[list_indonesia] [ppiindia] Dewan Perkelahian Rakyat

  • From: "Ambon" <sea@xxxxxxxxxx>
  • To: <"Undisclosed-Recipient:;"@freelists.org>
  • Date: Fri, 18 Mar 2005 22:08:03 +0100

** Mailing-List Indonesia Nasional Milis PPI-India www.ppi-india.da.ru **

      MEDIA INDONESIA
      Sabtu, 19 Maret 2005


      Dewan Perkelahian Rakyat

      Putu Wijaya; Budayawan
     
      LEMBAGA terhormat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menjadi Dewan Perkelahian 
Rakyat pada sidang paripurnanya Rabu 16 Maret 2005. Rapat yang mengagendakan 
voting mengenai kenaikan harga BBM itu ricuh setelah ada ketukan palu Ketua DPR 
Agung Laksono yang memutuskan dua opsi bagi anggota dewan. Pertama menyerahkan 
pembahasan lanjutan kenaikan harga BBM kepada alat kelengkapan Dewan (Komisi 
VII, Komisi XI, dan Panitia Anggaran); kedua, rapat paripurna mengambil sikap 
menolak/menerima kenaikan harga BBM.

      Lepas peristiwa itu, ada beberapa kesan awam. Tidak ada yang mau kalah.

      Di satu pihak ada keinginan untuk cepat-cepat memutuskan menolak atau 
menerima kenaikan BBM; di pihak lain ada keinginan menunda meskipun jelas akan 
menerima atau menolak. Di tengahnya ada masalah kepemimpinan sidang, serta 
keberpihakan para anggota Dewan pada fraksi yang diwakilinya sudah mengalahkan 
realita proses demokrasi dalam persidangan. Benarkan itu bagian dari 
pembelajaran demokrasi?

      Bagai pisau bermata dua, yang dapat untuk mengiris bawang, bisa juga 
menyayat nyawa, mungkin demokrasi adalah madu sekaligus racun. Kita sudah 
banyak belajar dari pengalaman tentang kebaikan yang anti pada kebaikan. 
Ketulusan yang anti kepada ketulusan. Keadilan yang anti pada keadilan. 
Kebenaran yang anti pada kebenaran. Contoh yang paling menonjol adalah pada 
perdamaian yang antiperdamaian. Dengan berdalih menjaga perdamaian, senjata pun 
digalakkan.

      Apakah demokrasi itu bisa antidemokrasi? Bila demokrasi bisa 
antidemokrasi, mengapa manusia masih memujikan demokrasi. Apakah Amerika, 
negara adijaya yang kini diklaim memimpin dunia sebagai pejuang terdepan hak 
asasi manusia dan demokrasi itu sebenarnya juga antihak asasi dan demokrasi? 
Demokrasikah yang sudah menciptakan keamanan, keadilan, kebenaran, kelayakan, 
kesejahteraan, perdamaian, dan sebagainya? Atau sebaliknya, demokrasi baru bisa 
tegak apabila semua itu terpenuhi? Pertanyaan ini bisa dipelesetkan jadi sebuah 
pernyataan: mungkin dengan memestakan demokrasi kita sebenarnya sedang 
perlahan-lahan membunuh demokrasi.

      Pelesetan menjadi sebuah dosa apabila tidak diikuti dengan pencerahan 
pikiran. Mari kita coba supaya dosa kita mengecil. Berbagai pertanyaan yang 
menghambur datang oleh teror pelesetan, membuat kita melangkah perlahan-lahan 
ketika menemukan jalan buntu. Para pelawak sudah menjadi soko guru karena 
mereka mengajarkan, bagaimana dengan membaca segala sesuatu secara terbalik, 
muncul ketawa yang merangsang pemikiran-pemikiran lanjut guna menerobos 
kebekuan. Demokrasi pun tidak sepantasnya menjadi instrumen beku, karena kita 
sudah mempercayainya dengan menempatkannya sebagai salah satu sila dalam 
Pancasila, yang sampai sekarang menjadi falsafah negara.

      Andaikan demokrasi memerlukan persyaratan, apakah kita harus mengatakan 
bahwa semua upaya menuju demokrasi, baik itu bernama percobaan atau 
pembelajaran demokrasi, akan selalu kandas bila persyaratannya tidak lengkap? 
Tetapi kalau begitu banyaknya persyaratan yang harus dipenuhi, tampaknya jalan 
ke arah demokrasi memang tak ada ujung. Tak bolehkah kita menentukan prioritas 
yang mana harus dipilih untuk paling tidak selangkah sedikit mendekat dalam 
proses pembelajaran demokrasi, sehingga tidak harus terkesan sebagai 
pembunuhan? Mungkinkah organ-organnya harus sepenuhnya mutlak sesuai dengan 
peta demokrasi yang sebenarnya. Apa sarananya, biayanya, bisa jadi prosesnya 
yang belum cukup? Atau kualitas manusianya?

      Orang yang macam apa yang pantas kita didik, kita kembangkan, kita budi 
dayakan di masa depan, agar demokrasi bisa tegak. Apakah orang yang mengerti, 
sadar dan mampu membela bukan hanya hak-hak pribadinya, tetapi juga hak orang 
lain yang ideal untuk mewujudkan demokrasi? Atau orang yang mampu dan rela 
untuk tidak dituntut oleh hak-hak, baik hak pribadi maupun hak orang lain, 
apabila ada kewajiban yang melalui proses demokrasi sudah dijadikan sebagai 
haknya?

