[list_indonesia] [ppiindia] Dampak Subsidi: Masyarakat Pemarah

  • From: "Ambon" <sea@xxxxxxxxxx>
  • To: <"Undisclosed-Recipient:;"@freelists.org>
  • Date: Thu, 10 Mar 2005 10:41:57 +0100

** Mailing-List Indonesia Nasional Milis PPI-India www.ppi-india.da.ru **

http://www.suarapembaruan.com/News/2005/03/10/index.html

SUARA PEMBARUAN DAILY 
--------------------------------------------------------------------------------

Titik Pandang

Dampak Subsidi: Masyarakat Pemarah?
 

Ratna Megawangi 

IBU mertua saya yang sekarang berusia 86 tahun pernah bercerita tentang 
bagaimana beliau bersusah payah menyekolahkan ke-5 anaknya dengan keringat 
sendiri. Beliau memang buta huruf karena tidak pernah merasakan bangku sekolah 
sama sekali, kecuali hanya belajar mengaji. Namun beliau bertekad agar 
anak-anaknya bisa sekolah, paling tidak sampai tingkat SLTA. 

Ketika suami saya masih di sekolah madrasah di kampung, uang sekolahnya dibayar 
dengan sebagian hasil panen dan dengan menyumbang tenaga untuk mengerjakan 
sawah para guru. Setelah lulus madrasah, suami saya pergi ke kota Langsa untuk 
masuk ke sekolah PGA dan tinggal di sebuah pesantren. Untuk keperluan sekolah 
dan makan, ibunya sengaja memelihara bebek yang hasil telurnya dikumpulkan 
untuk dijual di pasar. Setiap 2 minggu sekali, suami saya pulang ke kampung 
untuk mengambil uang telur bebek dan kadang-kadang menjahitkan celana 
panjangnya yang kerap robek berhubung sudah lapuk dipakai terus karena miliknya 
hanya dua. 

Katanya, pada jaman itu orang-orang di kampung yang umumnya bernasib sama, juga 
bekerja keras untuk menyekolahkan anak-anaknya. Tentunya mereka tidak pernah 
membayangkan, apalagi mengharapkan adanya subsidi pemerintah. Sekolah SD Inpres 
di kampung saja baru dibangun pada pertengahan tahun 1970-an. Dulu orang-orang 
di kampungnya, baik pria dan wanita, amat rajin bekerja di sawah atau di 
ladang. Ibu mertua saya sekarang tidak mengerti, mengapa banyak orang di 
kampungnya saat ini, terutama yang laki-laki lebih senang duduk-duduk di warung 
kopi daripada bekerja di ladang. Padahal menurut ibu mertua saya, kehidupan 
sekarang jauh lebih mudah, misalnya sekolah negeri lebih banyak tersedia, 
bahkan untuk SD hampir gratis, ada Puskesmas yang bayarnya dibawah Rp 5.000, 
transportasi lebih mudah.dan sebagainya. Herannya lagi, sebagian besar dari 
mereka yang duduk-duduk di warung kopi, lebih banyak mengeluh tentang kesulitan 
hidup, dan mengharapkan pemerintah untuk memberi pekerjaan kepada
  mereka. 

Saya jadi teringat kisah suku Arial dari Kenya Utara (Elliot Fratkin, 1991). 
Suku Arial adalah suku nomaden di daerah semi padang pasir yang bekerja 
menggembalakan ternak. Mereka bisa bertahan hidup dan bahkan bisa surplus 
makanan, karena hasil dari ternaknya berupa daging, susu, darah, dijual untuk 
membeli gandum, kopi, gula, dan keperluan hidup lainnya. Berhubung mereka 
memang terisolasi dan tidak diperhatikan oleh masyarakat luar, mereka harus 
berjuang keras untuk dapat hidup, sehingga mereka pernah terkenal sebagai 
masyarakat pekerja keras dan mandiri. 

Namun bagi pemerintah Kenya dan para misionaris Kristen, kehidupan mereka 
dianggap primitif, sehingga mereka perlu diberikan tempat menetap seperti 
layaknya kehidupan masyarakat di jaman modern. Para nomaden tersebut kemudian 
diberikan berbagai kemudahan; subsidi pangan, kesehatan, dan pendidikan, agar 
mau pindah ke tempat yang disediakan. Tentu saja mereka memilih untuk tinggal 
di tempat yang baru daripada harus bekerja keras di padang pasir. 

Ternyata hasilnya sudah dapat diprediksi, yaitu hilangnya etos kerja dan 
kemandirian, dan akhirnya mereka menjadi masyarakat yang sangat tergantung. 
Sikap etos kerja dan kemandirian yang telah dimiliki secara turun menurun, 
telah hilang dalam waktu yang relatif cepat. Inilah juga yang terjadi di tempat 
perkampungan orang-orang Indian (Indian reservation) di Amerika Serikat. Karena 
pemerintah AS memberikan segala macam subsidi, maka banyak dari mereka yang 
menjadi malas bekerja, pecandu alkohol dan perjudian. Mereka secara rutin 
mendapatkan bantuan hidup dari pemerintah. 

