[nasional_list] [ppiindia] URANG BANJAR:IDENTITAS DAN ETNISITAS DI KALIMANTAN SELATAN [3] -- LAMPIRAN ACUAN UNTUK : PROSES DESIVILISASI

  • From: "Budhisatwati KUSNI" <katingan@xxxxxxxxxxxxxxxx>
  • To: "kmnu2000" <kmnu2000@xxxxxxxxxxxxxxx>, <wanita-muslimah@xxxxxxxxxxxxxxx>, "ppiindia" <ppiindia@xxxxxxxxxxxxxxx>
  • Date: Fri, 4 Feb 2005 13:06:08 +0100

** Mailing List Nasional Indonesia PPI India Forum **

PENGANTAR:

Dalam percaturan politik di Kalimantan Tengah, masalah perbedaan agama dan 
etnik dijadikan sebagai kendaraan politik oleh kalangan elite politik untuk 
menguasai daerah. Pada tahun 2002 menyusul konflik berdarah antar etnik-etnik 
di Kalteng dan etnik Madura, oleh kalangan tertentu telah dicoba mencetuskan 
konflik antar agama, terutama antara penganut agama Islam dan pengaut agama 
Kristen di samping antara etnik Banjar yang disebut di Kalimantan sebagai Urang 
Banjar dan etnik Dayak. Untuk memahami apa siapa Urang Banjar itu, guna 
melengkapi tulisan saya "Surat Kepada Orang Sekampung: Proses Desivilisasi", 
saya lampirkan tulisan Marko Mahin, dosen antropologi agama pada Sekolah Tinggi 
Teologi GKE Banjarmasin,  yang saya kutip dari website Lembaga Studi Dayak21. 
Apa yang dilukiskan oleh Marko Mahin di sini hanyalah sorotan dari satu segi 
saja, tapi saya rasakan bisa membantu saya dalam menjelaskan keadaan hubungan 
antar agama dan etnik, terutama antara Urang Banjar dan Dayak sert
 a antara Islam dan Kristen di Kalteng sekarang. 

Studi sejarah dan budaya Dayak, sekarang sedang digalakkan oleh kalangan 
akademisi muda Dayak Kalteng dalam rangka memahami diri sendiri serta untuk 
melangkah maju ke hari depan dengan pandangan yang jelas. 

JJK


[Sumber: Lembaga Studi Dayak 21, Monday, 24 January 2005]

URANG BANJAR 
IDENTITAS  DAN ETNISITAS DI KALIMANTAN SELATAN [3]

Oleh Marko Mahin

Of Borneo's total population of 12 million,  only about one fourth  are 
classified as Dayaks-the rest are Malays.  Ninenty percent of the so called 
Malays, all of the Muslim faith, are Islamized Dayaks (Karl Muller, Introducing 
Kalimantan, Penerbit Periplus Edition, 47).


Abstract:
Banjar  or Bandar, in the begining, is  the name of  a small kampong in estuary 
of  the Kuwin River-South Borneo that functioning as a small port. Kampong that 
led by Patih Masih, in growth hereinafter become the identity of  an ethnic 
group and  Islam empire. More than that Banjar become a distinguishing ideology 
that is with the existence of adagium "Islam is Banjar and Banjar is Islam."   
Banjar have come to the religious and culture conception, naming Banjar is to 
show the difference between Islam people anda Dayak people who are not Moslem.  
 This article wish to re-trace  Banjar as distinguishing ideology  by re-read 
the Hikayat Bandjar, and studies  bearing theory that  "Banjar is Islam and 
Islam is Banjar."  


