[nasional_list] [ppiindia] Wajah Baru Jusuf Kalla

  • From: "Ambon" <sea@xxxxxxxxxx>
  • To: <"Undisclosed-Recipient:;"@freelists.org>
  • Date: Sun, 19 Feb 2006 22:40:07 +0100

** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com 
**http://www.indopos.co.id/index.php?act=detail_c&id=212456

Senin, 20 Feb 2006,



Wajah Baru Jusuf Kalla


Oleh Muhammad Qodari 


Di luar tarik-menarik hak angket dan interpelasi impor beras serta kontroversi 
surat perintah penyelidikan polisi terhadap angggota Dewan Perwakilan Rakyat 
(DPR) dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Keadilan 
Sejahtera (PKS), ada hal penting yang berubah dalam jagat perpolitikan 
Indonesia beberapa waktu terakhir. Perubahan itu subtil karena yang berubah 
adalah peran, bukan posisi politik.

Meski "hanya" pada tataran peran atau gaya politik, tampaknya perubahan 
tersebut cukup signifikan karena memang pengaruh seorang aktor politik 
kadang-kadang melebihi posisi struktural yang dijabatnya. Tentu kita masih 
ingat istilah "supermenteri" yang disematkan pada Siti Hardiyanti "Tutut" 
Rukmana, menteri sosial pada kabinet terakhir Soeharto. Atau istilah yang sama 
untuk Adi Sasono, menteri koperasi dan usaha kecil dan menengah (UKM) di era 
pemerintahan Habibie.

Istilah "supermenteri" diberikan kepada Tutut karena dia turut menentukan 
nama-nama yang ditunjuk menjadi menteri. Tutut juga banyak tampil dan mengambil 
peran aktif dalam kebijakan nasional, seperti Gerakan Cinta Rupiah, meski 
gagal. 

Adi Sasono berpengaruh karena disebut-disebut mempengaruhi arah kebijakan 
ekonomi yang dianggap anti pada pengusaha besar domestik yang notabene 
didominasi warga Indonesia keturunan Tionghoa. Akibatnya, Adi sempat dijuluki 
"The Most Dangerous Man in Asia" oleh sebuah majalah regional asing.

Dalam sejarah politik Indonesia, tokoh yang aura pengaruhnya lebih besar 
daripada jabatan strukturalnya memang tidak banyak. Dengan demikian, ketika 
tokoh semacam itu muncul, sorotan akan langsung terarah pada dirinya. Sorotan 
tersebut biasanya jadi ramai karena akan muncul pro dan kontra. 

Dalam kasus Adi Sasono, misalnya, banyak yang menolak karena takut dengan 
kebijakan yang dianggap anti kekuatan ekonomi besar (konglomerat). Sebaliknya, 
dukungan datang dari kalangan yang menilai Adi tengah melakukan keberpihakan 
pada koperasi dan UKM yang notabene dimarginalisasi perannya dalam pembangunan 
masa Orde Baru. 

Situasi semacam itu pulalah yang kiranya dialami Wakil Presiden (Wapres) Jusuf 
Kalla. Kiranya tidak ada Wapres Indonesia yang se-"high profile" Jusuf Kalla. 
Orang akan selalu ingat M. Hatta, tetapi Hatta adalah orang yang "low profile". 

Kiprah Hatta yang menonjol justru bukan sebagai Wapres, tapi sebagai 
proklamator dan guru bangsa. Para Wapres di masa Orde Baru umumnya berada di 
bawah bayang-bayang Soeharto. Jusuf Kalla-lah "super Wapres" pertama yang 
dimiliki Indonesia.

Seperti sosok-sosok "super" lain sebelumnya, pro dan kontra muncul seputar 
peran yang dimainkan Kalla dalam berbagai kebijakan, mulai penyusunan Kabinet 
Indonesia Bersatu (KIB) Jilid I, perundingan pemerintah Indonesia dengan 
Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki, hingga kenaikan harga bahan bakar 
minyak (BBM) Maret dan Oktober 2005. 

