[nasional_list] [ppiindia] s Paradigma Kebijakan Kehutanan, Menata Institusi Lokal

  • From: "Ambon" <sea@xxxxxxxxxx>
  • To: <"Undisclosed-Recipient:;"@freelists.org>
  • Date: Tue, 21 Feb 2006 00:52:49 +0100

** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com 
**http://www.indomedia.com/bpost/022006/21/opini/opini1.htm

Meretas Paradigma Kebijakan Kehutanan, Menata Institusi Lokal

Oleh: Rivani Noor

"Kehutanan menjadi sektor yang amat tertutup, penuh rahasia. 

Walaupun ada statistik resmi mengenai luas hutan resmi, hal itu tidak berarti 
bahwa kawasan tersebut benar-benar tertutup hutan." (Emil Salim: 2003)

Awalnya pembangunan Kebun Kayu Komersial (istilah lain dari Hutan Tanaman 
Industri - HTI) merupakan upaya untuk mendukung kelestarian ekonomis hutan alam 
dengan cara mengurangi degradasi, terutama akibat penebangan pohon secara 
berlebihan. Pembangunan Kebun Kayu Komersial (KKK), mempunyai tujuan utama 
sebagai unit kelola kehutanan yang menjamin penyediaan bahan baku kayu yang 
dibutuhkan industri.

Areal yang tidak produktif dalam kawasan hutan produksi, lahan kritis, tanah 
kosong, alang-alang dan semak belukar adalah prioritas lokasi pembangunan KKK. 
Galibnya, pembangunan KKK diimpikan dapat merehabilitasi lahan kritis kemudian 
mengolahnya menjadi produktif.

Nyatanya, fakta dan data lapangan menunjukkan, industri KKK justru memampas 
habis hutan alam serta primer untuk diambil kayunya. Atau alih-alih menggapai 
mimpi indah tentang produktivitas lahan kritis, malah industri KKK banyak 
mengorbankan hutan tropis yang produktif.

Tren pembangunan KKK saat sekarang adalah untuk memasok bahan baku industri 
bubur kertas. Industri ini bersemai pesat dalam dekade 1990-an, dan saat ini 
menjadi salah satu dari 10 komoditas ekspor utama di sektor industri. Antara 
1993-1997, produksi bubur kertas rata-rata meningkat 37,1 persen per tahun. Ini 
juga meningkatkan nilai ekspor dari 0,5 juta dolar AS pada 1993 menjadi 2,7 
juta dolar AS pada 1999 (Bank Indonesia: 2000).

Pertumbuhan industri bubur kertas yang menanjak pesat melahirkan ancaman 
terhadap kelestarian hutan alam. Salah satu ancaman adalah kesenjangan antara 
tingginya kapasitas produksi terpasang pabrik bubur kertas, dengan rendahnya 
pasokan bahan baku KKK. Banyak pabrik bubur kertas mengalami kesulitan 
mendapatkan pasokan bahan baku, karena lambatnya pembangunan KKK. 

Dari tujuh industri bubur kertas yang menyebar di Sumatera dan Kalimantan, 
dengan kisaran kebutuhan baku antara 700.000-9.000.000 meter kubik per tahun, 
belum ada fakta atau data yang membuktikan mereka tidak mengambil hutan alam. 
Dari data Departemen Kehutanan pada 2003, rata-rata industri bubur kertas 
mengalami kekurangan bahan baku sekitar 700.000-2.000.000 meter kubik per 
tahun. Sementara kemampuan pasokan dari grup KKK, tidak lebih dari angka 20-25 
persen.

Sebenarnya, angka ini dapat berubah ekstrim kalau kita menoleh ke belakang 
dengan mengambil file data lain, yang juga bersumber dari Departemen Kehutanan. 
Dari data Statistik Pengusahaan Hutan pada 2001, kebutuhan bahan baku kayu 
untuk industri bubur kertas saja mencapai 25 juta meter kubik per tahun. 
Sementara produksi kayu bulat dari KKK --termasuk KKK pertukangan-- baru 
mencapai 3,8 juta meter kubik per tahun. Jadi, bukan lagi ketidakseimbangan 
neraca bahan baku dan kapasitas industri yang terjadi, tetapi neraca yang 
njomplang.

Untuk Kalsel sendiri, misalnya. Dalam tiga tahun terakhir, hampir semua KKK 
tidak melakukan penanaman. Kecuali PT Inhutani II, PT Kodeco Timber dan PT Aya 
Yayang Indonesia.

