** Mailing-List Indonesia Nasional Milis PPI-India www.ppi-india.da.ru ** Media Indonesia Jum'at, 18 Maret 2005 OPINI BBM, Kebijakan yang Compang-camping Iman Sugema, Direktur INDEF, Jakarta KITA tidak begitu kaget lagi ketika menghadapi kenyataan bahwa enam fraksi di DPR menolak kenaikan harga BBM. Hal tersebut sudah bisa diprediksi dari awal. Bukan karena DPR yang sekarang lebih galak dan kritis, tetapi lebih karena para anggota kabinet tidak memahami secara benar proses pengambilan keputusan publik yang harus mereka lalui. Akhirnya, presiden sendiri yang harus berhadapan dengan DPR dan masyarakat. Sejarah akan mencatat baru pertama kali inilah mayoritas fraksi di DPR menyatakan penolakannya. Dalam era pemerintahan sebelumnya, hal ini tidak pernah terjadi. Bahkan dalam pemerintahan Megawati, DPR memberikan persetujuan dengan catatan. Padahal kenaikan harga yang dilakukan pada waktu itu rata-rata mencapai 50 persen. Mengapa sekarang dengan rata-rata kenaikan yang tak lebih dari 30 persen justru DPR memberikan penolakan yang begitu keras? Jawabannya hanya satu, yakni banyak 'pekerjaan rumah' yang tidak dilakukan oleh para menteri yang sekarang. Selain itu, sejarah juga akan mencatat barangkali baru sekaranglah kalangan pengusaha memberikan dukungan atas kebijakan harga BBM. Mereka yang dulu suka teriak setiap ada kenaikan harga BBM, malah kini ikut-ikutan tercantum (atau lebih tepatnya lagi mencantumkan diri) dalam iklan satu halaman penuh di harian Kompas atas nama Freedom Institute yang notabene terkenal kedekatannya dengan Menko Perekonomian. Bahkan, para petinggi Kadin sejak awal telah mendorong agar keputusan kenaikan harga dilakukan sesegera mungkin. Ada apa dengan para pengusaha tersebut? Salah satu anggota Tim Indonesia Bangkit (TIB) menengarai bahwa kemungkinan mereka juga akan mendapatkan 'kompensasi'. Dari kenaikan harga BBM pemerintah akan mendapatkan penghematan subsidi sebesar Rp20 triliun. Dana tambahan kompensasi untuk orang miskin hanya Rp10 triliun, jadi masih ada sisa sekitar Rp10 triliun. Nah, dana sisa itulah yang kemungkinan akan dipakai untuk pembangunan infrastruktur dan lain-lain. Biasanya, yang memenangkan tender proyek pembangunan adalah pengusaha yang dekat dengan kekuasaan. Apakah kecurigaan tersebut benar adanya? Hanya waktu yang akan membuktikannya. Cerita tersebut (terlepas itu benar atau tidak) tentu menambah sesak hati orang miskin. Dana kompensasi yang seharusnya mereka terima setelah kenaikan harga BBM kini masih menggantung. Ini akibat dari ketidakmengertian anggota kabinet tentang proses anggaran. Bahkan saya curiga, bukannya mereka tidak mengerti tapi lebih parah lagi mereka tidak mau mengerti. Kalau mereka melakukan ini secara sengaja (karena suatu alasan dan hal lainnya) maka bukan saja mereka tidak mau memahami keberatan sebagian masyarakat, tetapi juga mereka telah mempertaruhkan nasib orang miskin yang jumlahnya 36 juta orang lebih ke jurang penderitaan yang lebih dalam. Kalau skema kompensasi dan anggarannya tidak kunjung disetujui DPR, apa jadinya nasib mereka? Kejadian di atas mencerminkan dua hal yang sangat menyedihkan. Pertama adalah ketidakmatangan proses kebijakan publik di tingkat kabinet. Kedua, telah terjadi disinformasi di lingkungan kabinet sedemikian rupa sehingga Presiden tidak mendapatkan informasi yang akurat untuk melakukan pengambilan keputusan secara benar. Kedua hal ini saling berhubungan. Hal yang pertama menyangkut persiapan dan proses pengajuan konsep kenaikan harga BBM yang seharusnya dikoordinasikan oleh Menko Perekonomian. Berdasarkan informasi di lingkungan kabinet, naskah yang diajukan oleh Menko Perekonomian hanya berupa makalah presentasi Power Point yang sangat tidak detail. Naskah tersebut berdasarkan kajian LPEM-FEUI yang memprediksikan dua hal penting. Pertama, kenaikan harga BBM akan meningkatkan jumlah orang miskin dari 16,2 menjadi 16,5 persen. Kedua, penyaluran