** Mailing-List Indonesia Nasional Milis PPI-India www.ppi-india.da.ru ** Media Indonesia Jum'at, 18 Maret 2005 OPINI Elite dan Politik Harga BBM Tata Mustasya, Peneliti The Indonesian Institute, Jakarta PRO-KONTRA seputar kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) seharusnya tidak hanya dilihat sebagai wacana mengenai pilihan kebijakan ekonomi yang tepat. Tidak kalah penting, hal tersebut menunjukkan dinamika konstelasi politik nasional yang mengiringi kebijakan pemerintah tersebut. Khas dinamika politik di negara transisi demokrasi, elite memainkan isu ini untuk kepentingan kekuasaan dan ekonomi. Sedikit atau banyak, daya tawar pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di hadapan elite telah menurun dengan adanya kenaikan harga BBM. Pemerintah sangat potensial dituduh tidak peduli terhadap kaum miskin. Lebih jauh lagi, kebijakan tersebut --sedikit atau banyak-- akan meningkatkan inflasi dan menghambat pertumbuhan ekonomi. Inti permasalahan terletak pada kesenjangan (gap) antara dampak ekonomi secara statistika dengan dampak ekonomi yang langsung dirasakan masyarakat banyak. Jika elite memainkan wacana kontra peningkatan harga BBM, dampak ekonomi yang dirasakan masyarakat akan jauh lebih hebat dibandingkan dengan dampak menurut data statistika, dan sebaliknya. Pada poin inilah, tiga kelompok elite memainkan peran untuk mendelegitimasi pemerintahan SBY atau mendukungnya untuk kepentingan politik pribadi atau kelompok. Kelompok elite pertama adalah parpol sebagai kekuatan politik formal. Selama ini, parpol tidak pernah memiliki ideologi yang jelas dalam menyikapi harga BBM. Tergantung siapa yang sedang berkuasa atau seberapa banyak konsesi yang diberikan pemerintah kepada parpol tersebut, misalnya, jumlah kursi di kabinet. Saat ini, Partai Golkar bersama dengan Partai Demokrat merupakan partai dengan jumlah kursi signifikan yang mendukung pemerintahan SBY secara relatif permanen. Kedua parpol tersebut tidak akan bereaksi negatif terhadap kebijakan BBM dan hanya mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang bersifat normatif. Sementara itu, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Amanat Nasional (PAN) merupakan koalisi pemerintah yang sangat sarat kepentingan. Ketiga parpol tersebut akan mengambil momentum kenaikan harga BBM untuk dua tujuan: meminta konsesi lebih kepada pemerintahan SBY dan meningkatkan popularitas untuk amunisi Pemilu 2009. Sikap dari parpol-parpol tersebut cenderung ambigu, menerima kenaikan harga dengan catatan atau syarat tertentu. PKS tampaknya paling siap dalam isu ini. Mereka bahkan --bersamaan dengan sikap terhadap kenaikan harga BBM-- meminta SBY mencopot Jaksa Agung dan menyatakan memiliki calon yang tepat dalam kerangka pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Ini dapat dilihat sebagai isyarat politik PKS terhadap SBY berkaitan kenaikan harga BBM. Terlebih lagi --meskipun tidak secara formal-- PKS memiliki pengaruh kuat terhadap gerakan mahasiswa, terutama di perguruan tinggi besar. Yang jelas-jelas kontra adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Walaupun belum terlihat efektif, parpol ini akan habis-habisan menentang kenaikan harga BBM. Tujuannya delegitimasi SBY dan memperoleh kembali simpati pada Pemilu 2009. Kelompok elite kedua adalah pengusaha. Menyikapi kenaikan harga BBM, reaksi pengusaha akan tergantung kepada tawaran yang diberikan SBY kepada mereka dalam kaitannya dengan pencarian rente ekonomi (rent-seeking activities). Wacana dari pengusaha --terutama dari kelompok-kelompok kuat-- akan menentukan ekspektasi dan dampak riil kenaikan harga BBM bagi masyarakat. Jika pengusaha mengatakan bahwa kebijakan tersebut menghantam gerak bisnis mereka, keresahan akan timbul di mana-mana dan ekonomi terganggu. Pemerintahan SBY tampaknya telah siap dengan apa yang dinamakan oleh Champlin dan Knoedler (2004) sebagai "corporate takeover democracy". Pengusaha --suka atau tidak suka-- memiliki kartu yang menentukan. Untuk itulah ada Aburizal Bakrie yang dekat dengan Kadin Indonesia dalam kabinet dan dilakukannya komunikasi dengan kelompok-kelompok kuat pebisnis lainnya. Pengusaha dari kelompok-kelompok kuat akan bersikap yang kira-kira isinya, menerima kenaikan harga BBM asal pemerintah menciptakan iklim usaha yang kondusif. Substansinya, tetap akan berujung pada konsesi bisnis bagi bisnis pribadi atau kelompok. Kelompok elite ketiga adalah organisasi civil society. Yang terlihat aktif sejauh ini adalah lembaga-lembaga penelitian, lembaga think-tank, dan LSM advokasi. Interaksi pro dan kontra pada kelompok ini juga terlihat penuh dengan kepentingan. Pihak yang pro mengeluarkan argumen, di antaranya, kenaikan harga BBM akan menurunkan tingkat kemiskinan sebesar 3 persen melalui program kompensasi. Ini merupakan argumen yang tidak masuk akal karena mengasumsikan minimnya korupsi dalam penyaluran kompensasi. Setiap ekonom biasanya paham bahwa asumsi dalam sebuah analisis tidak boleh terlalu jauh dengan realitas. Mau tidak mau, faktor kepentingan menjadi menentukan. Lembaga penelitian dan lembaga think-tank juga tidak terlepas dari fenomena "corporate takeover democracy". Hal tersebut, misalnya, menimbulkan kecurigaan banyak pihak terhadap iklan Freedom Institute mengenai dukungan terhadap kenaikan harga BBM di Harian Kompas, 19 Februari 2005. Ini belum menghitung kedekatan beberapa intelektual dengan pemerintahan SBY dan ketergantungan terhadap donor pro pencabutan subsidi. Intinya, elite tidak bersih kepentingan ketika menyikapi kenaikan harga BBM tersebut. Kalau menggunakan argumen ekonomi murni tanpa tendensi politis, subsidi BBM memang harus dikurangi. Bukan untuk meningkatkan kesejahteraan kaum miskin, tetapi lebih karena keterbatasan kemampuan negara dalam melindungi warga negaranya. *** Kaum miskin berada pada posisi yang tidak menguntungkan dalam dinamika elite dan kenaikan harga BBM. Mereka menjadi 'dagangan' dan hanya mampu menunggu hasil akhir dari dinamika elite. Walaupun demikian, tidak mustahil dinamika tersebut akan menghasilkan keluaran positif bagi kaum miskin, misalnya, pengawasan yang ketat dalam penyaluran kompensasi. Ada yang dapat dilakukan elite --di tengah hiruk-pikuk kepentingan masing-masing-- untuk kaum miskin. Salah satunya, elite harus memberikan argumen-argumen yang mendidik dan tidak membodohi publik. Termasuk menghindari mengatasnamakan kesejahteraan orang miskin dalam kenaikan harga BBM ketika persoalan sebenarnya adalah ketidakmampuan negara.** [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Take a look at donorschoose.org, an excellent charitable web site for anyone who cares about public education! http://us.click.yahoo.com/O.5XsA/8WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx 5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx 6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/ ** Mailing-List Indonesia Nasional Milis PPI-India www.ppi-india.uni.cc **