[list_indonesia] [ppiindia] DPR Bukan "Dewan Preman Rakyat"

  • From: "Ambon" <sea@xxxxxxxxxx>
  • To: <"Undisclosed-Recipient:;"@freelists.org>
  • Date: Wed, 23 Mar 2005 23:45:15 +0100

** Mailing-List Indonesia Nasional Milis PPI-India www.ppi-india.da.ru **

REFLEKSI: Kalau DPR bukan Dewan Preman Rakyat, maka bisa dipastikan bahwa DPR 
adalah DEWAN PENIPU RAKYAT 


http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=104505

      DPR Bukan "Dewan Preman Rakyat"
      Oleh Syaiful Bari 


      Kamis, (24-03-'05)
      Belum lama ini, kita menyaksikan sebuah peristiwa memalukan yang 
melibatkan sejumlah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai pemeran utamanya. 
Rapat Paripurna DPR (17/3) yang membahas kenaikan harga bahan bakar minyak 
(BBM), kembali menemui jalan buntu. Bahkan dalam rapat yang sama sehari 
sebelumnya (16/3), beberapa anggota fraksi DPR menjadi emosi hingga maju ke 
depan pimpinan sidang dan akhirnya rapat berakhir dengan kericuhan. 

      Melalui tayangan televisi (TV), masyarakat Indonesia dengan mata 
telanjang menyaksikan sendiri unjuk kekuatan mulut wakil-wakil rakyat yang 
sarat emosi tersebut. Misalnya, mereka saling tuding, saling tuduh, dan saling 
kecam tanpa ending keputusan urgen apa pun. Sadarkah bahwa adegan yang 
semestinya tidak terjadi itu, secara hidup dan secara audiovisual ditonton 
langsung oleh publik? 

      Suara naik turun, lemah, datar keras, sebenarnya masih tergolong wajar. 
Ada klimaks dan antiklimaks, juga dapat diterima. Ada monolog, asyik ngomong 
sendiri, ada dialog, ada triolog, di sela interupsi dan suara keras, tidak 
terlalu menjadi persoalan. Namun, ketika adegan itu disertai dengan tindakan 
sejumlah anggota naik ke bibir meja pimpinan sidang, diawali dengan seorang 
anggota nyolot sambil mengacungkan ancaman, kemudian berdesakan anggota 
lainnya, saling ancam adu jotos, kiranya kita sepakat bahwa hal itu tidak etis 
dilakukan. 

      Secara substansi persoalan, kita mungkin saja bisa memahami 
keberatan-keberatan anggota DPR dalam hal kenaikan harga BBM. Minimal terdapat 
dua keberatan yang diajukan anggota DPR saat itu. Pertama, keberatan terhadap 
kenaikan harga BBM itu sendiri. Kedua, keberatan terhadap prosedurnya. 

      Menaikkan harga BBM jelas melibatkan perubahan Undang-undang, yakni 
Undang-undang yang menyangkut perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 
(APBN). Menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku, jika pemerintah akan 
mengubah materi yang masuk dalam ketentuan UU APBN itu, maka diperlukan 
persetujuan DPR, sekurang-kurangnya pembicaraan dengan DPR. Dalam konteks 
menaikan harga BBM, hal itu menurut berbagai fraksi di DPR alpa dilakukan 
pemerintah. Karena itulah, beberapa fraksi DPR menolak dan mendesak agar 
pemerintah menurunkan kembali harga BBM yang telah dinaikkan sejak 1 Maret 
lalu. Ironisnya, penolakan DPR itu dibarengi dengan sikap saling gertak dan 
saling ancam adu fisik. 

      Al-hasil, DPR yang seharusnya menjadi lembaga perwakilan rakyat dengan 
memperjuangkan kepentingan-kepentingan masyarakat luas secara santun dan 
memberikan argumentasi yang benar dan baik, secara spontan berubah menjadi 
panggung drama yang memalukan. DPR akhirnya bahkan terkesan berubah menjadi 
"Dewan Preman Rakyat" yang tidak menghargai perbedaan. 

      Sukardi Rinakit mengelaborasi bahwa kericuhan yang terjadi di DPR itu 
disebabkan karena peluang untuk bicara dari anggota tidak diberikan oleh 
pimpiman sidang. Peluang untuk melontarkan interupsi dan lain-lain relatif 
ditutup oleh pimpinan sidang. Jadi, tidak ada ruang untuk adu agumentasi. 
Akibatnya, muncul emosi yang tidak terbendung. 

      Fenomena kericuhan dan kerusuhan yang terjadi pada sidang paripurna, 
membuktikan bahwa hal itu hanya sekadar manuver agar salah satu tuntutan yang 
diminta DPR untuk dapat dikabulkan pemerintah. Jadi, manuver tersebut dicurigai 
sebagai posisi tawar untuk meng-golkan keinginannya. Bila hal ini sahih, maka 
fenomena itu adalah awal dari matinya demokrasi dan krisis kepercayaan rakyat 
terhadap DPR. 

