[list_indonesia] [ppiindia] MK Gagal Mengawal Demokrasi

  • From: "Ambon" <sea@xxxxxxxxxx>
  • To: <"Undisclosed-Recipient:;"@freelists.org>
  • Date: Tue, 29 Mar 2005 23:07:30 +0200

** Mailing-List Indonesia Nasional Milis PPI-India www.ppi-india.da.ru **

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0503/30/opini/1653503.htm
Rabu, 30 Maret 2005 

MK Gagal Mengawal Demokrasi 
Oleh Refly Harun

KEBERADAAN Mahkamah Konstitusi atau MK yang diadopsi melalui Perubahan Ketiga 
UUD 1945 (2001) tidak sekadar sebagai penjaga konstitusi (the guardian of 
constitution) atau penafsir konstitusi (the sole interpreter of constitution). 
Lebih jauh dari itu, MK juga dibebani kewajiban untuk melindungi hak asasi 
manusia (the protection of human rights) dan mengawal demokrasi (the guardian 
of democracy) dalam kerangka negara hukum (the rule of law).

Fungsi seperti itulah sebenarnya yang dibebankan kepada lembaga MK di mana pun 
di dunia ini.

Ujian untuk mengawal demokrasi tersebut telah didapatkan MK pada saat pengujian 
UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda), khusus mengenai 
beberapa materi mengenai pemilihan kepala daerah secara langsung (pilkada 
langsung). Sayangnya, saya nilai, MK gagal dalam ujian pertama tersebut.

Pada pembacaan putusan dalam sidang terbuka untuk umum, Selasa (22/3), MK 
memang mengabulkan sebagian materi yang dimintakan dua kelompok pemohon, 
kelompok pemantau pemilu (Cetro dan kawan-kawan) dan kelompok komisi pemilihan 
umum daerah (KPUD). MK telah memutuskan bahwa dalam menyelenggarakan pilkada 
langsung, KPUD tidak bertanggung jawab kepada DPRD, melainkan langsung kepada 
rakyat. KPUD hanya melaporkan pelaksanaan pilkada kepada DPRD. Hal ini untuk 
menjamin independensi KPUD dalam menyelenggarakan pilkada.

Dalam hal ini MK telah memutus belitan rantai parlemen lokal terhadap KPUD 
sebagai penyelenggara pilkada akibat desain UU Pemda. Karena putusan MK, KPUD 
menjadi bebas dan independen terhadap kekuatan-kekuatan politik lokal yang 
terjelma dalam DPRD. Sayangnya, lembaga penjaga konstitusi itu tidak 
menyambungkan kembali pertalian antara KPUD dan KPU yang dipaksa putus oleh 
parlemen pusat yang mendesain UU Pemda. MK juga tidak bernyali memutuskan 
ancaman cengkeraman pemerintah pusat dalam proses pilkada dengan membunuh hak 
eksklusif pemerintah nasional sebagai regulator pilkada.

Argumentasi MK mengenai independensi penyelenggara pilkada terbelah. Di satu 
sisi menyatakan, KPUD harus dijamin independensinya dari pengaruh DPRD. Namun, 
di sisi lain menyatakan, peran regulasi pemerintah pusat dalam pilkada tidak 
bertentangan dengan konstitusi. Padahal, peran regulasi itu dinilai banyak 
pihak akan berpengaruh besar terhadap independensi penyelenggaraan pilkada. 
Pengaruh itu, misalnya, akan dirasakan ketika pos-pos anggaran pilkada dalam 
APBN dikontrol pemerintah dan KPUD sebagai penyelenggara pilkada harus mau 
berkompromi apabila menginginkan dana itu digelontorkan ke bawah.

Putusan MK jadinya terasa seperti "bola tanggung" dalam mengawal demokrasi. 
Tidak heran bila Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) menyatakan 
kekecewaannya terhadap putusan tersebut dan Smita Notosusanto, salah seorang 
pemohon, menganggap putusan tersebut "banci" (Media Indonesia, 23/3).

Rezim pemilu
Pemohon telah menyodorkan satu soal krusial kepada MK, apakah pilkada termasuk 
ke dalam rezim pemilu atau tidak. Jawaban atas pertanyaan ini paling tidak akan 
berpengaruh pada tiga hal, (1) penyelenggara pilkada, (2) independensi 
penyelenggaraan pilkada, dan (3) siapa yang berhak menjadi pengadil dalam 
sengketa hasil pilkada.

