** Mailing-List Indonesia Nasional Milis PPI-India www.ppi-india.da.ru ** Jumat, 04 Maret 2005 Gelombang Pragmatisme Parpol M Alfan Alfian M Dosen FISIP Universitas Nasional, Jakarta Tahun 2005 ini, beberapa partai politik (parpol) akan menggelar hajatan besar mereka, berupa kongres atau pun musyawarah nasional (munas), menyusul Desember lalu Partai Golkar telah melaksanakan munasnya. Catatan apa yang menarik untuk diberikan pada parpol-parpol Indonesia saat ini? Tentu saja, pertama kali, perlu diuraikan kondisi obyektif sekaligus catatan bernada penilaian atas eksistensi dan kiprah parpol-parpol Indonesia pasca Orde Baru. Pertama, sejak jatuhnya Orde Baru dan datangnya era multipartai, maka parpol memiliki posisi dan peran yang amat strategis, dalam proses pengambilan keputusan publik. Parpol diberi peluang untuk menyuguhkan orang-orangnya untuk dipilih menjadi anggota parlemen di pusat dan daerah, dan tak kalah strategisnya juga menyuguhkan kandidat presiden-wakil presiden dan para kandidat pasangan kepala daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota. Parpol juga diberi kebebasan menggalang kekuatan dari pusat hingga ke desa-desa -manakala tak ada lagi massa mengambang. Kedua, parpol-parpol telah berkiprah dalam dua kali pesta demokrasi (1999 dan 2004), telah menunjukkan kecenderungannya masing-masing. Partai-partai yang ada sambunganya dengan zaman Orde Baru, artinya telah ada persiapan panjang, ternyata masih amat eksis: Partai Golkar, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Tetapi muncul parpol-parpol yang prospektif, semacam Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Ada pula parpol yang kelihatannya massanya tidak akan berkembang jauh, yakni Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang konstituen utamanya kaum Nadhliyyin serta Partai Amanat Nasional (PAN) yang basis pendukung tradisionalnya kalangan Muhammadiyah. Tapi ada lagi fenomena yang cukup mengejutkan, muncul sebagai kekuatan politik utama dalam Pemilu 2004, yakni Partai Demokrat melambung bersama popularitas Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Sementara parpol-parpol lain kalihatan masih tergagap-gagap menyesuaikan diri. Ketiga, tidak tampak adanya budaya politik baru yang dihadirkan oleh parpol-parpol Indonesia. Misalnya parpol-parpol kurang setuju dengan rangkap jabatan, satu sisi pengurus parpol, sisi lain pejabat pemerintah, akibatnya conflict of interest tak dapat dihindari. Parpol-parpol juga tidak mau menghilangkan budaya militerisme dengan mempertahankan eksistensi paramiliter (keamanan) parpol. Banyak parpol yang mempertahankan struktur Dewan Pembina (atau apa pun namanya) yang demikian otoritatif, sehingga yang terjadi adalah personalisasi parpol. Kalau tidak begitu, parpol amat tergantung pada sentralisme figur (yang bahkan sengaja atau tidak termitoskan sedemikian rupa), tanpa memperhatikan aspek regenerasi. Juga masih tampak, yang dominan dilakukan oleh parpol adalah mobilisasi massa, bukan pada upaya pembentukan kader parpol yang kuat dan berkualitas. Keempat, tampak tren de-ideologisasi parpol. Ciri ideologis parpol tenggelam seiring dengan mengentalnya pragmatisme yang ada. Memang parpol-parpol masa kini berbeda dengan tempo dulu (1950-an) yang kental nunasa ideologisnya. Mungkin karena karakter masyarakat yang berkembang semakin pragmatis, maka tawaran-tawaran ideologis yang diberikan oleh beberapa partai yang berciri ideologis tertentu (Islam, misalnya), tampak mental (berbalik). Buktinya parpol-parpol yang menang dalam pemilu, adalah yang berideologi pragmatis. Orang tidak memilih berdasar pertimbangan ideologis. Karena realitas inilah, maka dapat dipahami, PKS misalnya ingin mengubah jargon dari partai moral (ideologis) menjadi partai profesional. Kelima, dapat dikatakan, parpol-parpol Indonesia sesungguhnya tengah mencari bentuk. Dalam jangka panjang kelihatannya akan berpola divergensi (penggabungan atau merger), tetapi dalam jangka pendek yang terlihat justru fenomena konvergensi (penyebaran alias perpecahan). Selama 1998-2005 saja telah terjadi banyak peristiwa pecahnya parpol, dari satu menjadi banyak. Bahkan terdapat semacam tren bahwa kalau ada beda pendapat diinternal parpol, solusinya adalah mendirikan parpol baru. Tetapi, semakin hari semakin disadari --berdasarkan pengalaman-- membentuk parpol baru amat susah, di samping butuh modal (uang) yang amat banyak, juga apalagi pendukung, yang belum tentu solid. Mendirikan parpol baru seperti orang bermain judi. Dalam kasus Partai Demokrat, ia seolah memiliki garis tangan alias nasib politik yang baik. Cara pandang Peluang yang besar pada parpol dalam menentukan merah-birunya perpolitikan nasional dan lokal, seharusnya tidak boleh dibaca hanya dari satu sudut pandang. Kacamata pandang negatif dan ini sesuai dengan subyektivitas parpol, cenderung melihat segala sesuatunya (stake holder), apalagi rakyat (yang abstrak itu) sebagai obyek yang ditentukan. Oleh sebab itu, dapat dimaklumi bila ada