Pada titik ini, kebijakan dan efektivitas peran kelembagaan yang mendorong 
pembangunan KKK dengan tujuan kelestarian pasokan kayu dan mengurangi tekanan 
terhadap hutan alam patut dipertanyakan. Karena sampai sekarang, untuk menjawab 
defisit struktural pasokan bahan baku industri bubur kertas, pemerintah masih 
menjalankan kebijakan yang faktanya gagal menjamin kebutuhan pasokan bahan 
baku. Gagal mempertahankan hutan alam dan menumbuhkan iklim industri yang sehat.

Segitiga Kegagalan 

Disadari, problem sektor kehutanan saat sekarang tak lepas dari sesat pikir 
rezim Orde Baru. Sistem sentralistik, patronase yang dibumbui dengan praktik 
koersif serta refressif, menjadikan sektor kehutanan sebagai sapi perah untuk 
kepentingan kekuasaan politik dan penggelembungan kekayaan segelintir orang 
yang berada di lingkaran kekuasaan.

Arus reformasi yang bergulir, tidak serta merta mengimbas ke sektor kehutanan. 
Tarik menarik kepentingan terutama antara pemangku kebijakan dan lembaga di 
tingkat pusat dan daerah, masih kental mewarnai proses perubahan di sektor 
kehutanan. Untuk industri bubur kertas dan KKK, paradigma pengelolaan masih 
bersifat konvensional yaitu memberikan insentif kuat ke perusahaan dengan 
mengabaikan jasa lingkungan. Padahal, industri ini sarat masalah lingkungan dan 
deviasi permodalan. Tata kelembagaan pemerintah sendiri, belum adaptif dan 
kapabel untuk melakukan kontrol yang mumpuni terhadap ekspansi KKK.

Berkaca pada fakta dan rangkai pengalaman, pengelolaan industri KKK korelatif 
dengan penerapan prinsip lingkungan, dapat ditorehkan catatan sederhana yang 
dirumuskan dalam Segitiga Kegagalan: Kegagalan Pasar, Kegagalan Kebijakan, 
Kegagalan Institusional.

Kegagalan Pasar

Lazimnya, izin pengusahaan kawasan tidak diberikan pada tingkat harga yang 
tepat, dengan menginternalisasi biaya lingkungan. Alasan yang sering dipakai 
adalah sangat sulit bahkan cenderung tidak memungkinkan memberi nilai terhadap 
biaya lingkungan. Dalam alur ini, pasar tidak menangkap biaya yang terkait 
dengan lingkungan. Pada gilirannya, hutan atau bentang kawasan dieksploitasi 
tanpa memperhitungkan atau mempertimbangkan biaya lingkungan.

Ini dapat terlihat dari ekspansifnya industri KKK, tanpa memperhitungkan rasio 
kecukupan bahan baku dengan kapasitas industri. Juga, praktik penjarahan 
terhadap kawasan hutan alam atau hutan konservasi dengan bahasa retorik 'demi 
kelanjutan industri'.

Kegagalan Kebijakan

Kebijakan untuk pembangunan industri bubur kertas dikeluarkan tanpa 
mempertimbangkan daya dukung bahan baku, track record maupun kapasitas unit 
pengelola KKK. Kucuran kredit murah dan ragam insentif melimpah ke perusahaan 
yang mau membangun KKK, bahkan kerap kali penuh disaput hubungan kekuasaan atau 
patrimonial. Dalam kenyataannya, kita melihat banyak perusahaan yang menerapkan 
aji mumpung (moral hazard) untuk mendapatkan kredit murah sektor kehutanan. 
Kemudian memanfaatkannya untuk pengembangan bisnis lain, atau malah untuk 
memperkaya diri. 

Sobekan problem nyata di Kalsel dapat kita temui pada kasus PT Menara Hutan 
Buana (PT MHB). Perusahaan yang dimiliki kelompok bisnis Mercu Buana ini 
dipimpin orang dekat lingkar kekuasaan pada zamannya, yaitu Probosutedjo. 
Berdasarkan investigasi kelompok NGO, pemerintah dan wartawan, perusahaan ini 
terbukti melakukan penyalahgunaan Dana Reboisasi sehingga menyebabkan kerugian 
negara sebesar Rp43,47 miliar. Kasus ini juga mengajarkan betapa sporadis dan 
parsialnya kebijakan antarinstitusi negara.

Kegagalan Institusional

Di zaman Orde Baru ketika izin KKK marak dikeluarkan, model institusi 
pemerintah di sektor kehutanan sangat sentralistik. Di zaman yang berubah 
sekarang, masih terdapat tarik menarik antara pusat dan lokal. Bahkan 
menyebabkan situasi tumpang tindih antarinstitusi sektor kehutanan, baik 
pusat-daerah maupun antardaerah.

