** Mailing-List Indonesia Nasional Milis PPI-India www.ppi-india.da.ru ** http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=104288 Beban Subyektif BBM Oleh Beni Setia Selasa, (22-03-'05) Apresiasi dan respon DPR-RI atas kebijaksanaan pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono menaikkan harga BBM per 1 Maret 2005, sampai 16 Maret 2005, ma-sih belum jelas. Bila tidak bisa dikatakan lintang pukang dan semrawut, karena mereka baru mengerucutkan respon mereka pada dua opsi. Pertama, menyerahkan masalah itu kepada alat kelengkapan Dewan (Komisi VII, Komisi XI, dan Panitia Anggaran). Kedua, langsung ke rapat paripurna untuk mengabil sikap menolak atau menerima kenaikan harga BBM. Celakanya, upaya untuk apa memilih opsi mendelegasikan wewenang ke alat kelengkapan Dewan agar diapresiasi secara lebih mendasar atau apa langsung dikerucutkan dalam rapat paripurna itu malahan menimbulkan kekisruhan. Tontonan performing art di TV, membuat kita termangu-mangu. Apakah mereka sedang membela rakyat atau sedang mempertontonkan satu pertunjukan yang mengesankan mereka sedang membela rakyat? Sebagai tontonan performing art, tujuan tak penting karena yang pokok adalah kejadian yang menghibur, mengggelikan atau menyebalkan. Memang. Ada kesan, ada kelompok yang ingin mempermasalahkan dan menuntaskan secepatnya, dan karenanya bisa agresif menyerang kebijakan pemerintahan SBY. Dan, ada kelompok yang mengulur-ngulur waktu, dan karenanya tidak memungkinkan adanya oposisi aktual atas kebijakan pemerintahan SBY. Maksudnya, meski agresif, kritik dan koreksi itu dilakukan ketika masalah sudah tidak panas lagi. Karenanya masyarakat (baca: rakyat) sudah tidak berminat lagi mempersoalkan kebijakan menaikkan harga BBM pemerintahan SBY, dan sekaligus komitmen pemerintahan SBY kepada rakyat di latar belakangnya. Tapi, pada akhirnya, kenapa pemerintah SBY memutuskan menaikkan harga BBM per 1 Maret 2005 - setelah sempat ditangguhkan karena adanya bencana nasional tsunami di Aceh dan Sumut - ? Sekaligus, kenapa para mahasiswa, golongan masyarakat yang vokal, dan anggota DPR serentak memprotes dan bahkan menolak kebijakan kenaikan harga BBM itu? * * * Alasaan utama dari kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM adalah adanya selisih antara harga BBM di LN dan DN. Di mana, faktor harga BBM lebih tinggi di LN ketimbang harga BBM di DN itu, dikarenakan pemerintah terbiasa menomboki selisih dari harga BBM di DN dibandingkan dengan harga BBM di LN. Mereka menyebut itu sebagai subsidi, yang per harinya bisa mencapai miliaran rupiah - dan per tahunnya bisa mencapai triliunan rupiah. Tapi kenapa pemerintah melakukan perhitungan yang bersifat ekonomis mencari untung? Jawabannya teramat sederhana, pemerintah tidak sanggup mencukupi kebutuhan akan BBM di DN dengan produksi pengilangan minyak di DN. Karena itu mereka terpaksa mendatangkan BBM dari LN, dengan harga internasional. Celakanya, mereka membiayai impor BBM dengan devisa dari hasil mengekspor minyak mentah - yang merupakan bahan mentah untuk produksi pengilangan minyak. Pendek kata, kita ini menjual singkong mentah dan sebagian uangnya dipakai untuk membeli tepung tapioka yang dibutuhkan rakyat. Tak peduli masih ada sisa uang penjualan singkong, dan tak peduli kebutuhan akan tapioka itu dicukupi sebagian oleh produksi di DN. Yang dipikirkan, jual singkong, dan sebagian uangnya dipakai membeli tapioka yang dijual murah pada rakyat. Kasarnya, kok enak mereka ya! Mereka hanya berpikir menjual minyak mentah dengan harga sekian, dan sepersekian dari hasil penjualan itu terpaksa dipakai untuk membeli BBM yang dijual lebih rendah dari harga wajar di LN. Ihwal harus membeli BBM dari LN tidak begitu jadi masalah tampaknya, tapi kebijaksanaan