Pemohon (pemantau pemilu dan KPUD) tegas menyebut pilkada masuk ke dalam rezim 
pemilu. Karena itu, terhadap tiga hal di atas, skenarionya akan menjadi sebagai 
berikut. Pertama, penyelenggara pilkada adalah KPU yang bersifat nasional tetap 
dan mandiri. KPUD (KPU provinsi dan KPU kota/kabupaten) adalah bagian dari KPU 
yang diberi mandat melaksanakan pilkada. Kedua, penyelenggaraan pilkada harus 
dijauhkan dari campur tangan pihak-pihak lain di luar penyelenggara pemilu yang 
independen. Pemerintah (baik pemerintah pusat maupun pemerintah lokal) dan 
legislatif (baik legislatif pusat maupun legislatif daerah) tidak boleh campur 
tangan dalam urusan penyelenggaraan pilkada. Mereka cukup jadi pemain, tetapi 
tidak boleh menjadi wasit. Ketiga, sesuai dengan amanat konstitusi, maka 
sengketa hasil pemilu menjadi kewenangan MK, bukan Mahkamah Agung (MA).

Ada banyak alasan untuk menyebut pilkada adalah pemilu. Salah satunya adalah 
melihat kaitan sistematis antara pasal- pasal dalam UUD 1945. Pasal 18 Ayat (4) 
menyebutkan kepala daerah dipilih secara "demokratis", sedangkan Pasal 22E Ayat 
(2) menyatakan pemilu dimaksudkan untuk memilih presiden dan wakil presiden 
serta anggota DPR, DPD, dan DPRD. Perlu dicatat pesan Pasal 22E Ayat (1) yang 
menyatakan pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia (luber), 
jujur, dan adil (jurdil).

Makna dipilih secara "demokratis" dalam Pasal 18 Ayat (4) memberikan alternatif 
bagi pembuat UU untuk memilih cara memilih kepala daerah. Ketika pembuat UU 
memilih cara pemilihan langsung, apalagi kemudian mengadopsi asas-asas pemilu 
luber dan jurdil, adalah sangat beralasan untuk mengaitkan pilkada dengan 
pemilu. Pasal 22E Ayat (2) UUD 1945 harus ditafsirkan secara lebih ekstensif 
menyangkut pula pilkada.

Dengan paradigma yang jelas bahwa pilkada adalah bagian dari pemilu, 
instrumen-instrumen lanjutan pemilu harus pula dipakai dalam pilkada. Wewenang 
untuk menyelenggarakan pilkada tidak pada KPUD secara sendiri-sendiri, 
melainkan diletakkan di pundak KPU secara nasional. Kewenangan regulasi membuat 
aturan lanjut pilkada tidak diberikan kepada pemerintah, tetapi harus oleh KPU 
sendiri seperti halnya praktik yang terjadi dalam Pemilu 2004. Terakhir, MK 
sendirilah yang harus menyelesaikan sengketa pemilu, tidak boleh diserahkan 
kepada MA.

Jalan pikiran ini, sayangnya, tidak diterima oleh MK, hanya terjelma dalam 
pendapat minoritas Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan yang akhirnya mengajukan 
dissenting opinion terhadap putusan. MK hanya menafsirkan pilkada ke dalam 
pengertian pemilu hanya dalam arti material, tetapi tidak dalam arti formal 
(sebagai bagian rezim pemilu yang diatur dalam Pasal 22E UUD 1945). Bagi MK, 
bisa saja pilkada dimasukkan ke dalam rezim pemilu dengan konsekuensi 
penyelenggara dan pembuat regulasi pilkada adalah KPU, lalu pengadil sengketa 
hasil pemilu adalah MK. Namun, apabila pembentuk UU Pemda mengatur hal yang 
lain, bagi MK, tidak pula keliru.

MK hanya menyampaikan pesan dalam pertimbangan hukum, "Untuk masa yang akan 
datang diperlukan lembaga penyelenggara pemilu yang independen, profesional, 
dan mempunyai akuntabilitas untuk menyelenggarakan pemilu di Indonesia yang 
fungsi tersebut seharusnya diberikan kepada komisi pemilihan umum sebagaimana 
dimaksud oleh Pasal 22E UUD 1945 dengan segala perangkat kelembagaan dan 
pranatanya."

Pertanyaannya, mengapa MK harus mengharapkan hal tersebut terjadi di masa 
depan. Bukankah dengan kewenangan yang ada padanya MK dapat menyegerakan hal 
tersebut terjadi. Mengapa pula MK memulangkan harapan tersebut kepada pembuat 
undang-undang yang terbukti berkali-kali telah mereproduksi undang-undang yang 
kerap mengkhianati amanat rakyat dan melawan konstitusi.

Sebagai pengawal konstitusi dan demokrasi, MK hanya menyodorkan "bola 
tanggung". Sungguh MK telah gagal mengawal demokrasi kali ini.

Refly Harun Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Indonusa Esa Unggul


[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Give the gift of life to a sick child. 
Support St. Jude Children's Research Hospital's 'Thanks & Giving.'
http://us.click.yahoo.com/lGEjbB/6WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx
5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx
6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



** Mailing-List Indonesia Nasional Milis PPI-India www.ppi-india.uni.cc **

Other related posts:

  • » [list_indonesia] [ppiindia] MK Gagal Mengawal Demokrasi