** Mailing-List Indonesia Nasional Milis PPI-India www.ppi-india.da.ru ** http://www.jawapos.co.id/index.php?act=detail_c&id=159897 Jumat, 04 Mar 2005, Mendemokratiskan Praktik Teknokrasi Oleh Sulfikar Amir * Angka 100 menjengkelkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Walaupun diangkat menjadi presiden untuk periode lima tahun, hanya dalam 100 hari pertama dia dianggap gagal. Mungkin itu tidak fair, mengingat kompleksitas masalah yang dihadapi SBY dan KIB-nya. Tetapi, kekecewaan publik bisa dipahami. Sebab, SBY memiliki modal awal yang tidak dimiliki presiden sebelumnya, yakni legitimasi politik. Dia terpilih sebagai presiden secara demokratis, bukan hasil kongkalikong politisi di Senayan. Masyarakat mengharapkan pemilihan presiden secara langsung akan berpengaruh positif bagi terciptanya keadaan yang lebih baik. Tetapi, yang muncul justru distorsi antara yang dijanjikan SBY dalam kampanye dan realitas kebijakan publik yang dibuatnya. Lalu, di manakah letak kesalahan demokrasi jika ternyata ia tidak berdampak positif bagi kehidupan rakyat secara umum? *** Gelombang demokratisasi di Indonesia sejak runtuhnya rezim Orde Baru harus disyukuri dan perlu terus dijaga kontinuitasnya. Hanya dengan mekanisme demokrasi kesejahteraan sosial ekonomi bisa tersalur secara adil dan merata. Tetapi, harus dipahami, kesejahteraan sosial sangat bergantung pada kebijakan pemerintah. Di situlah titik krusialnya karena demokrasi di Indonesia tak menembus wilayah kebijakan publik yang didominasi para teknokrat yang memiliki wewenang penuh dalam menentukan yang "terbaik" bagi publik. Itu adalah ciri kuat praktik teknokrasi. Praktik teknokrasi tentu tidak sepenuhnya negatif. Siapa pun setuju pembuatan kebijakan publik membutuhkan orang-orang yang memiliki pengetahuan tertentu, sehingga mampu memformulasi kebijakan yang tepat bagi masalah dalam masyarakat. Tetapi, praktik teknokrasi dalam pembuatan kebijakan publik mengandung sejumlah keterbatasan. Sebagai produk modernitas, teknokrasi muncul sebagai respons pada industrialisasi serta modernisasi. Sebagai anak kandung positivisme, teknokrasi berangkat dari asumsi pengetahuan ilmiah merupakan modal dasar penciptaan tatanan sosial. Namun, dari pengetahuan ilmiah itulah teknokrasi menemui keterbatasannnya, baik epistemologis maupun politis. Secara epistemologis, teknokrasi mereduksi makna kebijakan publik semata-mata sebagai alat regulasi untuk menyelesaikan masalah sosial melalui penggunaan rasionalitas teknis. Cara pandang instrumentalis tersebut bermasalah karena realitas sosial ekonomi tak dapat sepenuhnya dipahami melalui rasionalitas teknis. Berbagai metode pemecahan masalah yang digunakan teknokrat cenderung mereduksi kompleksitas sosial yang menyelimuti berbagai masalah di masyarakat ke dalam ukuran-ukuran teknis-ekonomis. Realitas tereduksi hasil interpretasi teknokrat itu lalu menjadi acuan dalam pembuatan kebijakan publik. Akibatnya, berbagai permasalahan nyata di masyarakat tidak terselesaikan karena ada diskrepansi antara realitas dan interpretasi. Secara politis, keterbatasan teknokrasi muncul dari sifatnya yang elitis. Elitisme tersebut muncul dari kepercayaan bahwa hanya orang-orang yang memiliki pengetahuan teknis-ekonomis yang bisa terlibat dalam pembuatan kebijakan. Anggapan itu memisahkan wilayah teknokrasi dari wilayah politik publik. Masalahnya, seperti yang dikatakan ilmuwan politik Frank Fischer, teknokrasi tidak pernah lepas dari motivasi