      Keduanya sebenarnya sudah kita punya. Hanya saja keduanya sama kuat, 
sehingga terus berlaga, tidak pernah jelas siapa yang menang. Akhirnya terjadi 
interaksi, tawar-menawar, kompromi, lalu menjadi kacau-balau kehilangan warna 
masing-masing. Banyak orang yang tampak sangat demokratis dalam memperjuangkan 
hak-haknya, tetapi tak peduli sudah menodai hak orang lain. Sebaliknya banyak 
juga orang yang sangat sadar lalu menjerit bahwa hak-haknya sudah diinjak oleh 
orang lain, tetapi tak pernah membuka mata bahwa orang lain yang lebih terinjak 
hak-haknya yang lebih berhak mengaduh, tak pernah bilang apa-apa.

      Kita sudah sering memasuki lingkaran setan. Dalam setiap kegagalan memang 
selalu sudah diusahakan mencari apa sebab kegagalan tersebut. Namun setelah 
didapatkan, kita tidak memakainya sebagai pembelajaran dalam proses 
selanjutnya. Kita berhenti pada memosisikan kesimpulan itu sebagai keberhasilan 
penemuan. Dengan ditemukannya penyebab kegagalan, kita pun menjadi tenang dan 
merasa tak perlu lagi waspada, sampai peristiwanya berulang, lalu kita kembali 
mencari dan menemukan sebab yang lain. Jadi yang kemudian terjadi adalah proses 
penemuan-penemuan penyebab kegagalan-kegagalan. Kadangkala kita menemukan 
kembali apa yang sudah kita temukan. Anehnya kita terkejut karena merasa itu 
baru. Begitu asyiknya kita disibukkan oleh proses itu, tanpa ada langkah ke 
depan.

      Cerita kegagalan yang menumpuk bagaikan bukit barisan, kemudian berubah 
menjadi sebuah lanskap yang menarik. Karena kita terpesona, di atas piramida 
kegagalan itu, kita masih bisa tegak berdiri, bernapas dan terus hidup bahkan 
cukup pongah. Apakah ini bukan semacam prestasi? Barangkali kebanggaan itu yang 
tak pernah benar-benar kita gali kembali. Sekali lagi kita dikalahkan para 
pelawak, yang serta-merta bisa mengucapkan syukur karena kepalanya tidak pecah 
dalam sebuah kecelakaan lalu lintas, tak peduli motor baru yang kreditannya 
belum lunas sudah ringsek tanpa ada asuransi.

      Mungkin sudah waktunya sekarang kita sungguh-sungguh berguru pada ilmu 
pelesetan, sehingga tak perlu merasa risau, gundah atau cemas kalau Dewan 
Perwakilan Rakyat menjadi Dewan Perkelahian Rakyat. Karena lebih baik rakyat 
berkelahi di gedung ber-AC yang dijaga ketat aparat keamanan serta diawasi oleh 
seluruh media massa, sehingga apa pun yang terjadi di sana akan segera tersebar 
ke seluruh Indonesia bahkan seluruh dunia.

      Lagi pula kalau yang berkelahi adalah orang-orang berdasi yang naik mobil 
dan tinggal dalam rumah gedong, tak akan mungkin sebrutal yang sudah terjadi 
pada kerusuhan di jalanan pada 14 Mei 1998. Minimal bukan rakyat jelata yang 
jadi korban, cukup wakil-wakilnya yang memang menerima gaji dan mendapatkan 
fasilitas untuk bersitegang urat-leher.

      Sekarang memang saat untuk menonton aksi pilihan rakyat langsung, sebagai 
referensi di dalam pemilihan umum yang akan datang. Semoga kelak rakyat akan 
bertambah bijak dalam menentukan siapa yang akan ditunjuknya menjadi wakil 
untuk membawa suaranya.

      Tak banyak orang yang sudi berperan sebagai pelawak sekarang, walau 
profesi komedian membuat orang kaya di televisi. Gus Dur yang dengan rendah 
hati mengaku dirinya hanya pelawak dalam sebuah talk show semasa menjadi 
presiden, sudah merasakan getahnya. Pelawak memang populer, tetapi bukan idola. 
Yang dimimpikan semua orang adalah peran utama, seorang pahlawan yang menang, 
ditakuti dan tentu saja kalau bisa kaya. Kita hidup di masa seperti itu dan tak 
bisa menolak menjadi bagian dari produk yang kalibernya memang hanya "ece-ece".

      Tinggal satu harapan lagi. Mari bersama-sama memberikan kepercayaan 
terhadap yang tidak bisa kita percayai lagi. Mungkin dengan cara seperti itu 
ada kebangkitan moral baru yang menjadi tenaga untuk membentuk kepercayaan yang 
sangat kita perlukan sekarang, bukan hanya oleh pemerintah, tetapi juga oleh 
rakyat jelata sendiri. Dan itu tak bisa terjadi kalau kita masih selalu hanya 
berpikir seperti kapitalis yang semata-mata mengejar keuntungan, sebagaimana 
yang sudah ditanamkan kepada kita selama 30 tahun ini.***

     


[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Give the gift of life to a sick child. 
Support St. Jude Children's Research Hospital's 'Thanks & Giving.'
http://us.click.yahoo.com/lGEjbB/6WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx
5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx
6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



** Mailing-List Indonesia Nasional Milis PPI-India www.ppi-india.uni.cc **

Other related posts:

  • » [list_indonesia] [ppiindia] Dewan Perkelahian Rakyat