Kesan kuat yang muncul, desentralisasi pengelolaan kehutanan baru menjadi 
bahasa simbolis politik karena Dephut masih kencang mempertahankan kendali 
mereka atas hutan. Secara umum, benang merah di sepanjang jalan rezim kekuasaan 
menggambarkan betapa institusi otoritas kehutanan belum memperhitungkan 
pertimbangan prinsip lingkungan yang diperlukan bagi pengelolaan hutan secara 
lestari.

Situasi ini jelas tidak menguntungkan bagi kelestarian hutan dan penciptaan 
iklim industri kehutanan yang sehat. Harus diakui, perangkat dan kapasitas 
institusi kehutanan tidak mampu untuk mengelola bentangan luas wilayah hutan di 
Indonesia. Desentralisasi dalam ranah dan entitas nyata, amat mutlak 
diwujudkan. 

Masih diametris dengan masalah institusi kehutanan, di tingkat yang sederhana 
dan mendasar, institusi kehutanan sampai sekarang belum mampu membangun 
kepastian tata batas wilayah kehutanan. Menurut UU Nomor 41/1999 tentang 
Kehutanan, untuk mencapai penyelenggaraan hutan lestari dan adil harus 
dilaksanakan perencanaan kehutanan yang transparan, partisipatif, terpadu serta 
memperhatikan kekhasan dan aspirasi daerah. Perencanaan kehutanan meliputi 
inventarisasi hutan, pengukuhan kawasan hutan, penatagunaan kawasan hutan, 
pembentukan wilayah pengelolaan hutan dan penyusunan rencana kehutanan. Tatanan 
perencanaan kehutanan diinisiasikan untuk menghindari tumpang tindih kawasan 
yang berpotensi terhadap penegakan hukum, kepastian iklim usaha dan 
mempersempit peluang konflik tenurial. 

Sebuah perusahaan KKK sebagai pihak yang diberikan kepercayaan oleh pemerintah 
untuk mengelola suatu wilayah untuk bisnis kehutanan, secara yuridis dan 
sosiologis harus memastikan bahwa kawasan konsesi yang diajukannya telah clear 
and clean. Artinya, bebas dari tumpang tindih kawasan atau potensi tegakan 
kayunya tidak lagi memenuhi untuk dipertahankan sebagai hutan alam. 
Kenyataannya, dapat dikatakan hampir semua kawasan KKK selalu mengalami tumpang 
tindih, baik dengan unit usaha lain maupun dengan tanah masyarakat.

Kalau kita taat pada azas dan semangat UU Kehutanan dan prinsip pengelolaan 
kehutanan yang lestari dan adil, maka perusahaan KKK yang arealnya belum clear 
and clean tidak layak untuk mendapatkan hak kelola kawasan. Serta bagi yang 
mengandung persoalan layak untuk dinilai ulang --karena kalau tidak-- kita 
telah menistai semangat konstruktif dalam UU tersebut.

Kondisi tumpang tindih kawasan beserta implikasi turunannya, sebenarnya juga 
merupakan konsekuensi logis ketika kita melihat masih carut marutnya tata batas 
kehutanan dalam koridor temu gelang --kawasan hutan yang sudah diselaraspadukan 
dengan wilayah konsesi lainnya.

Dari luasan total hutan Indonesia 120,25 juta hektare, baru sekitar 12 juta 
hektare yang sudah melewati proses temu gelang. Atau, status hukum kawasan 
hutan tersebut sepenuhnya mantap (Renstra Dephut 2001-2005), atau tak lebih 
dari 12 persen. Artinya, hampir 80 persen kawasan hutan di Indonesia status 
hukumnya labil, atau rawan dengan aksi klaim dan membuka ruang ketidakpastian 
hukum. Pada aras demikian, hukum besi politik-ekonomi bekerja. Siapa yang kuat 
maka ialah yang akan memenangkan perebutan klaim atas wilayah kehutanan. Pihak 
yang selalu kalah adalah rakyat kecil.

Tata batas kawasan hutan temu gelang, untuk Kalsel hanya dilakukan pada kurun 
waktu 1996/1997. Dari luasan hutan primer sekitar 670 ribu hektare, konsesi HPH 
dan KKK yang mencapai 3,5 juta hektare (NFI, 1998), baru sekitar 960 ribu 
hektare yang melewati saluran temu gelang. Pascakurun waktu 1996/1997, tidak 
dilakukan lagi tata batas temu gelang. Padahal, izin pengelolaan ataupun 
konversi kawasan hutan terus dilahirkan kurun waktu selanjutnya.

