** Mailing-List Indonesia Nasional Milis PPI-India www.ppi-india.da.ru ** http://www.jawapos.co.id/index.php?act=detail_c&id=160874 Kamis, 10 Mar 2005, Inkonstitusional, Desk Pilkadal Oleh Riswandha Imawan * Batasan umum demokrasi yang populer adalah kekuasaan of, by, and for the people. Dari, oleh, dan untuk rakyat. Karena itu, demokrasi diidentikkan dengan pesta rakyat. Tentu mustahil melibatkan seluruh rakyat saat merancang dan menyelenggarakan pesta tersebut. Namun, menjadi kemutlakan bahwa pesta itu diorganisasi oleh satu lembaga independen yang tidak terkait dengan rezim ataupun struktur kekuasaan negara. Inilah dasar filosofi dibentuknya komite independen penyelenggara pemilu, yang kita kenal sebagai Komisi Pemilihan Umum (KPU). Bila dikaitkan dengan salah satu tujuan pemilu, yakni untuk mengisi jabatan-jabatan publik, maka tugas KPU ialah merancang dan melaksanakan pemilu di setiap tingkat pemerintahan di satu negara. Artinya, bila ada jabatan publik yang mensyaratkan legitimasi politik, bukan sekadar legitimasi administratif, seperti menjadi kepala daerah, menjadi tugas KPU untuk melaksanakannya. Ada dua hal penting dari sketsa di atas. Pertama, tugas KPU bukan hanya merancang dan melaksanakan pemilu untuk memilih jabatan-jabatan publik di tingkat nasional, seperti menjadi anggota DPR, DPD, maupun presiden dan wakil presiden, melainkan juga pemilu di tingkat lokal, seperti memilih kepala daerah. Kedua, sekalipun sifatnya koordinatif dan masing-masing independen, hubungan kerja antara penyelenggara tingkat nasional (KPU) dan tingkat lokal (KPUD) harus dijaga. Namun, mencermati persiapan pemilihan kepala daerah secara langsung (pilkadal) pertama di Indonesia, terindikasi adanya langkah-langkah sistematis pemerintah yang berpotensi membuat esensi pemilu sebagai pesta rakyat memudar. Melalui regulasi pilkadal, demokrasi di Indonesia dengan mudah dapat tergelincir menjadi of, by, and for the government. Langkah sistematis pertama adalah mereduksi makna pemilu. Saat berbicara dalam sebuah seminar di Jakarta, 8 Januari 2005, Mendagri Ma'ruf menyatakan bahwa berdasarkan pasal 22E UUD 1945, tugas KPU adalah menyelenggarakan pemilu DPR, DPRD, DPD, presiden, dan wakil presiden. Sedangkan kepala daerah dipilih secara demokratis sesuai bunyi pasal 18 (4) UUD 1945. Bila pandangan Mendagri itu merupakan pandangan resmi pemerintah, kita wajib bersedih hati. Dua pasal tersebut berbicara tentang dua hal yang berbeda. Pasal 18 (4) berbicara tentang substansi pemilu (free and fair election). Sedangkan pasal 22E menetapkan penyelenggaranya. Sangat mengherankan bila Mendagri menyatakan kedua pasal inilah yang menjadi landasan utama mengeliminasi KPU melalui PP No 6/2005. Pasal 1 (6) PP No 6/2005 secara tegas menyatakan, penyelenggara pilkadal adalah KPUD. Di sini dinyatakan bahwa KPUD yang dimaksud sesuai ketentuan UU No 12/2003 tentang Pemilu, namun diberi kewenangan khusus sesuai UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah untuk melaksanakan pilkadal. Ini akrobtik kata-kata untuk memutus hubungan antara KPU dengan KPUD sekalipun hanya pada tataran koordinatif. Menjadi jelas di sini bahwa UU No 32/2004 merupakan langkah awal untuk mementahkan kembali proses demokratisasi politik di Indonesia. Bila dilihat dari kacamata penyelenggaraan pemerintahan, aroma sentralisasi terasa amat menyengat melalui kasus pilkadal ini. Apa maksudnya? Kata Mendagri, pemilu memperkuat otonomi daerah. Proses pemilu, dengan demikian, menjadi arena pembelajaran politik masyarakat sekaligus menjawab tuntutan partisipasi