** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List ** ** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: ** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ ** ** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral scholarship, kunjungi http://informasi-beasiswa.blogspot.com **http://www.indomedia.com/bpost/022006/21/opini/opini1.htm Meretas Paradigma Kebijakan Kehutanan, Menata Institusi Lokal Oleh: Rivani Noor "Kehutanan menjadi sektor yang amat tertutup, penuh rahasia. Walaupun ada statistik resmi mengenai luas hutan resmi, hal itu tidak berarti bahwa kawasan tersebut benar-benar tertutup hutan." (Emil Salim: 2003) Awalnya pembangunan Kebun Kayu Komersial (istilah lain dari Hutan Tanaman Industri - HTI) merupakan upaya untuk mendukung kelestarian ekonomis hutan alam dengan cara mengurangi degradasi, terutama akibat penebangan pohon secara berlebihan. Pembangunan Kebun Kayu Komersial (KKK), mempunyai tujuan utama sebagai unit kelola kehutanan yang menjamin penyediaan bahan baku kayu yang dibutuhkan industri. Areal yang tidak produktif dalam kawasan hutan produksi, lahan kritis, tanah kosong, alang-alang dan semak belukar adalah prioritas lokasi pembangunan KKK. Galibnya, pembangunan KKK diimpikan dapat merehabilitasi lahan kritis kemudian mengolahnya menjadi produktif. Nyatanya, fakta dan data lapangan menunjukkan, industri KKK justru memampas habis hutan alam serta primer untuk diambil kayunya. Atau alih-alih menggapai mimpi indah tentang produktivitas lahan kritis, malah industri KKK banyak mengorbankan hutan tropis yang produktif. Tren pembangunan KKK saat sekarang adalah untuk memasok bahan baku industri bubur kertas. Industri ini bersemai pesat dalam dekade 1990-an, dan saat ini menjadi salah satu dari 10 komoditas ekspor utama di sektor industri. Antara 1993-1997, produksi bubur kertas rata-rata meningkat 37,1 persen per tahun. Ini juga meningkatkan nilai ekspor dari 0,5 juta dolar AS pada 1993 menjadi 2,7 juta dolar AS pada 1999 (Bank Indonesia: 2000). Pertumbuhan industri bubur kertas yang menanjak pesat melahirkan ancaman terhadap kelestarian hutan alam. Salah satu ancaman adalah kesenjangan antara tingginya kapasitas produksi terpasang pabrik bubur kertas, dengan rendahnya pasokan bahan baku KKK. Banyak pabrik bubur kertas mengalami kesulitan mendapatkan pasokan bahan baku, karena lambatnya pembangunan KKK. Dari tujuh industri bubur kertas yang menyebar di Sumatera dan Kalimantan, dengan kisaran kebutuhan baku antara 700.000-9.000.000 meter kubik per tahun, belum ada fakta atau data yang membuktikan mereka tidak mengambil hutan alam. Dari data Departemen Kehutanan pada 2003, rata-rata industri bubur kertas mengalami kekurangan bahan baku sekitar 700.000-2.000.000 meter kubik per tahun. Sementara kemampuan pasokan dari grup KKK, tidak lebih dari angka 20-25 persen. Sebenarnya, angka ini dapat berubah ekstrim kalau kita menoleh ke belakang dengan mengambil file data lain, yang juga bersumber dari Departemen Kehutanan. Dari data Statistik Pengusahaan Hutan pada 2001, kebutuhan bahan baku kayu untuk industri bubur kertas saja mencapai 25 juta meter kubik per tahun. Sementara produksi kayu bulat dari KKK --termasuk KKK pertukangan-- baru mencapai 3,8 juta meter kubik per tahun. Jadi, bukan lagi ketidakseimbangan neraca bahan baku dan kapasitas industri yang terjadi, tetapi neraca yang njomplang. Untuk Kalsel sendiri, misalnya. Dalam tiga tahun terakhir, hampir semua KKK tidak melakukan penanaman. Kecuali PT Inhutani II, PT Kodeco Timber dan PT Aya Yayang Indonesia. Pada titik ini, kebijakan dan efektivitas peran kelembagaan yang mendorong pembangunan KKK dengan tujuan kelestarian pasokan kayu dan mengurangi tekanan terhadap hutan alam patut dipertanyakan. Karena sampai sekarang, untuk menjawab defisit struktural pasokan