[list_indonesia] [ppiindia] Pertumbuhan Ekonomi Tidak Bisa Dipaksakan

  • From: "Ambon" <sea@xxxxxxxxxx>
  • To: <"Undisclosed-Recipient:;"@freelists.org>
  • Date: Sun, 27 Mar 2005 22:27:06 +0200

** Mailing-List Indonesia Nasional Milis PPI-India www.ppi-india.da.ru **

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0503/28/opini/1644209.htm

 
Pertumbuhan Ekonomi Tidak Bisa Dipaksakan 

Oleh M Sadli

IKATAN Sarjana Ekonomi Indonesia atau ISEI minggu lalu telah menggelar sidang 
pleno tahunan selama dua hari di Hotel Nikko, dengan tema umum "Percepatan 
Pertumbuhan Ekonomi dan Penciptaan Lapangan Kerja Baru". Banyak masalah 
dibahas, baik dari segi ekonomi makro maupun mikro atau sektoral.

Yang penting adalah presentasi Dr Miranda Goeltom pada hari pertama, sesi 
pertama, sehingga papernya bisa dipandang sebagai referensi utama. Judul 
papernya adalah Mengapa Stabilitas Makro Telah Tercapai namun Sangat Lambat 
dalam Menggerakkan Pertumbuhan Ekonomi? Cara analisisnya adalah konvensional, 
yang juga sudah sering dilakukan penulis ini. Walaupun Sdr Miranda di sidang 
pleno ISEI ini bicara dalam kedudukan pribadinya, ia menjabat Deputi Senior 
Gubernur Bank Indonesia (BI), sehingga pandangannya kiranya sejajar dengan 
kebijakan moneter yang resmi.

Sdr Miranda senantiasa memberi tekanan kepada misi utama Bank Indonesia di 
zaman reformasi ini, yakni misi tunggal menjaga nilai rupiah, yang secara 
operasional juga bisa disebut menjaga rendahnya inflasi (misi resmi sekarang 
adalah inflation targeting). Ia juga beberapa kali menyebut good governance 
sebagai pedoman pokok.

Sdr Miranda membuka papernya dengan kalimat: "Evaluasi secara umum terhadap 
kondisi makro-ekonomi hingga triwulan I 2005 menunjukkan bahwa stabilitas 
perekonomian yang telah mulai dicapai dalam kurun waktu dua tahun terakhir 
masih dapat dipertahankan sebagaimana tercermin pada indikator utama 
makro-ekonomi seperti perkembangan besaran moneter, suku bunga, nilai tukar, 
inflasi, dan indikator kinerja perbankan".

Perkembangan besaran moneter, diukur dengan M-zero (base money) maupun dengan 
ukuran M1 dan M2, semuanya masih ada dalam kisaran yang aman dan stabil. Suku 
bunga Sertifikat Bank Indonesia satu bulan menunjukkan penurunan konsisten dari 
sekitar 17 persen pada awal 2002 menjadi sekitar 7,4 persen pada awal 2005. 
Penurunan suku bunga itu diikuti oleh penurunan suku bunga kredit walaupun 
dengan pola penurunan yang relatif lambat. Nilai tukar rupiah selama beberapa 
periode terakhir bergerak relatif stabil dengan tingkat volatilitas yang cukup 
rendah. Secara tahunan, inflasi terus mengalami penurunan yang konsisten, dari 
12,55 persen pada tahun 2001 menjadi 6,4 persen pada akhir 2004.

Masalah inflasi

Inflasi di Indonesia bak penyakit endemis (seperti malaria) dan berakar di 
sejarah. Tingkat inflasi di Malaysia dan Thailand senantiasa lebih rendah. 
Inflasi di Indonesia tinggi sekali di zaman Presiden Soekarno karena kebijakan 
fiskal dan moneter sama sekali tidak prudent ("kalau perlu uang, cetak saja"). 
Di zaman Soeharto pemerintah berusaha menekan inflasi, tetapi tidak bisa di 
bawah 10 persen setahun rata-rata, antara lain oleh karena Bank Indonesia masih 
punya misi ganda, antara lain sebagai agent of development, yang bisa 
mengucurkan kredit likuiditas tanpa batas.

