[list_indonesia] [ppiindia] Balada Pemimpin yang Kalah

  • From: "Ambon" <sea@xxxxxxxxxx>
  • To: <"Undisclosed-Recipient:;"@freelists.org>
  • Date: Fri, 4 Mar 2005 22:45:07 +0100

** Mailing-List Indonesia Nasional Milis PPI-India www.ppi-india.da.ru **

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0503/05/opini/1601019.htm
Sabtu, 05 Maret 2005

Balada Pemimpin yang Kalah
Oleh Herry Tjahjono

TENAGA kerja Indonesia ilegal, saudara-saudari kita sebangsa yang 
"kelayapan" di Malaysia, lihat "Balada Tamu Kelayapan (dari) Indonesia" 
(Kompas, 15/2), yang hari-hari ini memasuki tahap dipulangkan (baca: 
diusir), ada yang sebagian nekat bertahan kucing-kucingan karena ngotot 
menuntut gajinya- seyogianya mengentak kesadaran moral kita tentang nasib 
bangsa secara keseluruhan. Jika kita masih yakin dengan slogan "sebangsa dan 
setanah air"- betapa saudara kita di Malaysia itu cermin telak, bangsa 
Indonesia telah kehilangan the dignity of nation. Martabat kita sebagai 
bangsa telah tergerus.

Nasib dan fragmen kehidupan saudara kita di Malaysia, sungguh refleksi bulat 
dari dinamika psikologi yang disebut sebagai "psikologi orang-orang kalah". 
Tetapi, nasib saudara kita itu hanya legitimasi psikologis tentang bangsa 
yang kalah secara keseluruhan.

KITA adalah orang-orang kalah "luar- dalam". Kasus TKI ilegal adalah cermin 
bahwa kita manusia kalah "di luar". Kita juga orang-orang kalah di dalam 
(negeri) sendiri. Jauh sebelum kasus TKI ilegal, di dalam negeri sendiri 
rakyat tak lebih dari "orang-orang kalah". Selama ini secara an sich rakyat 
adalah orang-orang yang terpinggirkan, teraniaya, dan korban, baik oleh 
kemiskinan atau berbagai ketidakadilan kehidupan lain. Bahkan secara harfiah 
kita adalah orang-orang yang "diusir" di negeri sendiri (ingat berbagai 
adegan kekerasan, penggusuran, dan penghancuran rumah-rumah yang "dianggap 
liar" di televisi). Kita, diusir di luar dan di dalam. Kita, kalah di luar 
dan di dalam ("Psikologi Orang-orang Kalah", Kompas, 14/4/2004).

Kekalahan demi kekalahan, dengan berbagai versi dan skalanya, yang 
berlangsung secara kontinu, secara psikologi kolektif telah mengikis 
berbagai elemen kepribadian bangsa, seperti pride (rasa bangga atau harga 
diri bangsa) serta identity (identitas sebagai bangsa). Keduanya menuju satu 
muara, yaitu tergerusnya martabat bangsa. Dan yang paling mengkhawatirkan 
dari dinamika psikologi semacam ini adalah patologi kejiwaan yang disebut 
defeatism. Patologi defeatism ini hanya akan membuat kita kelak (atau 
sudah?) menjadi "bangsa pecundang".

Defeatism, mengadaptasi artikel berjudul Say "No" to Defeatism (Meriam 
Webster Dictionary) serta berbagai wacana psikologi, berarti sikap menerima 
dan (sadar atau tidak) berpengharapan untuk selalu menjadi orang kalah atau 
pecundang. Ada dua ciri pokok defeatism; (1) seseorang yang menyerah sebelum 
melakukan sesuatu, bekerja, berjuang, berkompetisi, dan seterusnya, (2) 
defeatism tidak berhubungan dengan kemampuan (ability), tetapi terkait sikap 
(attitude).

Kedua ciri ini membuat paradigma (kehidupan) bangsa kita terkotak-kotak, 
terkooptasi, terdikotomi hanya pada dua kutub kehidupan, "menang atau 
kalah". Bukankah dinamika poleksosbud kita sehari-hari hanya dipenuhi proses 
dan out put kehidupan yang hanya tertuju pada soal "menang dan kalah"?

Paradigma kehidupan dikotomis ini, secara psikologis membuat kita tak pernah 
bisa, bersedia, dan mampu menguak serta mengekspresikan aneka kemampuan 
manusiawi yang terbaik, tak tersedia kapasitas untuk aktualisasi diri, 
mengalami peak experiences akibat optimalisasi kemampuan. Defeatism 
tampaknya telah menghantui kita hampir dalam setiap kegiatan atau interaksi 
kehidupan. Yang ada dalam pikiran dan sikap kita hanya "kita akan menang 
atau akan kalah?" (I am going to win or to loose). Celakanya, defeatism itu 
menggiring "kita" (rakyat) untuk berkata "I am going to loose", bahkan 
sebelum berjuang sekalipun.

Padahal, aktualisasi diri dan segenap pengalaman puncaknya, sejalan dengan 
prinsip Maslow, memerlukan manusia- manusia yang mau dan berani berkata, "I 
am going to have the best shot this turn", dalam setiap pekerjaan atau 
melakukan sesuatu.

