[milis-salafy] Prinsip Imam Ahlus Sunnah Dalam Al Inshaf
- From: "abu salman" <ana@xxxxxxxxxxxxxx>
- To: salafy@xxxxxxxxxxxxx
- Date: Mon, 26 Jan 2004 15:19:22 +0700
Senin, 26 Januari 2004 - 01:53:39, Penulis
: Ustadz Abdul Mu'thi Al Maidani |
Kategori
: Manhaj |
Prinsip Imam Ahlus Sunnah Dalam Al
Inshaf
|
A. Peran Ulama Ahlus Sunnah Wal
Jamaah
Telah kita ketahui bersama bahwa manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah
adalah manhaj yang benar dan yang paling benar sehingga kita tidak
membutuhkan lagi manhaj-manhaj yang lain. Para ulama Ahlus Sunnah Wal Jamaah
telah membela dan menegakkan manhaj ini dari masa ke masa. Hal ini bisa kita
saksikan dengan membaca buku-buku mereka yang mengandung bergudang-gudang
ilmu di dalam menerangkan manhaj yang shahih ini. Bahkan tak jarang pula
kita saksikan mereka membantah ahlul bid’ah dengan keras di dalam
buku-buku mereka. Semua itu untuk menjaga Dien ini agar tetap bersih dari
berbagai macam manhaj bid’ah yang selalu muncul pada setiap
masa.
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda
:
“Akan selalu membawa ilmu ini orang-orang yang adil dari para
penerus, mereka menghilangkan daripadanya perubahan dari orang yang
melampaui batas (terhadap Dien), kebohongan ahlul bathil, dan pentakwilan
orang-orang jahil.” (Hadits Hasan, lihat Ta’liq Al Hiththah oleh
Syaikh Ali Hasan[1])
Ilmu yang dimaksud dalam hadits ini adalah Dien
sebagaimana dikatakan oleh seorang tabi’in, Imam Muhammad bin Sirin
rahimahullah :
“Sesungguhnya ilmu ini adalah Dien. Maka
lihatlah olehmu dari siapa kamu mengambil Dienmu.” (Muqaddimah Shahih
Muslim 1/14)
Berkata Ibnul Qayyim Al Jauziyyah dalam kitabnya, Miftah
Daarus Sa’adah :
“Maka Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa
Sallam telah mengabarkan bahwa ilmu yang beliau datang dengannya akan selalu
dibawa oleh orang-orang yang adil dari umatnya yang ada di antara para
penerus hingga ilmu tersebut tidak akan tersia-siakan dan tidak akan
hilang[2].”
Demikian pula pendapat Al ‘Allamah Siddiq
Hasan Khan dalam kitabnya, Ad Dinul Khalish 3/261-263 ketika menjelaskan
hadits ini :
“Maksud ilmu dalam hadits ini adalah ilmu Al Kitab
dan As Sunnah yang akan dibawa di setiap jamaah yang datang sesudah Salaf
oleh orang-orang yang adil di antara mereka yang selalu meriwayatkan ilmu
tersebut. Mereka menghilangkan dari ilmu itu tahriful
ghalim.”
Artinya (tahriful ghalim adalah) perubahan yang
dilakukan oleh orang-orang yang melampaui batas dalam perkara Dien. Arti
kata tahrif adalah merubah Al Haq dengan kebathilan, baik perubahan secara
lafadh maupun perubahan secara makna. Dan intihalul mubthilin maksudnya
mereka menolak seluruh dustanya ahlul bathil. Kata intihal berarti seseorang
mengakui sesuatu untuk dirinya dengan dusta, baik berbentuk syair atau
perkataan dan kata ini adalah kiasan dari kedustaan. Ta’wiilul jahilin
maksudnya mereka (orang adil dari generasi penerus) menolak seluruh
takwil-takwil orang jahil dimana mereka melakukan takwil tidak dengan ilmu
dan pemahaman terhadap ayat-ayat dan hadits-hadits. Akhirnya mereka
memalingkan (makna ayat dan hadits) dari dhahirnya.
Syaikh Ali Hasan
Abdul Hamid Al Halabi Al Atsary mengatakan dalam mengomentari hadits ini
:
“Maka peran dari orang yang membawa ilmu (Dien ini) sebagai
ganti para Rasul, tegak di atas tiga dasar :
1) menolak perbuatan
ghuluw (berlebih-lebihan dalam Dien).
2) Membatalkan
kebathilan.
3) Menyingkap kejahilan[3].”
Syaikh Salim Al
Hilali berkata :
“Maka sesungguhnya membantah ahlul ahwa’
(pengikut hawa nafsu[4]) adalah pintu yang mulia dan termasuk daripada
pintu-pintu jihad. Kenapa? Karena orang-orang yang melakukan (bantahan
tersebut) berada pada kedudukan orang yang menjaga Dien ini. Mereka
menghilangkan darinya tahrif yang dilakukan oleh orang-orang yang ghuluw,
melenyapkan kedustaan yang dilakukan oleh orang-orang yang bathil, dan
takwil yang dilakukan oleh orang-orang yang jahil. Mereka telah mengibarkan
Al Haq dan menghunus pedang ilmu agar Islam tetap putih bersih, bersinar
dengan sinar yang meliputi risalah yang diturunkan kepada penutup para Nabi
Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam[5].”
Maka dengan adanya beberapa
penjelasan di atas kita ketahui bahwa merupakan sunnah para ulama Ahlus
sunnah Wal Jamaah membantah ahlul bid’ah agar Dien ini tetap putih
bersih sebagaimana asalnya. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam
bersabda :
“Aku tinggalkan kamu dalam keadaan Dien ini putih
bersih. Malamnya seperti siangnya yang tidak akan menyimpang daripadanya
setelahku kecuali (hanya orang-orang yang) akan hancur.” (HR. Ahmad,
shahih)
Semua itu mereka lakukan dalam rangka memberi nasihat kepada
umat ini sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam
:
“Dien itu adalah nasihat (tiga kali).” Kemudian beliau
bersabda : “Nasihat itu bagi Allah, bagi Kitab-Nya, bagi Rasul-Nya,
bagi para imam kaum Muslimin, dan kaum Musilmin umumnya.” (HR.
