** Mailing-List Indonesia Nasional Milis PPI-India www.ppi-india.da.ru ** http://www.kompas.com/kompas-cetak/0503/05/opini/1601019.htm Sabtu, 05 Maret 2005 Balada Pemimpin yang Kalah Oleh Herry Tjahjono TENAGA kerja Indonesia ilegal, saudara-saudari kita sebangsa yang "kelayapan" di Malaysia, lihat "Balada Tamu Kelayapan (dari) Indonesia" (Kompas, 15/2), yang hari-hari ini memasuki tahap dipulangkan (baca: diusir), ada yang sebagian nekat bertahan kucing-kucingan karena ngotot menuntut gajinya- seyogianya mengentak kesadaran moral kita tentang nasib bangsa secara keseluruhan. Jika kita masih yakin dengan slogan "sebangsa dan setanah air"- betapa saudara kita di Malaysia itu cermin telak, bangsa Indonesia telah kehilangan the dignity of nation. Martabat kita sebagai bangsa telah tergerus. Nasib dan fragmen kehidupan saudara kita di Malaysia, sungguh refleksi bulat dari dinamika psikologi yang disebut sebagai "psikologi orang-orang kalah". Tetapi, nasib saudara kita itu hanya legitimasi psikologis tentang bangsa yang kalah secara keseluruhan. KITA adalah orang-orang kalah "luar- dalam". Kasus TKI ilegal adalah cermin bahwa kita manusia kalah "di luar". Kita juga orang-orang kalah di dalam (negeri) sendiri. Jauh sebelum kasus TKI ilegal, di dalam negeri sendiri rakyat tak lebih dari "orang-orang kalah". Selama ini secara an sich rakyat adalah orang-orang yang terpinggirkan, teraniaya, dan korban, baik oleh kemiskinan atau berbagai ketidakadilan kehidupan lain. Bahkan secara harfiah kita adalah orang-orang yang "diusir" di negeri sendiri (ingat berbagai adegan kekerasan, penggusuran, dan penghancuran rumah-rumah yang "dianggap liar" di televisi). Kita, diusir di luar dan di dalam. Kita, kalah di luar dan di dalam ("Psikologi Orang-orang Kalah", Kompas, 14/4/2004). Kekalahan demi kekalahan, dengan berbagai versi dan skalanya, yang berlangsung secara kontinu, secara psikologi kolektif telah mengikis berbagai elemen kepribadian bangsa, seperti pride (rasa bangga atau harga diri bangsa) serta identity (identitas sebagai bangsa). Keduanya menuju satu muara, yaitu tergerusnya martabat bangsa. Dan yang paling mengkhawatirkan dari dinamika psikologi semacam ini adalah patologi kejiwaan yang disebut defeatism. Patologi defeatism ini hanya akan membuat kita kelak (atau sudah?) menjadi "bangsa pecundang". Defeatism, mengadaptasi artikel berjudul Say "No" to Defeatism (Meriam Webster Dictionary) serta berbagai wacana psikologi, berarti sikap menerima dan (sadar atau tidak) berpengharapan untuk selalu menjadi orang kalah atau pecundang. Ada dua ciri pokok defeatism; (1) seseorang yang menyerah sebelum melakukan sesuatu, bekerja, berjuang, berkompetisi, dan seterusnya, (2) defeatism tidak berhubungan dengan kemampuan (ability), tetapi terkait sikap (attitude). Kedua ciri ini membuat paradigma (kehidupan) bangsa kita terkotak-kotak, terkooptasi, terdikotomi hanya pada dua kutub kehidupan, "menang atau kalah". Bukankah dinamika poleksosbud kita sehari-hari hanya dipenuhi proses dan out put kehidupan yang hanya tertuju pada soal "menang dan kalah"? Paradigma kehidupan dikotomis ini, secara psikologis membuat kita tak pernah bisa, bersedia, dan mampu menguak serta mengekspresikan aneka kemampuan manusiawi yang terbaik, tak tersedia kapasitas untuk aktualisasi diri, mengalami peak experiences akibat optimalisasi kemampuan. Defeatism tampaknya telah menghantui kita hampir dalam setiap kegiatan atau interaksi kehidupan. Yang ada dalam pikiran dan sikap kita hanya "kita akan menang atau akan kalah?" (I am going to win or to loose). Celakanya, defeatism itu menggiring "kita" (rakyat) untuk berkata "I am going to loose", bahkan sebelum berjuang sekalipun. Padahal, aktualisasi diri dan segenap pengalaman puncaknya, sejalan dengan prinsip Maslow, memerlukan manusia- manusia yang mau dan berani berkata, "I am going to have the best shot this turn", dalam setiap pekerjaan atau melakukan sesuatu. Menang atau kalah, itu bukan yang esensial. Menang dan kalah