi 
kemanusiaan secara nyata dan terasa agar tidak terperangkap dalam kebingungan. 
      Wallahua'lam.*** 

      *) Jaafar Usman Al-Qari. Sekretaris Eksekutif MUI Batam. Pengurus Masjid 
Raya Batam 
        


[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Give the gift of life to a sick child. 
Support St. Jude Children's Research Hospital's 'Thanks & Giving.'
http://us.click.yahoo.com/lGEjbB/6WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx
5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx
6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



** Mailing-List Indonesia Nasional Milis PPI-India www.ppi-india.uni.cc **

Other related posts:

  • » [list_indonesia] [ppiindia] Ulama, Pewaris Para Nabi