** Mailing-List Indonesia Nasional Milis PPI-India www.ppi-india.da.ru ** http://www.kompas.com/kompas-cetak/0503/14/opini/1617377.htm Senin, 14 Maret 2005 Terima Kasih Malaysia Oleh Riswandha Imawan KETEGANGAN di wilayah Ambalat antara Indonesia dan Malaysia bisa menjadi pengobat derita bangsa Indonesia. Kompleksitas nuansa krisisnya secara efektif mampu "menampar" jati diri bangsa Indonesia. Ada arogansi negara makmur ke negara melarat, ancaman imperialisme ekonomi, sampai ke kesempatan untuk mengekspresikan "balas dendam" rakyat atas impitan masalah sosial, ekonomi, dan politik selama ini. Namun, bila dikelola secara tepat, krisis ini bisa menjadi awal kebangkitan bangsa Indonesia. Bila benar pernyataan Juru Bicara Departemen Luar Negeri (Jubir Deplu) Marty Natalegawa bahwa pelanggaran wilayah sudah sering dilakukan Malaysia meski sudah diprotes berulang kali (Kompas, 27/2/2005), sampai mengirim pesawat pengintai B200T Super King terbang 300 kaki pada jarak 1000 yard di lambung kiri buritan KRI Wiratno, ini pelecehan terhadap harga diri bangsa Indonesia. Seharusnya pesawat yang masuk wilayah udara kita sejauh enam mil laut pada 3 Maret 2005 itu ditembak. Namun, kita tidak bereaksi. Akibatnya, penghinaan lebih serius terjadi. Saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) meninjau lokasi 8 Maret 2005, dua kapal Malaysia-KD Paus dan KD Pari-mendekati posisi kapal Presiden pada jarak dua mil laut (3,2 km). Sekali lagi, tidak ada reaksi apa pun atas insiden ini. Mengapa Tentara Nasional Indonesia (TNI) tidak bereaksi? Bukankah tugas TNI menjaga kedaulatan wilayah negara? Kita sedih bila mengingat ganasnya aparat keamanan terhadap rakyat sendiri. Menghadapi demonstrasi, tanpa sungkan mereka menghajar rakyat dengan pentungan dan tendangan. Bahkan, tidak jarang main tembak. Sungguh ironi, aparat keamanan hanya berani terhadap rakyatnya sendiri yang justru harus mereka lindungi. Saat berhadapan dengan lawan nyata, yang sepadan, yang merugikan kehidupan rakyat, keberingasan dan ketegasan mereka hilang entah ke mana. Rasanya kita perlu menggaungkan kembali pernyataan yang sering dikemukakan Presiden SBY saat menjadi Danrem Pamungkas: In crucial things, unity. In important things, diversity. In all things, dignity. Apa pun yang terjadi, jangan sampai mengorbankan jati diri. Sayang, semangat ultraliberal, yang diyakini elite pengendali negara ini, membuat kehilangan jati diri seolah ongkos sepadan bagi upaya perbaikan ekonomi kita. LOKUS masalahnya kian terbuka. Ada tiga perusahaan minyak raksasa beroperasi di sana. Shell dan UNOCAL (AS) serta ENI (Italia). Menarik disimak, Shell awalnya ingin masuk kawasan Ambalat melalui Indonesia. Setelah ditolak, mereka masuk melalui Malaysia. Artinya, di sini ada persaingan para kapitalis untuk mengeruk 700 juta sampai satu miliar barrel minyak dan 400 triliun kaki kubik gas yang ada di sana. Fakta ini mengkhawatirkan. Jangan-jangan ketegangan yang terjadi adalah antara kekuatan ekonomi kapitalis yang (selalu) enggan berhadapan secara langsung. Terlepas dari spekulasi ini, kekayaan sumber daya alam ini amat dibutuhkan Malaysia untuk memelihara tingkat kemakmuranya. Faktor inilah yang membuat Malaysia seakan bisa mendiktekan kehendak kepada elite Indonesia yang hilang jati dirinya. Simak saja. Para pemimpin kita enggan membawa masalah ini ke Mahkamah Internasional, enggan pula berperang. Mengapa? Karena kemampuan diplomasi kita amat rendah. Masih segar dalam ingatan gagalnya diplomasi mempertahankan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan, maupun Timor Timur dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kita