      Padahal DPR bukan saja lembaga demokrasi, wakil rakyat yang dipilih 
langsung oleh rakyat. Dewan itu sekaligus tempat atau panggung dilaksanakannya 
demokrasi. Termasuk yang amat esensial adalah tempat hadirnya perbedaan 
pendapat, adu pendapat, adu kepentingan yang dilakukan tanpa kekerasan. Tempat, 
argumen, pertimbangan, serta sudut pandang apa pun dilaksanakan untuk 
sebesar-besarnya demi kepentingan umum. 

      Pluralisme Politik


      Pluralisme politik adalah suatu pandangan yang mengakui bahwa kekuasaan 
seyogianya dipahami menyebar pada berbagai kelompok yang ada. Kekuasaan 
bukanlah milik satu orang saja. Namun, semuanya sama-sama memiliki kekuasaan, 
termasuk semua fraksi di DPR RI. 

      Pemahaman seperti itu urgen direalisasikan agar masing-masing kelompok 
bisa saling melengkapi dan pemerintahan terpenuhi oleh terpeliharanya 
keseimbangan mereka. Jadi, kekuasaan mutlak tidak berada dalam satu genggaman 
seseorang atau kelompok tertentu. Wewenang politik adalah tanggung jawab 
bersama yang harus benar-benar dilaksanakan. Pluralisme politik ini diakui 
sebagai prinsip dasar demokrasi liberal, dan ini menurut Max Weber, merupakan 
salah satu aspirasi masyarakat yang sampai sekarang belum terealisir. 

      Gagasan pluralisme politik ini bisa saja dianggap terlalu jauh bahkan 
utopis. Pluralisme politik yang mengandaikan kerukunan dalam dunia politik 
untuk mewujudkan masyarakat yang berkeadilan sulit sekali direalisasikan di 
tengah-tengah budaya politik individualisme dan provinsialisme. 

      Individualisme karena tindakan-tindakan politik hanya didasarkan pada 
pemenuhan kepentingan individu. Padahal individualisme ini akan membuat kita 
semakin licik dan jahat. Selain itu, ada banyak persoalan dengan budaya 
individulisme ini, yaitu terjadinya penghancuran berbagai aturan, dalam arti 
hanya ada satu aturan yang tersisa; menghalalkan segala cara untuk mencapai 
tujuan pribadi. Persis sama dengan politik ala Machiavellian yang lebih 
mementingkan violence, brutalitas, dan kekejaman daripada perdamaian dan 
kerjasama serta menganggap penaklukan terhadap rival politiknya adalah 
kebajikan tertinggi (summum bonum). 

      Sementara provinsialisme telah memposisikan aktivitas-aktivitas politik 
dalam kotak-kotak tertentu. Aktivitas politik dibatasi ruang geraknya hanya 
dalam satu kotak saja untuk mencapai dan mempersembahkan hasil politiknya 
kepada golongannya sendiri. Jika demikian, keberadaan satu kotak yang dipenuhi 
oleh kelompok politik tertentu menjadi terpisah dengan kelompok lainnya. Di 
sini terlihat dengan jelas kosongnya penghormatan terhadap pluralisme politik 
yang seharusnya tidak dilakukan. Kegiatan-kegiatan politik pun tidak lagi 
diorientasikan kepada pemberdayaan rakyat, akan tetapi hanya untuk mengeyangkan 
kelompoknya sendiri. 

      Dengan demikian terjadilah apa yang disebut "perang klaim" antarkelompok, 
manipulasi simbol, distorsi kebenaran dan budaya saling tidak percaya yang 
berakhir dengan sikap saling menjatuhkan. Yang ada, tidak lagi fairplay 
politics, tetapi lebih dipenuhi oleh budaya sikat, amuk dan dendam. 

      Kasus kericuhan di DPR itu kiranya relevan kita jadikan contoh konkret 
yang tidak perlu diulangi kembali sebab DPR itu Dewan Perwakilan Rakyat, bukan 
"Dewan Preman Rakyat". *** 

      (Penulis, Direktur Social and Philosophical Studies
      - Sophis, Yogyakarta). 


[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Help save the life of a child.  Support St. Jude Children's Research Hospital's
'Thanks & Giving.'
http://us.click.yahoo.com/mGEjbB/5WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx
5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx
6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



** Mailing-List Indonesia Nasional Milis PPI-India www.ppi-india.uni.cc **

Other related posts:

  • » [list_indonesia] [ppiindia] DPR Bukan "Dewan Preman Rakyat"