** Mailing-List Indonesia Nasional Milis PPI-India www.ppi-india.da.ru ** http://www.kompas.com/kompas-cetak/0503/21/opini/1632292.htm Preman Ikut Sidang Wakil Rakyat Oleh Komaruddin Hidayat INI adalah bahasa kiasan. Maksudnya, jangan sampai ada preman yang menyusup ikut sidang DPR. Jadi, teman- teman anggota DPR jangan tersinggung karena hanya kiasan dan harapan, sebagaimana ungkapan anggota DPR yang tertuju pada Jaksa Agung, jangan seperti ustaz di kampung maling. Saya bukan pengamat dan peminat politik yang baik sehingga setiap terjadi sidang DPR yang disiarkan oleh televisi tidak mengundang minat untuk mengikutinya. Kecuali, kalau terjadi ribut-ribut. Lucu, menyebalkan, menyedihkan, mengundang iba, dan perasaan lain bercampur aduk setiap kali mendengar berita keributan pada acara persidangan para wakil rakyat itu. Dulu rakyat mengeluh terhadap anggota DPR dengan alasan banyak dari mereka yang lolos ke Senayan karena hasil kolusi dengan pemerintah pusat. Mereka mengaku wakil rakyat, padahal rakyat tidak merasa memilih. Sekarang anggota DPR itu merasa benar-benar wakil rakyat karena terpilih melalui pemilu raya yang berlangsung secara langsung dan damai. Namun, berdasarkan pengamatan di lapangan semasa pemilu, banyak anggota DPR itu terpilih bukan karena kekuatan integritas dan intelektualitasnya, melainkan sebagian karena kekuatan uang dan dukungan elite partainya. Jika sinyalemen di atas benar, kita tentu tidak heran bahwa kinerja DPR mengecewakan rakyat. Di antara sinisme rakyat terhadap mereka terungkap pada sms yang beredar, misalnya, anggota DPR itu main gertak pada pemerintah dengan maksud untuk menaikkan gaji, minta bagian uang kompensasi kenaikan harga bahan bakar minyak. Ada lagi yang berbunyi: tak ada satu pun pengesahan rancangan undang-undang yang gratis. Senayan tak ubahnya kantor penjual jasa konsultasi hukum dan politik serta jual beli isu kebijakan publik. Dan masih banyak bunyi sms lain yang beredar tanpa kontrol sebagaimana beredarnya uang suap menjelang dan setelah pemilu. Demikianlah, andaikan betul rakyat tidak lagi bersimpati dan tidak percaya pada DPR, yang akan merugi adalah kehidupan demokrasi itu sendiri yang pada urutannya rakyat juga yang akan kian sengsara. Bayangkan, ketika pemerintahan SBY tidak mampu memenuhi janji- janjinya untuk mendatangkan perubahan, sementara posisi dan citra DPR kembali ke posisi sebagai anak-anak TK, meminjam istilah Gus Dur, maka mekanisme pengawasan dan kontrol tidak akan berjalan. Kedua pihak eksekutif dan legislatif sibuk bertengkar di tengah penderitaan rakyat yang semakin berat. Dengan demikian, iklim dan agenda demokrasi justru dirusak oleh para politikus yang semestinya menjadi penjaga moral dan prinsip kehidupan berbangsa dan bernegara, di saat para koruptor tak henti-hentinya menggerogoti uang rakyat. SESUNGGUHNYA menarik untuk dianalisis latar belakang pendidikan seluruh anggota DPR se-Indonesia yang data lengkapnya ada di KPU. Meskipun tingkat pendidikan tidak menjadi jaminan kualitas intelektual dan moral, peta itu kalau dibuka akan semakin menambah keprihatinan kita bahwa banyak anggota DPR yang rasanya tidak layak untuk duduk sebagai wakil rakyat. Banyak anggota dewan di tingkat provinsi dan kabupaten yang hanya berijazah SLTA, itu pun sekadar ujian persamaan yang standarnya masuk kategori "dikasihani". Belum lagi yang terindikasikan menggunakan ijazah palsu yang berhasil lolos karena permainan uang. Sekarang sebagian masyarakat sudah telanjur percaya bahwa posisi apa pun di negeri ini tidak mungkin diraih tanpa uang. Akibatnya, ketika seseorang berhasil menduduki jabatan, salah satu agendanya adalah bagaimana mengembalikan modal yang telah dikeluarkan. Semasa duduk sebagai Ketua Panwas Pemilu ada beberapa calon anggota DPR yang secara terang-terangan bercerita berapa jumlah uang yang telah dikeluarkan untuk membeli tiket pencalonan. Rumah dan mobil telah dijual untuk biaya kampanye. Begitu pun posisi di departemen pemerintahan, hampir-hampir tak ada jabatan yang gratis. Kalau seorang calon tidak punya uang, ada pihak rekanan pemborong proyek yang akan mengatur keuangannya dan jika calon sudah berhasil memperoleh posisi baru, giliran rekanan tadi yang membuat kalkulasi untuk menagih melalui permainan proyek. Lagi-lagi jika sinyalemen itu betul, lalu kira-kira pikiran apakah yang paling dominan di benak para elite politik negeri ini? Mungkin sekali yang pertama dan utama adalah bagaimana mengumpulkan uang untuk dirinya, keluarganya, dan konco-konco partai pendukungnya. Tentu saja berpikir dan bertindak atomistis dan egoistis seperti ini sangat membahayakan