** Mailing-List Indonesia Nasional Milis PPI-India www.ppi-india.da.ru ** MEDIA INDONESIA Sabtu, 19 Maret 2005 Dewan Perkelahian Rakyat Putu Wijaya; Budayawan LEMBAGA terhormat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menjadi Dewan Perkelahian Rakyat pada sidang paripurnanya Rabu 16 Maret 2005. Rapat yang mengagendakan voting mengenai kenaikan harga BBM itu ricuh setelah ada ketukan palu Ketua DPR Agung Laksono yang memutuskan dua opsi bagi anggota dewan. Pertama menyerahkan pembahasan lanjutan kenaikan harga BBM kepada alat kelengkapan Dewan (Komisi VII, Komisi XI, dan Panitia Anggaran); kedua, rapat paripurna mengambil sikap menolak/menerima kenaikan harga BBM. Lepas peristiwa itu, ada beberapa kesan awam. Tidak ada yang mau kalah. Di satu pihak ada keinginan untuk cepat-cepat memutuskan menolak atau menerima kenaikan BBM; di pihak lain ada keinginan menunda meskipun jelas akan menerima atau menolak. Di tengahnya ada masalah kepemimpinan sidang, serta keberpihakan para anggota Dewan pada fraksi yang diwakilinya sudah mengalahkan realita proses demokrasi dalam persidangan. Benarkan itu bagian dari pembelajaran demokrasi? Bagai pisau bermata dua, yang dapat untuk mengiris bawang, bisa juga menyayat nyawa, mungkin demokrasi adalah madu sekaligus racun. Kita sudah banyak belajar dari pengalaman tentang kebaikan yang anti pada kebaikan. Ketulusan yang anti kepada ketulusan. Keadilan yang anti pada keadilan. Kebenaran yang anti pada kebenaran. Contoh yang paling menonjol adalah pada perdamaian yang antiperdamaian. Dengan berdalih menjaga perdamaian, senjata pun digalakkan. Apakah demokrasi itu bisa antidemokrasi? Bila demokrasi bisa antidemokrasi, mengapa manusia masih memujikan demokrasi. Apakah Amerika, negara adijaya yang kini diklaim memimpin dunia sebagai pejuang terdepan hak asasi manusia dan demokrasi itu sebenarnya juga antihak asasi dan demokrasi? Demokrasikah yang sudah menciptakan keamanan, keadilan, kebenaran, kelayakan, kesejahteraan, perdamaian, dan sebagainya? Atau sebaliknya, demokrasi baru bisa tegak apabila semua itu terpenuhi? Pertanyaan ini bisa dipelesetkan jadi sebuah pernyataan: mungkin dengan memestakan demokrasi kita sebenarnya sedang perlahan-lahan membunuh demokrasi. Pelesetan menjadi sebuah dosa apabila tidak diikuti dengan pencerahan pikiran. Mari kita coba supaya dosa kita mengecil. Berbagai pertanyaan yang menghambur datang oleh teror pelesetan, membuat kita melangkah perlahan-lahan ketika menemukan jalan buntu. Para pelawak sudah menjadi soko guru karena mereka mengajarkan, bagaimana dengan membaca segala sesuatu secara terbalik, muncul ketawa yang merangsang pemikiran-pemikiran lanjut guna menerobos kebekuan. Demokrasi pun tidak sepantasnya menjadi instrumen beku, karena kita sudah mempercayainya dengan menempatkannya sebagai salah satu sila dalam Pancasila, yang sampai sekarang menjadi falsafah negara. Andaikan demokrasi memerlukan persyaratan, apakah kita harus mengatakan bahwa semua upaya menuju demokrasi, baik itu bernama percobaan atau pembelajaran demokrasi, akan selalu kandas bila persyaratannya tidak lengkap? Tetapi kalau begitu banyaknya persyaratan yang harus dipenuhi, tampaknya jalan ke arah demokrasi memang tak ada ujung. Tak bolehkah kita menentukan prioritas yang mana harus dipilih untuk paling tidak selangkah sedikit mendekat dalam proses pembelajaran demokrasi, sehingga tidak harus terkesan sebagai pembunuhan? Mungkinkah organ-organnya harus sepenuhnya mutlak sesuai dengan peta demokrasi yang sebenarnya. Apa sarananya, biayanya, bisa jadi prosesnya yang belum cukup? Atau kualitas manusianya? Orang yang macam apa yang pantas kita didik, kita kembangkan, kita budi dayakan di masa depan, agar demokrasi bisa tegak. Apakah orang yang mengerti, sadar dan mampu membela bukan hanya hak-hak pribadinya, tetapi juga hak orang lain yang ideal untuk mewujudkan demokrasi? Atau orang yang mampu dan rela untuk tidak dituntut oleh hak-hak, baik hak pribadi maupun hak orang lain, apabila ada kewajiban yang melalui proses demokrasi sudah dijadikan sebagai haknya? Keduanya sebenarnya sudah kita punya. Hanya saja keduanya sama kuat, sehingga terus berlaga, tidak pernah jelas siapa yang menang. Akhirnya terjadi interaksi, tawar-menawar, kompromi, lalu menjadi