[list_indonesia] [ppiindia] Pilkada Langsung, Demokrasi Dan Kemunculan Civil Society

  • From: "Ambon" <sea@xxxxxxxxxx>
  • To: <"Undisclosed-Recipient:;"@freelists.org>
  • Date: Wed, 9 Mar 2005 21:37:29 +0100

** Mailing-List Indonesia Nasional Milis PPI-India www.ppi-india.da.ru **

http://www.indomedia.com/bpost/032005/10/opini/opini1.htm
Kamis, 10 Maret 2005 02:53

Pilkada Langsung, Demokrasi Dan Kemunculan Civil Society
Oleh: Drs HM Karsayuda SM MHI

Dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun 2005 sebagai tindak 
lanjut dari UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah beberapa lalu, 
menjawab sinyalemen mengenai ketidakpastian waktu penyelenggaraan pemilihan 
kepala daerah dan wakil kepala daerah (pilkada) secara langsung pertama di 
negeri ini. Sinyalemen digelarnya pilkada langsung pada Juni 2005 di 
beberapa propinsi dan kabupaten/kota di Indonesia termasuk di Kalsel, telah 
menemukan argumentasi yuridisnya dalam PP tersebut.

Pilkada langsung oleh sebagian kalangan dianggap akan menjadi terapi bagi 
lahirnya suatu pemerintahan yang lebih baik, dibanding pemerintahan yang 
dihasilkan UU No 22/1999. Sebagaimana disadari bersama, pergantian kekuasaan 
yang dilandasi UU No 22/1999 banyak menghasilkan 'kecurangan'.

Hal ini disebabkan beberapa faktor. Pertama, posisi DPRD sebagai institusi 
tunggal penyelenggara pilkada pada saat itu berdasarkan UU No 22/1999 
mempunyai hak 'relatif' penuh untuk menentukan siapa yang berhak menjadi 
kepala daerah dan wakilnya. Sayangnya kekuasaan sangat besar yang dimiliki 
DPRD ini tidak diikuti adanya lembaga pengawasan yang cukup kuat untuk 
mengontrol proses pilkada tersebut. Akhir dari proses ini adalah banyaknya 
kasus politik uang yang hampir menyertai seluruh proses pergantian kekuasaan 
di daerah kala itu.

Kedua, intervensi parpol pusat terhadap parpol di daerah dalam menentukan 
calon yang diajukan partai bersangkutan. Dalam konteks ini kita tentu masih 
ingat kasus intervensi DPP PDI-Perjuangan pada beberapa pilkada, seperti di 
Jawa Tengah yang berbuntut dicopotnya Mardijo dari jabatannya sebagai ketua 
DPD PDI-Perjuangan setempat.

Ketiga, adanya intervensi pemerintah pusat terhadap proses pilkada kala itu. 
Berdasarkan pasal 40 ayat (3) UU No 22/1999 pemerintah pusat diberikan 
wewenang untuk mengesahkan pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah 
yang telah dipilih dan ditetapkan DPRD. Dalam praktiknya, pemerintah pusat 
dapat untuk tidak mengesahkan pasangan calon terpilih tersebut. Dalam 
konteks terakhir ini menarik, melihat kasus Alzier Dianis Thabrani sebagai 
Gubernur Lampung terpilih yang tidak disahkan oleh Presiden Megawati saat 
itu.

Rentetan problemantika di atas diharapkan dapat dijawab oleh pilkada 
langsung yang akan digelar Juni mendatang. Pertanyaannya adalah, apakah 
pilkada langsung akan dengan serta merta menjawab problemantika tersebut, 
atau jangan-jangan hanya akan menjadi isapan jempol belaka?

Tulisan ini mencoba untuk menjawab hal yang sangat mendasar dari pilkada 
langsung, yaitu demokrasi serta harapan penulis terhadap menggeliatnya civil 
society di daerah, khususnya Kalsel dalam proses dan pascapilkada langsung 
mendatang.

Langsung Dan Demokrasi
Secara harfiah, demokrasi berasal dari kata Demos dan Cratein. Demos berarti 
rakyat, sedang cratein berarti kekuasaan atau pemerintahan (Sri Soemantri: 
1973). Miriam Budiarjo (1983) menyebut demokrasi sebagai pemerintahan yang 
dikuasai oleh rakyat. Atau dalam adagium yang populer, biasa disebut sebagai 
pemerintahan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.

