Sumber: Detik.com Bagaimana ceritanya hingga menjadi da'i di AS? Ceritanya cukup panjang. Saya meninggalkan Indonesia sudah cukup lama. Dari tahun 1987. Tahun itu saya selesai dari pesantren lalu mendapat beasiswa ke Pakistan, tepatnya di International Islamic University. Tahun 1994 saya selesai program S2 di universitas tersebut. Kemudian mendapat tawaran bekerja si sebuah lembaga Islam di Jeddah sampai dengan 1997. Tahun 1997 kontrak kerja saya selesai, lalu diminta oleh Pak Nugroho Wisnumurti, Duta Besar Indonesia untuk PBB, untuk membina masyarakat Muslim di New York. Karena saya concern dengan masalah ummat, sejak itu saya juga melibatkan diri pada berbagai organisasi lintas bangsa dan lintas ras di Amerika. Pada tahun 1998 saya terlibat dalam Muslim Foundation of America. Lembaga ini setiap tahunnya mengorganisasikan Muslim Day Parade, yakni pawai internasional Muslim. Diikuti oleh sekitar 70 ribu warga Muslim di New York. Tahun 1999 saya terpilih sebagai ketua penyelenggaranya. Di tahun yang sama saya ikut mendirikan Imam Council, sebuah lembaga kepemimpinan Muslim di kota itu. Dalam pandangan kita di Amerika, Imam itu adalah leadership dalam arti luas. Jadi tidak sekedar berarti orang yang memimpin shalat dalam masjid. Orang yang memiliki kepemimpinan di bidangnya, itupun bisa disebut imam. Seorang lawyer dan bisnisman juga ktia libatkan dalam organisasi ini. Jadi kalau bisa kita istilahkan adalah leadership council, yang tidak selalu ada afiliasi dengan shalat. Jadi imam berati pemimpin di dalam dan di luar masjid ya? Iya, imam tidak harus dipersepsikan secara sempit, seperti halnya tidak mempersepsikan masjid secara sempit, sebagai sebuah bangunan tertentu yang mempunyai kubah misalnya, tetapi masjid harus terjadi di mana-mana, termasuk di parlemen. Kalau politisi sadar akan tugas dan amanah dari Allah maka akan menjadikan parlemen sebagai masjid. Rasulullah pernah mengatakan, juila fil-ardha lil-masajidan (bahwa bumi ini secara keseluruhan telah dijadikan sebagai masjid-masjid, tempat pengabdian di mana saja). Jadi jangan sampai kita membawa nama Islam ke parlemen, tetapi parlemen itu tidak kita anggap sebagai tempat pengabdian kita kepada Allah. Dari segi usia Anda msih muda, bagaimana rasanya mengemban amanah kepemimpinan di sebuah negeri yang multiras? Indonesia ini kan merupakan negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia. Ada motivasi moral untuk menunjukkan, bahwa kita juga dapat mengambil alih peranan di kalangan dunia Islam. Yang kedua, masih tertanam di kalangan orang Amerika bahwa Islam identik dengan Arab atau Timur Tengah. Persepsi seperti ini harus kita ubah, tidak saja melalui ceramah, tetapi juga melalui tindakan nyata. Alhamdulillah hal ini menimbulkan dampak yang positif, karena mereka melihat kita bisa menjembatani berbagai keragaman yang ada di komunitas kita. Di AS ada tiga kelompok minoritas Muslim, yakni Asia Selatan (India-Pakistan-Bangladesh), Arab (Timur Tengah) dan Afro-Amerika. Sekarang ini kalangan Afro-American ada sekitar 3-4 juta orang. Dari ketiga kelompok itu ada semacam persaingan sehat, berlomba-lomba dalam kebaikan. Masyarakat Asia Selatan bergerak di sektor bisnis, sehingga di New York, di hampir setiap distrik ada saja toko halal meat, yakni daging halal yang ternaknya dipotong oleh orang Islam. Jadi di New York kita tidak kesulitan untuk mendapatkan daging halal, karena saudara-saudara kita dari Asia Selatan sangat bersemangat untuk membangun bisnis. Ini satu hal yang oleh orang-orang tertentu dianggap sebagai ancaman, karena banyak orang Islam yang mengambil alih ekonomi menengah ke bawah. Masyarakat keturunan Arab bergerak di sektor pendidikan. Mereka mendirikan sekolah dan menerbitkan majalah. Muslim Afro-Amerika bergerak di sektor politik dan sosial. Jadi ada persaingan sehat. Kita orang Melayu, karena belum menonjol di satu sektor, maka kita bisa masuk di mana-mana. Hal ini menjadi positif, karena kita bisa menjembatani. Kegiatan parade Muslim inisiatifnya dimulai orang-orang Muslim dari Asia Selatan, karena itu orang-orang etnis Arab jarang ikut, karena menganggap kegiatan itu khas Muslim dari Asia Selatan. Alhamdulillah sejak saya menjadi ketua kegiatan parade Islam tahun 1999, karena kebetulan saya bisa berbahasa Arab dan bisa melakukan pendekatan dengan orang-orang Arab, sejak itu masyarakat