[UntirtaNet] 700 Muslim Tewas dalam Tragedi 11 September [2]

  • From: "webmaster@xxxxxxxxxxxxxx" <untirtanet@xxxxxxxxxxxxx>
  • To: <untirtanet@xxxxxxxxxxxxx>
  • Date: Tue, 17 Sep 2002 05:06:53 -0400

Sumber: Detik.com
Bagaimana ceritanya hingga menjadi da'i di AS?
Ceritanya cukup panjang. Saya meninggalkan Indonesia sudah cukup lama. Dari
tahun 1987. Tahun itu saya selesai dari pesantren lalu mendapat beasiswa ke
Pakistan, tepatnya di International Islamic University. Tahun 1994 saya
selesai program S2 di universitas tersebut. Kemudian mendapat tawaran
bekerja si sebuah lembaga Islam di Jeddah sampai dengan 1997. Tahun 1997
kontrak kerja saya selesai, lalu diminta oleh Pak Nugroho Wisnumurti, Duta
Besar Indonesia untuk PBB, untuk membina masyarakat Muslim di New York.
Karena saya concern dengan masalah ummat, sejak itu saya juga melibatkan
diri pada berbagai organisasi lintas bangsa dan lintas ras di Amerika. Pada
tahun 1998 saya terlibat dalam Muslim Foundation of America. Lembaga ini
setiap tahunnya mengorganisasikan Muslim Day Parade, yakni pawai
internasional Muslim. Diikuti oleh sekitar 70 ribu warga Muslim di New York.
Tahun 1999 saya terpilih sebagai ketua penyelenggaranya.
Di tahun yang sama saya ikut mendirikan Imam Council, sebuah lembaga
kepemimpinan Muslim di kota itu. Dalam pandangan kita di Amerika, Imam itu
adalah leadership dalam arti luas. Jadi tidak sekedar berarti orang yang
memimpin shalat dalam masjid. Orang yang memiliki kepemimpinan di bidangnya,
itupun bisa disebut imam. Seorang lawyer dan bisnisman juga ktia libatkan
dalam organisasi ini. Jadi kalau bisa kita istilahkan adalah leadership
council, yang tidak selalu ada afiliasi dengan shalat.
Jadi imam berati pemimpin di dalam dan di luar masjid ya?
Iya, imam tidak harus dipersepsikan secara sempit, seperti halnya tidak
mempersepsikan masjid secara sempit, sebagai sebuah bangunan tertentu yang
mempunyai kubah misalnya, tetapi masjid harus terjadi di mana-mana, termasuk
di parlemen. Kalau politisi sadar akan tugas dan amanah dari Allah maka akan
menjadikan parlemen sebagai masjid.
Rasulullah pernah mengatakan, juila fil-ardha lil-masajidan (bahwa bumi ini
secara keseluruhan telah dijadikan sebagai masjid-masjid, tempat pengabdian
di mana saja). Jadi jangan sampai kita membawa nama Islam ke parlemen,
tetapi parlemen itu tidak kita anggap sebagai tempat pengabdian kita kepada
Allah.
Dari segi usia Anda msih muda, bagaimana rasanya mengemban amanah
kepemimpinan di sebuah negeri yang multiras?
Indonesia ini kan merupakan negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia. Ada
motivasi moral untuk menunjukkan, bahwa kita juga dapat mengambil alih
peranan di kalangan dunia Islam. Yang kedua, masih tertanam di kalangan
orang Amerika bahwa Islam identik dengan Arab atau Timur Tengah. Persepsi
seperti ini harus kita ubah, tidak saja melalui ceramah, tetapi juga melalui
tindakan nyata.
Alhamdulillah hal ini menimbulkan dampak yang positif, karena mereka melihat
kita bisa menjembatani berbagai keragaman yang ada di komunitas kita. Di AS
ada tiga kelompok minoritas Muslim, yakni Asia Selatan
(India-Pakistan-Bangladesh), Arab (Timur Tengah) dan Afro-Amerika. Sekarang
ini kalangan Afro-American ada sekitar 3-4 juta orang.