dan merusak harmoni dan soliditas bernegara. Keutuhan dan keragaman hidup diurai dan digerogoti secara destruktif- atomistik sehingga wajah dan jati diri bangsa menjadi hancur berantakan, terbelah menjadi serpihan-serpihan komunitas eksklusif tanpa visi keindonesiaan. Masing-masing kelompok mengaku sebagai pejuang Indonesia dan memperebutkan simbol serta fasilitas negara, padahal ideologi dan emosi yang menggerakkan hanyalah bagaimana memenuhi keinginan kelompok dengan fokus tunggal, yaitu materi dan popularitas. Rasa lelah, marah, dan kecewa rakyat semakin memuncak ketika problem juga datang dari luar negeri, sementara pemerintah dan kalangan DPR bertengkar melulu. Baik posisi Singapura, Malaysia, maupun Australia semuanya memandang enteng dan melecehkan Indonesia. Bahkan, Timor Timur yang miskin saja lebih memilih berpisah ketimbang bergabung dengan Indonesia. Andaikan masyarakat Aceh dan Papua boleh memilih, jangan- jangan mereka lebih senang berpisah dari Indonesia, atau setidaknya minta otonomi khusus. Begitu pun beberapa daerah lain yang kekayaan alamnya dikeruk dan diangkut ke pusat, tetapi hasilnya dikorup. Jadi, terhadap semua tantangan yang demikian menumpuk dan ketika rakyat tidak lagi bangga terhadap bangsa dan pemerintahannya, terobosan apa yang akan dilakukan pihak pemerintah bersama para wakil rakyat? Jangan sampai predikat "wakil rakyat yang terhormat" menjadi ungkapan kosong dan sinisme. Demokrasi dan pemerintahan yang sehat tidak mungkin tumbuh tanpa partai politik dan wakil rakyat yang wibawa dan disegani rakyat. Jangan sampai ada preman yang menyusup ke ruang sidang DPR. (Maaf, ini harapan dan kata kiasan yang dipinjam dari Senayan juga). Jika terdapat seorang anggota DPR yang bermental dan berperilaku preman, paling tidak delapan pihak merasa dirugikan. Pertama, para pemilih anggota legislatif yang jumlahnya sekitar 400.000 orang untuk nilai satu kursi. Kedua, harkat, citra, dan martabat lembaga dewan perwakilan rakyat menjadi ternodai. Ketiga, pemborosan uang negara untuk menggaji orang yang tidak pantas menerimanya. Keempat, membuat malu partai politik yang diwakilinya. Kelima, mengacau dan memboroskan energi persidangan yang telah menelan biaya uang, waktu, dan tenaga, tetapi tidak membuahkan hasil. Keenam, merugikan anggota dewan lain yang baik dan bermutu sehing ga kredibilitasnya ikut menurun di mata masyarakat. Ketujuh, pribadi yang bersangkutan akan terkena label di mata teman dan keluarganya sebagai orang yang tidak pantas mengemban tugas yang demikian terhormat. Kedelapan, proses demokrasi tersendat-sendat akibat daya kritik DPR terhadap kebijakan pemerintah menjadi tumpul karena wibawanya menurun. Berdasarkan pemikiran di atas, maka sangat diperlukan adanya mekanisme sangsi dan amputasi fungsional terhadap wakil rakyat yang akan merusak citra dan kinerja DPR agar lembaga yang terhormat ini memang diisi oleh mereka yang benar-benar terhormat. Bagi mereka yang lolos jadi anggota dewan setelah mengeluarkan uang ratusan juta, lupakan saja dan anggap sebagai dana sosial. Janganlah lembaga dewan dijadikan lahan bisnis politik. Kata wakil dalam bahasa aslinya (Arab) berarti tempat bersandar dan representasi. Jadi, anggota dewan itu semestinya memang menjadi tempat bersandar dan tempat pengaduan rakyat, merepresentasikan kondisi rakyat yang sesungguhnya. Namun, yang sekarang terjadi, sebagian bukannya menjadi tempat bersandar rakyat pemilih yang tengah sengsara, melainkan sibuk dengan agenda pribadi dan konco-konconya. Adapun kata "pemerintah" sejak awal sudah mengandung kejanggalan karena berkonotasi tukang perintah. Padahal fungsi pemerintah adalah memimpin (to lead), mengat ur (to manage) dan melayani (to serve). Secara geneologis, negara dan pemerintah adalah anak kandung masyarakat. Namun, dalam perjalanannya negara dan pemerintah cenderung lupa diri dan malah berbalik menindas dan memperdayakan ibu kandungnya. Dalam bahasa agama hal itu merupakan kedurhakaan yang amat besar yang tidak akan membawa berkah bagi dirinya. Komaruddin Hidayat Direktur Program Pascasarjana UIN Jakarta, Ketua Dewan Pengarah Perkumpulan untuk Demokrasi dan Pemilu (Perludem) [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Give underprivileged students the materials they need to learn. Bring education to life by funding a specific classroom project. http://us.click.yahoo.com/4F6XtA/_WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx 5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx 6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/ ** Mailing-List Indonesia Nasional Milis PPI-India www.ppi-india.uni.cc **