[list_indonesia] [ppiindia] Kejahatan oleh Aparat

  • From: "Ambon" <sea@xxxxxxxxxx>
  • To: <"Undisclosed-Recipient:;"@freelists.org>
  • Date: Sat, 26 Mar 2005 09:50:50 +0100

** Mailing-List Indonesia Nasional Milis PPI-India www.ppi-india.da.ru **

http://www.harianbatampos.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=8172

      Kejahatan oleh Aparat 
      Oleh redaksi 
            Rabu, 23-Maret-2005, 08:22:00   
     
     
            Oleh: Valdesz Junianto 
     
     
      Pemikiran tentang akar lahirnya gejala kriminalitas oleh aparat negara 
(state apparatus criminality) memang baru mencuat belakangan. Sebelum ini, 
keberadaan negara kurang pernah dilihat sebagai pihak yang potensial berbuat 
salah. 

      Seiring masa, secara perlahan muncul anggapan bahwa hanya warga negara 
kelas tertentu- entah dalam kapasitasnya sebagai aparat, birokrat, atau 
lainnya- adalah pihak yang paling leluasa memanfaatkan berbagai produk negara 
guna diakal-akali untuk kepentingannya sendiri. Karena itu, entitas negara 
(termasuk perangkat di dalamnya) acap diposisikan sebagai pihak yang innocent, 
atau senantiasa berada dalam jalur yang benar dan bekerja untuk melindungi 
warganya. 

      Cukup banyak produk semisal, KUHP, Peraturan Pemerintah, atau 
Undang-undang (UU) profesi yang dikategorikan sebagai ''buatan" negara. Soal 
kekeliruan menerjemahkan produk tersebut, teramat jarang ditemui wacana yang 
menyoroti tindakan penyimpangan atau fenomena kejahatan dari sudut "aparat" 
atau "birokrat" sebagai pelakunya. 

      Mengacu sejumlah literatur, beberapa pemikir penganut kriminologi kritis 
sesungguhnya telah mulai melakukan itu. Hanya saja-untuk konteks Indonesia 
misalnya, pertanyaan-pertanyaan studi mereka barangkali terlampau }seram". 
Disimpulkan begitu, karena masyarakat belum terbiasa berhadap-hadapan secara 
diametral (baca: langsung) dengan institusi kekuasaan. 

      Mari sejenak membaca sejarah. De facto, kajian tentang kriminalitas oleh 
aparat negara memang tertinggal dibanding berbagai wacana kejahatan 
kontemporer, semisal white collar crime, atau lainnya. Bahkan, kriminalitas 
oleh aparat negara dalam studi kejahatan politik- sebagai wacana induknya 
sekali pun- nyaris tak ditemukan. Lho? Harus diakui menemukan batasan diskresi 
suatu wilayah penugasan memang sukar. Toh, penyebabnya selalu bermula dari 
seuntai pertanyaan: apakah "diskresi" itu termasuk, atau tidak termasuk ke 
dalam lingkaran perbuatan yang mengandung motif tertentu, atau alamiah karena 
tuntutan tugas. Pasti sesulit menyeret dukun santet ke muka persidangan. 

      Tentu berkembang pertanyaan. Lantas, apabila ada aparat yang menganiaya 
atau membunuh tersangka pelaku kejahatan, dapatkah ia dianggap sebagai 
katakanlah, "eksekutor} hak hidup orang lain? Bila ya, maka baginya patut 
dikenakan delik kriminalitas oleh aparat negara. Tapi bagaimana sebaliknya? 
Jika yang bersangkutan ternyata tidak dapat "tersentuh" oleh delik yang ada 
tentunya mengalirkan beberapa pemikiran lanjutan. 

      Pertama, perintah tugas dari atasan telah diterjemahkan secara salah atau 
dilaksanakan secara eksesif dan ekstrim oleh aparat di lapangan. Kedua, aparat 
mendapatkan tugas dari atasannya yang secara terselubung mengandung 
illegalitas. Yang terakhir ini tentunya menuntut konsekuensi yang lebih 
panjang. 
      Apa pasal? Perintah yang ilegal menjadikan tanggung jawab hukum 
seharusnya dipikul juga oleh yang melempar tugas tadi. Sebab, aparat di 
lapangan hanya bertindak sebagai pelaksana perintah, entah untuk menyekap, 
menganiaya, atau bahkan membunuh sekali pun. 