enggan berperang karena embargo peralatan militer yang dilakukan AS membuat kita tidak yakin memiliki cukup amunisi untuk bertempur dalam waktu lama. Realita ini menunjukkan, betapa lemahnya kepemimpinan di Indonesia saat ini. Bahkan membuktikan bahwa keruntuhan nasionalisme terjadi pada para elite, bukan rakyat seperti gambaran selama ini. Saat para elite tidak berani bersikap, rakyat justru tegas menyatakan siap berkorban demi keutuhan wilayah NKRI. Tanpa senjata, hanya berbekal ilmu bela diri, rakyat siap membela tiap jengkal Tanah Air kita. Meski ada elite yang tertawa melihat reaksi rakyat, karena mustahil melawan senjata modern hanya dengan ilmu bela diri, namun sikap rakyat adalah sikap patriot yang tidak rela harga diri bangsanya diinjak-injak. Justru mereka yang menertawakan reaksi rakyat itu yang bisa disebut-maaf-"pelacur politik" yang tidak paham makna nasionalisme. Lagu sendu yang didendangkan anak rakyat, seolah tak mampu menembus relung kesadaran para elite akan perlunya mempertahankan dan memperkokoh wawasan jati diri bangsa Indonesia. Anak rakyat bernyanyi, "Hamparan kebun kelapa sawit di Sumatera, menjanjikan bekal hari esok, namun sayang bukan kami punya. Hutan yang lebat di Kalimantan dan Papua, di mana flora dan fauna yang eksotik berada menghibur hati, tapi bukan kami punya. Laut yang luas, kaya akan ikan dan minyak bumi yang melimpah, itu pun bukan kami punya. Lalu apa yang tersisa bagi kami untuk menapaki hari-hari ke depan?" TERIMA kasih Malaysia. Tindakan Anda menyatukan kesadaran bangsa Indonesia yang terkoyak-koyak. Tatkala bangsa yang besar ini harus rela melihat anak rakyatnya dicambuki, dikejar bak binatang liar. Saat anak bangsa datang ke Malaysia dalam kemiskinan dan pulang dalam kemelaratan, ditimpa impitan kehidupan yang kian keras mengikuti kenaikan harga BBM saat kembali dari pengusiran. Tatkala aparat hanya berani memerangi rakyat sendiri. Maka sadarlah kita, mengharap perubahan datang dari kalangan elite sama dengan mengharap matahari terbit dari barat. Temuan Prof Tadjudin Noer Effendi membuktikan, kekerasan sosial tidak terjadi di saat negeri kita tepat di titik pusar krisis ekonomi, karena kemampuan rakyat menciptakan lapangan kerja secara mandiri. Artinya, para elite harus menyadari, pemerintahlah yang tergantung kepada rakyat, bukan sebaliknya. Tetapi haruskah kesadaran ini datang setelah "ditampar" Malaysia? Negara jiran yang pernah demikian takut akan sikap ekspansionis Indonesia karena mengenal konsep kekuasaan Mandala telah menggugah kesadaran bangsa Indonesia akan pentingnya pembangunan ekonomi di daerah terpencil, khususnya perbatasan dengan negara lain. Ketimpangan kemakmuran antara Jakarta dan daerah, khususnya di perbatasan, mengisyaratkan rendahnya kemampuan manajerial pemimpin mengurus negara. Karena itu, di balik arogansinya menginjak-injak harga diri bangsa Indonesia, Malaysia menyisakan pesan, "Indonesia bukan sekadar Jakarta". Inilah titik tolak membangun Indonesia baru yang memiliki dignity. Meski demikian, mengapa hal sepele ini harus datang dari Malaysia dengan cara yang tidak kita sukai? Riswandha Imawan Guru Besar Fisipol UGM ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Give underprivileged students the materials they need to learn. Bring education to life by funding a specific classroom project. http://us.click.yahoo.com/4F6XtA/_WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx 5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx 6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/ ** Mailing-List Indonesia Nasional Milis PPI-India www.ppi-india.uni.cc **