bahan baku industri bubur kertas, pemerintah masih menjalankan kebijakan yang faktanya gagal menjamin kebutuhan pasokan bahan baku. Gagal mempertahankan hutan alam dan menumbuhkan iklim industri yang sehat. Segitiga Kegagalan Disadari, problem sektor kehutanan saat sekarang tak lepas dari sesat pikir rezim Orde Baru. Sistem sentralistik, patronase yang dibumbui dengan praktik koersif serta refressif, menjadikan sektor kehutanan sebagai sapi perah untuk kepentingan kekuasaan politik dan penggelembungan kekayaan segelintir orang yang berada di lingkaran kekuasaan. Arus reformasi yang bergulir, tidak serta merta mengimbas ke sektor kehutanan. Tarik menarik kepentingan terutama antara pemangku kebijakan dan lembaga di tingkat pusat dan daerah, masih kental mewarnai proses perubahan di sektor kehutanan. Untuk industri bubur kertas dan KKK, paradigma pengelolaan masih bersifat konvensional yaitu memberikan insentif kuat ke perusahaan dengan mengabaikan jasa lingkungan. Padahal, industri ini sarat masalah lingkungan dan deviasi permodalan. Tata kelembagaan pemerintah sendiri, belum adaptif dan kapabel untuk melakukan kontrol yang mumpuni terhadap ekspansi KKK. Berkaca pada fakta dan rangkai pengalaman, pengelolaan industri KKK korelatif dengan penerapan prinsip lingkungan, dapat ditorehkan catatan sederhana yang dirumuskan dalam Segitiga Kegagalan: Kegagalan Pasar, Kegagalan Kebijakan, Kegagalan Institusional. Kegagalan Pasar Lazimnya, izin pengusahaan kawasan tidak diberikan pada tingkat harga yang tepat, dengan menginternalisasi biaya lingkungan. Alasan yang sering dipakai adalah sangat sulit bahkan cenderung tidak memungkinkan memberi nilai terhadap biaya lingkungan. Dalam alur ini, pasar tidak menangkap biaya yang terkait dengan lingkungan. Pada gilirannya, hutan atau bentang kawasan dieksploitasi tanpa memperhitungkan atau mempertimbangkan biaya lingkungan. Ini dapat terlihat dari ekspansifnya industri KKK, tanpa memperhitungkan rasio kecukupan bahan baku dengan kapasitas industri. Juga, praktik penjarahan terhadap kawasan hutan alam atau hutan konservasi dengan bahasa retorik 'demi kelanjutan industri'. Kegagalan Kebijakan Kebijakan untuk pembangunan industri bubur kertas dikeluarkan tanpa mempertimbangkan daya dukung bahan baku, track record maupun kapasitas unit pengelola KKK. Kucuran kredit murah dan ragam insentif melimpah ke perusahaan yang mau membangun KKK, bahkan kerap kali penuh disaput hubungan kekuasaan atau patrimonial. Dalam kenyataannya, kita melihat banyak perusahaan yang menerapkan aji mumpung (moral hazard) untuk mendapatkan kredit murah sektor kehutanan. Kemudian memanfaatkannya untuk pengembangan bisnis lain, atau malah untuk memperkaya diri. Sobekan problem nyata di Kalsel dapat kita temui pada kasus PT Menara Hutan Buana (PT MHB). Perusahaan yang dimiliki kelompok bisnis Mercu Buana ini dipimpin orang dekat lingkar kekuasaan pada zamannya, yaitu Probosutedjo. Berdasarkan investigasi kelompok NGO, pemerintah dan wartawan, perusahaan ini terbukti melakukan penyalahgunaan Dana Reboisasi sehingga menyebabkan kerugian negara sebesar Rp43,47 miliar. Kasus ini juga mengajarkan betapa sporadis dan parsialnya kebijakan antarinstitusi negara. Kegagalan Institusional Di zaman Orde Baru ketika izin KKK marak dikeluarkan, model institusi pemerintah di sektor kehutanan sangat sentralistik. Di zaman yang berubah sekarang, masih terdapat tarik menarik antara pusat dan lokal. Bahkan menyebabkan situasi tumpang tindih antarinstitusi sektor kehutanan, baik pusat-daerah maupun antardaerah. Kesan kuat yang muncul, desentralisasi pengelolaan kehutanan baru menjadi bahasa simbolis politik karena Dephut masih kencang mempertahankan kendali mereka atas hutan. Secara umum, benang merah di sepanjang jalan rezim kekuasaan menggambarkan betapa institusi