Muslim)
B. Sururiyah Dan Al Inshaf
Sururiyah adalah satu
pemahaman yang dinisbatkan kepada seorang mantan anggota ikhwanul muslimin
yang bernama Muhammad Surur bin Nayef Zainal Abidin. Pemahaman ini
menggembar-gemborkan sikap adil di dalam mengkritik ahlul bid’ah,
buku-bukunya, dan organisasinya (baca : hizb) dengan mewajibkan untuk
menyebut kebaikan-kebaikan yang ada pada mereka. Inilah yang diistilahkan
dengan al inshaf. Pemahaman al inshaf gaya sururiyyah ini telah banyak
mempengaruhi para pemuda Salafiyyin. Akibatnya mereka meninggalkan manhaj
yang telah digariskan oleh para ulama Ahlus Sunnah Wal Jamaah yang dulu dan
sekarang dalam mengkritik ahlul bid’ah. Cara bersikap mereka terhadap
ahlul bid’ah pun menjadi rancu. Yang lebih tragis lagi, mereka
menyangka bahwa al inshaf yang digembor-gemborkan pemahaman sururiyah itu
adalah manhaj yang benar, manhajnya Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Pemahaman al
inshaf gaya sururiyah ini lambat laun menjadi mantap di dalam jiwa-jiwa
mereka. Sikap Al Wala’ Wal Bara’ yang ada pada mereka menjadi
lemah. Semestinya mereka memberikan Al Wala’ kepada Ahlus Sunnah yang
membela Dien ini dan menjaganya dari berbagai macam pikiran sesat ahlul
bid’ah dengan cara membantah, mengkritik ahlul bid’ah, karyanya,
dan golongannya tanpa harus berbasa-basi menyebutkan kebaikan yang ada pada
mereka. Ini semua dalam rangka menasihati umat agar berhati-hati terhadap
ahlul bid’ah. Tapi yang terjadi justru kebalikannya. Mereka --para
pemuda Salafiyyin tersebut-- memberikan Wala’-nya (loyalitasnya)
kepada ahlul bid’ah. Hal ini terbukti ketika Ahlus Sunnah mengkritik
ahlul bid’ah tanpa menyebut kebaikan-kebaikan yang ada padanya, mereka
beramai-ramai membela ahlul bid’ah dengan pemahaman inshaf yang
mewajibkan untuk menyebut kebaikan ahlul bid’ah di dalam
mengkritiknya. Yang lebih lucu lagi, mereka mengecam Ahlus Sunnah yang
melakukan hal itu dan menganggap Ahlus Sunnah itu orang-orang yang kotor
mulutnya, kasar, lancang, dan berbagai macam tuduhan-tuduhan lain yang
mereka lontarkan dalam rangka membela ahlul bid’ah. Mereka menganggap
ahlul bid’ah didzalimi karena tidak disebut kebaikannya.
Sikap
Bara’ yang ada pada mereka pun demikian pula keadaannya. Semestinya
sikap itu mereka berikan kepada ahlul bid’ah yang telah merusak Dien
ini. Tapi apa yang terjadi? Mereka justru mem-bara’ Ahlus Sunnah yang
mereka anggap telah berbuat dzalim terhadap ahlul
bid’ah.
Termasuk juga akibat dari adanya pemahaman al inshaf
versi sururiyah ini adalah kaburnya Al Haq di hadapan kebanyakan dari pemuda
Salafiyyin (baca : Ahlus Sunnah) yang terpengaruh dengan pemahaman ini
sehingga mereka tidak bisa membedakan mana manhaj yang haq dan mana yang
bathil. Mereka menganggap sama seluruh manhaj-manhaj yang ada sekarang ini
karena seluruhnya berada di bawah bendera Islam. Konon katanya,
masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan sehingga perlu adanya sikap
tasamuh (toleransi) sesama manhaj.
Nah, ucapan seperti inilah yang
sering diucapkan para sururiyin dengan perkataan mereka :
“Kita
saling tolong-menolong pada perkara yang kita sepakati dan kita saling
memaafkan pada perkara yang kita perselisihkan.”
Tentu saja
kalimat ini adalah kalimat yang haq, akan tetapi yang dimaksudkan dengannya
adalah kebathilan karena dengan kalimat ini mereka (para sururiyin)
mengambil sikap untuk toleransi dengan berbagai manhaj yang ada sekarang
ini.
Oleh sebab itu, dengan berbagai macam kejadian atau kenyataan
seperti yang telah disebutkan di atas, perlu kiranya kita sebutkan beberapa
buku yang ditulis oleh orang-orang yang telah terpengaruh oleh pemahaman al
inshaf sururiyah ini agar para pemuda Salafiyyin menghindari buku-buku
tersebut demi menjaga akidah dan manhaj mereka supaya tetap lurus di atas
akidah dan manhaj yang benar seperti yang telah diajarkan para Salafus
Shalih. Di antara karangan mereka (sururi) adalah :
Manhaj Ahlus
Sunnah Wal Jamaah fi Taqwiim Ar Rijaal Wa Mu’allafaatihiim karya Ahmad
Shuwayyan, Manhaj Ahlus Sunnah Wal Jamaah fin Naqdi Wal Hukmil Aakharin
karya Ashshiny, Min Akhlaaq Ad Daa’iyah karya Salman Al ‘Audah,
Dhawaabith Ra’iysah fi Taqwiin Al Jama’ah Al Islamiyah karya
Zaid Al Zaid, Al I’tidal Liman Araada Takwiim Al Jamaah Warrijal karya
Al Muqthiri, dan banyak lagi karangan-karangan yang lain[6].
C.
Beberapa Perkataan Sururiyin Mengenai Al Inshaf Dan Bantahannya
Zaid
Al Zaid di dalam kitabnya Dhawaabith Ra’iysah fi Taqwiin Al
Jama’ah Al Islamiyah berkata (dengan perkataan yang rusak, red.)
:
“Ketetapan yang kelima, adil di dalam mengkritik adalah
sekaligus menyebutkan kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukan. Maka yang
namanya adil (dalam mengkritik) menuntut disebutkannya kebaikan-kebaikan dan
keburukan-keburukan secara bersamaan ketika itu. Dan tidaklah termasuk al
inshaf (berlaku adil dalam mengkritik) sedikit pun orang-orang yang
mengkritik suatu jamaah dari jamaah-jamaah Islamiyah atau suatu umat dari
umat-umat Islamiyah dengan hanya menyebutkan kesalahan-kesalahan,
penyimpangan-penyimpangan, dan keburukan-keburukan (suatu jamaah atau suatu
umat tertentu) saja. Sesungguhnya (kritikan) seperti ini melampaui batas al
adl (keadilan) dan juga menyia-nyiakan kebenaran yang ada pada jamaah (atau
umat) tersebut[7].”