kekuasaan. Berbagai kebijakan yang berkaitan dengan kepentingan publik akhirnya harus tunduk pada pihak-pihak yang memiliki akses serta pengaruh kepada teknokrat pembuat kebijakan. Pada titik ini, pengetahuan ilmiah tidak lagi netral, tetapi telah menjadi alat pembenaran bagi sebuah keputusan yang menguntungkan kelompok tertentu. Dengan demikian, unsur elitisme teknokrasi justru memungkinkan terjadinya penyalahgunaan wewenang. Menyadari keterbatasan serta kontradiksi yang dihasilkan praktik teknokrasi dalam pembuatan kebijakan publik, satu-satunya cara untuk menutup berbagai kelemahan dan kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan serta pengetahuan adalah dengan menerapkan prinsip-prinsip demokrasi ke dalam proses pembuatan kebijakan publik. Di situ, cakupan demokrasi diperluas dari sekadar hak politik ke hak-hak untuk mempengaruhi kebijakan publik. Dengan demikian, praktik demokrasi tidak berhenti di pemilu, tetapi terus beroperasi sebagai fungsi kontrol sosial terhadap apa dan bagaimana pemerintahan dijalankan sebagai institusi pelayanan publik. Bagaimana mungkin praktik demokrasi diterapkan dalam kebijakan publik? Ada dua hal yang mesti dipahami untuk menjawab pertanyaan skeptis tersebut. Pertama, penerapan prinsip demokrasi dalam kebijakan publik memiliki bentuk berbeda dari proses demokrasi dalam pemilu. Demokratisasi kebijakan publik berkaitan dengan partisipasi masyarakat luas dalam wacana dan penggodokan kebijakan publik. Partisipasi tersebut dilakukan melalui berbagai kelompok kepentingan di masyarakat. Kedua, dengan masuknya prinsip demokrasi dalam kebijakan publik, tidak berarti praktik teknokrasi hilang. Justru keduanya saling bersinergi. Hanya, peran teknokrat tak lagi dominan, tetapi menjadi fasilitator wacana kebijakan. Apa nilai lebih yang ditawarkan demokrasi dalam kebijakan publik? Seperti yang ditulis ilmuwan kebijakan publik Charles Lindblom, praktik demokrasi memiliki potensi intelegensia yang bisa menutupi berbagai kelemahan dalam praktik teknokrasi yang reduksionis dan elitis. Potensi intelegensia muncul sebagai hasil interaksi antara berbagai kelompok kepentingan dalam satu isu kebijakan. Dengan keterlibatan berbagai kelompok kepentingan tersebut, sebuah permasalahan bisa diamati dari berbagai sudut pandang dan dimensi, tidak semata-mata berlandas pada parameter-parameter teknis-ekonomis kaum teknokrat. Semakin luasnya cakupan pengamatan serta analisis, hal itu menghasilkan alternatif kebijakan yang lebih kaya dan mendalam. Pada saat bersamaan, terbentuk komitmen antara kelompok kepentingan terhadap keputusan yang dihasilkan. Tentu, perwujudan gagasan demokratisasi kebijakan publik di Indonesia tidak semudah membalikkan telapak tangan, mengingat sejarah praktik demokrasi di Indonesia masih seumur jagung. Tapi, bukan berarti potensi untuk itu tidak ada. Bagaimanapun, kebijakan publik di Indonesia masih terlalu didominasi kaum teknokrat. * Sulfikar Amir, kandidat doktor di Dept Science and Technology Studies, Rensselaer Polytechnic Institute, Troy, New York [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Help save the life of a child. Support St. Jude Children's Research Hospital's 'Thanks & Giving.' http://us.click.yahoo.com/mGEjbB/5WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx 5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx 6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/ ** Mailing-List Indonesia Nasional Milis PPI-India www.ppi-india.uni.cc **