harus menjual BBM impor itu dengan harga tak wajar menjadi masalah. Kenapa? Karena sepersekian dari anggaran harus dikeluarkan untuk menutup selisih dari harga BBM di DN dibandingkan dengan harga BBM di LN - harga standar internasional. Kasarnya, sekali lagi: kok enak mereka ya! Enak di kelompok elit berduit yang mampu beli kendaraan dua, tiga atau empat buah. Bukankah mereka itu hanya minoritas mampu di antara rakyat yang tak mampu menabung, menyediakan dana pendidikan dan seterusnya? Mereka bilang itu subsidi. Mereka bilang subsidi itu tak dinikmati oleh seluruh rakyat tapi malahan dinikmati oleh sebagian kecil rakyat yang status ekonomi-nya lebih tinggi dari rata-rata rakyat biasa. Maksudnmya, kelas menengah yang memiliki kemampuan menabung dan karenanya mampu membeli kendaraan bermotor. Mereka yang menikmati subsidi policy menekan harga BBM - sehingga lebih rendah dari harga BBM di LN. Kasarnya, sekali lagi: kok enak mereka ya! Karena itu, kelompok yang sebenarnya mampu membayar lebih tinggi dari harga semu BBM selama ini, seharusnya mau meng-ongkosi gaya hidup me-reka, dan karenanya uang subsidi itu bisa diperuntukkan bagi proyek mensejahterakan rakyat. Sebuah pendekatan yang rasional, meski melupakan dua hal. Pertama, rakyat kecil sangat tergantung pada jasa transportasi umum, karena mereka tak me-miliki kendaraan pribadi. Sementara itu, usaha jasa tranportasi, yang rentangan keuntungannya sangat tipis - karena tingginya harga onderdil, tingginya persaingan di antara mereka, dan seterusnya -: sangat rentan akan gejolak kenaikan harga BBM. Setidaknya tambahan dana untuk membeli BBM menyebabkan margin keuntungan semakin menipis, dan yang hanya bisa dinetralisasi dengan ikut menaikkan ongkos transportasi angkutan umum. Sehingga, kedua, begitu harga BBM naik maka ongkos transportasi akan ikut naik, dan harga-harga bahan kebutuhan pokok lainnya pun ikut-ikutan naik. Menyesuaikan diri dengan kenaikan ongkos tranportasi, yang dianggap sebagai komponen biaya pengadaan komoditi. Sekaligus biaya hidup rakyat pun akan bertambah tinggi - sehingga akan ada pos anggaran rutin RT yang terpaksa dipangkas selama penghasilan mereka tak bisa meningkat dan ditingkatkan. Efek bola salju yang mengge-gelundung, membesar dan menekan sangat berat di individu rakyat bawah. Bahkan, bukan hanya menekan lebih berat, tapi juga menenggelamkan mereka ke dalam kuburan - pontang-panting ngutang kiri-kanan. Hidup subsistensi gali lubang tutup lu-bang dengan utang dan terus berutang. Para buruh pabrik, tukang becak, kuli angkut, tukang parkir, pelayan toko, dan para karyawan rendahan yang sehari-harinya memutar otak mencari cara supaya bisa menyisihkan uang seribu atau dua ribu perak. Agar mereka bisa membeli oleh-oleh kerja bagi anak balita mereka. Agar bisa membeli CD baru. Agar bisa membeli segelas kopi atau sepotong tempe ekstra. Sebuah kecukupan minimal di masyarakat marjinal, yang dengan sebuah kebijakan menaikkan harga BBM segera direngutkan. Setidaknya, recehan-recehan kelebihan itu terpaksa disisihkan untuk menutup defisit ongkos transportasi, selama kebutuhan primer bisa dicukupi di tahapan asal kenyang tanpa peduli akan nasihat empat sehat lima sempurna. Dan karenanya mereka terpaksa hidup sebagai fakir yang senantiasa menahan diri setelah selama ini mereka hanya vegetarian terpaksa. * * * Rentetan pemiskinan subyektif konkrit itu yang tidak dihitung oleh pemerintah ketika mereka berketetapan menaikkan harga BBM. Dengan alasan harganya disulap rendah dengan subsidi. Coba kalau harga BBM itu normal dan subsidi bisa dialihkan ke bidang lain. Bahkan, alangkah baiknya bila selain untung karena menjual minyak mentah, mereka pun bisa memperoleh keuntungan dari impor dan penjualan BBM secara