Berkata (dengan perkataan yang rusak, red.)
Salman Al Audah tentang al adl[8] : “Maka ketika kamu meneliti suatu
kitab bukanlah termasuk al adl (keadilan) jika kamu hanya mengatakan,
sesungguhnya (kitab ini) mengandung hadits-hadits dhaif (lemah) dan
maudhu’ (palsu) --misalnya-- (atau mengandung) pendapat-pendapat yang
ganjil sehingga dengan demikian kamu hanya menyebutkan sisi kedhalimannya
saja dan melupakan sisi yang lain yang ada dalam kitab tersebut yakni sisi
yang mengandung pengarahan-pengarahan yang berfaidah atau
pembahasan-pembahasan ilmiah. Sesungguhnya jika kamu hanya menyebutkan
sebagian saja (dari isi suatu kitab) dan mengabaikan sebagian yang lain
daripadanya, perbuatan ini adalah perbuatan yang tidak amanah (yakni tidak
menjaga amanah). Kebanyakan dari manusia semata-mata melihat satu kesalahan
pada suatu kitab karena membawakan sebuah hadits yang dhaif atau mempunyai
kesalahan pada suatu permasalahan. Setelah itu dia langsung meninggalkannya
dan memberi peringatan kepada manusia agar meninggalkannya pula. Kalau kita
lakukan sikap seperti ini kepada kitab-kitab Ahlul Ilmi maka tidak akan
tersisa bagi kita satu kitab pun.”
Kemudian dia (Salman Al
Audah) berkata kembali (dengan perkataan yang rusak, red.) pada halaman
berikutnya[9] : “Sikap yang adil (al adl) adalah kita mengambil ini
dan itu kemudian kita letakkan yang ini pada satu tangan timbangan dan yang
lain pada tangan timbangan yang lain hingga jadilah timbangan itu lurus dan
sama berat[10].”
Berkata pula tokoh mereka (sururi) yang lain,
Ahmad Ash Shuwayyan : “Yang kelima, perimbangan antara perkara yang
positif dan perkara yang negatif adalah apabila telah jelas bahwa manusia
bagaimanapun kedudukannya mempunyai kebenaran dan kesalahan maka tidak boleh
bagi kita membuang seluruh ijtihad-ijtihadnya. Bahkan kita melihat
pendapatnya yang sesuai dengan kebenaran dan kita berpegang dengan
pendapatnya kemudian kita berpaling dari berbagai macam kesalahannya. Maka
perimbangan (Al Muwazanah) antara perkara yang positif dan perkara yang
negatif seperti inilah yang dinamakan al adl (keadilan) dan al
inshaf[11].”
Membaca beberapa nukilan di atas kita melihat apa
yang dikatakan oleh para sururiyin tersebut seakan-akan merupakan suatu
kebenaran sehingga banyak dari kalangan Salafiyyin (Ahlus Sunnah)
terpengaruh dengannya. Padahal tidak demikian. Kalau kita lihat bantahan
para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah terhadap apa yang mereka katakan itu kita
baru akan mengetahui betapa bahayanya apa yang mereka katakan dan alangkah
salahnya pemahaman mereka itu.
Di antara ulama Ahlus Sunnah yang
membantah perkataan mereka ialah Syaikh Abu Ibrahim bin Sulthan Al Adnani.
Menanggapi perkataan Zaid Al Zaid, beliau berkata :
[ Atas perkataan
seperti ini maka orang yang mencukupkan diri dengan hanya menyebutkan
kejahatan-kejahatan seseorang, suatu kelompok atau kaset, dan lain-lain (di
dalam mengkritik) adalah orang yang tidak adil bahkan berbuat dzalim di
dalam menghakiminya. Perkataan seperti ini mengharuskan bahwa orang yang
hanya menyebutkan kebaikan-kebaikan saja (di dalam menilai) juga termasuk
orang yang dzalim dan ini jelas merupakan konsekuensi yang rusak. Sedangkan
konsekuensi suatu perkataan apabila rusak menunjukkan rusaknya perkataan
tersebut. Hal ini akan lebih jelas bila kita melihat firman Allah Subhanahu
wa Ta'ala :
Sungguh telah kafir orang yang mengatakan :
“Sesungguhnya Allah salah satu dari yang tiga … .” (QS. Al
Maidah : 73)
Pada ayat ini Allah menyebutkan kejahatan-kejahatan
(nashara) dan tidak menyebutkan kebaikan-kebaikan mereka. Maka apakah hal
ini bisa dikatakan keadilan atau kedhaliman?
Akan tetapi, memang
sudah merupakan manhaj mereka untuk membikin indah (suatu pendapat).
Akhirnya mereka juga memperindah (pendapatnya yang di atas) agar mereka
dapat melaksanakan apa yang dikehendaki … dan seterusnya[12].