Baru di zaman reformasi, mulai di zaman Presiden Habibie, fungsi BI 
mengutamakan penjagaan nilai rupiah. Tetapi karena sejarah dan karena 
inflationary expectations masyarakat (yang bertolak ke belakang, artinya 
bercermin kepada sejarah), maka "inflasi inti" masih lebih besar daripada 5 
persen setahun. BI sekarang punya sasaran untuk menekan angka inflasi ini.

Di level teknis sudah ada kesepakatan antara Pemerintah dan Bank Indonesia 
untuk membawa tingkat inflasi jangka panjang ke kisaran 3 persen setahun. Untuk 
tahun 2005, sasaran BI adalah 6 persen plus-minus 1 persen; untuk tahun 2006, 
5,5 persen plus-minus 1 persen, dan untuk tahun 2007, 5 persen plus-minus 1 
persen. Maka yang menjadi taruhan adalah inflasi tahun 2005 ini yang dibayangi 
oleh kenaikan harga BBM.

Menurut Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi 
Universitas Indonesia, akan ada tambahan inflasi sekitar 1 persen, tetapi ada 
pakar ekonomi lainnya yang memperkirakan 3 persen, bahkan pakar Badan Pusat 
Statistik memasang angka 12 persen. Pengalaman sejarah menunjukkan pengaruh 
kenaikan harga BBM kepada inflasi dalam kisaran 1-2 persen setahun.

Pengendalian inflasi masih menghadapi risiko intern dan ekstern yang cukup 
besar. Dari dalam negeri ada pengaruh politik untuk mengucurkan dana perbankan 
yang lebih besar ke sektor riil, terutama ke sektor usaha mikro, kecil, dan 
menengah, dengan suku bunga rendah. BI juga tidak dapat mengendalikan 
perkembangan M-zero secara sempurna karena perbankan komersial harus melayani 
keperluan uang para nasabahnya, yang bisa dipengaruhi oleh inflationary 
expectations.

Risiko dari sektor ekstern timbul kalau harga minyak bumi masih terus naik, 
atau nilai rupiah mengalami depresiasi. Belakangan ini bahkan beberapa 
komoditas pertanian, seperti beras dan gula, mengalami kenaikan harga 
internasional, yang semuanya akan menjadi imported inflation bagi Indonesia.

Sdr Miranda menyebut beberapa "fundamental ekonomi" yang belum baik sebagai 
penghalang tercapainya laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi.

Pertama, masih tingginya pengangguran dan kerentanan pasar tenaga kerja. Kedua, 
lemahnya kegiatan investasi dan permasalahan fundamental terkait. Ketiga, 
tingginya potensi tekanan inflasi secara struktural.

Pengangguran yang tinggi terkait kepada pertambahan penduduk dan kualitas 
pendidikan dan skill sebagian terbesar sumber daya manusia kita. Di lain pihak 
pasar tenaga kerja juga kurang fleksibel, artinya amat mahal bagi perusahaan 
untuk mengurangi tenaga kerjanya kalau pasarnya menciut. Biaya pesangon untuk 
pemutusan hubungan kerja amat tingginya. Karena hubungan industrial di 
Indonesia kurang menguntungkan perusahaan, maka bakal banyak investor 
internasional memilih lokasi China dan Vietnam ketimbang Indonesia.

Lemahnya kegiatan investasi baru juga oleh karena bagi pengusaha kepastian 
hukum sejak reformasi telah berkurang. Pelaksanaan otonomi daerah menambah 
ketidakpastian. Indonesia sekarang terkenal sebagai high-cost economy. Salah 
satu sumber ekonomi biaya tinggi adalah kurang memadainya infrastruktur karena 
sejak 1998 praktis tidak ada investasi pemerintah di bidang infrastruktur ini.

Sebetulnya masih ada suatu rintangan fundamental, yakni intermediasi sistem 
perbankan belum bisa bekerja secara normal karena ketatnya prudential rules 
yang baru dan masih ada trauma kredit macet.

Sejak tahun 2004 sudah ada tanda-tanda positif kenaikan investasi dan ekspor, 
tetapi belum cukup untuk mengembalikan kinerja zaman sebelum krisis. Waktu itu 
jumlah investasi nasional (gross) sekitar 30 persen dari produk domestik bruto 
(PDB). Di tahun 2004 baru melintasi 20 persen dari PDB. Statistik impor barang 
modal juga mulai naik. Namun, kebanyakan investasi yang masuk belakangan ini 
ditujukan ke sektor-sektor yang lebih konsumtif, seperti real estate dan 
shopping malls.