D. Marhum Panembahan  dan Narasi Kecil  Kaum Katolik di Borneo Selatan Abad XVII

Orang Dayak Ngaju mempunyai  "sejarah sendiri" mengenai  kontrak  politik 
Pangeran Samudera, yaitu ketika  munculnya desas-desus dikonversikannya Diang 
Lawai istri dari Marhum Panembahan , yang sesungguhnya adalah orang Dayak Ngaju 
beragama Kaharingan. Hal itu membangkitkan  kemarahan para sanak saudara Diang 
Lawai yang berujung pada meletusnya  peperangan, seperti yang dilaporkan oleh 
Becker (1849:461) bahwa mulai pada sekitar tahun 1550 telah terjadi  peperangan 
antara Dayak Ngaju dan Banjar yang berlangsung  kurang lebih 20 tahun lamanya. 
Hermogenes Ugang ( 1987:202), setelah melakukan studi atas manuskrip-manuskrip 
yang terdapat di Zurich dan Leiden,  mengatakan bahwa issue pengislaman Nyai 
Diang Lawai itu  ternyata tidak benar.  Sebenarnya perang itu terjadi karena 
salah paham dipihak orang Dayak Ngaju yang menyangka bahwa Raja Maruhum telah 
melanggar perjanjian pada waktu menikahi Nyai Diang Lawai yaitu Nyai Diang 
Lawai tidak boleh disunat seperti yang biasa dilakukan d
 i kalangan orang Islam pada zaman itu.    Kesalahpahaman itu  terjadi karena 
adanya berita bahwa Nyai Diang Lawai menderita sakit akibat disunat oleh raja. 
Padahal yang terjadi sebenarnya adalah Nyai Diang Lawai mengalami sedikit tidak 
enak badan karena mulai hamil muda.    

Perang karena kesalahpahaman dan sentimen agama ini  sangat membekas dalam 
ingatan orang Dayak Ngaju.  Ia menjadi ingatan kolektif yang diabadikan dalam 
bahasa (idiomatic expresion)  dan mitos asal-usul (Panaturan).   Pada masa 
kini, orang-orang Ngaju di pedesaan menyebut  zaman lampau  atau masa lalu  
dengan istilah Zaman Raja Maruhum Usang.  Bahkan dalam sastra suci orang Dayak  
Ngaju yang dikenal dengan istilah Panaturan   disebutkan bahwa  Raja Marhum, 
dengan sebutan Raja Helu Maruhum Usang, dan Nyai Siti Diang Lawai, merupakan 
bagian dari  leluhur atau nenek moyang orang Dayak Ngaju, yang setelah mereka 
meninggal dunia menjadi Sangiang  (manusia ilahi) dan berdiam di salah satu 
bagian dari Lewu Sangiang  (perkampungan para dewa)  yang bernama Lewu Tambak 
Raja.  Karena Raja Maruhum adalah seorang Muslim maka di "sorga" atau 
perkampungan para dewa itu disebutkan ada mesjid (lih. Panaturan,  Majelis 
Besar Agama Hindu Kaharingan, Palangka Raya  1992: 229, bdk.  Nila Riwut 20
 03: 530, Majelis Besar Alim Ulama Kaharingan Indonesia 1972:33-42).  

Berdasarkan data-data di atas muncul satu pertanyaan "Siapa Pangeran Marhum 
ini?"

