[list_indonesia] [ppiindia] BBM, Kebijakan yang Compang-camping

  • From: "Ambon" <sea@xxxxxxxxxx>
  • To: <"Undisclosed-Recipient:;"@freelists.org>
  • Date: Thu, 17 Mar 2005 23:13:25 +0100

** Mailing-List Indonesia Nasional Milis PPI-India www.ppi-india.da.ru **

      Media Indonesia
      Jum'at, 18 Maret 2005

      OPINI

      BBM, Kebijakan yang Compang-camping

      Iman Sugema, Direktur INDEF, Jakarta
     
      KITA tidak begitu kaget lagi ketika menghadapi kenyataan bahwa enam 
fraksi di DPR menolak kenaikan harga BBM. Hal tersebut sudah bisa diprediksi 
dari awal. Bukan karena DPR yang sekarang lebih galak dan kritis, tetapi lebih 
karena para anggota kabinet tidak memahami secara benar proses pengambilan 
keputusan publik yang harus mereka lalui. Akhirnya, presiden sendiri yang harus 
berhadapan dengan DPR dan masyarakat.

      Sejarah akan mencatat baru pertama kali inilah mayoritas fraksi di DPR 
menyatakan penolakannya. Dalam era pemerintahan sebelumnya, hal ini tidak 
pernah terjadi. Bahkan dalam pemerintahan Megawati, DPR memberikan persetujuan 
dengan catatan. Padahal kenaikan harga yang dilakukan pada waktu itu rata-rata 
mencapai 50 persen. Mengapa sekarang dengan rata-rata kenaikan yang tak lebih 
dari 30 persen justru DPR memberikan penolakan yang begitu keras? Jawabannya 
hanya satu, yakni banyak 'pekerjaan rumah' yang tidak dilakukan oleh para 
menteri yang sekarang.

      Selain itu, sejarah juga akan mencatat barangkali baru sekaranglah 
kalangan pengusaha memberikan dukungan atas kebijakan harga BBM. Mereka yang 
dulu suka teriak setiap ada kenaikan harga BBM, malah kini ikut-ikutan 
tercantum (atau lebih tepatnya lagi mencantumkan diri) dalam iklan satu halaman 
penuh di harian Kompas atas nama Freedom Institute yang notabene terkenal 
kedekatannya dengan Menko Perekonomian. Bahkan, para petinggi Kadin sejak awal 
telah mendorong agar keputusan kenaikan harga dilakukan sesegera mungkin.

      Ada apa dengan para pengusaha tersebut? Salah satu anggota Tim Indonesia 
Bangkit (TIB) menengarai bahwa kemungkinan mereka juga akan mendapatkan 
'kompensasi'. Dari kenaikan harga BBM pemerintah akan mendapatkan penghematan 
subsidi sebesar Rp20 triliun. Dana tambahan kompensasi untuk orang miskin hanya 
Rp10 triliun, jadi masih ada sisa sekitar Rp10 triliun. Nah, dana sisa itulah 
yang kemungkinan akan dipakai untuk pembangunan infrastruktur dan lain-lain. 
Biasanya, yang memenangkan tender proyek pembangunan adalah pengusaha yang 
dekat dengan kekuasaan. Apakah kecurigaan tersebut benar adanya? Hanya waktu 
yang akan membuktikannya.

      Cerita tersebut (terlepas itu benar atau tidak) tentu menambah sesak hati 
orang miskin. Dana kompensasi yang seharusnya mereka terima setelah kenaikan 
harga BBM kini masih menggantung. Ini akibat dari ketidakmengertian anggota 
kabinet tentang proses anggaran. Bahkan saya curiga, bukannya mereka tidak 
mengerti tapi lebih parah lagi mereka tidak mau mengerti. Kalau mereka 
melakukan ini secara sengaja (karena suatu alasan dan hal lainnya) maka bukan 
saja mereka tidak mau memahami keberatan sebagian masyarakat, tetapi juga 
mereka telah mempertaruhkan nasib orang miskin yang jumlahnya 36 juta orang 
lebih ke jurang penderitaan yang lebih dalam. Kalau skema kompensasi dan 
anggarannya tidak kunjung disetujui DPR, apa jadinya nasib mereka?

      Kejadian di atas mencerminkan dua hal yang sangat menyedihkan. Pertama 
adalah ketidakmatangan proses kebijakan publik di tingkat kabinet. Kedua, telah 
terjadi disinformasi di lingkungan kabinet sedemikian rupa sehingga Presiden 
tidak mendapatkan informasi yang akurat untuk melakukan pengambilan keputusan 
secara benar. Kedua hal ini saling berhubungan.