Muslim dari Timur Tengah juga ikut terlibat. Kegiatannya adalah menampilkan berbagai kebudayaan Islam. Kami memulainya dengan melakukan shalat Dhuhur berjama'ah disebuah jalan yang cukup besar di kawasan Manhattan. Setelah itu kami berjalan kaki sekitar 20 blok. Di tempat terakhir sudah ada panggung dang taman di mana bazaar makanan dari berbagai negara Muslim. Masyarakat non-Muslim kemudian dipersilakan untuk menikmati makanan-makanan itu sambil menikmati penampilan-penampilan kebudayaan Islam dari berbagai negara. Berapa banyak kalangan non-Muslim yang hadir pada acara itu? Di tahun 1999 ada sekitar 250 ribu yang hadir. Di tahun ini kita menargetkan ada sekitar 50-60 ribu orang yang akan datang. Tahun ini merupakan event yang mempunyai makna tersendiri karena sejak tragedi 11 September ada ummat Islam yang turun semangatnya. Dengan event tersebut kita ingin membangkitkan lagi semangat ummat Islam di AS. Kesulitan dan tantangan apa yang Anda alami di AS, sebuah negara biangnya sekuler? AS dikenal sebagai land of challenges and opportunities, negeri yang penuh tantangan dan peluang. Jadi dua-duanya ada. Tantangannya, sebagai pusat sekulerisma dunia, di mana berbicara masalah agama pada tataran sosial adalah hal yang tabu, sehingga dengan konsep seperti itu kita agak susah bergerak. Tapi AS juga memiliki konstitusi yang memberikan kebebasan untuk beragama, mereka mempropagandakan human rights dan freedom, sehingga bisa kita menfaatkan membangun sebuah kerjasama yang baik di antara sesama Muslim di AS. Bagaimana pendidikan anak-anak Islam Indonesia di AS setelah tragedi 11 September? Jawaban saya ini tidak khusus yang berkaitan dengan tragedi itu. Hal yang krusial di AS, khususnya di New York adalah pendidikan anak. Dalam beberapa ceramah saya katakan, kita sedang mengalami generation gap (kesenjangan generasi). Orang Indonesia generasi awal yang datang ke Amerika ini Islamnya masih cukup baik, tetapi karena kelalaian orangtua dalam memberikan pendidikan keislaman kepada anak-anaknya sehinga mereka sudah tidak menyadari nilai-nilai keislamannya lagi. Contohnya, kalau kita telpon ke rumah mereka, ketika kita ucapkan, "Assalamu'alaikum," mereka jawab, "Yes", bukan "Wa'alaikumsalam". Setelah itu saya perhatikan, ternyata telah terbangun persepsi pada mereka bahwa Islam tidak berbeda dengan agama-agama lain yang mereka kenal, begitu pula dalam penyikapannya, kalau dibutuhkan maka dipakai, tetapi kalau tidak dibutuhkan maka diabaikan. Karena itu Imam Council telah menetapkan, yang kita bangun sekarang bukan masjid lagi tapi sekolah. Di New York kita telah memiliki sekitar 150 masjid, sedangkan sekolah Islam baru tujuh. Padahal anak-anak sudah semakin banyak, sehingga harus mengantri untuk masuk sekolah. Anak saya misalnya, untuk masuk sekolah Islam harus tiga tahun menunggunya. Ini karena keterbatasan ruangan. Dalam program terpadu jangka pendek ini adalah membangun sekolah. Dananya dari kami sendiri, khususnya dari orantuanya murid. Alhamdulillah bisa survive. Tujuan kita mendirikan sekolah Islam ini membentuk lingkungan masyarakat yang Islami, belum pada mutunya. Kalau dari segi mutu, memang sekolah umum di sana masih lebih baik mutunya. Dengan pertimbangan ini para orangtua murid rela memasukkan anaknya ke sekolah Islam, meski dia tahu mutunya lebih rendah, tapi demi menjaga lingkungan yang baik untuk anak-anaknya. Sebab lingkungan di sana sudah demikian rusak. Bahkan sebenarnya tidak di sana saja, di Jakarta misalnya, lingkungan masyarakatnya juga sudah tidak baik. Kejadian 11 September ini sebenarnya merupakan ujian, sehingga akan tersaring mana yang benar-benar komitmen dengan Islam dan mana yang cuma setengah-setengah. Mereka yang komit dengan Islam justru semakin kuat keislamannya setelah kejadian 11 September itu. Setelah kejadian itu nampak lebih jelas, mana yang musuh dan mana yang kawan. Perjuangan kita sekarang, selain mengarah keluar, kepada non-Muslim, untuk memberikan klarifikasi terhadap berbagai persepsi keliru tentang Islam, juga mengarah ke dalam, kepada ummat Islam sendiri, untuk membangun semangat keislaman yang sempat turun. Untuk itu kita melakukan program open house. Untuk non-Muslim pintu masjid kita buka, kita adakan makan malam dan kita adakan diskusi informal. Kita mulai dengan sekedar sapaan, apa kabar, lalu jelaskan tentang apa itu Islam. Menunjukkan