[list_indonesia] [ppiindia] Perangkap Neoliberal

  • From: "Ambon" <sea@xxxxxxxxxx>
  • To: <"Undisclosed-Recipient:;"@freelists.org>
  • Date: Sun, 27 Mar 2005 22:32:12 +0200

** Mailing-List Indonesia Nasional Milis PPI-India www.ppi-india.da.ru **

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0503/28/opini/1644248.htm


Perangkap Neoliberal=20
Oleh A Prasetyantoko

BAGI ahli sejarah setiap kejadian adalah unik. Sebaliknya, minat para ekono=
m menemukan kejadian-kejadian yang berulang dalam sejarah. Sejarah bersifat=
 partikular dan ekonomi bersifat general. Begitu kata Charles Kindelberger =
(1978).

Para ekonom tengah memperdebatkan hasil penelitian Lembaga Penyelidikan Eko=
nomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM-UI) tentang dampak penguran=
gan subsidi bahan bakar minyak/BBM (baca: kenaikan harga BBM) terhadap angk=
a kemiskinan. Kisahnya agak lain dari sekadar perdebatan akademis di kampus=
.

Kali ini, secara terbuka angka-angka temuan penelitian dipampang untuk meya=
kinkan orang akan sebuah kebijakan. Dengan angka-angka itu pula sekelompok =
intelektual merasa memiliki legitimasi moral untuk merekomendasi sebuah keb=
ijakan kepada pemerintah melalui sebuah iklan. Yang terpenting, angka-angka=
 hasil penelitian tersebut telah menjadi referensi penting dari kebijakan y=
ang menyangkut hajat hidup orang banyak.

Tim LPEM-UI meyakini pencabutan subsidi BBM yang disertai dengan pemberian =
kompensasi subsidi (pangan, pendidikan, dan kesehatan) akan berdampak pada =
penurunan angka kemiskinan. Sementara itu, sama-sama menggunakan model comp=
utable general equilibrium (CGE), Rina Oktaviani dari Fakultas Ekonomi dan =
Manajemen Institut Pertanian Bogor (FEM-IPB) memiliki hasil perhitungan yan=
g berbeda. Kompensasi subsidi hanya akan mendongkrak daya beli masyarakat s=
ebesar 0,6 persen, sementara dampak pencabutan subsidi BBM akan mendorong i=
nflasi sebesar 2,80-3,02 persen (Kompas, 14/3).

Tim Indonesia Bangkit mempersoalkan legitimasi penelitian LPEM-UI. Terlepas=
 dari masalah metodologis yang tengah diperdebatkan itu, tampaknya ada pula=
 persoalan epistemologis di dalamnya. Selain dari sudut pandang metodologis=
, sebuah penelitian umumnya dikaji dari sudut pandang perumusan konsep yang=
 berhubungan dengan sebuah kriteria "kebenaran" tertentu (relatif). Karena =
pada prinsipnya, sebuah metode (model) bisa diatur untuk melayani (mengguga=
t atau menguatkan) sebuah konsep kebenaran tertentu.

Neoliberal

Daoed Joesoef (Kompas, 16/3) membuat analogi pernyataan Menteri Koordinator=
 Perekonomian tentang ketidakmampuan rakyat membeli elpiji dengan kata-kata=
 sinis Ratu Marie Antoinette (istri Raja Louis XVI) di hadapan rakyat Paris=
 yang lapar. Kita tahu, Antoinette-putri Raja Francois I dari Austria-harus=
 menemui ajal secara mengenaskan di papan guillotine. Dia berada di dalam s=
istem kekuasaan yang diidamkannya pada saat yang tidak tepat. Rakyat sedang=
 kelaparan, negara sedang dilanda krisis keuangan yang parah, sementara war=
ga Paris tengah marah pada simbol kekuasaan yang mewah.

Di mata sejarah setiap kejadian penting dan kita bisa banyak belajar dariny=
a. Kisah tragis Ratu Antoinette bisa bertutur banyak atas kejadian aktual d=
i masa sekarang ini. Sayangnya, para ekonom hanya peduli pada kejadian yang=
 berulang karena di sana bisa ditemukan model guna memprediksi masa depan.

Di mata ekonom krisis tak lebih dari sekadar kejadian yang berulang, bisa t=
erjadi kapan saja dan di mana saja. Studi Tornell & Westernmann (2004) menu=
njukkan, krisis yang melanda negara sedang berkembang merupakan efek sampin=
g (by product) dari liberalisasi sektor finansial. Meskipun ada risiko kris=
is, liberalisasi sektor finansial tetap diperlukan bagi perekonomian karena=
 dia mendorong pertumbuhan.

Di negeri kita sebagian besar ekonom juga meyakini krisis disebabkan oleh t=
idak bekerjanya sistem pasar dengan baik. Jadi, solusinya: deregulasi, libe=
ralisasi, dan privatisasi (Washington Concensus). Sama halnya dengan Dana M=
oneter Internasional (IMF) yang datang dengan rumus yang klasik: krisis har=
us diakhiri dengan cara menaikkan suku bunga, menurunkan defisit serta mela=
kukan gerak stabilisasi dan privatisasi.