      Toh, muskil membongkarnya mengingat perbuatan itu melekat erat pada 
kewenangan kekuasaan. Inilah perbedaan mendasarnya, misalnya, dengan tindak 
kejahatan oleh oknum aparat yang korupsi, atau yang melakukan tindak kekerasan 
tanpa motif politis. 

      Sejatinya, model kriminalitas semacam ini tidak paham istilah oknum. 
Atasan yang memberikan perintah menyimpang itu pada dasarnya juga hanya 
menjalankan tugas dari atasan yang lebih tinggi, dan seterusnya. Alhasil, studi 
tentang kriminalitas oleh aparat negara ini hampir selalu berhenti pada 
pernyataan hipotesis bahwa di balik perilaku aparat lapangan yang kejam, 
melanggar hak asasi, serta tidak sesuai dengan hukum justru terdapat 
"tangan-tangan tak terlihat" (invisible hand). Sebaliknya, antara yang di 
belakang layar dan yang di lapangan tercipta kesan bahwa tidak ada 
pertanggungjawaban hukum- paling-paling sekadar pertanggungjawaban moral. 

      Bila saja perkembangan pemahaman kriminalitas oleh aparat negara telah 
menyentuh pada tahap di mana "segala perilaku jahat yang secara resmi 
dilaksanakan oleh penguasa terhadap warga negaranya", maka ketika itu secara 
formal terdapat kemungkinan bagi hukum untuk mengejar perintah "jahat" tadi. 
Selama itu belum tercipta, persepsi masyarakat seolah-olah terbelah yakni, 
antara para aparat di lapangan yang sadis dan beringas, serta di pihak lain, 
para petinggi yang selalu tersenyum ramah. 

      Dalam sebuah risalah (1998), Kriminolog Adrianus Meliala, menyatakan, 
institusi seperti PTUN pada dasarnya merupakan langkah maju untuk membuktikan 
terjadinya penyalahgunaan kekuasaan di tubuh institusi negara. Tentu beralasan 
mengharapkan adanya solusi semacam ini pada konteks di mana institusi negara 
terbiasa hidup dengan pengawasan minimal atas tindakan-tindakannya- terutama 
yang berpotensi untuk menjadi represif, tidak demokratis, dan melanggar hak 
asasi. 

      Jika pun tidak, secara informal maka potensi publik (civil empowering) 
adalah termasuk yang paling mungkin dipraktikkan saat ini. Masyarakat pastinya 
tak boleh berharap banyak dari pihak-pihak tertentu untuk saling mengedepankan 
self- incrimination (pengakuan yang memberatkan diri sendiri), atau saling 
tunjuk hidung terhadap berbagai pihak dalam hal terjadinya berbagai indikasi 
kejahatan oleh aparat negara. 

      Membiarkannya berarti pasrah merelakan kasus-kasus serupa untuk di-peti 
es-kan, atau melegitimasi perilaku tersebut. Yang tinggal kemudian hanya warga 
sipil yang terus-menerus menjadi korban, tanpa pernah bisa menyaksikan sang 
eksekutor mendapat ganjaran setimpal. Mari mundur selangkah. Ketimbang 
menduga-duga, ada baiknya menapak-tilas sejumlah peristiwa lebih dulu. Munir, 
Anton, dan lainnya adalah dua dari sekian wujud kisah yang menyita perhatian 
publik belakangan ini.*** 

      *) Valdesz Junianto. 
      Wartawan Batam Pos 


[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Take a look at donorschoose.org, an excellent charitable web site for
anyone who cares about public education!
http://us.click.yahoo.com/O.5XsA/8WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx
5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx
6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



** Mailing-List Indonesia Nasional Milis PPI-India www.ppi-india.uni.cc **

Other related posts:

  • » [list_indonesia] [ppiindia] Kejahatan oleh Aparat