pejabat puncak parpol yang mengatakan bahwa upaya pemenangan pemilu lebih merupakan urusan teknis yang dilakukan pada bulan-bulan menjelang pemilu. Kalau pemilu masih jauh, maka parpol seyogyanya berkonsentrasi ke masalah-masalah lain yang tidak ada kaitannya dengan apakah kegiatannya populer atau tidak di mata rakyat atau konstituen. Masalah-masalah lain yang dimaksud, antara lain bagaimana mengisi pundi-pundi parpol, untuk kelak maju pemilu. Tidak salah pandangan demikian, tetapi tentunya amat berisiko mungkin akan mempercepat kematiannya. Kacamata pandang positif adalah sebaliknya. Rakyat atau konstituen adalah subjek. Cara pandang model begini tidak mentang-mentang. Sehingga parpol akan melakukan kegiatan-kegiatan yang tidak semata mobilisasi, tetapi kaderisasi, mengingat parpol bertangungjawab atas suplai sumber daya manusia, untuk disodorkan sebagai penentu kebijakan publik. Kalau demikian, maka profesionalisme parpol diutamakan. Parpol memang hanya alat politik para elite atau aktor politik yang ada di dalamnya, tetapi seyogyanya ia didesain bukan temporer tetapi jangka panjang (abadi) sehingga parpol tidak terbajak justru oleh elitenya sendiri. Pragmatisme Bau pragmatisme sungguh menusuk kini, apabila mencermati perkembangan dan dinamika internal maupun eksternal parpol-parpol yang ada. Internal, pragmatisme itu mengental, misalnya lewat terterobosnya tradisi-tradisi konservatif regenerasi parpol. Pragmatisme itu, dalam konteks ini mengemuka lewat dua faktor: uang dan figur. Uang ternyata dapat dipakai untuk membeli suara dalam setiap kongres atau munas parpol. Politik uang memang susah dibuktikan, mengingat kecanggihan pemainnya tetapi dapat terasakan dampaknya. Politik uang ternyata mampu merobohkan bangunan dan proses kaderisasi parpol yang sudah dibangun bertahun-tahun oleh para pengurus sebelumnya. Menarik dalam konteks ini, ialah munculnya para aktor politisi-pengusaha yang bahu-membahu terjun langsung untuk menguasai parpol. Kalau pola yang lazim selama ini, para pengusaha tidak susah-susah ikut berpolitik, melainkan sekedar mensponsori para politisi murni. Tetapi, kini trennya, utamanya pasca Munas Partai Golkar akhir 2004, para politisi pengusaha kelihatannya emoh untuk berdiam diri, melainkan terjun langsung mengendalikan komando parpol. Sehingga dengan demikian tak ada kekhawatiran lagi obsesi politiknya terganggu oleh manuver politisi murni yang kadang-kadang merugikan gerak-langkah mereka. Tatkala kritik conflict of interest dimunculkan, mereka tenang-tenang saja mungkin etika politik telah dianggap tidak signifikan lagi bagi apakah parpol didukung atau tidak oleh konstituen. Pragmatisme juga terbaca lewat ketergantungan atas figur politik yang sengaja atau tidak dimitoskan sedemikian rupa. Adakalanya, figur itu kuat karena dipercaya merupakan penyambung ideologis atas tokoh politik berpengaruh tempo dulu, adakalanya ia dianggap ikon reformasi (perubahan). Tetapi, belakangan muncul tren figur yang layak jual di pasar politik elektoral Indonesia karena rating popularitas tinggi seolah mengikuti tren acara-acara favorit di berbagai televisi dan pandai menawarkan janji perubahan. Selain itu ada pragmatisme struktural-fungsional, bahwa karena posisi dan perannya amat strategis, maka pada saat yang sama parpol harus mengupayakan aspek material-finansial yang cukup dengan segala cara -asal tidak terdeteksi oleh aparat penegak hukum. Banyak peluang untuk itu, misalnya dengan menyelewengkan jabatan-jabatan politik yang ada untuk memperkaya pundi-pundi finansial parpol (secara tidak resmi), atau dengan menjadikan parpol sebagai mesin keruk para pelamar kandidat presiden-wakil presiden, kepala daerah atau yang lain yang pencalonannya harus lewat parpol. Adakalanya masyarakat cemas akan kelakuan-kelakuan negatif parpol-parpol. Betapa beraninya parpol-parpol itu mengambil risiko kebangkrutan lembaga karena tidak disukai lagi oleh konstituen. Diasumsikan kalau masyarakat semakin cerdas dan obyektif, maka tidak ada kesempatan bagi parpol-parpol untuk macam-macam atau mempercepat proses kematiannya. Tapi, apakah masyarakat politik kita sudah cerdas? Kini, terserah para pengurus dan kader parpol mana saja, apakah sekadar berjuang untuk kepentingan jangka pendek artinya kepentingan lingkaran elite di dalamnya secara optimal, tetapi parpolnya hancur. Ataukah untuk kepentingan keberlangsungan parpol dan optimalisasi fungsi dan perannya, termasuk dalam ikut melaksanakan tanggungjawab pendidikan politik bangsa. Wallahu'alam. [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> DonorsChoose. A simple way to provide underprivileged children resources often lacking in public schools. Fund a student project in NYC/NC today! http://us.click.yahoo.com/5F6XtA/.WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx 5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx 6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/ ** Mailing-List Indonesia Nasional Milis PPI-India www.ppi-india.uni.cc **