Investor asing, misalnya Jepang, juga masih ragu-ragu masuk walaupun sudah 
cukup banyak investor dari negara tetangga ASEAN (Singapura, Malaysia) dan dari 
China yang mulai masuk. Tetapi, yang dibutuhkan adalah investasi di bidang 
industri yang menopang ekspor. Daya saing ekspor Indonesia telah melemah, 
antara lain karena sejak krisis tidak ada investasi baru untuk meningkatkan 
teknologi.

Cukup konservatif

Maka bisa diadakan kesimpulan, seperti juga dilakukan moderator Hadi Soesastro 
pada sesi pertama itu (yang membahas makalah Dr Miranda) bahwa kebijakan fiskal 
dan moneter sangat penting dan diperlukan, tetapi belum cukup untuk meraih 
pertumbuhan tinggi bagi ekonomi Indonesia. Yang masih diperlukan adalah 
kebijakan-kebijakan untuk mengimbangi kelemahan struktural, seperti penegakan 
hukum untuk menjamin kepastian usaha dan perubahan dalam hubungan perburuhan. 
Pelaksanaan otonomi daerah harus dibenahi agar kepastian usaha bagi perusahaan 
lebih besar. Administrasi perpajakan juga harus dirombak karena ketidakpastian 
dan KKN dalam perkiraan serta pungutan pajak mengganggu banyak perusahaan besar.

Pada umumnya kebijakan pemerintah sekarang untuk mencapai laju pertumbuhan 
lebih tinggi adalah cukup konservatif (prudent), menyadari bahwa banyak 
tergantung dari jumlah investasi, yang sebagian besar harus datang dari sektor 
swasta. Maka yang paling penting adalah membangun iklim investasi yang menarik. 
Sesudahnya, kita harus sabar menunggu investasi ini datang. Baru sesudah itu 
laju pertumbuhan PDB akan naik.

Pemerintah sendiri harus memaksimalkan investasi lewat anggaran belanjanya, 
misalnya untuk membangun infrastruktur yang tidak menguntungkan bagi investor 
swasta. Tetapi, pengelolaan APBN ini masih mengandung permasalahan sendiri, 
yang juga terkait dengan prinsip kehati-hatian (prudence). Sasaran Presiden 
Susilo Bambang Yudhoyono yang dikumandangkan di masa kampanye sebetulnya 
terlalu ambisius (misalnya mencapai laju pertumbuhan rata-rata 6,6 persen dalam 
lima tahun). Laju pertumbuhan di tahun pertama (2005) mungkin sekali (baru) 5,5 
persen. Apa laju pertumbuhan tahun 2009 bisa mencapai 7,6 persen? Potensinya 
ada, tetapi apakah bisa "dipaksakan"?

Ada yang mau memaksakan dengan memperbesar defisit APBN (menjadi lebih besar 
dari 1 persen PDB). Masalahnya adalah bagaimana membiayainya? Dengan menambah 
utang luar negeri? Bisa dengan menambah utang dalam negeri, tetapi harus dijaga 
jangan crowding out pasar kredit bagi sektor swasta. Sebetulnya, (mantan) 
Menkeu Boediono sudah mulai menempuh jalan itu. Ada yang menganjurkan jangan 
takut inflasi naik. Ini main dengan api. Sekali inflasi tertiup, maka 
masyarakat ingat zaman yang lalu, sedangkan BI mau mengusahakan agar harapan- 
harapan ini forward looking.


M Sadli Ekonom Senior, Mantan Menteri dan Ketua Umum ISEI


[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Help save the life of a child.  Support St. Jude Children's Research Hospital's
'Thanks & Giving.'
http://us.click.yahoo.com/mGEjbB/5WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx
5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx
6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



** Mailing-List Indonesia Nasional Milis PPI-India www.ppi-india.uni.cc **

Other related posts:

  • » [list_indonesia] [ppiindia] Pertumbuhan Ekonomi Tidak Bisa Dipaksakan