]
Dalam membantah perkataan Salman Al Audah, Syaikh Rabi’ bin
Hadi Al Madkhali berkata : “Al Adl (keadilan) lawan dari Al Juur
(kedhaliman). Maka apabila didapati bid’ah-bid’ah dan
penyimpangan-penyimpangan pada suatu kitab kemudian seorang Muslim
menyebutkan (kebid’ahan dan penyimpangan-penyimpangan tersebut) dalam
rangka menasihati dan memberikan peringatan kepada kaum Muslimin (agar
berhati-hati daripadanya), tidak bisa hal ini dikatakan termasuk daripada
perbuatan dhalim sedikitpun. Permisalannya seperti seseorang yang mempunyai
keburukan dan kebid’ahan kemudian kamu sebutkan apa yang dia punyai
itu dalam rangka memberi nasihat. Maka tidak bisa penyebutan itu sebagai
suatu kedhaliman atau perbuatan ghibah bahkan termasuk dari pintu nasihat
dan ini adalah suatu perkara yang sudah diakui oleh para ulama Islam …
. Sesungguhnya kedhaliman itu adalah meletakkan sesuatu bukan pada
tempatnya. Sedangkan penyebutan keburukan-keburukan dan
kebid’ahan-kebid’ahan yang ada pada kitab-kitab dan orang-orang
dalam rangka menasihati kaum Muslimin adalah perkara yang dianjurkan di
dalam syariat. Ini dapat memberikan maslahat (kebaikan) dan menolak
kerusakan-kerusakan. Seharusnya dia (Salman) mengatakan (pendapatnya) ini
dalam berbuat adil terhadap nash-nash. Akan tetapi nampak bagiku dari
perbuatan-perbuatannya kalau dia mengumumkan pemakaian sikap al adl seperti
ini di dalam mengkritik orang-orang dan kitab-kitab tertentu. Memang sikap
adil dianjurkan dan harus digunakan. Akan tetapi penyebutan
keburukan-keburukan dan berbagai kebid’ahan untuk menasihati kaum
Muslimin itu tidak harus bersamaan dengan disebutkannya kebaikan-kebaikan
karena dengan demikian akan hilang tujuan menasihati. Dan orang yang
dinasihati akan menjadi kabur pemahaman Al Haq (kebenaran) baginya. Kemudian
juga tidak ada nash-nash yang berjalan di atasnya (di atas manhaj inshaf
tadi) dan tidak pula ada pada amalan para Salafush
Shalih.”
Selanjutnya Syaikh Rabi’ membantah perkataan
Ahmad Shuwayyan dengan mengatakan :
[ Tidak ada perselisihan dalam
permasalahan ini jika terhadap imam mujtahidin yang mereka berijtihad untuk
mentaati Allah dan Rasul-Nya baik secara bathin maupun dzahir. Dan mereka
pada keadaan yang demikian berusaha mencari Al Haq dengan ijtihadnya
sebagaimana Allah dan Rasul-Nya memerintahkan kepada mereka. Maka mereka
mendapatkan dua pahala jika mereka benar dan mendapatkan satu pahala jika
salah dan telah lewat penjelasan tentang mereka. Akan tetapi pembicaraan
kita adalah pada ahlul bid’ah, ahlul dhalal, dan ahlul jahl. Allah
berfirman tentang mereka :
“Apakah mereka mempunyai
sesembahan-sesembahan selain Allah yang membuat syariat (bid’ah) untuk
mereka dalam agama yang tidak diizinkan Allah?” (QS. Asy Syura :
21)
Dan Allah juga berfirman :
Katakanlah : “Rabbmu
hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang
tersembunyi dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang
benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak
menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah
apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al A’raf :
33)
Pembicaraan kita juga pada orang-orang yang berani berfatwa tanpa
ilmu dan orang-orang yang membuat manhaj. Mereka meletakkan kaidah-kaidah
dan membentuk ushul-ushul yang seluruhnya jauh dari manhaj Islam tanpa
dalil-dalil dan keterangan-keterangan. (Pembicaraan) juga tertuju pada orang
yang Allah firmankan tentang mereka.
“Dan janganlah kamu
mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu serta dusta, ini
halal dan ini haram untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah.
Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah
tidaklah beruntung.” (QS. An Nahl : 116)
Demikian pula pada
pengikut-pengikut mereka (orang-orang yang telah disebutkan di atas) yang
mana Allah juga berfirman tentang orang yang semisal mereka
:
“Mereka menjadikan orang alimnya dan rahib-rahib mereka
sebagai Rabb-Rabb selain Allah.” (QS. At Taubah : 31)
Pengikut
mereka ini adalah orang-orang yang disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu
'Alaihi Wa Sallam sebagai jawaban terhadap perkataan Adi bin Hatim ketika ia
mengatakan : “Demi Allah, kami tidak pernah mengibadahi mereka (para
alim dan rahib-rahib itu).” Maka Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa
Sallam bersabda : “Bukankah mereka menghalalkan yang haram kemudian
kalian juga ikut menghalalkannya. Dan bukankah mereka mengharamkan yang
halal kemudian kalian ikut mengharamkannya?” Adi menjawab :
“Benar.” Nabi bersabda lagi : “Itulah namanya mengibadahi
mereka.” (Hadits hasan riwayat Tirmidzi dan Baihaqi)
Kewajiban
membedakan antara ulama mujtahidin dengan golongan-golongan manusia (seperti
yang disebutkan di atas) itu sama dengan kewajiban membedakan antara orang
yang berpegang dengan Al Haq, mengambil pendapat para ulama mujtahid yang
sesuai dengan (Al Haq) yang Rasul datang dengannya dan menolak yang
menyelisihinya dengan orang-orang yang tidak bisa membedakan antara yang
benar dan yang salah pendapatnya dari para ulama mujtahid tersebut, tidak
menjauhkan diri dari mensucikan ahlul bid’ah dan ahlul jahl, mengambil
pendapat-pendapat mereka yang bathil, manhaj, dan dasar-dasar mereka yang
rusak. Aku tidak melihat Al Akh Suwayyan membedakan jenis-jenis manusia ini.
(Sebenarnya) wajib atasnya membeda-bedakan dengan jelas dan mempunyai
perhatian untuk menjelaskan bahayanya bid’ah serta berhati-hati
daripadanya dan ahlul bid’ah.
Uslub seperti ini --yaitu
lemahnya perhatian terhadap perkara bid’ah-- telah menjadi kesenangan
bagi kebanyakan para da’i dan pembaharu. Bahkan kamu akan mendapati
para dai tersebut membela ahlul bid’ah, memuji mereka, meninggikan
sebutan mereka, dan bahkan juga menganggap sebagian tokoh ahlul bid’ah
sebagai pembaharu atau imam-imam tajdid. Di sana terdapat buku-buku (yang
dikarang para dai tersebut) yang ditulis untuk membela jenis-jenis manusia
(yang telah disebutkan di atas). Tidak ada pada mereka (para dai) semangat
untuk berpegang kepada Al Haq dan tidak ada pula kesiapan untuk membedakan
Al Haq dan Al Bathil. Lisan mereka mengatakan :
“Sesungguhnya
kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami
orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak
mereka[13].” (QS. Az Zukhruf : 22) ]
D. Beberapa Fatwa Para
Ulama Mengenai Manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah Dalam Mengkritik Seseorang,
Kitab, dan Kelompok-Kelompok
Sebenarnya Ahlus Sunnah wal Jamaah
mempunyai manhaj di dalam mengkritik. Manhaj itu telah diwariskan kepada
kita oleh para ulama yang dulu maupun sekarang. Salah satu contoh dari
mereka --ulama mutaqaddimin (terdahulu)-- seperti Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah yang tidak diragukan lagi pengorbanan beliau untuk Islam dan
sikapnya yang tegas dan keras dalam mengkritik ahlul bid’ah. Beliau
tidak pernah mengharuskan bagi dirinya ataupun orang lain untuk menyebut
kebaikan-kebaikan bersamaan penyebutan keburukan-keburukan dalam mengkritik.