kacau-balau kehilangan warna masing-masing. Banyak orang yang tampak sangat demokratis dalam memperjuangkan hak-haknya, tetapi tak peduli sudah menodai hak orang lain. Sebaliknya banyak juga orang yang sangat sadar lalu menjerit bahwa hak-haknya sudah diinjak oleh orang lain, tetapi tak pernah membuka mata bahwa orang lain yang lebih terinjak hak-haknya yang lebih berhak mengaduh, tak pernah bilang apa-apa. Kita sudah sering memasuki lingkaran setan. Dalam setiap kegagalan memang selalu sudah diusahakan mencari apa sebab kegagalan tersebut. Namun setelah didapatkan, kita tidak memakainya sebagai pembelajaran dalam proses selanjutnya. Kita berhenti pada memosisikan kesimpulan itu sebagai keberhasilan penemuan. Dengan ditemukannya penyebab kegagalan, kita pun menjadi tenang dan merasa tak perlu lagi waspada, sampai peristiwanya berulang, lalu kita kembali mencari dan menemukan sebab yang lain. Jadi yang kemudian terjadi adalah proses penemuan-penemuan penyebab kegagalan-kegagalan. Kadangkala kita menemukan kembali apa yang sudah kita temukan. Anehnya kita terkejut karena merasa itu baru. Begitu asyiknya kita disibukkan oleh proses itu, tanpa ada langkah ke depan. Cerita kegagalan yang menumpuk bagaikan bukit barisan, kemudian berubah menjadi sebuah lanskap yang menarik. Karena kita terpesona, di atas piramida kegagalan itu, kita masih bisa tegak berdiri, bernapas dan terus hidup bahkan cukup pongah. Apakah ini bukan semacam prestasi? Barangkali kebanggaan itu yang tak pernah benar-benar kita gali kembali. Sekali lagi kita dikalahkan para pelawak, yang serta-merta bisa mengucapkan syukur karena kepalanya tidak pecah dalam sebuah kecelakaan lalu lintas, tak peduli motor baru yang kreditannya belum lunas sudah ringsek tanpa ada asuransi. Mungkin sudah waktunya sekarang kita sungguh-sungguh berguru pada ilmu pelesetan, sehingga tak perlu merasa risau, gundah atau cemas kalau Dewan Perwakilan Rakyat menjadi Dewan Perkelahian Rakyat. Karena lebih baik rakyat berkelahi di gedung ber-AC yang dijaga ketat aparat keamanan serta diawasi oleh seluruh media massa, sehingga apa pun yang terjadi di sana akan segera tersebar ke seluruh Indonesia bahkan seluruh dunia. Lagi pula kalau yang berkelahi adalah orang-orang berdasi yang naik mobil dan tinggal dalam rumah gedong, tak akan mungkin sebrutal yang sudah terjadi pada kerusuhan di jalanan pada 14 Mei 1998. Minimal bukan rakyat jelata yang jadi korban, cukup wakil-wakilnya yang memang menerima gaji dan mendapatkan fasilitas untuk bersitegang urat-leher. Sekarang memang saat untuk menonton aksi pilihan rakyat langsung, sebagai referensi di dalam pemilihan umum yang akan datang. Semoga kelak rakyat akan bertambah bijak dalam menentukan siapa yang akan ditunjuknya menjadi wakil untuk membawa suaranya. Tak banyak orang yang sudi berperan sebagai pelawak sekarang, walau profesi komedian membuat orang kaya di televisi. Gus Dur yang dengan rendah hati mengaku dirinya hanya pelawak dalam sebuah talk show semasa menjadi presiden, sudah merasakan getahnya. Pelawak memang populer, tetapi bukan idola. Yang dimimpikan semua orang adalah peran utama, seorang pahlawan yang menang, ditakuti dan tentu saja kalau bisa kaya. Kita hidup di masa seperti itu dan tak bisa menolak menjadi bagian dari produk yang kalibernya memang hanya "ece-ece". Tinggal satu harapan lagi. Mari bersama-sama memberikan kepercayaan terhadap yang tidak bisa kita percayai lagi. Mungkin dengan cara seperti itu ada kebangkitan moral baru yang menjadi tenaga untuk membentuk kepercayaan yang sangat kita perlukan sekarang, bukan hanya oleh pemerintah, tetapi juga oleh rakyat jelata sendiri. Dan itu tak bisa terjadi kalau kita masih selalu hanya berpikir seperti kapitalis yang semata-mata mengejar keuntungan, sebagaimana yang sudah ditanamkan kepada kita selama 30 tahun ini.*** [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Give the gift of life to a sick child. Support St. Jude Children's Research Hospital's 'Thanks & Giving.' http://us.click.yahoo.com/lGEjbB/6WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx 5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx 6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/ ** Mailing-List Indonesia Nasional Milis PPI-India www.ppi-india.uni.cc **