Dalam Hikajat Bandjar dituturkan bahwa Marhum Panambahan  adalah pengganti 
Hidayatu'llah.  Itu berarti ia  adalah raja Islam Banjar ke-4 setelah Pangeran 
Samudera (lihat Ras 1968: 448).  Namun apa hubungannya dengan orang-orang Ngaju 
sehingga ketika wafat ia dilihat sebagai salah satu Sangiang dari orang-orang 
Ngaju?.  Dalam sistem kepercayaan orang Ngaju sangatlah tidak mungkin "orang 
asing" yang bukan "utus," atau  punya hubungan geneologis dengan orang Dayak 
Ngaju, dapat diproyeksikan sebegitu rupa ke alam atas (dunia Sangiang)  untuk  
menjadi  salah satu Pantheon mereka.  Cense (1928: 110-11), berdasarkan berita 
Tionghoa  tahun 1618 yang dikutip dari  tulisan Groeneveld (1880: 105),  
menerangkan bahwa Marhum Panembahan adalah anak Sultan  Hidayatu'llah yang 
diperolehnya dari  anak perempuan Chatib Banun, yang kemungkinan adalah seorang 
Ngaju yang beragama Islam.   Berita Tionghoa ini tampak memperkuat apa 
dipaparkan oleh Hikajat Bandjar  bahwa Sultan  Hidayatu'llah memang
  ada mengambil anak Chatib Banun sebagai istri (Ras 1968: 444).  Idwar Saleh 
dengan mengikuti alur pemikiran Cense menyimpulkan bahwa Marhum Panembahan 
adalah raja Banjarmasin dari golongan Biaju (atau Ngaju) (1958: 45), karena itu 
 dengan mudah ia bisa meminta bantuan orang-orang Biaju untuk menghabisi para 
lawan politiknya yaitu para bangsawan istana.  Dan atas permintaannya pula 
salah seorang panglima perang Ngaju yang bernama Sorang bersama sepuluh orang 
kawannya untuk masuk Islam dan  tinggal menetap  di kalangan warga kesultanan.  
Menurut Hikajat Bandjar, Sorang akhirnya diambil ipar oleh Marhum Panembahan 
yaitu dengan mengawinkannya dengan Gusti Nurasat, saudara tiri Marhum 
Panembahan (Ras 1968: 448).  Menurut Idwar Saleh penerimaan atas Sorang yang 
adalah orang Ngaju untuk masuk ke lingkungan istana adalah dikarenakan Marhum 
Panembahan sendiri adalah keturunan (utus) orang Ngaju:

Penerimaan seorang Biadju Islam (Malayu Hanjar) kedalam keluarga radja sebagai 
iparnja, tak berapa mudah, bila radja sendiri tak berasal dari suku itu pula.  
Perkawinan seorang dari sukunja dengan adik tirinja (djadi tak seibu dengan 
dia) menjatakan usaha pengokohan kedudukanja dan golongannja atas suatu hak 
jang mungkin diperolehnja dengan djalan usurpasi. (Idwar Saleh 1958: 46)


Tindakan politik Marhum Panembahan  terekam dalam laporan J. Van Kerekhoven ke 
Batavia  pada tahun 1663:

Pangeran  baru ini keturunan beadio (Biadju), golongan pemakan orang, selain 
ini ia kaja dan mentjari keuntungan dari masjarakat umumnja.  Karena itu  
golongan Biadju mengangkatnja mendjadi radja.  Akan tetapi ia mulai 
(memerintah) tanpa pengikut dari golongan bangsawan dan penasihat jang 
berpengelaman (dalam Idwar Saleh 1958:46, 128)) 

Namun apa yang terjadi pada komunitas Ngaju pedalaman pasca Marhum Panembahan   
yang menurut Idwar Saleh (1958: 102-3) berkuasa antara tahun 1642-1650 atau 
1559-1620 ? 

Dapat diduga bahwa komunitas Dayak di pedalaman sebagai satu  komunitas 
etno-religi yang berdasarkan agama suku itu posisinya sangat lemah sekali, baik 
secara politik dan ekonomi bila dibandingan dengan Banjar yang adalah komunitas 
etno-religi yang berdasarkan agama Islam.  Karena itu  tidaklah heran, pada  
pertengahan abad XVII, tepatnya pada tanggal 25 Juni 1689, ketika  kapal 
Portugis yang dipimpin oleh Kapten Cotingo masuk ke Pulau Petak, wilayah orang 
Ngaju (atau Biaju) yang masih Kaharingan, mereka disambut dengan ramah dan 
meriah. Menurut catatan  Gemmelli Careri (1728: 215-236, dalam Baier 2002: 75)  
orang-orang Ngaju pada waktu itu ada mengajukan usulan untuk beraliansi dengan 
Portugis bahkan mereka meminta agar di wilayah mereka didirikan  kubu 
pertahanan untuk melawan Banjarmasin .  Antara Portugis dan kepala-kepala suku 
Dayak lalu diadakan perjanjian persekutuan.  Kepala-kepala suku bersumpah 
tunduk kepada raja Portugis (Bagian Dokumentasi-Penerangan Kantor Walige
 reja Indonesia 1974: 339-40)