keislaman kita itu tidak mesti dengan kata-kata, tetapi juga dengan memberikan senyum dan perilaku yang baik. Bagaimana hasil dari pendekatan seperti itu? Cukup baik. Misalnya saja, dampak yang kami rasakan saat membangun masjid al-Hikmah. Waktu itu kami hendak membangun kubah, tetapi terganjal perturan di AS, bahwa untuk membangun suatu gedung tidak boleh ada keunikan tertentu kecuali atas izin tetanggaa. Alhamdulillah, setelah kami adakan open house, justru ada tawaran-tawaran bantuan dari tetangga, "Apa yang bisa kami lakukan untuk Anda?" Jadi ada semacam sikap simpati dari kalangan mereka. Upaya media yang menyudutkan ummat Islam memang terasa ya? Sangat terasa. Contoh setelah kejadian 11 September, ketika info ada 4000 orang Yahudi yang absen kerja pada kejadian itu, segera saja tiga saluran TV memberitakan tentang orang-orang Yahudi yang kehilangan anggota keluarganya karena kejadian itu. Kita dapat info setelah tragedi 11 September banyak orang yang masuk Islam. Apa betul? Betul sekali. Ada informasi, ada empat kali lebih besar orang Amerika yang masuk Islam ketimbang sebelumnya. Di setiap shalat Jumat ada saja orang yang masuk Islam di masjid kita. Dari kalangan mana saja? Dari berbagai kalangan. Dari kalangan Spanish, Afro-American, dan juga dari kalangan kulit putih. Anda sendiri pernah juga menangani para mualaf itu? Ada beberapa. Selain itu kegiatan-kegiatan umum untuk mengetahui Islam semakin menjamur. Misalnya? Salah satunya misalnya executive development program, yang dilakukan oleh hampir semua bidang di kotamadya. Baru-baru ini misalnya Police Department. Saya berenam dengan Imam Izekil Pasha dan beberpa orang lainnya memberikan ceramah dan berdialog. Di depan para polisi? Iya. Yang hadir adalah tingkat perwira ke atas. Istilahnya commanding officer. Kira-kira seperti kapolres. Tujuannya untuk memperkenalkan Islam. Karena kita berharap mereka menjadi penyambung lidah kepada polisi, sehingga ketika polisi berinteraksi dengan orang Islam, mereka sudah tahu Islam itu apa. Karena mereka perwira yang terdidik, mereka terbuka. Saya diberi tugas untuk menjelaskan masalah yang sensitif, yakni tentang jihad. Setelah saya jelaskan, diujung-ujungnya mereka bergurau, "Kalau begitu kami mujahid". Saya katakan, "Ya, dalam persepsi Anda itu Anda sudah mujahid. Kalau Anda memerangi kejahatan, Anda memerangi berbagai hal yang buruk untuk kebaikan ummat manusia". Anda nggak bilang, kalau jihadnya mau benar harus bersyahadat dulu? Hahaha.. Mudah-mudahan itu berproses. Bagaimana Anda mengatur waktu antara tugas di kantor PBB dengan tugas da'wah di masyarakat? Kehadiran saya di New York adalah untuk membina masyarakat Muslim Indonesia. Formalnya saya memang di kantor PBB, tapi karena latar belakang pendidikan saya, pimpinan memberi peluang yang cukup besar bagi saya untuk tugas di luar. Malah itu dianggap perwakilan, karena kami berupaya memperkenalkan Indonesia kepada dunia sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia. Kita belum lihat peranannya di dunia sebagai negara besar. Jabatan formal Anda di kantor Perwakilan Indonesia di PBB sebagai apa? Mulanya sebagai humas, dan kemudian di bidang politik. Nampaknya Anda menikmati sekali berda'wah di sana ya? Dari sudut pandang sebagai aktivis da'wah ada tantangan dan ada peluang, keduanya cukup imbang. Islam memberi peluang kepada kita untuk memilih metode dan pendekatan. Prinsip tetap, tapi metodanya perlu melihat di lapangan. Ini yang disebut fiqh da'wah kan. Di masyarakat AS pendekatan ilmiah dan rasional sangat tepat untuk mereka, karena di satu sisi mereka sangat lapar secara spiritual, tetapi di sisi lain mereka tidak mau nilai intelektualitas atau akalnya terinjak-injak. Nah, Islam kan agama yang menjaga keseimbangan antara spiritualitas dan pemikiran. Islam yang bisa menjadi solusi krisis mentalitas orang Amerika. *** =============================================================== (C)opyright 1999-2002 UntirtaNet Milis ini dikelola oleh alumni Universitas Tirtayasa Banten - Indonesia dan terbuka untuk semua Civitas Academica Universitas Tirtayasa Banten Untuk berlangganan, kirim email ke: untirtanet@xxxxxxxxxxxxx, dengan Subject 'Subscribe' atau lansung ke //www.freelists.org/cgi-bin/list?list_id=untirtanet Untuk kirim pesan: untirtanet@xxxxxxxxxxxxx Please visit our Homepage: http://www.untirtanet.org