Maka, sangat relevan ketika membicarakan penataan institusi kehutanan. Juga 
berbicara tentang kapasitas institusi, watak dan paradigma institusi kehutanan 
serta bagaimana relasi pemerintah dengan modal dan rakyat bekerja --membongkar 
dengan kritis bagaimana institusi kehutanan, baik state domain maupun 
coorporate domain, secara struktural dibangun diatas proses perusakan 
sumberdaya hutan. Berkaca pada kasus temu gelang saja, maka harus dibongkar 
kesan puritanisme institusi kehutanan yang tidak berpihak pada rakyat kecil. 
Hanya karena keterbatasan kapasitas atau relasi struktural diinternal birokrasi 
yang masih sarat kepentingan, karena, sekali lagi, harga yang harus dibayar 
amat mahal: rusaknya lingkungan dan penggadaian nasib rakyat kecil.

Rekonstruksi paradigma dan arus struktur institusi kehutanan debagian besar 
hutan di Indonesia, ditetapkan sebagai hutan negara dan pengurusannya 
diselenggarakan oleh pemerintah sehingga kinerja pemerintah sangat menentukan 
keberhasilan pengelolaan kehutanan. Problemnya, pemerintah sendiri dengan 
kekuasaan yang besar atas sumberdaya hutan belum mampu mengatasi internalitas 
konfliknya, juga menangkap balik semangat desentralisasi otoritas kelola atas 
sumberdaya hutan. 

Contoh mendasar tentang kronisnya tata batas kawasan hutan, telah mampu 
menampilan potret kelemahan kontrol internal dalam tubuh pemerintah sehingga 
keluaran kebijakan justru menghalangi implementasi kebijakan yang telah 
dicanangkan. Hal ini di alur berikutnya akan memperlemah fungsi layanan publik. 
Oleh karena itu, dalam konteks pencapaian upaya penyelamatan dan pengelolaan 
hutan secara adil lestari, penataan institusi pemerintah dan birokrasinya dapat 
dikatakan the real problem dan lainnya adalah symptom.

Tanpa membenahi institusi pengelolaan hutan, maka hal berikut akan terjadi 
dalam pengelolaan KKK: a. Lemahnya identifikasi nilai kebersamaan di antara 
pihak yang sedang bersengketa dalam isu sumberdaya hutan. Ironisnya, banyak 
pengalaman mencatat pemecahan masalah justru diserahkan ke pihak swasta 
sehingga malah menimbulkan potensi konflik berkepanjangan. b. Proses perumusan 
kebijakan menjadi ambigu dan cenderung mampet untuk mencari pemecahan masalah 
di lapangan, yang kerap kali berbeda antara wilayah. c. Kebijakan dan institusi 
pengelolan kehutanan tidak mampu membangkitkan semangat memiliki sumberdaya 
hutan, sehingga pemegang KKK tidak mempunyai niat tulus untuk melindungi 
kelestarian hutan. d. Data dan informasi berkaitan dengan pengelolaan hutan 
sangat lemah karena target pengambilan keputusan bersifat parsial, hanya 
menekankan pada aspek administratif, bukan problem nyata di lapangan. e. 
Lemahnya pertukaran pengetahuan tentang pengelolaan hutan yang spesifik menurut 
kar
 akter wilayah, akibatnya penyempurnaan kebijakan tidak dapat dilakukan menurut 
kebutuhan.

Kemudian, dalam aliran arus desentralisasi kelola kehutanan atau era otonomi 
daerah, perlu dikuatkan institusi pengelola kawasan hutan yang mampu 
mengidentifikasi permasalahan spesifik wilayah tertentu. Dengan demikian, 
institusi ini mampu mengambil keputusan atau membangun kebijakan berdasarkan 
informasi, situasi nyata maupun aspirasi yang berkembang di masyarakat.

Terakhir, problem struktural institusi kehutanan dapat dilakukan melalui 
keterbukaan dalam proses perumusan kebijakan serta melakukan dialog dengan 
pemangku kepentingan dari ragam pihak. Tata institusi kehutanan wajib adaptif 
dengan kritik dan masukkan ragam pihak. Ini dapat memecah paradigma konservatif 
dan genggam erat negara atas kawasan hutan.

* Sukarelawan Walhi Kalsel, 
Urang Banjar tinggal di Jambi
e-mail: rv_noor@xxxxxxxxx


[Non-text portions of this message have been removed]



***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx
5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx
6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com **

Other related posts:

  • » [nasional_list] [ppiindia] s Paradigma Kebijakan Kehutanan, Menata Institusi Lokal