[list_indonesia] [ppiindia] Beban Subyektif BBM

  • From: "Ambon" <sea@xxxxxxxxxx>
  • To: <"Undisclosed-Recipient:;"@freelists.org>
  • Date: Tue, 22 Mar 2005 00:44:37 +0100

** Mailing-List Indonesia Nasional Milis PPI-India www.ppi-india.da.ru **

http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=104288

            Beban Subyektif BBM
            Oleh Beni Setia 


            Selasa, (22-03-'05)
            Apresiasi dan respon DPR-RI atas kebijaksanaan pemerintah Susilo 
Bambang Yudhoyono menaikkan harga BBM per 1 Maret 2005, sampai 16 Maret 2005, 
ma-sih belum jelas. Bila tidak bisa dikatakan lintang pukang dan semrawut, 
karena mereka baru mengerucutkan respon mereka pada dua opsi. 

            Pertama, menyerahkan masalah itu kepada alat kelengkapan Dewan 
(Komisi VII, Komisi XI, dan Panitia Anggaran). Kedua, langsung ke rapat 
paripurna untuk mengabil sikap menolak atau menerima kenaikan harga BBM. 
Celakanya, upaya untuk apa memilih opsi mendelegasikan wewenang ke alat 
kelengkapan Dewan agar diapresiasi secara lebih mendasar atau apa langsung 
dikerucutkan dalam rapat paripurna itu malahan menimbulkan kekisruhan. Tontonan 
performing art di TV, membuat kita termangu-mangu. Apakah mereka sedang membela 
rakyat atau sedang mempertontonkan satu pertunjukan yang mengesankan mereka 
sedang membela rakyat? Sebagai tontonan performing art, tujuan tak penting 
karena yang pokok adalah kejadian yang menghibur, mengggelikan atau 
menyebalkan. Memang. Ada kesan, ada kelompok yang ingin mempermasalahkan dan 
menuntaskan secepatnya, dan karenanya bisa agresif menyerang kebijakan 
pemerintahan SBY. Dan, ada kelompok yang mengulur-ngulur waktu, dan karenanya 
tidak memungkinkan
  adanya oposisi aktual atas kebijakan pemerintahan SBY. Maksudnya, meski 
agresif, kritik dan koreksi itu dilakukan ketika masalah sudah tidak panas 
lagi. Karenanya masyarakat (baca: rakyat) sudah tidak berminat lagi 
mempersoalkan kebijakan menaikkan harga BBM pemerintahan SBY, dan sekaligus 
komitmen pemerintahan SBY kepada rakyat di latar belakangnya. 

            Tapi, pada akhirnya, kenapa pemerintah SBY memutuskan menaikkan 
harga BBM per 1 Maret 2005 - setelah sempat ditangguhkan karena adanya bencana 
nasional tsunami di Aceh dan Sumut - ? Sekaligus, kenapa para mahasiswa, 
golongan masyarakat yang vokal, dan anggota DPR serentak memprotes dan bahkan 
menolak kebijakan kenaikan harga BBM itu? 

            * * *

            Alasaan utama dari kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM adalah 
adanya selisih antara harga BBM di LN dan DN. Di mana, faktor harga BBM lebih 
tinggi di LN ketimbang harga BBM di DN itu, dikarenakan pemerintah terbiasa 
menomboki selisih dari harga BBM di DN dibandingkan dengan harga BBM di LN. 
Mereka menyebut itu sebagai subsidi, yang per harinya bisa mencapai miliaran 
rupiah - dan per tahunnya bisa mencapai triliunan rupiah. Tapi kenapa 
pemerintah melakukan perhitungan yang bersifat ekonomis mencari untung? 

            Jawabannya teramat sederhana, pemerintah tidak sanggup mencukupi 
kebutuhan akan BBM di DN dengan produksi pengilangan minyak di DN. Karena itu 
mereka terpaksa mendatangkan BBM dari LN, dengan harga internasional. 
Celakanya, mereka membiayai impor BBM dengan devisa dari hasil mengekspor 
minyak mentah - yang merupakan bahan mentah untuk produksi pengilangan minyak. 
Pendek kata, kita ini menjual singkong mentah dan sebagian uangnya dipakai 
untuk membeli tepung tapioka yang dibutuhkan rakyat. Tak peduli masih ada sisa 
uang penjualan singkong, dan tak peduli kebutuhan akan tapioka itu dicukupi 
sebagian oleh produksi di DN. Yang dipikirkan, jual singkong, dan sebagian 
uangnya dipakai membeli tapioka yang dijual murah pada rakyat. Kasarnya, kok 
enak mereka ya! 