Peran yang dimainkan Kalla dalam berbagai kebijakan penting dan strategis itu 
sangat besar, bahkan dinilai mendahului atau berbeda dengan Presiden Susilo 
Bambang Yudhoyono (SBY).

Lepas dari substansi isi atau prospek keberhasilan kebijakan publik yang 
dipengaruhi Kalla, paling tidak ada tiga alasan penolakan terhadap peran "super 
Wapres" Jusuf Kalla. Pertama, kekhawatiran bahwa peran yang dia jalankan telah 
keluar dari koridor konstitusi dan merongrong kewibawaan presiden. 

Kedua, kecurigaan Kalla mengambil keuntungan pribadi di balik kebijakan itu, 
baik bersifat ekonomi (bisnisnya membesar) maupun politik (Kalla ingin maju 
sebagai calon presiden 2009). Ketiga, komunikasi publik Kalla yang kurang 
elegan dan terlalu ceplas-ceplos.

Menariknya, sejak kocok ulang kabinet akhir tahun lalu, peran Kalla yang 
menonjol dalam proses kebijakan agak menyurut. Kalla pun tidak lagi 
mengeluarkan pernyataan sebanyak dan seceplas-ceplos sebelumnya. 

Contohnya, soal impor beras dari Vietnam. Menghadapi penolakan yang datang dari 
masyarakat maupun DPR, Kalla terlihat lebih menahan diri. Dia tetap bermanuver, 
misalnya, melakukan lobi politik dengan partai-partai di Hotel Dharmawangsa, 
tetapi akhirnya yang mengambil langkah politik "skak-mat" adalah Presiden SBY. 
Dia memanggil para menteri asal partai politik dan melakukan tekanan dengan 
bicara tentang sistem politik yang "tidak sehat". 

Contoh lain adalah pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (RUU 
PA) akhir-akhir ini. Terhadap tuduhan bahwa pemerintah pusat telah "menyunat" 
sejumlah pasal penting dalam Nota Kesepahaman Helsinki dan draf awal yang 
diusulkan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Nanggroe Aceh Darussalam, Kalla 
tidak terlalu konfrontatif. Dia menjawab diplomatis dengan menyatakan bahwa isi 
final dari RUU PA akan ditentukan dalam pembahasan di DPR.

Disadari atau tidak disadari, "wajah baru" Kalla itu telah membuat atmosfer 
politik nasional lebih kondusif karena kontroversi yang dulu ditimbulkan oleh 
"manuver" politik Kalla (dan menteri yang dianggap dekat dengannya) menjadi 
minimal. 

Di sisi lain, keyakinan publik akan peran sentral Presiden SBY sebagai pucuk 
pimpinan nasional menjadi lebih kuat dengan menyurutnya skenario "matahari 
kembar" yang sempat menguat dalam setahun pertama pemerintahan SBY-Kalla. 

Bersama peran mantan-mantan Wapres sebelumnya, dinamika peran Kalla dalam satu 
setengah tahun terakhir kiranya menjadi referensi yang berharga bagi DPR untuk 
membahas materi RUU Lembaga Kepresidenan yang sudah lama tertunda. Perubahan 
sistem pemilihan presiden dan realitas sistem multipartai membuat RUU Lembaga 
Kepresidenan semakin krusial untuk dituntaskan. 

Dengan UU tersebut, relasi dan kinerja pucuk pimpinan nasional tidak hanya 
diatur kesepakatan atau dinamika sesaat antara presiden dan Wapres, tapi oleh 
sebuah sistem yang lebih memberikan kepastian politik bagi semua.

Muhammad Qodari, wakil direktur eksekutif Lingkaran Survei Indonesia (LSI), 
Jakarta


[Non-text portions of this message have been removed]



***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx
5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx
6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com **

Other related posts:

  • » [nasional_list] [ppiindia] Wajah Baru Jusuf Kalla