dana kompensasi BBM kalau efektif seratus persen akan mampu menurunkan tingkat kemiskinan menjadi hanya 13,7 persen. Persoalannya adalah bukan semata-mata apakah hasil riset LPEM-FEUI yang dikutip oleh Freedom Institute tersebut sahih atau tidak, tetapi yang lebih parah lagi adalah kenyataan bahwa hasil riset tersebut merupakan satu-satunya yang dipakai oleh Menko Perekonomian dalam proses pengambilan keputusan. Banyak di antara staf LPEM-FEUI sendiri stres karena ternyata lembaganya hanya diperlakukan sebagai tukang stempel kebijakan pemerintah. Hasil pengolahan data Susenas tahun 2002 sampai 2004 menunjukkan hal yang berbeda. Walaupun sudah ada kompensasi, tingkat kemiskinan tetap akan meningkat sebesar 2 persen dan bukannya turun. Saya sendiri tidak ingin mempertanyakan kesahihan data Susenas ini karena data yang sama digunakan oleh LPEM-FEUI. Selain itu data Susenas adalah the best available data and the only available data. Yang jadi pertanyaan kemudian adalah mengapa pemerintah dalam hal ini Menko Perekonomian tidak pernah bertanya kepada BPS tentang prakiraan dampak kebijakan harga BBM. Padahal BPS adalah lembaga pemerintah? Kalau sebuah lembaga pemerintah saja tidak pernah diajak bicara, bagaimana mungkin kita mengharapkan kabinet untuk melibatkan stake holder yang lebih luas dalam proses pengambilan keputusan. Dalam era demokrasi seperti sekarang ini, pola pengambilan keputusan yang bersifat sepihak sudah tidak lazim lagi. Tapi itulah yang terjadi. Kemungkinan hal ini disebabkan oleh kedekatan ideologis dan hubungan pribadi antara LPEM-UI, Freedom Institute, dan beberapa menteri anggota kabinet yang sekarang. Tapi bukankah kebijakan publik harus menghindari hal-hal seperti ini dan justru lebih mengedepankan aspirasi dan keterwakilan dari seluruh komponen masyarakat. Kalaupun itu tak sempat untuk dilakukan, setidaknya harus ada kajian akademis yang menjadi pembanding. Saya yakin lembaga-lembaga riset seperti Smeru, Brighten Institut, dan FEM-IPB telah melakukan pengkajian terhadap isu yang sama tapi dengan kesimpulan yang berbeda. Pak Menteri tinggal tanya mereka dan tak usah memberi uang saku. Aspek yang kedua menyangkut ketidakberdayaan institusi kepresidenan. Presiden tidak mempunyai waktu dan prasarana yang cukup untuk menyaring informasi secara objektif sebelum mengambil keputusan yang sangat penting seperti kenaikan harga BBM. Dulu semasa kampanye Presiden pernah menjanjikan akan dibentuk lembaga semacam dewan ekonomi yang langsung berada di bawah presiden, tapi bukan anggota kabinet. Sayang lembaga ini tak kunjung terbentuk, entah karena apa. Padahal, lembaga ini sangat potensial untuk memberikan second opinion terhadap setiap kebijakan penting yang diajukan oleh menteri. Tentu syaratnya adalah lembaga ini harus diisi oleh ekonom yang andal dari berbagai aliran pemikiran. Kehadiran lembaga ini semakin penting karena presiden sering dihadapkan pada masalah-masalah yang pelik dengan frekuensi yang tinggi. Presiden tidak punya waktu untuk berpikir secara sehat dan jernih. Hal ini tentu sangat membuka peluang terjadinya kasus di mana Presiden 'dikadalin' oleh menterinya sendiri. Dengan komposisi menteri seperti yang sekarang, sangat sulit untuk mengharapkan bahwa Presiden akan memperoleh input dan informasi yang objektif dan akurat. KKN pemikiran akan selalu menyebabkan terjadinya disinformasi. Semoga kasus kenaikan harga BBM menjadi pelajaran yang berharga bagi presiden dan para pembantunya.*** [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Take a look at donorschoose.org, an excellent charitable web site for anyone who cares about public education! http://us.click.yahoo.com/O.5XsA/8WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx 5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx 6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/ ** Mailing-List Indonesia Nasional Milis PPI-India www.ppi-india.uni.cc **