Dari ketiga kelompok itu ada semacam persaingan sehat, berlomba-lomba dalam
kebaikan. Masyarakat Asia Selatan bergerak di sektor bisnis, sehingga di New
York, di hampir setiap distrik ada saja toko halal meat, yakni daging halal
yang ternaknya dipotong oleh orang Islam. Jadi di New York kita tidak
kesulitan untuk mendapatkan daging halal, karena saudara-saudara kita dari
Asia Selatan sangat bersemangat untuk membangun bisnis. Ini satu hal yang
oleh orang-orang tertentu dianggap sebagai ancaman, karena banyak orang
Islam yang mengambil alih ekonomi menengah ke bawah.
Masyarakat keturunan Arab bergerak di sektor pendidikan. Mereka mendirikan
sekolah dan menerbitkan majalah. Muslim Afro-Amerika bergerak di sektor
politik dan sosial.
Jadi ada persaingan sehat. Kita orang Melayu, karena belum menonjol di satu
sektor, maka kita bisa masuk di mana-mana. Hal ini menjadi positif, karena
kita bisa menjembatani.
Kegiatan parade Muslim inisiatifnya dimulai orang-orang Muslim dari Asia
Selatan, karena itu orang-orang etnis Arab jarang ikut, karena menganggap
kegiatan itu khas Muslim dari Asia Selatan.
Alhamdulillah sejak saya menjadi ketua kegiatan parade Islam tahun 1999,
karena kebetulan saya bisa berbahasa Arab dan bisa melakukan pendekatan
dengan orang-orang Arab, sejak itu masyarakat Muslim dari Timur Tengah juga
ikut terlibat.
Kegiatannya adalah menampilkan berbagai kebudayaan Islam. Kami memulainya
dengan melakukan shalat Dhuhur berjama'ah disebuah jalan yang cukup besar di
kawasan Manhattan. Setelah itu kami berjalan kaki sekitar 20 blok. Di tempat
terakhir sudah ada panggung dang taman di mana bazaar makanan dari berbagai
negara Muslim.
Masyarakat non-Muslim kemudian dipersilakan untuk menikmati makanan-makanan
itu sambil menikmati penampilan-penampilan kebudayaan Islam dari berbagai
negara.
Berapa banyak kalangan non-Muslim yang hadir pada acara itu?
Di tahun 1999 ada sekitar 250 ribu yang hadir. Di tahun ini kita menargetkan
ada sekitar 50-60 ribu orang yang akan datang.
Tahun ini merupakan event yang mempunyai makna tersendiri karena sejak
tragedi 11 September ada ummat Islam yang turun semangatnya. Dengan event
tersebut kita ingin membangkitkan lagi semangat ummat Islam di AS.
Kesulitan dan tantangan apa yang Anda alami di AS, sebuah negara biangnya
sekuler?
AS dikenal sebagai land of challenges and opportunities, negeri yang penuh
tantangan dan peluang. Jadi dua-duanya ada. Tantangannya, sebagai pusat
sekulerisma dunia, di mana berbicara masalah agama pada tataran sosial
adalah hal yang tabu, sehingga dengan konsep seperti itu kita agak susah
bergerak. Tapi AS juga memiliki konstitusi yang memberikan kebebasan untuk
beragama, mereka mempropagandakan human rights dan freedom, sehingga bisa
kita menfaatkan membangun sebuah kerjasama yang baik di antara sesama Muslim
di AS.
Bagaimana pendidikan anak-anak Islam Indonesia di AS setelah tragedi 11
September?
Jawaban saya ini tidak khusus yang berkaitan dengan tragedi itu. Hal yang
krusial di AS, khususnya di New York adalah pendidikan anak. Dalam beberapa
ceramah saya katakan, kita sedang mengalami generation gap (kesenjangan
generasi). Orang Indonesia generasi awal yang datang ke Amerika ini Islamnya
masih cukup baik, tetapi karena kelalaian orangtua dalam memberikan
pendidikan keislaman kepada anak-anaknya sehinga mereka sudah tidak
menyadari nilai-nilai keislamannya lagi. Contohnya, kalau kita telpon ke
rumah mereka, ketika kita ucapkan, "Assalamu'alaikum," mereka jawab, "Yes",
bukan "Wa'alaikumsalam".