otoritas kehutanan belum memperhitungkan pertimbangan prinsip lingkungan yang diperlukan bagi pengelolaan hutan secara lestari. Situasi ini jelas tidak menguntungkan bagi kelestarian hutan dan penciptaan iklim industri kehutanan yang sehat. Harus diakui, perangkat dan kapasitas institusi kehutanan tidak mampu untuk mengelola bentangan luas wilayah hutan di Indonesia. Desentralisasi dalam ranah dan entitas nyata, amat mutlak diwujudkan. Masih diametris dengan masalah institusi kehutanan, di tingkat yang sederhana dan mendasar, institusi kehutanan sampai sekarang belum mampu membangun kepastian tata batas wilayah kehutanan. Menurut UU Nomor 41/1999 tentang Kehutanan, untuk mencapai penyelenggaraan hutan lestari dan adil harus dilaksanakan perencanaan kehutanan yang transparan, partisipatif, terpadu serta memperhatikan kekhasan dan aspirasi daerah. Perencanaan kehutanan meliputi inventarisasi hutan, pengukuhan kawasan hutan, penatagunaan kawasan hutan, pembentukan wilayah pengelolaan hutan dan penyusunan rencana kehutanan. Tatanan perencanaan kehutanan diinisiasikan untuk menghindari tumpang tindih kawasan yang berpotensi terhadap penegakan hukum, kepastian iklim usaha dan mempersempit peluang konflik tenurial. Sebuah perusahaan KKK sebagai pihak yang diberikan kepercayaan oleh pemerintah untuk mengelola suatu wilayah untuk bisnis kehutanan, secara yuridis dan sosiologis harus memastikan bahwa kawasan konsesi yang diajukannya telah clear and clean. Artinya, bebas dari tumpang tindih kawasan atau potensi tegakan kayunya tidak lagi memenuhi untuk dipertahankan sebagai hutan alam. Kenyataannya, dapat dikatakan hampir semua kawasan KKK selalu mengalami tumpang tindih, baik dengan unit usaha lain maupun dengan tanah masyarakat. Kalau kita taat pada azas dan semangat UU Kehutanan dan prinsip pengelolaan kehutanan yang lestari dan adil, maka perusahaan KKK yang arealnya belum clear and clean tidak layak untuk mendapatkan hak kelola kawasan. Serta bagi yang mengandung persoalan layak untuk dinilai ulang --karena kalau tidak-- kita telah menistai semangat konstruktif dalam UU tersebut. Kondisi tumpang tindih kawasan beserta implikasi turunannya, sebenarnya juga merupakan konsekuensi logis ketika kita melihat masih carut marutnya tata batas kehutanan dalam koridor temu gelang --kawasan hutan yang sudah diselaraspadukan dengan wilayah konsesi lainnya. Dari luasan total hutan Indonesia 120,25 juta hektare, baru sekitar 12 juta hektare yang sudah melewati proses temu gelang. Atau, status hukum kawasan hutan tersebut sepenuhnya mantap (Renstra Dephut 2001-2005), atau tak lebih dari 12 persen. Artinya, hampir 80 persen kawasan hutan di Indonesia status hukumnya labil, atau rawan dengan aksi klaim dan membuka ruang ketidakpastian hukum. Pada aras demikian, hukum besi politik-ekonomi bekerja. Siapa yang kuat maka ialah yang akan memenangkan perebutan klaim atas wilayah kehutanan. Pihak yang selalu kalah adalah rakyat kecil. Tata batas kawasan hutan temu gelang, untuk Kalsel hanya dilakukan pada kurun waktu 1996/1997. Dari luasan hutan primer sekitar 670 ribu hektare, konsesi HPH dan KKK yang mencapai 3,5 juta hektare (NFI, 1998), baru sekitar 960 ribu hektare yang melewati saluran temu gelang. Pascakurun waktu 1996/1997, tidak dilakukan lagi tata batas temu gelang. Padahal, izin pengelolaan ataupun konversi kawasan hutan terus dilahirkan kurun waktu selanjutnya. Maka, sangat relevan ketika membicarakan penataan institusi kehutanan. Juga berbicara tentang kapasitas institusi, watak dan paradigma institusi kehutanan serta bagaimana relasi pemerintah dengan modal dan rakyat bekerja --membongkar dengan kritis bagaimana institusi kehutanan, baik state domain maupun coorporate domain, secara struktural dibangun diatas proses perusakan sumberdaya hutan. Berkaca pada kasus temu