rakyat. Artinya, biarlah rakyat daerah mengelola sendiri masalah sesuai dengan potensi mereka. Namun, belum lagi rakyat yakin dengan logika pemerintah, tiba-tiba Mendagri membentuk Desk Pusat Pemilihan Kepala Daerah. Tugas desk ini adalah memantau proses pilkadal, dan bila perlu, memberikan bimbingan teknis di lapangan. Kegiatan desk itu dibagi ke dalam tiga bidang: sosialisasi dan fasilitasi; politik dan kamtibmas; serta advokasi. Pelaksanaan tugas dilakukan secara berjenjang, dari tingkat kabupaten/kota hingga tingkat nasional. Adapun biayanya dibebankan ke APBN. Format semacam ini bukan saja menegaskan pemerintah telah mengebiri KPUD, tetapi juga menandai langkah mewujudkan kembali pemerintahan yang sentralistis. Format ini telah mengubah esensi pilkadal sebagai pesta rakyat menjadi pesta elite pemerintah. Sebab, seluruh tahapan dan proses pilkadal terpusat di tangan birokrasi. Desk Pilkadal Depdagri menjadi bola panas yang sebetulnya tidak perlu dilontarkan. Desk ini inkonstitusional, menihilkan upaya pendalaman demokrasi, bahkan membuat pilkadal berpotensi menjadi sarana meruntuhkan demokrasi yang seharusnya justru dibangun. Melalui tiga bidang aktivitas yang ditetapkan Mendagri, desk itu bukan hanya merampok tugas KPU dan DPRD, tetapi juga mengecilkan kemungkinan advokasi di antara kelompok masyarakat sebagai wacana penguatan civil society. Kita paham bahwa lemahnya civil society terhadap political society dan economic society sebagai penyebab sulitnya mewujudkan demokrasi di Indonesia. Kesempatan penguatan civil society terbuka melalui pilkadal, tetapi segera ditutup pemerintah melalui pembentukan desk pilkadal. Sungguh disayangkan bila Depdagri tidak mampu membaca kebutuhan demokratisasi yang paling elementer ini. Mereka bahkan mengatakan bahwa pembentukan desk itu tidak akan mengganggu kerja KPUD. Ini hanya untuk keperluan internal Depdagri. Klaim tersebut perlu kita uji, kita pertanyakan. Aktivitas desk itu sangat jelas tumpang tindih dengan tugas KPUD dan DPRD. Lalu, dananya akan diambilkan dari APBN. Apakah benar saat merancang APBN 2005 sudah direncanakan pos desk pilkadal ini? Kalau tidak, pasti ada pos anggaran yang dikorbankan. Pos apa lagi kalau bukan pos anggaran KPUD? Ini tentu akan sangat membebani daerah. Bukan itu saja. Logika terasa amat kusut ketika dinyatakan bahwa 90% biaya pilkadal datang dari APBD. Konon, kata Depdagri, rata-rata biaya pilkadal adalah Rp 8 M. Kenyataan menunjukkan bahwa banyak daerah yang PAD-nya hanya sekitar Rp 2 miliar sampai Rp 3 miliar. Apakah masuk akal klaim Depdagri bahwa aktivitas desk pilkadal tidak membebani daerah? Apalagi produk desk pilkadal hanya untuk internal Depdagri? Hebatnya, DPR tidak keberatan terhadap keberadaan Desk Pilkadal Depdagri itu. Aneh, sebab, salah satu korbannya adalah rekan-rekan mereka sendiri di daerah. Sikap seperti ini hanya akan membentuk opini publik bahwa pilkadal adalah proyek yang layak dijadikan bancaan elite. Karena itu, layak ditanyakan, apakah Pilkadal 2005 masih layak disebut sebagai pesta rakyat? Eagle Flies Alone Kaki Merapi 7 Maret 2005 *. Prof Dr Riswandha Imawan MA, guru besar UGM ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Take a look at donorschoose.org, an excellent charitable web site for anyone who cares about public education! http://us.click.yahoo.com/O.5XsA/8WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx 5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx 6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/ ** Mailing-List Indonesia Nasional Milis PPI-India www.ppi-india.uni.cc **