Setelah itu saya perhatikan, ternyata telah terbangun persepsi pada mereka
bahwa Islam tidak berbeda dengan agama-agama lain yang mereka kenal, begitu
pula dalam penyikapannya, kalau dibutuhkan maka dipakai, tetapi kalau tidak
dibutuhkan maka diabaikan.
Karena itu Imam Council telah menetapkan, yang kita bangun sekarang bukan
masjid lagi tapi sekolah. Di New York kita telah memiliki sekitar 150
masjid, sedangkan sekolah Islam baru tujuh. Padahal anak-anak sudah semakin
banyak, sehingga harus mengantri untuk masuk sekolah. Anak saya misalnya,
untuk masuk sekolah Islam harus tiga tahun menunggunya. Ini karena
keterbatasan ruangan.
Dalam program terpadu jangka pendek ini adalah membangun sekolah. Dananya
dari kami sendiri, khususnya dari orantuanya murid. Alhamdulillah bisa
survive. Tujuan kita mendirikan sekolah Islam ini membentuk lingkungan
masyarakat yang Islami, belum pada mutunya.
Kalau dari segi mutu, memang sekolah umum di sana masih lebih baik mutunya.
Dengan pertimbangan ini para orangtua murid rela memasukkan anaknya ke
sekolah Islam, meski dia tahu mutunya lebih rendah, tapi demi menjaga
lingkungan yang baik untuk anak-anaknya. Sebab lingkungan di sana sudah
demikian rusak. Bahkan sebenarnya tidak di sana saja, di Jakarta misalnya,
lingkungan masyarakatnya juga sudah tidak baik.
Kejadian 11 September ini sebenarnya merupakan ujian, sehingga akan
tersaring mana yang benar-benar komitmen dengan Islam dan mana yang cuma
setengah-setengah. Mereka yang komit dengan Islam justru semakin kuat
keislamannya setelah kejadian 11 September itu. Setelah kejadian itu nampak
lebih jelas, mana yang musuh dan mana yang kawan.
Perjuangan kita sekarang, selain mengarah keluar, kepada non-Muslim, untuk
memberikan klarifikasi terhadap berbagai persepsi keliru tentang Islam, juga
mengarah ke dalam, kepada ummat Islam sendiri, untuk membangun semangat
keislaman yang sempat turun.
Untuk itu kita melakukan program open house. Untuk non-Muslim pintu masjid
kita buka, kita adakan makan malam dan kita adakan diskusi informal. Kita
mulai dengan sekedar sapaan, apa kabar, lalu jelaskan tentang apa itu Islam.
Menunjukkan keislaman kita itu tidak mesti dengan kata-kata, tetapi juga
dengan memberikan senyum dan perilaku yang baik.
Bagaimana hasil dari pendekatan seperti itu?
Cukup baik. Misalnya saja, dampak yang kami rasakan saat membangun masjid
al-Hikmah. Waktu itu kami hendak membangun kubah, tetapi terganjal perturan
di AS, bahwa untuk membangun suatu gedung tidak boleh ada keunikan tertentu
kecuali atas izin tetanggaa. Alhamdulillah, setelah kami adakan open house,
justru ada tawaran-tawaran bantuan dari tetangga, "Apa yang bisa kami
lakukan untuk Anda?" Jadi ada semacam sikap simpati dari kalangan mereka.
Upaya media yang menyudutkan ummat Islam memang terasa ya?
Sangat terasa. Contoh setelah kejadian 11 September, ketika info ada 4000
orang Yahudi yang absen kerja pada kejadian itu, segera saja tiga saluran TV
memberitakan tentang orang-orang Yahudi yang kehilangan anggota keluarganya
karena kejadian itu.
Kita dapat info setelah tragedi 11 September banyak orang yang masuk Islam.
Apa betul?