Beliau juga tidak pernah menganggap orang yang melakukan hal yang demikian
dalam mengkritik sebagai orang yang dhalim, tidak adil, dan tidak bersikap
inshaf. Ini karena memang sikap adil dan inshaf dengan cara mengharuskan
untuk menyebut kebaikan-kebaikan bersamaan dengan keburukan-keburukan dalam
mengkritik itu tidak pernah diajarkan oleh para Salafush Shalih. Bahkan
kalau kita lihat kitab karangan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah diantaranya
Majmu’ Fatawa seringkali beliau dalam kitab tersebut mengkritik ahlul
bid’ah dari berbagai macam golongan dengan tidak menyebut kebaikan
yang ada pada mereka.
Demikian pula yang dilakukan oleh seorang ulama
besar yang bernama Hasan Al Bashri. Beliau pernah berkata : “Apakah
kamu benci untuk menyebutkan (keburukan-keburukan) orang yang jahat?
Sebutkanlah (keburukan-keburukan) itu oleh kamu sekalian agar manusia
berhati-hati daripadanya.” Dan telah diriwayatkan pula yang seperti
ini secara marfu’. (Lihat Tafsir Suratun Nuur karangan Ibnu Taimiyyah
tahqiq Ali Hasan Ali Abdul Hamid)
Kemudian Al Hafidz Ibnu Rajab
berbicara pula di dalam Syarah Ilalut Turmudzi 1/50, berkata Ibnu Abi Dunya,
menceritakan kepada kami Abu Shalih Al Mawardzi, aku mendengar Rafi’
bin Asyras berkata : “Pernah ada orang yang mengatakan termasuk
daripada hukuman pendusta adalah tidak diterima kejujurannya dan aku katakan
termasuk daripada hukuman orang yang fasik yang mubtadi’ adalah jangan
disebutkan kebaikan-kebaikannya.”
Al Muhaqqiq berkata, Al
Kankauhi berkata dalam kitab Al Kawkabud Durri 1/347 : “ … maka
ketahuilah bahwa boleh bahkan wajib bagi para ulama untuk menjelaskan kepada
manusia aibnya (ahlul bid’ah) dan mencegah mereka dari mengambil ilmu
darinya (ahlul bid’ah). Ini adalah madzhab Salaf dan hukum-hukum
mereka serta muamalah mereka terhadap kitab-kitab dan pengarangnya serta
ahlul bida’. Sebagaimana bisa engkau lihat pada perkataan Ibnu
Taimiyyah, Imam Al Baghawi, Imam As Syathibi, Ibnu Abdil Barr dari Imam
Malik dan murid-muridnya, Imam Khatib Al Baghdadi, Ibnu Qudamah dari Imam
Ahmad dan para Salaf seluruhnya[14]. Dan sikap ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah
mutaqadimin yang seperti ini dijelaskan dengan panjang lebar oleh Syaikh
Rabi’ bin Hadi Al Madkhali dalam kitabnya Manhaj Ahlus Sunnah wal
Jamaah fi Naqdir Rijal wal Kutub wat Thawaif.
Di bawah ini akan
disebutkan beberapa fatwa dari para masyaikh ketika ditanya tentang manhaj
Ahlus Sunnah wal Jamaah di dalam mengkritik.
Soal 1 : Jika
dinisbatkan dengan manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah di dalam mengkritik ahlul
bid’ah dan kitab-kitab mereka apakah termasuk wajib menyebut kebaikan
ahlul bid’ah bersamaan dengan kejahatan-kejahatan mereka? Atau cukup
hanya dengan menyebut kejahatan-kejahatan mereka saja?
Jawab
:
Suatu hal yang ma’ruf di dalam perkataan Ahlul Ilmi bahwa
mengkritik keburukan fungsinya adalah untuk memberi peringatan dan
menerangkan kesalahan-kesalahan ahlul bid’ah yang mereka bersalah
padanya. Juga untuk memberi peringatan agar berhati-hati. Adapun
kebaikan-kebaikan (mereka) sudah ma’ruf dan kebaikan-kebaikan itu bisa
diterima (walaupun tidak disebutkan). Akan tetapi maksud (dari menyebut
kesalahan-kesalahan mereka saja) adalah untuk memberi peringatan agar
berhati-hati dari kesalahan mereka seperti menyebutkan Jahmiyah (demikian)
… Mu’tazilah … Rafidhah dan firqah-firqah lain yang
sejenis. Maka jika sangat dibutuhkan untuk menerangkan kebenaran apa yang
ada pada mereka boleh saja diterangkan dan jika ada yang bertanya kebenaran
apa yang ada pada mereka (ahlul bid’ah)? Pada perkara apa mereka
mencocoki Ahlus Sunnah? Apabila yang ditanya mengetahui hal itu dia (bisa)
menerangkannya. Akan tetapi tujuan yang paling terbesar dan terpenting
menerangkan kebathilan-kebathilan yang ada pada mereka agar orang yang
bertanya itu berhati-hati dan hatinya tidak cenderung kepada
mereka.
Kemudian ada pula yang bertanya kepada Syaikh Bin Bazz :
“Bagaimana jika ada orang yang mewajibkan al muwazanah (perseimbangan)
yakni jika kamu mengkritik seorang mubtadi’ (ahlul bid’ah)
karena bid’ahnya agar kamu dapat memberi peringatan kepada manusia
supaya berhati-hati darinya wajib pula kamu menyebutkan kebaikan-kebaikannya
hingga kamu tidak mendzalimi dia?”