Patut dicatat bahwa sebelum kedatangan Portugis itu, orang-orang  Ngaju 
bukanlah penduduk pedalaman.  Mereka adalah penduduk pantai  yang biasa 
menggunakan  kapal besar untuk merampok maupun berdagang.  Namun kemudian 
karena kedatangan Islam mereka mundur ke pedalaman.  Hans Knapen (2001),  yang 
telah melakukan penelitian atas arsip-arsip Borneo Selatan  pada sekitar tahun 
1860-1880, mengajukan hipotesis sebagai berikut:

Before the coming of Islam the Ngaju Dayak were a coastal people, occupying the 
entire coastal area of Southeast Kalimantan, the Terusan area being their 
heartland.   They controlled much of the Southeast Borneo trade that went on 
during the Southeast Asian 'age of commerce', which was probably the reason why 
they came down after all.  After the rise of Islam and the development of 
Banjarmasin during the sixteenth century the Ngaju have gradually been moving 
inland towards the north and west after some serious clashes with the new 
Banjarese ruler, leaving few of them living east Kapuas  (2001:90)


Hipotesis Knapen itu sejajar dengan data yang terdapat dalam  Hikayat Bandjar  
yang mengatakan bahwa  pada zaman Nagara Dipa (sekitar abad ke-14)  orang-orang 
Ngaju  diklasifikasikan sebagai  pedagang sama seperti pedagang asing lainnya 
yaitu orang India dan  (Ras 1968: 40-71), dan pada waktu itu mereka tinggal di 
muara sungai Barito, Kapuas, dan Kahayan (Ras 1968: 22,41-2, 195).  Data ini 
sangat masuk akal bila kita bandingkan dengan data lain yang  melaporkan bahwa  
orang-orang Ngaju  mendiami sebagian besar wilayah Barat Banjarmasin dan 
berprofesi sebagai bajak laut.  Mereka juga telah melakukan perdagangan secara 
langsung dengan Singapura yang mereka sebut sebagai "Salat" (Hardeland 
1859:152, Perealaer 1870: 182, 183).  Atau seperti yang dicatat oleh menurut 
Pijnappel)  bahwa orang-orang Ngaju adalah para pelaut ulung yang telah 
melakukan perdagangan dengan Singapura hingga pertengahan abad ke-19 (Pijnappel 
1860; 287, 305, 312.   Hal  ini menurut Idwar Saleh, seorang seja
 rahwan Banjar yang telah melakukan riset mengenai nama-nama sungai di 
Kalimantan Selatan,  yang mengakibatkan ada banyak nama sungai-sungai kecil di 
muara Barito dan Martapura berasal dari bahasa Ngaju (Idwar Saleh 1984:6).  
Menurut Alfani Daud (1997: 34)  sepanjang sungai Martapura yaitu mulai ibukota 
kesultanan sampai dekat kota Banjarmasin adalah daerah pemukiman orang Ngaju.  
Karena itu, hingga sekarang, daerah berpaya-paya di tepi sungai Martapura, 
yaitu di sebelah hilir kota Martapura adalah kediaman orang-orang gaib, yang 
rupanya asal Biaju atau Ngaju.

Tentu saja kelancangan orang Portugis  yang melakukan hubungan perdagangan 
langsung dengan orang-orang Ngaju itu membuat marah pihak Banjarmasin, karena:

Para Sultan Banjarmasin dalam soal perdagangan menjalankan politik tertutup 
bagi suku-suku Daya di pedalaman.  Mereka tidak diperbolehkan menjual 
hasil-hasil hutan dan lain-lain langsung kepada pedagang-pedagang asing.  
Hasil-hasil dari daerah pedalaman itu hanya boleh dijual dan dibeli di 
batas-batas kesultanan dengan harga sangat murah, lalu diangkut ke Banjarmasin 
dan dijual kepada pedagang-pedagang luar negeri dengan harga sangat mahal 
(Bagian Dokumentasi-Penerangan Kantor Waligereja Indonesia 1974: 337)
                         