      Hal yang pertama menyangkut persiapan dan proses pengajuan konsep 
kenaikan harga BBM yang seharusnya dikoordinasikan oleh Menko Perekonomian. 
Berdasarkan informasi di lingkungan kabinet, naskah yang diajukan oleh Menko 
Perekonomian hanya berupa makalah presentasi Power Point yang sangat tidak 
detail. Naskah tersebut berdasarkan kajian LPEM-FEUI yang memprediksikan dua 
hal penting. Pertama, kenaikan harga BBM akan meningkatkan jumlah orang miskin 
dari 16,2 menjadi 16,5 persen. Kedua, penyaluran dana kompensasi BBM kalau 
efektif seratus persen akan mampu menurunkan tingkat kemiskinan menjadi hanya 
13,7 persen.

      Persoalannya adalah bukan semata-mata apakah hasil riset LPEM-FEUI yang 
dikutip oleh Freedom Institute tersebut sahih atau tidak, tetapi yang lebih 
parah lagi adalah kenyataan bahwa hasil riset tersebut merupakan satu-satunya 
yang dipakai oleh Menko Perekonomian dalam proses pengambilan keputusan. Banyak 
di antara staf LPEM-FEUI sendiri stres karena ternyata lembaganya hanya 
diperlakukan sebagai tukang stempel kebijakan pemerintah.

      Hasil pengolahan data Susenas tahun 2002 sampai 2004 menunjukkan hal yang 
berbeda. Walaupun sudah ada kompensasi, tingkat kemiskinan tetap akan meningkat 
sebesar 2 persen dan bukannya turun. Saya sendiri tidak ingin mempertanyakan 
kesahihan data Susenas ini karena data yang sama digunakan oleh LPEM-FEUI. 
Selain itu data Susenas adalah the best available data and the only available 
data. Yang jadi pertanyaan kemudian adalah mengapa pemerintah dalam hal ini 
Menko Perekonomian tidak pernah bertanya kepada BPS tentang prakiraan dampak 
kebijakan harga BBM. Padahal BPS adalah lembaga pemerintah?

      Kalau sebuah lembaga pemerintah saja tidak pernah diajak bicara, 
bagaimana mungkin kita mengharapkan kabinet untuk melibatkan stake holder yang 
lebih luas dalam proses pengambilan keputusan. Dalam era demokrasi seperti 
sekarang ini, pola pengambilan keputusan yang bersifat sepihak sudah tidak 
lazim lagi. Tapi itulah yang terjadi.

      Kemungkinan hal ini disebabkan oleh kedekatan ideologis dan hubungan 
pribadi antara LPEM-UI, Freedom Institute, dan beberapa menteri anggota kabinet 
yang sekarang. Tapi bukankah kebijakan publik harus menghindari hal-hal seperti 
ini dan justru lebih mengedepankan aspirasi dan keterwakilan dari seluruh 
komponen masyarakat. Kalaupun itu tak sempat untuk dilakukan, setidaknya harus 
ada kajian akademis yang menjadi pembanding. Saya yakin lembaga-lembaga riset 
seperti Smeru, Brighten Institut, dan FEM-IPB telah melakukan pengkajian 
terhadap isu yang sama tapi dengan kesimpulan yang berbeda. Pak Menteri tinggal 
tanya mereka dan tak usah memberi uang saku.

      Aspek yang kedua menyangkut ketidakberdayaan institusi kepresidenan. 
Presiden tidak mempunyai waktu dan prasarana yang cukup untuk menyaring 
informasi secara objektif sebelum mengambil keputusan yang sangat penting 
seperti kenaikan harga BBM. Dulu semasa kampanye Presiden pernah menjanjikan 
akan dibentuk lembaga semacam dewan ekonomi yang langsung berada di bawah 
presiden, tapi bukan anggota kabinet. Sayang lembaga ini tak kunjung terbentuk, 
entah karena apa. Padahal, lembaga ini sangat potensial untuk memberikan second 
opinion terhadap setiap kebijakan penting yang diajukan oleh menteri. Tentu 
syaratnya adalah lembaga ini harus diisi oleh ekonom yang andal dari berbagai 
aliran pemikiran.

      Kehadiran lembaga ini semakin penting karena presiden sering dihadapkan 
pada masalah-masalah yang pelik dengan frekuensi yang tinggi. Presiden tidak 
punya waktu untuk berpikir secara sehat dan jernih. Hal ini tentu sangat 
membuka peluang terjadinya kasus di mana Presiden 'dikadalin' oleh menterinya 
sendiri. Dengan komposisi menteri seperti yang sekarang, sangat sulit untuk 
mengharapkan bahwa Presiden akan memperoleh input dan informasi yang objektif 
dan akurat. KKN pemikiran akan selalu menyebabkan terjadinya disinformasi. 
Semoga kasus kenaikan harga BBM menjadi pelajaran yang berharga bagi presiden 
dan para pembantunya.***
     


[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Take a look at donorschoose.org, an excellent charitable web site for
anyone who cares about public education!
http://us.click.yahoo.com/O.5XsA/8WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx
5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx
6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



** Mailing-List Indonesia Nasional Milis PPI-India www.ppi-india.uni.cc **

Other related posts:

  • » [list_indonesia] [ppiindia] BBM, Kebijakan yang Compang-camping