Maka Syaikh Bin Bazz
menjawab : “Tidak demikian keadaannya. Hal yang demikian itu tidak
harus dilakukan karena apabila kamu membaca kitab-kitab Ahlus Sunnah (yang
menyebutkan keburukan ahlul bid’ah saja) maka kamu akan dapati
tujuannya adalah memberi peringatan agar berhati-hati (dari ahlul
bid’ah). Coba baca kitab-kitab karya Bukhari (seperti) kitab Khalqu
Afalil Ibaad, Kitabul Adab yang ada di dalam Shahih-nya. Demikian juga kitab
At Tauhid karya Ibnu Khuzaimah kemudian kitab Rad Utsman bin Said Ad Darimi
ala ahlil bida’ dan kitab-kitab lainnya. Mereka (para ulama)
mengarangnya dalam rangka memberi peringatan agar berhati-hati dari
kebathilan-kebathilan ahlul bid’ah. Lalu apa maksudnya menyebutkan
kebaikan-kebaikan ahlul bid’ah itu sedangkan tujuan (mengkritik ahlul
bid’ah) sudah jelas untuk berhati-hati dari kebathilan-kebathilan
mereka? Di samping itu kebaikan-kebaikan ahlul bid’ah tidak ada
nilainya kalau diukur dengan orang-orang yang menjadi kafir diakibatkan oleh
kebid’ahannya. Yang ini dapat mengkafirkan dia hingga batallah
kebaikan-kebaikannya itu. Dan jika kebid’ahannya tidak sampai
mengkafirkannya maka dia berada dalam bahaya. Oleh karena itu tujuan dalam
mengkritik adalah menerangkan kesalahan-kesalahan dan kekeliruan-kekeliruan
yang kita wajib berhati-hati darinya.” (Dikutip dari kaset rekaman
salah satu pelajaran Syaikh Bin Bazz setelah shalat Fajar di Thaif tahun
1413 H)
Soal 2 : Apakah disyaratkan di dalam manhaj Salaf, al
muwazanah (keseimbangan) antara kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukan
dalam penyebutan ketika mengkritik ahlul bid’ah?
Jawab
:
(Syaikh Abdul Aziz Muhammad Salman hafidhahullah) :
“Ketahuilah, semoga Allah membimbing kita dan kamu serta seluruh kaum
Muslimin bahwa tidak pernah didapatkan atsar yang datang dari salah seorang
dari kalangan Salafush Shalih baik itu para shahabat maupun tabi’in
(orang yang mengikuti mereka dengan ihsan), yang mengagungkan seorang ahlul
bid’ah pun atau orang-orang yang berwala’ kepada ahlul
bid’ah atau mengagungkan orang yang mengajak berwala’ kepada
ahlul bid’ah. Ahlul bid’ah itu orang yang berpenyakit hatinya.
Orang yang bercampur dengan mereka atau berhubungan dengan mereka
dikhawatirkan akan terkena penyakit (bid’ah) mereka yang berbahaya ini
karena orang sakit itu akan menjangkiti orang yang sehat dan tidak
sebaliknya. Maka berhati-hatilah dari seluruh ahlul bid’ah. Dan
termasuk ahlul bid’ah yang wajib dijauhi dan ditinggalkan adalah Al
Jahmiyah, Rafidlah, Al Mu’tazilah, Al Maturidiyyah, Al Khawarij,
Shufiyah, Al Asy’ariyyah dan siapa saja yang berjalan di atas jalan
mereka dari golongan yang menyimpang dari jalan para Salaf. Maka sepantasnya
bagi seorang Muslim untuk berhati-hati terhadap ahlul bid’ah dan juga
memberi peringatan (kepada orang lain) agar berhati-hati dari
mereka.”
Di samping permasalahan sekitar jamaah-jamaah (yang
ada), pertanyaan yang senada pun pernah pula ditujukan kepada Syaikh Shalih
Fauzan seperti yang dikutip di bawah ini :
Soal 3 : Apakah Anda
memberi peringatan agar berhati-hati dari (keburukan-keburukan) mereka tanpa
Anda sebutkan kebaikan-kebaikan mereka? Atau akan Anda sebutkan
kebaikan-kebaikan mereka bersamaan dengan keburukan-keburukan
mereka?
Jawab :
Apabila engkau sebutkan kebaikan mereka
berarti engkau menyeru untuk mengikuti mereka. Jangan kamu sebutkan kebaikan
mereka!!! Sebutkanlah kesalahan-kesalahan mereka saja karena engkau tidak
ditugaskan untuk mempelajari perbuatan (baik) mereka dan mendukungnya.
Tetapi engkau ditugaskan menjelaskan kesalahan yang ada pada mereka agar
mereka bertaubat dan orang lain dapat berhati-hati dengannya. Adapun jika
engkau sebutkan kebaikan-kebaikan mereka maka mereka akan berkata :
“Semoga Allah membalasimu dengan kabaikan, inilah yang kami cari
… .” (Dikutip dari kaset rekaman pelajaran ke-3 Kitab At Tauhid
oleh Syaikh Shalih Al Fauzan di Thaif tahun 1413 H)[15]
E. Manhaj
Ahlus Sunnah wal Jamaah Dalam Mengkritik
Kalau kita memperhatikan Al
Qur’an kita akan mendapati bahwa Allah memuji kaum Mukminin tanpa
menyebutkan kesalahan-kesalahan mereka agar manusia tergerak hatinya untuk
mencontoh mereka dan berjalan di atas jalan mereka. Sebaliknya, Allah
mencela orang-orang kafir dan munafiq dengan menyebutkan kesalahan-kesalahan
mereka tanpa menyebutkan kebaikan-kebaikan mereka dalam rangka inshaf
seperti Allah menyebutkan kekufuran, kefasikan, kemunafikan yang ada pada
mereka dan mensifatkan mereka dengan ketulian, kebisuan, kebutaan,
kesesatan, kebodohan, dan seterusnya. Allah tidak menyebutkan kebaikan yang
ada pada mereka karena memang tidak pantas untuk disebutkan walaupun mereka
juga memiliki kebaikan-kebaikan. Maka kalau dikatakan bahwa orang yang
mengkritik dengan menyebutkan kesalahan saja tanpa menyebutkan kebaikan itu
tidak berlaku adil dan tidak inshaf apakah akan kita juga mengatakan bahwa
Allah tidak adil dan tidak inshaf? Maha Suci Allah dari perkataan seperti
ini.