            Mereka hanya berpikir menjual minyak mentah dengan harga sekian, 
dan sepersekian dari hasil penjualan itu terpaksa dipakai untuk membeli BBM 
yang dijual lebih rendah dari harga wajar di LN. Ihwal harus membeli BBM dari 
LN tidak begitu jadi masalah tampaknya, tapi kebijaksanaan harus menjual BBM 
impor itu dengan harga tak wajar menjadi masalah. Kenapa? Karena sepersekian 
dari anggaran harus dikeluarkan untuk menutup selisih dari harga BBM di DN 
dibandingkan dengan harga BBM di LN - harga standar internasional. Kasarnya, 
sekali lagi: kok enak mereka ya! Enak di kelompok elit berduit yang mampu beli 
kendaraan dua, tiga atau empat buah. Bukankah mereka itu hanya minoritas mampu 
di antara rakyat yang tak mampu menabung, menyediakan dana pendidikan dan 
seterusnya? 

            Mereka bilang itu subsidi. Mereka bilang subsidi itu tak dinikmati 
oleh seluruh rakyat tapi malahan dinikmati oleh sebagian kecil rakyat yang 
status ekonomi-nya lebih tinggi dari rata-rata rakyat biasa. Maksudnmya, kelas 
menengah yang memiliki kemampuan menabung dan karenanya mampu membeli kendaraan 
bermotor. Mereka yang menikmati subsidi policy menekan harga BBM - sehingga 
lebih rendah dari harga BBM di LN. Kasarnya, sekali lagi: kok enak mereka ya! 

            Karena itu, kelompok yang sebenarnya mampu membayar lebih tinggi 
dari harga semu BBM selama ini, seharusnya mau meng-ongkosi gaya hidup me-reka, 
dan karenanya uang subsidi itu bisa diperuntukkan bagi proyek mensejahterakan 
rakyat. Sebuah pendekatan yang rasional, meski melupakan dua hal. Pertama, 
rakyat kecil sangat tergantung pada jasa transportasi umum, karena mereka tak 
me-miliki kendaraan pribadi. Sementara itu, usaha jasa tranportasi, yang 
rentangan keuntungannya sangat tipis - karena tingginya harga onderdil, 
tingginya persaingan di antara mereka, dan seterusnya -: sangat rentan akan 
gejolak kenaikan harga BBM. Setidaknya tambahan dana untuk membeli BBM 
menyebabkan margin keuntungan semakin menipis, dan yang hanya bisa 
dinetralisasi dengan ikut menaikkan ongkos transportasi angkutan umum. 

            Sehingga, kedua, begitu harga BBM naik maka ongkos transportasi 
akan ikut naik, dan harga-harga bahan kebutuhan pokok lainnya pun ikut-ikutan 
naik. Menyesuaikan diri dengan kenaikan ongkos tranportasi, yang dianggap 
sebagai komponen biaya pengadaan komoditi. Sekaligus biaya hidup rakyat pun 
akan bertambah tinggi - sehingga akan ada pos anggaran rutin RT yang terpaksa 
dipangkas selama penghasilan mereka tak bisa meningkat dan ditingkatkan. Efek 
bola salju yang mengge-gelundung, membesar dan menekan sangat berat di individu 
rakyat bawah. Bahkan, bukan hanya menekan lebih berat, tapi juga menenggelamkan 
mereka ke dalam kuburan - pontang-panting ngutang kiri-kanan. Hidup subsistensi 
gali lubang tutup lu-bang dengan utang dan terus berutang. 

            Para buruh pabrik, tukang becak, kuli angkut, tukang parkir, 
pelayan toko, dan para karyawan rendahan yang sehari-harinya memutar otak 
mencari cara supaya bisa menyisihkan uang seribu atau dua ribu perak. Agar 
mereka bisa membeli oleh-oleh kerja bagi anak balita mereka. Agar bisa membeli 
CD baru. Agar bisa membeli segelas kopi atau sepotong tempe ekstra. Sebuah 
kecukupan minimal di masyarakat marjinal, yang dengan sebuah kebijakan 
menaikkan harga BBM segera direngutkan. Setidaknya, recehan-recehan kelebihan 
itu terpaksa disisihkan untuk menutup defisit ongkos transportasi, selama 
kebutuhan primer bisa dicukupi di tahapan asal kenyang tanpa peduli akan 
nasihat empat sehat lima sempurna. Dan karenanya mereka terpaksa hidup sebagai 
fakir yang senantiasa menahan diri setelah selama ini mereka hanya vegetarian 
terpaksa. 