hanya sensasi(onal). Yang esensial adalah bagaimana kita memberi atau melakukan yang terbaik dari segenap bakat, kapasitas manusiawi kita dalam setiap kegiatan dan interaksi kehidupan. Menang atau kalah hanya konsekuensi logis dari upaya itu. Mempertimbangkan semua uraian itu kini bisa kita bayangkan betapa runyam dan tragisnya defeatism yang melanda kita sebagai bangsa. Itu pula sebabnya, setelah melewati enam presiden, defeatism menjebak dan menggiring kita semua menuju sebuah paradoksal kehidupan bangsa. Katanya bangsa yang besar, tetapi kerdil dengan berbagai konflik kepentingan diri, kelompok, suku, ketidakadilan, chauvinis tak kenal syukur dan terima kasih, dan seterusnya. Katanya bangsa yang kaya raya gemah ripah loh jinawi, tetapi kere-melarat, dengan aneka penggusuran terhadap rakyat sendiri, sampai ada yang cari makan di luar dan itu pun diusir-usir. Semua itu cuma soal kalah dan menang, karena ada pihak yang hanya mencari kemenangan tanpa peduli caranya. Semuanya menjauh dari sinergi bangsa, baik secara struktural-vertikal maupun massal-horizontal. Tanggal 17 Agustus 1945, sebagai puncak momentum historis aktualisasi diri dan sinergi bangsa, kini tinggal sebagai "slogan", yang kehilangan esensi dan maknanya. Karena setelah itu, martabat bangsa terkoyak-koyak dan defeatism melanda membabi-buta. Siapa yang harus disalahkan? Tegas: para pemimpin atau penguasa selama ini. Lalu tentu ada yang berteriak; sedikit-sedikit yang salah pemimpin. Tetapi, rakyat kecil dan orang bodoh akan menjawab soal martabat bangsa dan penyakit defeatism semacam ini, jelas pemimpin yang bertanggung-jawab. Jika tidak, buat apa ada pemimpin. Ada pepatah lama yang perlu didengar pemimpin atau penguasa. Bunyinya, "tidak ada pasukan yang bodoh, yang ada hanya jenderal yang bodoh". Itu rumus pertempuran. Demikian pula perjuangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Jika rakyat kehilangan martabat diri dan terjangkit defeatism, menjadi manusia pecundang, bukan mereka yang salah tetapi pemimpin. TULISAN ini hanya refleksi bagi dua golongan warga Indonesia. Pertama, bagi calon pemimpin. Merujuk Victor Fankl, hendaklah perjuangan menuju kursi kekuasaan bukan demi kursi-kursi itu sendiri. Kursi-kursi hanya sarana, alat, atau jalan untuk mencapai nilai-nilai puncak sebagai manusia (yang kebetulan dipilih rakyat jadi pemimpin). Dan nilai puncak kemanusiawian hanya tercermin lewat kesejahteraan, kemaslahatan, ketenteraman, kenyamanan, dan seterusnya dari semua manusia yang dipimpin (rakyat). Kedua, bagi mereka yang kini sudah jadi pemimpin, hendaklah jangan menjadi pemimpin reaktif-defensif yang suka melakukan rasionalisasi pembenaran diri jika kekalahan demi kekalahan melanda, beretorika-ria, eufimisme yang membingungkan rakyat kecil yang hanya tahu perut lapar dan basah-kuyup oleh hujan karena digusur, marah-tersinggung jika dikritik atau distimulasi baik oleh rakyat maupun oleh "tetangga", atau hanya mampu melakukan kebijakan-kebijakan normatif, itu-itu juga, repetitif, tanpa te- robosan cerdas-kreatif-proaktif yang sepenuhnya memihak rakyat kecil. Krisis martabat bangsa dan defeatism sebenarnya "kekalahan" kepemimpinan dari para pemimpin. Ini juga sebuah "balada" dari para pemimpin yang kalah. Maka bangunlah, bangkitlah hai para pemimpin, waktunya untuk lantang berteriak, No to Defeatism! Herry Tjahjono Corporate HR Director; Corporate Culture Therapist, Jakarta Search : Berita Lainnya : ·TAJUK RENCANA ·REDAKSI YTH ·Balada Pemimpin yang Kalah ·Kocaknya Bangsa Kita ·Pers Profesional Taat Hukum dan Etika ·POJOK ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Give the gift of life to a sick child. Support St. Jude Children's Research Hospital's 'Thanks & Giving.' http://us.click.yahoo.com/lGEjbB/6WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx 5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx 6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/ ** Mailing-List Indonesia Nasional Milis PPI-India www.ppi-india.uni.cc **