Para ekonom menyebut fenomena ini sebagai "moral hazard problem of the welfare 
program". Banyak studi menunjukkan bahwa dengan adanya program bantuan sosial 
(welfare program) yang bertujuan untuk menghilangkan kemiskinan justru membuat 
orang-orang miskin menjadi sulit untuk keluar dari lembah kemiskinan. Studi 
yang dilakukan oleh Cato Institute di AS membuktikan bahwa para pengangguran 
yang menerima subsidi cenderung berubah karakternya menjadi pemalas, enggan 
mencari pekerjaan dan hilang sikap kemandiriannya. Hal ini juga berdampak 
kepada anak-anaknya dimana menurut laporan Cato Institute, "children raised in 
families on welfare are seven times more likely to become dependent upon 
welfare than are other children." Bukan itu saja, kebiasaan mendapatkan subsidi 
juga telah menumbuhkan sikap entitlement attitude (menuntut hak), yang tentunya 
sikap yang bertolak belakang dengan sikap pengorbanan dan tanggung jawab. Sikap 
menuntut ini akan menimbulkan rasa ketidakpuasan, dan menim
 bulkan rasa marah. 

Hal ini diungkapkan juga oleh Marshall Fritz (2003): "With welfare, however, 
the recipient concludes he has a "right" to the money and often gets angry 
because he believes he deserves more. The subsidy transforms him into an angry 
parent. And when government funding ruins the attitude of the parent, the 
parent ruins the attitude of the child". 

Sewaktu kami tinggal di sebuah apartemen di AS, pernah beberapa bulan 
bertetangga dengan pasangan suami isteri yang tidak bekerja dengan kedua 
anaknya yang jarang terlihat pergi ke sekolah. Hampir setiap hari kami 
mendengar suara teriakan dan makian, baik pertengkaran suami istri, maupun 
makian kepada kedua anaknya. Tadinya kami bingung bagaimana pengangguran bisa 
membayar sewa apartemen dan bisa makan karena kerjanya hanya berantem setiap 
hari. Kelihatannya mereka tidak peduli dengan pendidikan anak-anaknya. Ternyata 
keluarga tersebut mendapatkan subsidi dari pemerintah. 

Memang, bagi negara yang demokratis dimana rakyat mempunyai kekuatan untuk 
memilih pemimpinnya, program-program populis untuk membantu rakyat miskin pasti 
akan populer. Karena banyak para pemimpin yang berpikir bagaimana bisa terpilih 
lagi pada pemilu berikutnya. Namun perlu diingat bahwa program pengentasan 
kemiskinan yang telah dilakukan di AS selama lebih dari 30 tahun, ternyata 
jumlah orang yang miskin di AS masih saja di atas 30 juta orang. 

Kalau sebagian besar masyarakat Indonesia dari berbagai kalangan baik kaya 
maupun miskin, telah merasa berhak untuk mendapatkan subsidi BBM, dan 
marah-marah ketika subsidi dihapuskan, saya khawatir bagaimana dampaknya ketika 
dana kompensasi subsidi BBM dipakai untuk subsidi sekolah, kesehatan, dan 
pangan yang akan mencakup jutaan orang miskin, terutama terhadap karakter yang 
terbentuk nantinya. Apalagi ada berita tentang klaim kesepakatan enam fraksi 
DPR yang menginginkan dana alokasi kompensasi subsidi BBM digunakan untuk 
pendidikan gratis dari SD sampai SMP. Bukan apa-apa, kalau membaca laporan 
tentang bobroknya sekolah-sekolah negeri di AS, salah satu penyebab utamanya 
adalah karena uang sekolah yang gratis yang menimbulkan ketidakpedulian 
masyarakat tentang bagaimana meningkatkan kualitas pendidikan. Menurut Fritz: 
"The key to good education is good parenting, and the key to good parenting is 
for parents to reassume the burden of decision-making and financing their childr
 en's education." 

Saya mengerti bahwa posisi pemerintah saat ini sangat dilematis. Tulisan ini 
hanya memberikan inspirasi bahwa untuk menghapuskan kemiskinan, bagaimana 
pemakaian dana subsidi ini jangan sampai mencegah tumbuhnya sikap-sikap 
mendasar bagi masyarakat miskin untuk keluar dari kemiskinan-bekerja keras, 
mandiri, belajar bagaimana bekerja dengan jujur, berkepribadian kuat, 
bertanggungjawab terhadap masa depan anak-anaknya, menjadi warganegara yang 
tertib serta patuh hukum.* 



--------------------------------------------------------------------------------
Last modified: 10/3/05 

[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Take a look at donorschoose.org, an excellent charitable web site for
anyone who cares about public education!
http://us.click.yahoo.com/O.5XsA/8WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx
5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx
6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



** Mailing-List Indonesia Nasional Milis PPI-India www.ppi-india.uni.cc **

Other related posts:

  • » [list_indonesia] [ppiindia] Dampak Subsidi: Masyarakat Pemarah