[breaktime-corner] Pessimist Say "Why?", Optimist Say "Why Not?" and Realist Say "Why Not Now?"

  • From: "gunawan prakoso" <gunawan.prakoso@xxxxxxxxx>
  • To: <tea-corner@xxxxxxxxxxxxx>
  • Date: Fri, 3 Feb 2012 21:22:09 +0700

Pessimist Say "Why?", Optimist Say "Why Not?" and Realist Say "Why Not Now?"


 

 

Sebuah keluarga kecil pergi jalan-jalan ke pusat perbelanjaan kota. Mereka
tidak pergi untuk berbelanja ataupun makan malam, karena mereka tidak punya
cukup uang. Ketika sedang melihat-lihat di toko mainan, sang anak berkata
pada ibunya, "Ibu, aku mau mainan itu. Tolong belikan untukku."

Mendengar permohonan anaknya, Ibu pun melihat label harga dan berharap uang
di dompetnya cukup untuk menyenangkan sang anak. Ternyata harganya sangat
mahal dan ia tidak sanggup memenuhi keinginan anaknya. "Nak, harga mainan
itu bisa membayar uang sekolahmu selama 3bulan. Maaf ya, Ibu tidak bisa
membelikannya untukmu."

Sang anak nampak sedih, tapi hanya bisa pasrah dan menyusul ayahnya yang
sudah ada jauh di depannya. Setelah lelah berkeliling, mereka sekeluarga
duduk di taman yang memang disediakan untuk para pengunjung. Terjadilah
percakapan di antara mereka.

Sang anak yang masih sedih karena tidak bisa membeli mainan kesukaannya
bertanya, "Ibu, tadi katamu harga mainan yang aku mau sama seperti biaya
sekolah tiga bulan. Kalau begitu, ayo kita beli mainannya dan aku cukup izin
sekolah selama tiga bulan. Aku bisa belajar dari rumah dan meminjam catatan
dari teman-teman."

Mendengar ucapan anaknya, Ibu merasa kesal - menyesali keadaannya yang
miskin. "Nak, Ayah susah payah bekerja supaya kamu bisa sekolah dan jadi
anak pintar. Kenapa kamu malah jadi bodoh begini, memilih mainan daripada
sekolah?" nada bicara Ibu mulai meninggi.

Baru sang anak mau bicara, Ibu sudah melanjutkan marahnya, "Memang Ibu mau
jadi orang susah? Kalau Ibu punya banyak uang, pasti sudah Ibu belikan kamu
mainan yang bagus-bagus. Coba tanyakan ayahmu, kenapa jabatannya di kantor
tidak pernah naik dan gajinya tidak pernah cukup untuk memenuhi kebutuhan
kita? Kenapa hidup kita begitu menyedihkan sementara keluarga lain bisa
makan enak di restoran yang mahal? Kenapa hidup ini rasanya tidak adil bagi
kita???"

Tadinya Ayah mau diam saja mendengarkan, tapi karena namanya sudah
dibawa-bawa, ia pun angkat biacara, "Bu, Nak, maafkan Ayah karena belum bisa
menyenangkan kalian seperti ayah-ayah lainnya. Kalau tidak terpaksa, Ayah
juga tidak mau bekerja di perusahaan tempat Ayah bekerja sekarang. Bosnya
galak, gajinya kecil, pekerjaannya sangat melelahkan."

Sang anak menjawab, "Kalau begitu kenapa Ayah tidak berhenti saja dan
mencari pekerjaan lain yang lebih baik?"

"Ayah juga maunya begitu. Cita-cita Ayah, Ayah mau membuka usaha bengkel
motor kecil-kecilan, sesuai hobi Ayah. Tapi Ayah belum bisa mengumpulkan
modal untuk sewa tempat dan membeli beberapa mesin. Tapi Ayah yakin, pasti
suatu saat Ayah bisa. Kalau teman-teman Ayah saja bisa, kenapa Ayah tidak
bisa? Yang penting kita harus optimis. Iya, kan?" jelasnya, mencoba
meyakinkan bahwa hidup keluarganya suatu saat pasti akan berubah menjadi
lebih baik.

"Kenapa harus menunggu suatu saat, Yah? Kenapa tidak dimulai sekarang saja?
Ayah bisa buka bengkel kecil di halaman depan rumah. Apalagi di daerah rumah
kita masih jarang yang buka bengkel motor. Sementara cukup bengkel cuci
motor dan tambal ban, nanti kalau sudah ada untung baru kita buka bengkel
yang lebih besar. Guruku pernah bilang, kalau mau berhasil jangan pernah
menunda-nunda pekerjaan," sang anak begitu bersemangat.

Nampaknya anak kecil berusia 12 tahun ini telah menginspirasi sang ayah
untuk mengubah kondisi ekonomi keluarga mereka.

Sang Ibu adalah gambaran orang yang pesimis - selalu mengeluh dan bertanya,
"Kenapa (WHY) hidup saya seperti ini?" Sang ayah adalah gambaran orang yang
optimis - selalu melihat harapan akan masa depan yang indah dan berkata,
"Kenapa tidak (WHY NOT)?" Sang anak adalah gambaran orang yang realistis -
selalu melihat peluang di tengah krisis dan berkata, "Kenapa tidak sekarang
(WHY NOT NOW)?

Jika kita punya mimpi, jangan sampai kita merasa mimpi tersebut too good to
be true, alias pesimis. Kita harus optimis, yaitu percaya bahwa mimpi kita
pasti bisa jadi kenyataan. Namun optimis saja tidak cukup. Kalau mau mimpi
tercapai, kita harus realistis, segera mengeksekusi mimpi dengan tindakan
nyata.

Semangat dan sukses selalu :)

SUCCESS IS MY DESTINY! <http://analiatanuwidjaja.com> 

 

Other related posts:

  • » [breaktime-corner] Pessimist Say "Why?", Optimist Say "Why Not?" and Realist Say "Why Not Now?" - gunawan prakoso