Sesungguhnya pemerintahan dalam konteks demokrasi, tidak lebih dari sekadar 
penerima amanat rakyat untuk mengurus berbagai kepentingan mereka. Menurut 
Muchsan dengan mengutip the contract theory yang dikemukakan Rousseue, 
pemerintah adalah suatu badan di dalam negara yang tidak berdiri sendiri, 
melainkan bersandar kepada rakyat yang berdaulat. Kemauan yang dimiliki 
pemerintah disebut volonte de corps (suara kelompok), karena pemerintah 
terdiri atas kelompok manusia tertentu yang dipercaya rakyat. Sedangkan 
aspirasi rakyat itu sendiri disebut volonte de generale (suara keseluruhan; 
suara rakyat). Idealnya, volonte de corps ini harus mencerminkan volonte de 
generale (Muchsan: 2000).

Dalam menjalankan relasi antara volente de corps dan volonte de generale, 
atau hubungan antara pemerintah dengan rakyat, maka pemerintah diberikan 
berbagai kewenangan untuk merealisasi berbagai kepentingan dan kehendak 
rakyat tersebut. Pemerintah diposisikan sebagai organ yang memikul 
tanggungjawab dan kewajiban untuk mewujudkan dan menjamin kesejahteraan 
umum.

Dalam kontek ini, peran pemerintah menjadi semakin besar dan kuat yang 
dibuktikan dengan makin banyaknya campur tangan pemerintah hampir di semua 
segi kehidupan masyarakat. Bidang kehidupan yang tadinya lepas dari campur 
tangan pemerintah, misalnya penetapan upah pekerja, menjadi bidang yang 
menghendaki campur tangan pemerintah. Besar kecilnya upah tidak lagi 
sepenuhnya ditentukan oleh pemodal, melainkan berdasarkan kebijakan 
pemerintah. Hal ini semata-mata untuk menjamin, pekerja mendapatkan haknya 
secara wajar.

Semakin banyak tugas dan campur tangan pemerintah dalam wilayah publik, maka 
akan membuka pintu kesewenang-wenangan pemerintah atas masyarakat. Dalam 
kondisi demikian, hakikat demokrasi yang menempatkan rakyat sebagai pemegang 
kedaulatan tertinggi (sangat mungkin untuk) dilupakan. Pemerintah dengan 
kewenangannya yang begitu besar, lebih memposisikan dirinya sebagai sang 
pemberi perintah daripada menjadi pelayan bagi masyarakat (public server).

Pilkada langsung, dari awal prosesnya ingin mengembalikan kesadaran 
berdemokrasi ini pada hakikat yang sesungguhnya. Pilkada langsung memberikan 
hak penuh kepada rakyat untuk menentukan siapa yang berhak untuk dijadikan 
pelayannya (baca: kepala daerah), yang tentu diharapkan dapat menjadi 
pelayan masyarakat yang baik, bukan menjadi tukang perintah seperti masa 
lalu.

Berbagai kasus seperti penggusuran secara paksa, kewajiban membayar biaya 
tertentu di luar prosedur di berbagai urusan publik, mulai dari pembuatan 
KTP, izin usaha, bahkan sertifikasi tanah harus dapat diminimalisasi dengan 
terpilihnya sang pelayan rakyat ala pilkada langsung ke depan.

Munculnya Civil Society
Harapan munculnya pemerintahan yang demokratis, ditandai dengan adanya 
kesadaran bahwa pemerintah pada dasarnya hadir untuk rakyat dan bukan 
sebaliknya, tentu tidak mudah. Pilkada langsung kendati secara esensial 
merupakan buah pikir dari demokrasi, tentu tidak akan dapat menjamin 
sepenuhnya proses demokrasi tersebut dapat berjalan secara penuh.

Bagaimana pun, pilkada langsung ala UU No 32/2004 masih menimbulkan berbagai 
polemik. Salah satunya adalah ketentuan mengenai pencalonan calon kepala 
daerah dan wakilnya oleh parpol. Ketentuan ini dianggap sangat rawan untuk 
menghadirkan kembali skenario politik uang antara sang calon dengan partai 
yang mencalonkan. Berikutnya calon yang dicalonkan oleh parpol bisa jadi 
adalah orang-orang yang tidak dikenal 'baik' oleh masyarakat setempat. Jika 
hal ini yang terjadi, maka masyarakat akan disuguhkan kandidat kepala daerah 
yang tidak kalah 'buruknya' dibanding masa lalu. Maka, angan-angan untuk 
menghadirkan pemerintahan daerah yang demokratis, yaitu pemerintahan daerah 
yang menempatkan rakyat sebagai parameter kerjanya menjadi utopis.