Menang atau kalah, itu bukan yang esensial. Menang dan kalah hanya 
sensasi(onal). Yang esensial adalah bagaimana kita memberi atau melakukan 
yang terbaik dari segenap bakat, kapasitas manusiawi kita dalam setiap 
kegiatan dan interaksi kehidupan. Menang atau kalah hanya konsekuensi logis 
dari upaya itu.

Mempertimbangkan semua uraian itu kini bisa kita bayangkan betapa runyam dan 
tragisnya defeatism yang melanda kita sebagai bangsa. Itu pula sebabnya, 
setelah melewati enam presiden, defeatism menjebak dan menggiring kita semua 
menuju sebuah paradoksal kehidupan bangsa. Katanya bangsa yang besar, tetapi 
kerdil dengan berbagai konflik kepentingan diri, kelompok, suku, 
ketidakadilan, chauvinis tak kenal syukur dan terima kasih, dan seterusnya. 
Katanya bangsa yang kaya raya gemah ripah loh jinawi, tetapi kere-melarat, 
dengan aneka penggusuran terhadap rakyat sendiri, sampai ada yang cari makan 
di luar dan itu pun diusir-usir. Semua itu cuma soal kalah dan menang, 
karena ada pihak yang hanya mencari kemenangan tanpa peduli caranya. 
Semuanya menjauh dari sinergi bangsa, baik secara struktural-vertikal maupun 
massal-horizontal.

Tanggal 17 Agustus 1945, sebagai puncak momentum historis aktualisasi diri 
dan sinergi bangsa, kini tinggal sebagai "slogan", yang kehilangan esensi 
dan maknanya. Karena setelah itu, martabat bangsa terkoyak-koyak dan 
defeatism melanda membabi-buta. Siapa yang harus disalahkan? Tegas: para 
pemimpin atau penguasa selama ini. Lalu tentu ada yang berteriak; 
sedikit-sedikit yang salah pemimpin. Tetapi, rakyat kecil dan orang bodoh 
akan menjawab soal martabat bangsa dan penyakit defeatism semacam ini, jelas 
pemimpin yang bertanggung-jawab. Jika tidak, buat apa ada pemimpin. Ada 
pepatah lama yang perlu didengar pemimpin atau penguasa. Bunyinya, "tidak 
ada pasukan yang bodoh, yang ada hanya jenderal yang bodoh". Itu rumus 
pertempuran. Demikian pula perjuangan dalam kehidupan berbangsa dan 
bernegara. Jika rakyat kehilangan martabat diri dan terjangkit defeatism, 
menjadi manusia pecundang, bukan mereka yang salah tetapi pemimpin.

TULISAN ini hanya refleksi bagi dua golongan warga Indonesia. Pertama, bagi 
calon pemimpin. Merujuk Victor Fankl, hendaklah perjuangan menuju kursi 
kekuasaan bukan demi kursi-kursi itu sendiri. Kursi-kursi hanya sarana, 
alat, atau jalan untuk mencapai nilai-nilai puncak sebagai manusia (yang 
kebetulan dipilih rakyat jadi pemimpin). Dan nilai puncak kemanusiawian 
hanya tercermin lewat kesejahteraan, kemaslahatan, ketenteraman, kenyamanan, 
dan seterusnya dari semua manusia yang dipimpin (rakyat).

Kedua, bagi mereka yang kini sudah jadi pemimpin, hendaklah jangan menjadi 
pemimpin reaktif-defensif yang suka melakukan rasionalisasi pembenaran diri 
jika kekalahan demi kekalahan melanda, beretorika-ria, eufimisme yang 
membingungkan rakyat kecil yang hanya tahu perut lapar dan basah-kuyup oleh 
hujan karena digusur, marah-tersinggung jika dikritik atau distimulasi baik 
oleh rakyat maupun oleh "tetangga", atau hanya mampu melakukan 
kebijakan-kebijakan normatif, itu-itu juga, repetitif, tanpa te- robosan 
cerdas-kreatif-proaktif yang sepenuhnya memihak rakyat kecil.

Krisis martabat bangsa dan defeatism sebenarnya "kekalahan" kepemimpinan 
dari para pemimpin. Ini juga sebuah "balada" dari para pemimpin yang kalah. 
Maka bangunlah, bangkitlah hai para pemimpin, waktunya untuk lantang 
berteriak, No to Defeatism!
Herry Tjahjono Corporate HR Director; Corporate Culture Therapist, Jakarta
Search :







Berita Lainnya :
·TAJUK RENCANA
·REDAKSI YTH
·Balada Pemimpin yang Kalah
·Kocaknya Bangsa Kita
·Pers Profesional Taat Hukum dan Etika
·POJOK 



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Give the gift of life to a sick child. 
Support St. Jude Children's Research Hospital's 'Thanks & Giving.'
http://us.click.yahoo.com/lGEjbB/6WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx
5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx
6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



** Mailing-List Indonesia Nasional Milis PPI-India www.ppi-india.uni.cc **

Other related posts:

  • » [list_indonesia] [ppiindia] Balada Pemimpin yang Kalah