gelang saja, maka harus dibongkar kesan puritanisme institusi kehutanan yang tidak berpihak pada rakyat kecil. Hanya karena keterbatasan kapasitas atau relasi struktural diinternal birokrasi yang masih sarat kepentingan, karena, sekali lagi, harga yang harus dibayar amat mahal: rusaknya lingkungan dan penggadaian nasib rakyat kecil. Rekonstruksi paradigma dan arus struktur institusi kehutanan debagian besar hutan di Indonesia, ditetapkan sebagai hutan negara dan pengurusannya diselenggarakan oleh pemerintah sehingga kinerja pemerintah sangat menentukan keberhasilan pengelolaan kehutanan. Problemnya, pemerintah sendiri dengan kekuasaan yang besar atas sumberdaya hutan belum mampu mengatasi internalitas konfliknya, juga menangkap balik semangat desentralisasi otoritas kelola atas sumberdaya hutan. Contoh mendasar tentang kronisnya tata batas kawasan hutan, telah mampu menampilan potret kelemahan kontrol internal dalam tubuh pemerintah sehingga keluaran kebijakan justru menghalangi implementasi kebijakan yang telah dicanangkan. Hal ini di alur berikutnya akan memperlemah fungsi layanan publik. Oleh karena itu, dalam konteks pencapaian upaya penyelamatan dan pengelolaan hutan secara adil lestari, penataan institusi pemerintah dan birokrasinya dapat dikatakan the real problem dan lainnya adalah symptom. Tanpa membenahi institusi pengelolaan hutan, maka hal berikut akan terjadi dalam pengelolaan KKK: a. Lemahnya identifikasi nilai kebersamaan di antara pihak yang sedang bersengketa dalam isu sumberdaya hutan. Ironisnya, banyak pengalaman mencatat pemecahan masalah justru diserahkan ke pihak swasta sehingga malah menimbulkan potensi konflik berkepanjangan. b. Proses perumusan kebijakan menjadi ambigu dan cenderung mampet untuk mencari pemecahan masalah di lapangan, yang kerap kali berbeda antara wilayah. c. Kebijakan dan institusi pengelolan kehutanan tidak mampu membangkitkan semangat memiliki sumberdaya hutan, sehingga pemegang KKK tidak mempunyai niat tulus untuk melindungi kelestarian hutan. d. Data dan informasi berkaitan dengan pengelolaan hutan sangat lemah karena target pengambilan keputusan bersifat parsial, hanya menekankan pada aspek administratif, bukan problem nyata di lapangan. e. Lemahnya pertukaran pengetahuan tentang pengelolaan hutan yang spesifik menurut kar akter wilayah, akibatnya penyempurnaan kebijakan tidak dapat dilakukan menurut kebutuhan. Kemudian, dalam aliran arus desentralisasi kelola kehutanan atau era otonomi daerah, perlu dikuatkan institusi pengelola kawasan hutan yang mampu mengidentifikasi permasalahan spesifik wilayah tertentu. Dengan demikian, institusi ini mampu mengambil keputusan atau membangun kebijakan berdasarkan informasi, situasi nyata maupun aspirasi yang berkembang di masyarakat. Terakhir, problem struktural institusi kehutanan dapat dilakukan melalui keterbukaan dalam proses perumusan kebijakan serta melakukan dialog dengan pemangku kepentingan dari ragam pihak. Tata institusi kehutanan wajib adaptif dengan kritik dan masukkan ragam pihak. Ini dapat memecah paradigma konservatif dan genggam erat negara atas kawasan hutan. * Sukarelawan Walhi Kalsel, Urang Banjar tinggal di Jambi e-mail: rv_noor@xxxxxxxxx [Non-text portions of this message have been removed] *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://groups.yahoo.com/group/ppiindia *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx 5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx 6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/ ** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List ** ** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: ** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ ** ** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral scholarship, kunjungi http://informasi-beasiswa.blogspot.com **