Dalam kondisi demikian, perlu kiranya mendorong masyarakat sebagai kekuatan 
utama demokrasi untuk turut mengawasai proses pilkada langsung. Masyarakat 
yang telah diberikan hak untuk memilih dalam pilkada langsung, harus 
disadarkan bahwa juga memiliki kewajiban mengawasi pilkada tersebut. Dalam 
hal ini, masyarakat bukan hanya diposisikan sebagai penonton, apalagi 'sapi 
perah' demokrasi, tetapi menjadi aktor utama dari proses demokrasi lokal 
yang bernama pilkada langsung. Gagasan untuk menciptakan masyarakat sebagai 
aktor dari demokrasi ini, yang populer disebut sebagai civil society.

Ada beberapa alasan kenapa civil society dapat dimunculkan dalam momentum 
pilkada langsung ke depan. Pertama, pilkada langsung telah 'merampas' hak 
relatif penuh DPRD untuk memilih kepala daerah dan wakilnya menjadi hak 
masyarakat. Sebagaimana disebutkan di atas, munculnya hak untuk memilih 
harus diikuti kewajiban mengawasi. Agar yang dipilih tidak seperti memilih 
'kucing dalam karung'.

Kedua, pengawasan oleh masyarakat pada saat digelarnya pilkada langsung 
diharapkan dapat mendorong parpol menentukan kandidat kepala daerah dari 
partainya yang akan diikutkan berkompetisi. Pilihan parpol untuk mencalonkan 
seseorang dengan memperhatikan track and reccord sang calon di masyarakat 
harus menjadi pertimbangan utama, jika ingin memenangkan pilkada langsung.

Ketiga, civil society yang kuat pada saat pilkada akan memiliki efek 
dihargainya masyarakat setempat oleh kepala daerah terpilih. Dengan 
demikian, pascapilkada langsung digelar, sang pemimpin terpilih tidak dengan 
semaunya melakukan berbagai kebijakan publik yang merugikan masyarakat 
setempat.

Jika angan-angan munculnya civil society di daerah ini dapat menjadi 
kenyataan, agaknya tidak berlebihan jika kita menaruh harapan besar pada 
pemerintahan yang demokratis pascapilkada langsung ke depan. Tetapi 
sebaliknya, jika pilkada langsung hanya menjadi ritual demokrasi yang 
ditandai dengan berbondong-bondongnya masyarakat menuju bilik suara, tanpa 
ada kesadaran mereka adalah pemilik kedaulatan yang sebenarnya yang ditandai 
dengan keberanian untuk mengawasi serta melakukan verifikasi terhadap calon 
yang akan dipilih, maka sesungguhnya kita hanya akan menyaksikan suatu drama 
pergantian kekuasaan yang tidak kalah koruptif, kolutif dan nepotisan, serta 
akan menghasilkan pemerintahan yang tidak pernah mengindahkan masyarakat 
dalam mengambil berbagai kebijakan.

Siapa pun, terutama kalangan akademisi, aktivis NGO, parpol, ulama, 
mahasiswa dan segenap elemen di daerah ini tentu tidak menginginkan mimpi 
buruk tersebut terjadi pascapilkada langsung ke depan. Kita masih punya 
waktu untuk menggeliatkan civil society ala Kalsel untuk menghadirkan 
pemerintahan daerah (baik level propinsi, maupun beberapa kabupaten/kota 
yang menggelar pilkada langsung Juni mendatang) yang menyadari esensi 
demokrasi, bahwa pemerintah bukan sang pemberi perintah. Tetapi, sebagai 
penerima perintah dari masyarakatnya.
Anggota masyarakat HST, tinggal di Barabai
e-mail: rechtolog@xxxxxxxxx 



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
DonorsChoose. A simple way to provide underprivileged children resources 
often lacking in public schools. Fund a student project in NYC/NC today!
http://us.click.yahoo.com/5F6XtA/.WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx
5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx
6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



** Mailing-List Indonesia Nasional Milis PPI-India www.ppi-india.uni.cc **

Other related posts:

  • » [list_indonesia] [ppiindia] Pilkada Langsung, Demokrasi Dan Kemunculan Civil Society