Dalam logika ini setiap kegagalan liberalisasi hanya bisa dipecahkan dengan=
 kebijakan liberalisasi yang lebih maju. Sejarah pun terus berulang; libera=
lisasi terus-menerus dijalankan sebagai proyek berkesinambungan. Dalam kasu=
s pencabutan subsidi BBM tampaknya kita terperangkap dengan logika ala neol=
iberal ini. Masalahnya, pencabutan subsidi BBM terkait langsung dengan masa=
lah "rakyat yang lapar" dan kali ini proyek liberalisasi justru menyeret ki=
ta pada masalah politik dan sosial yang kompleks.

Bernard Walleser (2000), dosen di EHESS-Paris, dalam bukunya L'=E9conomie C=
ognitive mengkritik pendekatan ekonomi atas dua ketimpangan utama; rasional=
itas individual dan keseimbangan kolektif. Pendekatan utama (mainstream) il=
mu ekonomi terlalu meyakini, secara individu manusia memiliki rasionalitas =
yang sempurna dan akibatnya, secara kolektif akan selalu terjadi keseimbang=
an umum (general equilibrium).

Pada dasarnya, rasionalitas manusia bersifat terbatas (bounded rationality)=
. Karena itu, keseimbangan kolektif akan terjadi secara evolutif dan tidak =
tunggal (multiple equilibria). Aktor ekonomi, bukan semata pencari kepuasan=
 maksimal (homo economicus), tetapi juga pemikir (homo cogitans) dan juga p=
embelajar (homo adaptans). Kelemahan epistemologis inilah yang membuat pend=
ekatan ekonomi terkadang cedera karena terlalu meyakini rasionalitas, infor=
masi, dan mekanisme pasar yang dianggap selalu berjalan dengan sempurna, se=
mentara faktor-faktor kelembagaan sering dilalaikan begitu saja.

Kelembagaan
Kalkulasi dampak pencabutan subsidi oleh LPEM-UI sama halnya dengan kebijak=
an menaikkan harga BBM itu sendiri, terlalu berorientasi pada tujuan akhirn=
ya dalam jangka panjang dan mengabaikan realitas jangka pendeknya. Dalam lo=
gika ilmu pengetahuan, gejala ini dinamai gejala teleologis.

Mungkin benar bahwa tujuan akhir pencabutan subsidi BBM tak mungkin dielakk=
an lagi. Tapi mungkin juga tidak tepat melakukannya sekarang. Ibarat seoran=
g dokter harus mengoperasi kanker dalam situasi pasien yang tidak sehat. Pe=
rsoalannya bukan tindakan melakukan operasi itu sendiri, tetapi pilihan mom=
entumnya. Argumen pemerintah, penundaan pencabutan berarti potensi kerugian=
 negara karena harus terus memberi subsidi, justru menyulut kemarahan rakya=
t. Etiskah jika memberi subsidi kepada rakyat yang hidupnya sudah berat dia=
nggap beban, sementara penjaminan perbankan dianggap sebagai biaya krisis?

Dan lagi, di antara jajaran kabinet ada pengusaha yang dulunya masuk dalam =
daftar 200 debitur terbesar di bawah kendali Aset Manajemen Kredit Badan Pe=
nyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Dengan kata lain, mereka juga turut men=
ikmati fasilitas penjaminan pemerintah meski tidak langsung. Dalam daftar p=
anjang debitur tersebut terdapat nama-nama perusahaan, seperti Bakrie & Bro=
thers PT (manufaktur), Bakrie International Finance (industri jasa), Bakrie=
 Investindo PT (industri jasa), dan Bakrie Nirwana Resort PT (hotel/restora=
n).

Pantas saja, keraguan atas kredibilitas kebijakan publik dari pemerintah be=
gitu kuat terasa di kalangan rakyat. Tim Indonesia Bangkit secara tegas mer=
ekomendasikan pengganti- an menteri, sebelum kredibilitas menggerogoti posi=
si presiden sendiri. Bisa jadi, rekomendasi ini memiliki agenda politis. Me=
skipun begitu, masyarakat luas merasakan urgensinya.

Faktor kelembagaan luput dalam kalkulasi para penganjur pencabutan subsidi =
BBM. Pencabutan subsidi dilakukan dalam situasi penuh korupsi yang tampak b=
elum meyakinkan diatasi sehingga membuka luka lama di kalangan mahasiswa. S=
elain itu, kenaikan harga BBM telah menjadi momentum bagi terbukanya tarik-=
menarik kepentingan di parlemen. Karena itu, perdebatan menjadi sangat panj=
ang dan melelahkan. Sudah pasti realitas seperti ini tidak akan teradopsi d=
alam sebuah model ekonomi secanggih apa pun.

Mungkin benar, para ekonom perlu banyak belajar dari ahli sejarah agar kisa=
h tragis di akhir kehidupan Antoinette tak perlu menjadi model yang terulan=
g kembali.

A Prasetyantoko Mahasiswa Doktoral Departemen Ekonomi, Ecole Normale Sup=E9=
rieure (ENS) de Lyon, Perancis

[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~-->=20
DonorsChoose. A simple way to provide underprivileged children resources=20
often lacking in public schools. Fund a student project in NYC/NC today!
http://us.click.yahoo.com/5F6XtA/.WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~->=20

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg=
 Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru;=20
4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx
5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx
6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx
=20
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
=20



** Mailing-List Indonesia Nasional Milis PPI-India www.ppi-india.uni.cc **

Other related posts:

  • » [list_indonesia] [ppiindia] Perangkap Neoliberal