[nasional_list] [ppiindia] Sex on TV, Mengapa Marak?

  • From: "Ambon" <sea@xxxxxxxxxx>
  • To: <"Undisclosed-Recipient:;"@freelists.org>
  • Date: Fri, 10 Feb 2006 03:17:36 +0100

** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com 
**http://www.indopos.co.id/index.php?act=detail_c&id=210932

Jumat, 10 Feb 2006,



Sex on TV, Mengapa Marak?
Oleh 
Teguh Imawan 


Di tengah aura publik memerangi pornografi, tayangan berbau seks tetap tenang 
melenggang di layar televisi. Disebut berbau seks karena isi tayangan itu 
dominan mengupas renik-renik kehidupan seks belaka.

Indikasi kekentalan tayangan seperti itu bisa dilongok saat malam di TransTV 
dan Lativi. Contohnya, secara stripping (hampir setiap hari), TransTV memutar 
acara Fenomena dan Komedi Nakal. Lativi menyiarkan Komedi Tengah Malam Seksi, 
Lorong-Lorong Ibu Kota, Atmosphere, Layar Tancap, Bioskop Malam, dan sejenisnya.

Secara spesifik, Lativi mempromosikan deretan mata acara itu dengan gimmick 
tontonan lelaki. Pengelola televisi mencoba melabelinya dengan liputan ala 
jurnalisme investigatif maupun bermantel komedi-hiburan.

Tuntutan Pasar

Realitas maraknya tayangan vulgar dan mesum dunia seks itu merupakan resultant 
dari hebatnya tekanan "pasar" terhadap industri televisi. Dedy N. Hidayat 
(1999) menyebutkan, televisi selaku institusi kapitalis terdesak tuntutan pasar 
pemirsa dan pasar pengiklan. Pasar pemirsa menuntut televisi untuk memproduksi 
informasi serta hiburan sesuai permintaan pasar penonton. 

Biasanya, tuntutan tersebut tak berkisar jauh dari tuntutan pemberitaan kritis, 
berani, objektif, dan aktual. Di samping itu, penonton menginginkan tayangan 
yang mengedepankan sisi hiburan dan sensasi berbumbu air mata, darah, serta 
sperma.

Tuntutan kedua berupa tekanan terhadap industri televisi untuk mampu menyerap 
sebanyak mungkin khalayak pemirsa/penonton. Jumlah penonton yang direbut 
stasiun televisi merupakan komoditas yang bisa diagunkan di pasar pengiklan 
yang butuh akses ke konsumen untuk mempromosikan produknya.

Sayangnya, televisi kadang cenderung memilih "jalan sperma" sebagai mata 
dagang. Televisi kian agresif meniti pematang seks sebagai rute cepat merenggut 
pemirsa. 

Karena itu, penonton televisi gampang menyaksikan acara yang tak bisa beringsut 
dari komodifikasi hasrat. Acara memang didedikasikan untuk mengangkat soal 
hubungan seks, perkosaan/pemaksaan seksual, eksploitasi seks, talk show 
mengenai seks, perilaku seks menyimpang, pekerja seks komersial, 
homoseksual/lesbian, serta adegan telanjang.

Libidonomics

Piliang (2005) menegaskan, televisi terjebak dalam pusaran perkembangan sistem 
kapitalisme yang tersungkup cara pandang libidonomics (komodifikasi hasrat). Di 
dalamnya terperagakan secara kasat mata, eksploitasi secara ekstrem mengenai 
potensi libido, demi meneguk keuntungan maksimal. Dengan demikian, ada 
megaambisi televisi melakukan parade presentasi added values melalui tubuh 
perempuan sebagai titik sentral.

Cara kerja komodifikasi hasrat tak tanggung-tanggung. Ia langsung menggebrak 
pasar melalui proliferasi dan multiplikasi soal tubuh perempuan. Sehingga, 
dioptimalkanlah tubuh pada nilai guna (use value), nilai tukar (exchange 
value), serta nilai tanda (sign value). Ketiga nilai tubuh tersebut telah 
menjadi rantai bisnis laris tiada tara. Misalnya, pelacuran, gadis model, dan 
aktris porno.

Pada tayangan seks, keseluruhan nilai tubuh dioperasionalkan oleh "intelektual 
tayangan" dengan menonjolkan tiga sisi utama. Yakni, body appearance atau 
tampilan badan. Caranya, menonjolkan usia sebagai sarana memancing sensualitas. 
Karena itu, sorotan menajam ke prostitusi usia anak (ciblek), ABG/SMP-SMA 
(kupu-kupu abu-abu), atau mahasiswi (ayam kampus). Terpancar gambaran bahwa 
usia muda identik dengan rasa kesegaran.

Kedua, produser acara mengungkap-umbar perilaku badan ketika meng-close up 
habis perangkat tubuh yang memancarkan daya sensualitas tinggi. Lazimnya, itu 
divisualisasikan dengan zoom kerlingan mata (tanda menggoda lelaki), lirikan 
(nakal), belai-usap (lembut manja memancing), pose (menantang), busana 
(mengundang), dan seterusnya. 

Cara terakhir, mengandalkan gerakan tubuh. Melalui itu, ditonjolkan cara 
menyentuh yang sensasional, pijatan dan jilatan nikmat, atau rabaan 
menggelorakan hasrat.

Zona Cabul

Dalam bahasa kamera televisi, seluruh perangkat tayangan berbahan dasar tubuh 
perempuan itu diracik, disusun, dikonstruksi, dan disistematisasikan secara 
utuh agar mampu memikat mata pemirsa. Teknisnya, frame-frame layar kaca tak 
beringsut jauh dari zona cabul (paha, pinggul, pantat, pinggang, pusar, maupun 
payudara).

Semua itu masih dibalut pose sandar badan, liukan berjalan, variasi tatapan 
mata, model gerakan bibir, serta tone erangan, rintihan, dan derai tawa. Bila 
fakta tubuh sedemikian itu dinilai kurang "catcher", produser tayangan masih 
bisa memermak dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi penyuntingan, baik pada 
visual, audio, maupun grafis-animasinya. Aneka rekadaya produksi itu diklaim 
demi memenuhi selera pemirsa.

Kalau melihat kuatnya kepentingan finansial dan gampangnya teknis pembuatan 
acara seks, tak ayal layar televisi menjadi etalase meriah yang menjajakan 
produk komodifikasi hasrat. Dalam kenyataannya, produk perkawinan kapitalisme 
hasrat tubuh dengan gagasan posmodernisme dekonstruktif nilai tubuh perempuan 
tersebut bertabrakan dengan kalangan masyarakat (silent majority) yang memegang 
teguh nilai kesusilaan dan kesopanan.

Semua itu memang layak dikembalikan pada industri televisi dalam membenahi 
program dan kualitas personelnya, khususnya pada acara seks vulgar yang cabul, 
demi kepentingan keberadaban kultural. Hakikatnya, tayangan seks adalah 
kekerasan visual layar kepada pemirsa. Ada pelecehan martabat perempuan karena 
ia semata sebagai pemuas hasrat.

Di sisi lain, penonton televisi perlu kian melek media. Mampu menyeleksi dan 
memilih tayangan televisi yang sehat dan mencerdaskan. Itulah cara paling 
manjur untuk memerangi tayangan seks di layar kaca.

Teguh Imawan, ketua Komunitas Media Literacy for TV (KameliaTV)


[Non-text portions of this message have been removed]



***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx
5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx
6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com **

Other related posts:

  • » [nasional_list] [ppiindia] Sex on TV, Mengapa Marak?