            * * *

            Rentetan pemiskinan subyektif konkrit itu yang tidak dihitung oleh 
pemerintah ketika mereka berketetapan menaikkan harga BBM. Dengan alasan 
harganya disulap rendah dengan subsidi. Coba kalau harga BBM itu normal dan 
subsidi bisa dialihkan ke bidang lain. Bahkan, alangkah baiknya bila selain 
untung karena menjual minyak mentah, mereka pun bisa memperoleh keuntungan dari 
impor dan penjualan BBM secara monopoli. Memang! Sebuah naluri bisnis yang bisa 
segera mencium bau kemungkinan usaha kapitalisasi neoliberalian yang 
menggiurkan! Mungkin karena perhitungan mereka hanya pada besaran 
miliar-triliun rupiah, dan bukan kebiasaan mengencangkan pinggang demi lima 
ribu perak di akhir pekan. Sehingga korban manusia pinggiran yang terbiasa 
dimarjinalkan itu bisa diabaikan sebagai data statistik dan bukan eksistensi 
ruh pada tubuh ciptaan Allah. 

            Mungkin! Pertanyaan mendasarnya: Apakah pemerintah yang sah dan 
dilegitimasi oleh Pemilu yang transparan dan jujur - sehingga DPR tak memiliki 
pilihan lain selain menyatakan dukungan, sebagai manifetsasi representasi 
sokongan rakyat - itu cuma diberi mandat untuk mengelola anggaran agar tak 
defisit? Apakah rakyat memang mengukuhkan pemerintah, dengan satu tugas pokok - 
dengan bantuan DPR - : menghadirkan APBN yang tak defisit, yang tak dipenuhi 
pinjaman utang LN, dan karenanya mampu membiayai belanja rutin, belanja 
pembangunan, serta cicilan bunga dan pokok utang pinjamnan LN dengan 
mengeksploitasi SDM dan SDA Indonesia? Sebagai manifestasi kewiraswastaan di 
dunia, hingga NKRI itu akan senantiasa dipercaya mengutang, menangguhkan utang, 
dan seterusnya? 

            Apakah pengelolaannya itu hanya harus tunduk pada pendekatan dan 
instink ekonomi semata, sehingga efisiensi dan efektivitas anggaran menjadi 
keharusan, dan mencari laba atau menekan angka kerugian absolut menjadi 
kewajiban utama dari pemerintah yang sah dan legitimated? Dan, karena orientasi 
mereka hanya pada anggaran, maka mereka berusaha menekan angka kerugian (baca: 
angka defisit) dengan mengalihkan subsidi yang dianggapnya tidak menyangkut 
hajat hidup orang banyak - hanya dengan asumsi "bila bisa beli mobil, ya harus 
bisa beli bensin" -, dengan melupakan ada rakyat yang tak mampu beli mobil tapi 
tergantung pada jasa transpotasi. Bahkan melupakan nasib mereka yang rentan 
pada perubahan ongkos ang-kutan, yang hanya naik 200 perak tapi menjadi 12.000 
perak sebulan - cukup untuk makan tiga hari. 

            Sebuah keputusan elit yang terbiasa hidup di awang-awang, dan 
karenanya tidak peka akan kehidupan rakyat yang sedang direndam banjir resesi 
ekonomi sampai di dagu - hingga sedikit langkah kesusu saja membuat badai 
gelombang yang membuat mereka gelagapan meneguk air kotor krisis ekonomi. 
Mungkin juga karena mayoritas dari para elit pengambil kebijakan itu adalah 
pengusaha yang na-luri bisnisnya terasah tajam. Karena itu mereka memenej 
negara dengan tuntunan instink (tak sadar) mencari laba, tidak peduli itu kini 
dari media APBN, asal demi kesejahteraan rakyat. Atau menurunkan angka defisit 
selama kesejahteraan rakyat masih terpenuhi dan sedang diusahakan untuk 
dipenuhi. 

            Tapi apa APBN itu cuma neraca laba-rugi perusahaan komersial? Apa 
APBN tak memiliki kewajiban sosial memihak rakyat, demi fakta negara baru eksis 
ketika memiliki rakyat, di satu tempat, yang berketetapan memilih pemerintahan 
yang legitimated? Atau, bila negara dikelola dengan instink ekonomi murni, 
kenapa petani tak diberi hak untuk mandiri menentukan harga gabah yang 
menguntungkan? Kenapa, sementara RS dan PT diswastakan, diperlakukan sebagai 
badan usaha yang dikelola dengan semangat ekonomi neo-liberal. Kenapa buruh 
pabrik tidak berhak berdemo memuntut gaji yang lebih tinggi? Kenapa ya ...?*** 

            (Penulis pengarang dan budayawan).  
     
     


[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Help save the life of a child.  Support St. Jude Children's Research Hospital's
'Thanks & Giving.'
http://us.click.yahoo.com/mGEjbB/5WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx
5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx
6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



** Mailing-List Indonesia Nasional Milis PPI-India www.ppi-india.uni.cc **

Other related posts:

  • » [list_indonesia] [ppiindia] Beban Subyektif BBM