** Mailing-List Indonesia Nasional Milis PPI-India www.ppi-india.da.ru ** http://www.harianbatampos.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=8172 Kejahatan oleh Aparat Oleh redaksi Rabu, 23-Maret-2005, 08:22:00 Oleh: Valdesz Junianto Pemikiran tentang akar lahirnya gejala kriminalitas oleh aparat negara (state apparatus criminality) memang baru mencuat belakangan. Sebelum ini, keberadaan negara kurang pernah dilihat sebagai pihak yang potensial berbuat salah. Seiring masa, secara perlahan muncul anggapan bahwa hanya warga negara kelas tertentu- entah dalam kapasitasnya sebagai aparat, birokrat, atau lainnya- adalah pihak yang paling leluasa memanfaatkan berbagai produk negara guna diakal-akali untuk kepentingannya sendiri. Karena itu, entitas negara (termasuk perangkat di dalamnya) acap diposisikan sebagai pihak yang innocent, atau senantiasa berada dalam jalur yang benar dan bekerja untuk melindungi warganya. Cukup banyak produk semisal, KUHP, Peraturan Pemerintah, atau Undang-undang (UU) profesi yang dikategorikan sebagai ''buatan" negara. Soal kekeliruan menerjemahkan produk tersebut, teramat jarang ditemui wacana yang menyoroti tindakan penyimpangan atau fenomena kejahatan dari sudut "aparat" atau "birokrat" sebagai pelakunya. Mengacu sejumlah literatur, beberapa pemikir penganut kriminologi kritis sesungguhnya telah mulai melakukan itu. Hanya saja-untuk konteks Indonesia misalnya, pertanyaan-pertanyaan studi mereka barangkali terlampau }seram". Disimpulkan begitu, karena masyarakat belum terbiasa berhadap-hadapan secara diametral (baca: langsung) dengan institusi kekuasaan. Mari sejenak membaca sejarah. De facto, kajian tentang kriminalitas oleh aparat negara memang tertinggal dibanding berbagai wacana kejahatan kontemporer, semisal white collar crime, atau lainnya. Bahkan, kriminalitas oleh aparat negara dalam studi kejahatan politik- sebagai wacana induknya sekali pun- nyaris tak ditemukan. Lho? Harus diakui menemukan batasan diskresi suatu wilayah penugasan memang sukar. Toh, penyebabnya selalu bermula dari seuntai pertanyaan: apakah "diskresi" itu termasuk, atau tidak termasuk ke dalam lingkaran perbuatan yang mengandung motif tertentu, atau alamiah karena tuntutan tugas. Pasti sesulit menyeret dukun santet ke muka persidangan. Tentu berkembang pertanyaan. Lantas, apabila ada aparat yang menganiaya atau membunuh tersangka pelaku kejahatan, dapatkah ia dianggap sebagai katakanlah, "eksekutor} hak hidup orang lain? Bila ya, maka baginya patut dikenakan delik kriminalitas oleh aparat negara. Tapi bagaimana sebaliknya? Jika yang bersangkutan ternyata tidak dapat "tersentuh" oleh delik yang ada tentunya mengalirkan beberapa pemikiran lanjutan. Pertama, perintah tugas dari atasan telah diterjemahkan secara salah atau dilaksanakan secara eksesif dan ekstrim oleh aparat di lapangan. Kedua, aparat mendapatkan tugas dari atasannya yang secara terselubung mengandung illegalitas. Yang terakhir ini tentunya menuntut konsekuensi yang lebih panjang. Apa pasal? Perintah yang ilegal menjadikan tanggung jawab hukum seharusnya dipikul juga oleh yang melempar tugas tadi. Sebab, aparat di lapangan hanya bertindak sebagai pelaksana perintah, entah untuk menyekap, menganiaya, atau bahkan membunuh sekali pun. Toh, muskil membongkarnya mengingat perbuatan itu melekat erat pada kewenangan kekuasaan. Inilah perbedaan mendasarnya, misalnya, dengan tindak kejahatan oleh oknum aparat yang korupsi, atau yang melakukan tindak kekerasan tanpa motif politis. Sejatinya, model kriminalitas semacam ini tidak paham istilah oknum. Atasan yang memberikan perintah menyimpang itu pada dasarnya juga hanya menjalankan tugas dari atasan yang lebih tinggi, dan seterusnya. Alhasil, studi tentang kriminalitas oleh aparat negara ini hampir selalu berhenti pada pernyataan hipotesis bahwa di balik perilaku aparat lapangan yang kejam, melanggar hak asasi, serta tidak sesuai dengan hukum justru terdapat "tangan-tangan tak terlihat" (invisible hand). Sebaliknya, antara yang di belakang layar dan yang di lapangan tercipta kesan bahwa tidak ada pertanggungjawaban hukum- paling-paling sekadar pertanggungjawaban moral. Bila saja perkembangan pemahaman kriminalitas oleh aparat negara telah menyentuh pada tahap di mana "segala perilaku jahat yang secara resmi dilaksanakan oleh penguasa terhadap warga negaranya", maka ketika itu secara formal terdapat kemungkinan bagi hukum untuk mengejar perintah "jahat" tadi. Selama itu belum tercipta, persepsi masyarakat seolah-olah terbelah yakni, antara para aparat di lapangan yang sadis dan beringas, serta di pihak lain, para petinggi yang selalu tersenyum ramah. Dalam sebuah risalah (1998), Kriminolog Adrianus Meliala, menyatakan, institusi seperti PTUN pada dasarnya merupakan langkah maju untuk membuktikan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan di tubuh institusi negara. Tentu beralasan mengharapkan adanya solusi semacam ini pada konteks di mana institusi negara terbiasa hidup dengan pengawasan minimal atas tindakan-tindakannya- terutama yang berpotensi untuk menjadi represif, tidak demokratis, dan melanggar hak asasi. Jika pun tidak, secara informal maka potensi publik (civil empowering) adalah termasuk yang paling mungkin dipraktikkan saat ini. Masyarakat pastinya tak boleh berharap banyak dari pihak-pihak tertentu untuk saling mengedepankan self- incrimination (pengakuan yang memberatkan diri sendiri), atau saling tunjuk hidung terhadap berbagai pihak dalam hal terjadinya berbagai indikasi kejahatan oleh aparat negara. Membiarkannya berarti pasrah merelakan kasus-kasus serupa untuk di-peti es-kan, atau melegitimasi perilaku tersebut. Yang tinggal kemudian hanya warga sipil yang terus-menerus menjadi korban, tanpa pernah bisa menyaksikan sang eksekutor mendapat ganjaran setimpal. Mari mundur selangkah. Ketimbang menduga-duga, ada baiknya menapak-tilas sejumlah peristiwa lebih dulu. Munir, Anton, dan lainnya adalah dua dari sekian wujud kisah yang menyita perhatian publik belakangan ini.*** *) Valdesz Junianto. Wartawan Batam Pos [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Take a look at donorschoose.org, an excellent charitable web site for anyone who cares about public education! http://us.click.yahoo.com/O.5XsA/8WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx 5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx 6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/ ** Mailing-List Indonesia Nasional Milis PPI-India www.ppi-india.uni.cc **