Dan kalau kita perhatikan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa
Sallam, beliau sangat keras memberi peringatan agar berhati-hati dari ahlul
bid’ah (pengikut hawa nafsu). Beliau tidak memandang kebaikan-kebaikan
yang ada pada mereka karena kesalahan-kesalahan mereka lebih berbahaya dari
maslahat yang dapat diambil dari kebaikan-kebaikannya. Dalam sebuah hadits
disebutkan :
Dari Aisyah Ummul Mukminin radliyallahu 'anhu berkata,
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam membaca ayat (yang artinya) :
“Dialah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur’an) kepadamu. Di antara
(isi)-nya ada ayat-ayat yang muhkamat (ayat-ayat yang terang dan tegas
maksudnya, dapat dipahami dengan mudah), itulah Ummul Kitab (Ummul
Qur’an) dan yang lain mutasyabihat (yang samar-samar belum dipahami
maksudnya atau hanya Allah saja yang faham maksudnya). Adapun orang-orang
yang dalam hatinya condong kepada kesesatan maka mereka mengikuti ayat-ayat
mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya
padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. Dan orang-orang
yang mendalam ilmunya berkata : ‘Kami beriman kepada ayat-ayat
mutasyabihat. Semuanya itu dari Rabb kami.’ Dan tidak ada yang dapat
mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.”
(QS. Ali Imran : 7)
Aisyah berkata, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa
Sallam bersabda : “Apabila engkau lihat orang-orang yang mengikuti
ayat-ayat mutasyabihat maka mereka itulah orang yang telah Allah sebutkan
(pada ayat di atas) dan berhati-hatilah kamu sekalian terhadap
mereka.” (HR. Bukhari Muslim)
Dari hadits ini kita dapat
mengambil pelajaran tentang manhaj yang shahih di dalam mengkritik ahlul
bid’ah, yakni memberi peringatan agar berhati-hati dari
kebathilan-kebathilan mereka tanpa menyebut kebaikan-kebaikan mereka karena
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam memerintahkan kepada kita agar
berhati-hati dari orang-orang yang mengikuti ayat-ayat mutasyabihat tanpa
beliau menoleh kepada kebaikan-kebaikan yang ada pada mereka. Beliau tidak
menyatakan Ambillah faidah dari kebaikan-kebaikan mereka dan sebutlah
kebaikan-kebaikan mereka itu.
Walaupun jelas mereka juga mempunyai
kebaikan-kebaikan tapi kebathilannya lebih besar daripada kebaikannya. Jadi
sangat menyedihkan sekali kalau sekarang kita dapati banyak dari orang-orang
yang mengaku menisbahkan dirinya pada manhaj Salaf memberikan
wala’-nya kepada ahlul bid’ah, membela manhaj mereka dan
kitab-kitab mereka, dan memberi peringatan agar berhati-hati terhadap Ahlul
Haq dan Ahlus Sunnah yang keras terhadap ahlul bid’ah. Semoga Allah
menunjuki mereka!
Sikap ini pun telah ditunjukkan pula oleh
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam yang memperingatkan agar
berhati-hati dari orang-orang khawarij dimana beliau telah menyebutkan
tanda-tandanya kepada para shahabat dengan sabdanya : “Bacaan (Al
Qur’an)-mu tidak bisa mengimbangi bacaan (Al Qur’an) mereka
sedikitpun. Shalat kamu tidak bisa mengimbangi shalat mereka sedikitpun.
Mereka membaca Al Qur’an dan menyangka bahwa Al Qur’an itu dalil
bagi mereka padahal hujjah atas mereka. Makna shalat mereka tidak melewati
tenggorokan mereka dan mereka keluar dari Islam sebagaimana lepasnya anak
panah dari busurnya.” Dalam riwayat lain : “Sesungguhnya jika
aku mendapati mereka, aku akan bunuh mereka seperti membunuh kaum
Tsamud.” (HR. Muslim)
Di sini kita dapati bahwa walaupun
(orang-orang khawarij) itu hamba-hamba yang ikhlas di dalam membaca Al
Qur’an, shalat, dan puasa mereka tidak dapat diimbangi oleh para
shahabat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam ternyata justru
kebaikan-kebaikan mereka itu menjadi celaan dan tanda kesesatan mereka.
Mereka keluar dari Islam sebagaimana lepasnya anak panah dari busurnya dan
kalau Rasulullah mendapatkan mereka beliau akan membunuh
mereka.
Inilah manhaj yang diajarkan Rasulullah kepada kita di dalam
mentahdzir (memberi peringatan agar berhati-hati) dari ahlul bid’ah.
Beliau tidak menoleh sedikitpun kepada kebaikan mereka. Kebaikan mereka
bahkan bisa menjadi tanda kesesatan mereka sebagaimana yang terjadi pada
orang-orang khawarij tersebut. Sikap seperti inilah yang telah diwariskan
para ulama Salaf kepada kita.
Di antara sikap ulama Salaf terhadap
ahlul bid’ah dapat dilihat pada pernyataan-pernyataan mereka berikut
ini :
Ibnu Umar berkata tentang ahlul qadar : “Kabarkan kepada
mereka, aku berlepas diri dari mereka dan mereka berlepas diri
daripadaku.”
Abu Qilabah berkata : “Jangan kamu
bermajelis bersama ashhabul ahwa (pengikut hawa nafsu).” Atau dia
berkata : “Bersama ashhabul khushumat (orang yang suka
berbantah-bantahan) karena aku merasa khawatir kalau mereka dapat
menenggelamkanmu dalam kesesatan mereka dan membuat samar kepadamu perkara
yang sudah kamu ketahui.”
Seorang ahlul bid’ah berkata
kepada Ayub As Sikhtiyaani : “Ya Abu Bakr, aku hendak bertanya
kepadamu tentang satu kalimat!” Maka Ayub berpaling daripadanya dan
mengatakan : “Tidak!!! (Walaupun) setengah
kalimat[16].”
Demikianlah telah kita lihat bagaimana sikap para
shahabat, tabi’in, dan para Imam Islam terhadap ahlul bid’ah.