Kemarahan itu berubah menjadi murka ketika mereka  tahu orang Portugis tidak 
hanya sekedar berdagang dengan orang-orang Ngaju tetapi juga meng-Katolik-an 
orang Ngaju. Hal itu terjadi karena  bersama para pedagang Portugis itu 
terdapat seorang missionaris yang bernama pater Antonius Ventimiglia.  
Dilaporkan bahwa Pater itu  telah meninggalkan kapal, menyewa sebuah perahu dan 
mudik ke daerah pedalaman.  Di atas perahu dia mendirikan sebuah altar. Ia 
mengunjungi beberapa kepala suku terkemuka seperti Tomungun, Daman dan Sindum.  
Dilaporkan bahwa pada tahun 1691 ada "lima belas suku" yang memeluk agama 
Katolik, dan pada tahun 1690 saja sudah ada 1,800 orang yang sudah dibaptis  
(Bagian Dokumentasi-Penerangan Kantor Waligereja Indonesia 1974: 339).  Tiga 
tahun kemudian dilaporkan  ada 3,000 sampai 4,000  orang yang telah menjadi 
Katolik (Gemelli Careri 1728: 216; Valentijn III: 252, dalam Baier 2002: 75).

Kegiatan Pater Ventimiglia itu dinilai negatif oleh Banjarmasin yang sangat 
khawatir kalau pengaruhnya di kalangan suku Dayak berkurang. Karena itu, 
barang-barang milik Pater Ventimiglia, termasuk benda-benda untuk 
mempersembahkan korban misa, semuanya diambil oleh orang-orang suruhan Sultan, 
dan   ia dipanggil ke Banjarmasin untuk kemudian dideportasi ke luar Kalimantan 
(Bagian Dokumentasi-Penerangan Kantor Waligereja Indonesia 1974: 340).  Tetapi 
Pater Ventimiglia membangkang, ia masuk ke pedalaman dan tinggal bersama 
orang-orang Dayak di daerah Mantangai .   Pada tahun 1694, ketika Jacob Janz de 
Roy  (1706) melakukan perjalanan ke daerah pedalaman Kalimantan, ia melaporkan 
bahwa orang-orang Dayak di pedalaman telah menjalin hubungan dagang dengan 
Portugis.  Hal itu dikarenakan adanya seorang missionaris Katolik yang mahir 
berbahasa daerah dan telah membaptis sekitar 3.000 orang.  Tetapi antara 
penduduk pedalaman dan Sultan Banjarmasin ada perselisihan.  Oleh sebab itu, set
 elah bertahun-tahun di tengah orang Ngaju, Pater Ventimiglia  dibunuh atas 
perintah Sultan.  Akibatnya adalah beribu-ribu orang Katolik Ngaju  yang telah 
dibaptiskan itu  kembali ke agama mereka semula.  Yang masing tinggal bersama 
mereka adalah tanda-tanda salib saja, itupun telah kehilangan arti yang 
sebenarnya dan berubah menjadi benda fetis yang berkhasiat magis untuk penolak 
bala (Ugang 1983: 20; bdk Bagian Dokumentasi-Penerangan Kantor Waligereja 
Indonesia 1974: 342).   Menurut Perelear (1870:13)  sisa atau peninggalan lain 
dari Katolikisme yang disebarkan oleh Pater Ventimiglia adalah konsep kiham 
apui (riam api) dalam sistem teologi orang Dayak Ngaju. Konsep kiham apui  ini  
memang mirip dengan konsep api penyucian (purgatory) dalam Katolikisme. Di mana 
sebelum masuk ke sorga semua arwah harus melalui kiham apui untuk mendapat 
semacam penyucian.  

[Bersambung.....]


 

[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Give the gift of life to a sick child. 
Support St. Jude Children's Research Hospital's 'Thanks & Giving.'
http://us.click.yahoo.com/lGEjbB/6WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx
5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx
6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Website resmi http://www.ppi-india.uni.cc **

Other related posts: