** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List ** ** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: ** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ ** ** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral scholarship, kunjungi http://informasi-beasiswa.blogspot.com **http://www.indopos.co.id/index.php?act=detail_c&id=212456 Senin, 20 Feb 2006, Wajah Baru Jusuf Kalla Oleh Muhammad Qodari Di luar tarik-menarik hak angket dan interpelasi impor beras serta kontroversi surat perintah penyelidikan polisi terhadap angggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), ada hal penting yang berubah dalam jagat perpolitikan Indonesia beberapa waktu terakhir. Perubahan itu subtil karena yang berubah adalah peran, bukan posisi politik. Meski "hanya" pada tataran peran atau gaya politik, tampaknya perubahan tersebut cukup signifikan karena memang pengaruh seorang aktor politik kadang-kadang melebihi posisi struktural yang dijabatnya. Tentu kita masih ingat istilah "supermenteri" yang disematkan pada Siti Hardiyanti "Tutut" Rukmana, menteri sosial pada kabinet terakhir Soeharto. Atau istilah yang sama untuk Adi Sasono, menteri koperasi dan usaha kecil dan menengah (UKM) di era pemerintahan Habibie. Istilah "supermenteri" diberikan kepada Tutut karena dia turut menentukan nama-nama yang ditunjuk menjadi menteri. Tutut juga banyak tampil dan mengambil peran aktif dalam kebijakan nasional, seperti Gerakan Cinta Rupiah, meski gagal. Adi Sasono berpengaruh karena disebut-disebut mempengaruhi arah kebijakan ekonomi yang dianggap anti pada pengusaha besar domestik yang notabene didominasi warga Indonesia keturunan Tionghoa. Akibatnya, Adi sempat dijuluki "The Most Dangerous Man in Asia" oleh sebuah majalah regional asing. Dalam sejarah politik Indonesia, tokoh yang aura pengaruhnya lebih besar daripada jabatan strukturalnya memang tidak banyak. Dengan demikian, ketika tokoh semacam itu muncul, sorotan akan langsung terarah pada dirinya. Sorotan tersebut biasanya jadi ramai karena akan muncul pro dan kontra. Dalam kasus Adi Sasono, misalnya, banyak yang menolak karena takut dengan kebijakan yang dianggap anti kekuatan ekonomi besar (konglomerat). Sebaliknya, dukungan datang dari kalangan yang menilai Adi tengah melakukan keberpihakan pada koperasi dan UKM yang notabene dimarginalisasi perannya dalam pembangunan masa Orde Baru. Situasi semacam itu pulalah yang kiranya dialami Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla. Kiranya tidak ada Wapres Indonesia yang se-"high profile" Jusuf Kalla. Orang akan selalu ingat M. Hatta, tetapi Hatta adalah orang yang "low profile". Kiprah Hatta yang menonjol justru bukan sebagai Wapres, tapi sebagai proklamator dan guru bangsa. Para Wapres di masa Orde Baru umumnya berada di bawah bayang-bayang Soeharto. Jusuf Kalla-lah "super Wapres" pertama yang dimiliki Indonesia. Seperti sosok-sosok "super" lain sebelumnya, pro dan kontra muncul seputar peran yang dimainkan Kalla dalam berbagai kebijakan, mulai penyusunan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Jilid I, perundingan pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki, hingga kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) Maret dan Oktober 2005. Peran yang dimainkan Kalla dalam berbagai kebijakan penting dan strategis itu sangat besar, bahkan dinilai mendahului atau berbeda dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Lepas dari substansi isi atau prospek keberhasilan kebijakan publik yang dipengaruhi Kalla, paling tidak ada tiga alasan penolakan terhadap peran "super Wapres" Jusuf Kalla. Pertama, kekhawatiran bahwa peran yang dia jalankan telah keluar dari koridor konstitusi dan merongrong kewibawaan presiden. Kedua, kecurigaan Kalla mengambil keuntungan pribadi di balik kebijakan itu, baik bersifat ekonomi (bisnisnya membesar) maupun politik (Kalla ingin maju sebagai calon presiden 2009). Ketiga, komunikasi publik Kalla yang kurang elegan dan terlalu ceplas-ceplos. Menariknya, sejak kocok ulang kabinet akhir tahun lalu, peran Kalla yang menonjol dalam proses kebijakan agak menyurut. Kalla pun tidak lagi mengeluarkan pernyataan sebanyak dan seceplas-ceplos sebelumnya. Contohnya, soal impor beras dari Vietnam. Menghadapi penolakan yang datang dari masyarakat maupun DPR, Kalla terlihat lebih menahan diri. Dia tetap bermanuver, misalnya, melakukan lobi politik dengan partai-partai di Hotel Dharmawangsa, tetapi akhirnya yang mengambil langkah politik "skak-mat" adalah Presiden SBY. Dia memanggil para menteri asal partai politik dan melakukan tekanan dengan bicara tentang sistem politik yang "tidak sehat". Contoh lain adalah pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (RUU PA) akhir-akhir ini. Terhadap tuduhan bahwa pemerintah pusat telah "menyunat" sejumlah pasal penting dalam Nota Kesepahaman Helsinki dan draf awal yang diusulkan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Nanggroe Aceh Darussalam, Kalla tidak terlalu konfrontatif. Dia menjawab diplomatis dengan menyatakan bahwa isi final dari RUU PA akan ditentukan dalam pembahasan di DPR. Disadari atau tidak disadari, "wajah baru" Kalla itu telah membuat atmosfer politik nasional lebih kondusif karena kontroversi yang dulu ditimbulkan oleh "manuver" politik Kalla (dan menteri yang dianggap dekat dengannya) menjadi minimal. Di sisi lain, keyakinan publik akan peran sentral Presiden SBY sebagai pucuk pimpinan nasional menjadi lebih kuat dengan menyurutnya skenario "matahari kembar" yang sempat menguat dalam setahun pertama pemerintahan SBY-Kalla. Bersama peran mantan-mantan Wapres sebelumnya, dinamika peran Kalla dalam satu setengah tahun terakhir kiranya menjadi referensi yang berharga bagi DPR untuk membahas materi RUU Lembaga Kepresidenan yang sudah lama tertunda. Perubahan sistem pemilihan presiden dan realitas sistem multipartai membuat RUU Lembaga Kepresidenan semakin krusial untuk dituntaskan. Dengan UU tersebut, relasi dan kinerja pucuk pimpinan nasional tidak hanya diatur kesepakatan atau dinamika sesaat antara presiden dan Wapres, tapi oleh sebuah sistem yang lebih memberikan kepastian politik bagi semua. Muhammad Qodari, wakil direktur eksekutif Lingkaran Survei Indonesia (LSI), Jakarta [Non-text portions of this message have been removed] *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://groups.yahoo.com/group/ppiindia *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx 5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx 6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/ ** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List ** ** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: ** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ ** ** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral scholarship, kunjungi http://informasi-beasiswa.blogspot.com **