Betul sekali. Ada informasi, ada empat kali lebih besar orang Amerika yang
masuk Islam ketimbang sebelumnya. Di setiap shalat Jumat ada saja orang yang
masuk Islam di masjid kita.
Dari kalangan mana saja?
Dari berbagai kalangan. Dari kalangan Spanish, Afro-American, dan juga dari
kalangan kulit putih.
Anda sendiri pernah juga menangani para mualaf itu?
Ada beberapa. Selain itu kegiatan-kegiatan umum untuk mengetahui Islam
semakin menjamur.
Misalnya?
Salah satunya misalnya executive development program, yang dilakukan oleh
hampir semua bidang di kotamadya. Baru-baru ini misalnya Police Department.
Saya berenam dengan Imam Izekil Pasha dan beberpa orang lainnya memberikan
ceramah dan berdialog.
Di depan para polisi?
Iya. Yang hadir adalah tingkat perwira ke atas. Istilahnya commanding
officer. Kira-kira seperti kapolres. Tujuannya untuk memperkenalkan Islam.
Karena kita berharap mereka menjadi penyambung lidah kepada polisi, sehingga
ketika polisi berinteraksi dengan orang Islam, mereka sudah tahu Islam itu
apa.
Karena mereka perwira yang terdidik, mereka terbuka. Saya diberi tugas untuk
menjelaskan masalah yang sensitif, yakni tentang jihad. Setelah saya
jelaskan, diujung-ujungnya mereka bergurau, "Kalau begitu kami mujahid".
Saya katakan, "Ya, dalam persepsi Anda itu Anda sudah mujahid. Kalau Anda
memerangi kejahatan, Anda memerangi berbagai hal yang buruk untuk kebaikan
ummat manusia".
Anda nggak bilang, kalau jihadnya mau benar harus bersyahadat dulu?
Hahaha.. Mudah-mudahan itu berproses.
Bagaimana Anda mengatur waktu antara tugas di kantor PBB dengan tugas da'wah
di masyarakat?
Kehadiran saya di New York adalah untuk membina masyarakat Muslim Indonesia.
Formalnya saya memang di kantor PBB, tapi karena latar belakang pendidikan
saya, pimpinan memberi peluang yang cukup besar bagi saya untuk tugas di
luar. Malah itu dianggap perwakilan, karena kami berupaya memperkenalkan
Indonesia kepada dunia sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia.
Kita belum lihat peranannya di dunia sebagai negara besar.
Jabatan formal Anda di kantor Perwakilan Indonesia di PBB sebagai apa?
Mulanya sebagai humas, dan kemudian di bidang politik.
Nampaknya Anda menikmati sekali berda'wah di sana ya?
Dari sudut pandang sebagai aktivis da'wah ada tantangan dan ada peluang,
keduanya cukup imbang. Islam memberi peluang kepada kita untuk memilih
metode dan pendekatan. Prinsip tetap, tapi metodanya perlu melihat di
lapangan. Ini yang disebut fiqh da'wah kan.
Di masyarakat AS pendekatan ilmiah dan rasional sangat tepat untuk mereka,
karena di satu sisi mereka sangat lapar secara spiritual, tetapi di sisi
lain mereka tidak mau nilai intelektualitas atau akalnya terinjak-injak.
Nah, Islam kan agama yang menjaga keseimbangan antara spiritualitas dan
pemikiran. Islam yang bisa menjadi solusi krisis mentalitas orang Amerika.
***


===============================================================
(C)opyright 1999-2002 UntirtaNet
Milis ini dikelola oleh alumni Universitas Tirtayasa Banten - Indonesia 
dan terbuka untuk semua Civitas Academica Universitas Tirtayasa Banten 
Untuk berlangganan, kirim email ke: untirtanet@xxxxxxxxxxxxx, 
dengan Subject 'Subscribe' atau lansung ke  
//www.freelists.org/cgi-bin/list?list_id=untirtanet 
Untuk kirim pesan: untirtanet@xxxxxxxxxxxxx
Please visit our Homepage: http://www.untirtanet.org

Other related posts:

  • » [UntirtaNet] 700 Muslim Tewas dalam Tragedi 11 September [2]