monopoli. Memang! Sebuah naluri bisnis yang bisa segera mencium bau kemungkinan usaha kapitalisasi neoliberalian yang menggiurkan! Mungkin karena perhitungan mereka hanya pada besaran miliar-triliun rupiah, dan bukan kebiasaan mengencangkan pinggang demi lima ribu perak di akhir pekan. Sehingga korban manusia pinggiran yang terbiasa dimarjinalkan itu bisa diabaikan sebagai data statistik dan bukan eksistensi ruh pada tubuh ciptaan Allah. Mungkin! Pertanyaan mendasarnya: Apakah pemerintah yang sah dan dilegitimasi oleh Pemilu yang transparan dan jujur - sehingga DPR tak memiliki pilihan lain selain menyatakan dukungan, sebagai manifetsasi representasi sokongan rakyat - itu cuma diberi mandat untuk mengelola anggaran agar tak defisit? Apakah rakyat memang mengukuhkan pemerintah, dengan satu tugas pokok - dengan bantuan DPR - : menghadirkan APBN yang tak defisit, yang tak dipenuhi pinjaman utang LN, dan karenanya mampu membiayai belanja rutin, belanja pembangunan, serta cicilan bunga dan pokok utang pinjamnan LN dengan mengeksploitasi SDM dan SDA Indonesia? Sebagai manifestasi kewiraswastaan di dunia, hingga NKRI itu akan senantiasa dipercaya mengutang, menangguhkan utang, dan seterusnya? Apakah pengelolaannya itu hanya harus tunduk pada pendekatan dan instink ekonomi semata, sehingga efisiensi dan efektivitas anggaran menjadi keharusan, dan mencari laba atau menekan angka kerugian absolut menjadi kewajiban utama dari pemerintah yang sah dan legitimated? Dan, karena orientasi mereka hanya pada anggaran, maka mereka berusaha menekan angka kerugian (baca: angka defisit) dengan mengalihkan subsidi yang dianggapnya tidak menyangkut hajat hidup orang banyak - hanya dengan asumsi "bila bisa beli mobil, ya harus bisa beli bensin" -, dengan melupakan ada rakyat yang tak mampu beli mobil tapi tergantung pada jasa transpotasi. Bahkan melupakan nasib mereka yang rentan pada perubahan ongkos ang-kutan, yang hanya naik 200 perak tapi menjadi 12.000 perak sebulan - cukup untuk makan tiga hari. Sebuah keputusan elit yang terbiasa hidup di awang-awang, dan karenanya tidak peka akan kehidupan rakyat yang sedang direndam banjir resesi ekonomi sampai di dagu - hingga sedikit langkah kesusu saja membuat badai gelombang yang membuat mereka gelagapan meneguk air kotor krisis ekonomi. Mungkin juga karena mayoritas dari para elit pengambil kebijakan itu adalah pengusaha yang na-luri bisnisnya terasah tajam. Karena itu mereka memenej negara dengan tuntunan instink (tak sadar) mencari laba, tidak peduli itu kini dari media APBN, asal demi kesejahteraan rakyat. Atau menurunkan angka defisit selama kesejahteraan rakyat masih terpenuhi dan sedang diusahakan untuk dipenuhi. Tapi apa APBN itu cuma neraca laba-rugi perusahaan komersial? Apa APBN tak memiliki kewajiban sosial memihak rakyat, demi fakta negara baru eksis ketika memiliki rakyat, di satu tempat, yang berketetapan memilih pemerintahan yang legitimated? Atau, bila negara dikelola dengan instink ekonomi murni, kenapa petani tak diberi hak untuk mandiri menentukan harga gabah yang menguntungkan? Kenapa, sementara RS dan PT diswastakan, diperlakukan sebagai badan usaha yang dikelola dengan semangat ekonomi neo-liberal. Kenapa buruh pabrik tidak berhak berdemo memuntut gaji yang lebih tinggi? Kenapa ya ...?*** (Penulis pengarang dan budayawan). [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Help save the life of a child. Support St. Jude Children's Research Hospital's 'Thanks & Giving.' http://us.click.yahoo.com/mGEjbB/5WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx 5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx 6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/ ** Mailing-List Indonesia Nasional Milis PPI-India www.ppi-india.uni.cc **