Mereka keras terhadap ahlul bid’ah tanpa menoleh sedikitpun kepada
kebaikan-kebaikan mereka. Hal ini menunjukkan kesungguh-sungguhan mereka
terhadap tujuan-tujuan Islam karena adanya kaidah yang berbunyi
:
“Menolak kerusakan didahulukan daripada mengambil
kemaslahatan[17].”
Maka dengan adanya keterangan-keterangan di
atas jelaslah sudah bahwa manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah dalam mengkritik
ahlul bid’ah adalah dengan menjelaskan kebathilan-kebathilan mereka
tanpa menyebut kebaikan-kebaikan mereka agar tidak kabur makna nasihat.
Sedang mengatakan yang bathil adalah bathil itu merupakan kewajiban
sekaligus keadilan meskipun kepada karib kerabat. Sebagaimana firman Allah
Subhanahu wa Ta'ala dalam surat Al An’am ayat 152 yang artinya
:
“Dan apabila kamu berkata maka berlaku adillah walaupun
kepada karib kerabat.”
Para ulama menafsirkan
:
Yaitu katakanlah yang haq. (Lihat Tafsir Ath Thabari 5/395,
Aisarut Tafasir 2/141 karya Abu Bakar Al Jazairi, Ad Durrul Mantsur 3/385
karya As Suyuthi, dan Fathul Majid halaman 36)
Ini dalam rangka untuk
menasihati umat agar berhati-hati dari mereka dan kebathilan mereka. Manhaj
ini adalah manhaj yang telah ditempuh oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa
Sallam, para shahabat, tabi’in, dan para Imam-Imam Islam. Dan perlu
ditegaskan lagi bahwa al adl (keadilan) atau al inshaf yang benar dalam
mengkritik adalah berada di atas manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah dimana
manhaj yang haq ini berbeda dengan manhaj sururiyah.
Akhirul kalam,
kita berharap kepada Allah agar Allah menetapkan hati kita semua di atas
manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah dan kita berharap agar Dia tetap menjaga kita
dari berbagai macam penyimpangan, di antaranya penyimpangan yang dilakukan
oleh paham sururiyah ini. Kita juga berharap kepada Allah semoga Dia
menunjuki para pemuda Salafiyyin yang terjerumus ke dalam pemahaman
sururiyah dan ke dalam pemahaman-pemahaman bid’ah yang lain agar
kembali kepada manhaj Salaf, manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah. Dengan demikian
berkibarlah bendera-bendera Sunnah dan hancurlah bendera-bendera
bid’ah. Amiin Ya Rabbil Alamiin, Wallahu ‘Alam Bish Shawab.
--------------------------------------------------------------------------------
[1]
Lihat ta'liq Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid dalam Kitab Al Hithah fi Dzikir
Sihhatis Sittah karya Siddiq Hasan Khan rahimahullah ta'ala.
[2]
Miftah Darus Sa'adah 1/163, tahqiq Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid.
[3]
Lihat At Tashfiyyah wat Tarbiyyah karya Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid halaman
25 cetakan Daarut Tauhid.
[4] Termasuk di dalamnya ahlul
bid'ah.
[5] Dikutipkan dari kata sambutan Syaikh Salim Al Hilaly
terhadap kitab Manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah fi Naqdi Rijal wal Kutub wat
Thawaaif karya Syaikh Rabi' bin Hadi Al Madkhali halaman 11.
[6]
Quthbiyyah halaman 19, karangan Abi Ibrahim bin Sulthan Al
Adnaani.
[7] Pemahaman seperti ini juga disebutkan di dalam kitab
Manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah fi Taqwiimir Rijal wa Muallafaathin karya
Ahmad Suwayyan, Manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah fin Naqdi wal Hukum alal
Akharim karya Ash Shini halaman 27 dan Qawaaaidil Itidal karya Al Maqthiri
halaman 33.
[8] Lihat kitab Min Akhlaaqid Da'iyah karya Salman Al
Audah halaman 40.
[9] Lihat kitab yang sama halaman 47.
[10]
Maksudnya kita mengambil seluruh isi kitab yang baik dan yang buruk kemudian
yang baik kita letakkan pada suatu anak timbangan dan yang buruk pada anak
timbangan yang lain maka timbangan akan sama berat. Jadi kalau kita
mengkritik haruslah menyebutkan kebaikan dan keburukan dan kalau tidak maka
tidak bisa dikatakan adil. Wallahu a'lam bish shawab.
[11] Lihat
Kitab Manhaj Ahlus Sunnah wl Jamaah fi Taqwiimir Rijal wa Muallafaathin
halaman 27. Di sini kita cukupkan hanya beberapa nukilan saja dari
perkataan-perkataan mereka (sururiyin) sebagai kesimpulan dari
perkataan-perkataan yang lain.
[12] Lihat Al Quthbiyyah halaman
30-31.
[13] Lihat Manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah fi Naqdir Rijal wal
Kutub wat Thawaaif halaman 45-48.
[14] Lihat Kitab Manhaj Ahlus
Sunnah wal Jamaah fi Naqdir Rijal halaman 127-149.
[15] Fatwa-fatwa
ini dikutip dari muqaddimah Kitab Manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah fi Naqdir
Rijal halaman 8-10.
[16] Lihat Syarhus Sunnah karangan Imam Al
Baghawi 1/227.
[17] Keterangan yang lebih jelas tentang bab ini lihat
Kitab Manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah fi Naqdir Rijal halaman
23-32.
(Judul asli Prinsip Imam Ahlus Sunnah Dalam Al Inshaf, oleh
Ustadz Abdul Mu'thi Al Maidani, murid Syaikh Muqbil bin Hadi dan Syaikh
Yahya al Hajuri, Yaman)
http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=473
________________________________________________
Message sent using Webmail 1.0
============================================================================
Web Based Mailing List Salafy di http://webmail.salafy.or.id/
Alamat Email kirim ke Mailing List : "salafy @ freelists.org"
Free Webmail @ assalafi.ath.cx , @ assalafi.cjb.net , @ assalafi.mine.nu , @ assalafi.za.net , @ salafy.ath.cx, @ salafy.cjb.net , @ salafy.mine.nu , @ salafy.za.net , @ salafy.zzn.com , @ s.salafy.or.id , @ user.salafy.or.id
----------------------------------------------------------------------------
Other related posts:
- » [milis-salafy] Prinsip Imam Ahlus Sunnah Dalam Al Inshaf