[nasional_list] [ppiindia] SURAT KEPADA ORANG SEKAMPUNG:DISKUSI BUKU LIPI

  • From: "Budhisatwati KUSNI" <katingan@xxxxxxxxxxxxxxxx>
  • To: "kmnu2000" <kmnu2000@xxxxxxxxxxxxxxx>, <wanita-muslimah@xxxxxxxxxxxxxxx>, "ppiindia" <ppiindia@xxxxxxxxxxxxxxx>
  • Date: Sun, 6 Feb 2005 14:04:04 +0100

** Mailing List Nasional Indonesia PPI India Forum **

SURAT KEPADA ORANG SEKAMPUNG:

MEREAKSI BUKU LIPI

"Kami  menghormati adat,  budaya dan keyakinan yang mungkin berbeda dengan  
Dayak. Kami berharap  pula penghargaan serupa bisa kami dapatkan. Tentu  saja 
kami senang jika setiap suku bangsa di Indonesia ini mencintai  leluhurnya 
masing- masing" -- Marko Mahin, Dosen Antropologi Agama di STT GKE Banjarmasin

"Studi Tentang Local  Religion di Beberapa  Wilayah Indonesia. Studi Tentang 
Kaharingan di  Masyarakat Dayak  Kalimantan dan Sunda Wiwitan di Masyarakat 
Badui  Banten" setebal 191 halaman adalah sebuah buku yang diterbitkan oleh 
LIPI yang Kata Pengantarnya ditulis sendiri oleh oleh Kepala Pusat  Penelitian 
dan  Kemasyarakatan LIPI, Muhammad Hisyam.  [lihat: Harian Suara Pembaruan, 
Jakarta, 02 Februari 2005]. Di dalam buku ini terdapat tulisan Muh.Saleh 
Buchary [selanjutnya saya sebut  Buchary] tentang Dayak khususnya budaya 
Kaharingan.


Tulisan "hasil kerja  peneliti dari Pusat   Penelitian Kemasyarakatan dan 
Kebudayaan LIPI pada  2003" ini telah mendapat reaksi keras dari sejumlah 
cendekiawan Dayak berbagai propinsi Kalimantan.


Marko Mahin, dosen antropologi agama pada Sekolah Tinggi Teologia GKE 
Banjarmasin, Kalimantan Selatan mengatakan bahwa ""hasil kerja  peneliti dari 
Pusat   Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan LIPI pada  2003" itu ""Isinya 
salah  total. Ini keterlaluan. Peneliti LIPI itu tidak  teliti dan isinya   
merusak nama baik orang Dayak yang sejak lama selalu  dijelek-jelekan  dengan 
sebutan orang primitif, tidak mengenal Tuhan  dan sejumlah   sebutan negatif 
dan ngawur" [Suara Pembaruan, Jakarta, 02 Februari 2005]. Melanjutkan 
komentarnya setelah membaca tulisan tersebut Marko Mahin berkata: "Ya, ampun, 
kok bisa ada  penelitian yang ngawur  seperti itu. Tega sekali para peneliti 
itu menghina  kami. Saat ini  kami hanya bisa marah dan berdoa semoga kesalahan 
 serupa tidak  terjadi lagi di kemudian hari dan penulis meralat  tulisan itu". 


Setelah tulisan di Suara Pembaruan, Jakarta itu disiar ulang di milis Dayak 
yang dimoderator oleh Medy Budun dari Kalimantan Timur, reaksi-reaksi keras pun 
muncul dan Ronny Teguh dari Lembaga Studi Dayak21, mengambil prakarsa untuk 
mengorganisasi suatu diskusi di Palangka Raya, Kalimantan Tengah.  Marko Mahin 
agar diskusi "lebih berkualitas"  mengusulkan agar "mengundang saudara-saudara 
dari Kaharingan  (MBAHKI, MAKRI, BAKDI)" [milis dayak@xxxxxxxxxxxxxxx, 06 
Februari 2005]. Saya sendiri mengusulkan agar gubernur A.Gani, wakil gubernur 
Nahson Taway, sekwilda [kalau belum dicopot oleh A.Gani]:Haji A.D.Nihin, 
walikota Palangka Raya Tuah Pahu, pemuka-pemuka masyarakat dari berbagai 
kalangan, Napa Awat [rektor] dan Heriyanto Garang [pembantu rektor I] dari 
Universitas Negeri Palangka Raya [Unpar], Universitas Muhamadiah, Universitas 
Kristen Palangka Raya, STIH [Sekolah Tinggi Ilmu Hukum], Universitas Batang 
Garing, radio, tivi dan pers diundang, disamping hadirinya para damang, kepala 
adat dan tokoh-tokoh Kaharingan yang dibicrakan oleh Buchary. Tidak kalah 
pentingnya memberitahu Buchary dan Muhammad Hisyam dari LIPI dan mengharapkan 
mereka datang untuk mempertanggungjawabkan apa yang mereka telah tulis dan 
siarkan atas nama LIPI. Jika kedua orang yang menyebut diri ilmuwan ini 
mempunyai rasa tanggungjawab moral dan berbangsa serta benegeri, selayaknya 
mereka datang. Saya usulkan agar kepada kedua mereka diberikan waktu yang 
leluasa untuk mempertanggungjawabkan apa yang mereka kata dan tulis serta 
siarkan. Setelah itu jika hadirin tidak sepakat, maka bantah mereka dengan data 
secara tenang.Apabila kedua mereka tidak bisa mempertanggungjawabkan perbuatan 
mereka, mereka diharapkan untuk minta maaf secara terbuka di depan pers dan 
tivi lokal [paling tidak] dan kepada LIPI diminta untuk mencabut tulisan 
"menghina" itu dari buku tersebut di atas. Datang dan tidaknya Buchary dan 
Muhammad Hisyam ke diskusi, saya anggap sebagai tanda apakah mereka anak 
manusia bermartabat atau tidak. Mereka sudah menghina suatu komunitas secara 
terbuka atas nama ilmu pengetahuan melalu LIPI lembaga resmi ilmu pengetahuan 
pemerintah.


Mengenai tempat dan pembeayaan, sekalipun Walhi Kalteng melalui Nordin sudah 
menyanggupinya, saya kira akan lebih baik jika diselenggarakan di Aula  
Pertemuan [Banama Tingang?] Kantor Gubernur. Sebagai gubernur Kalteng, gubernur 
menangani masalah "hinaan" terhadap mayoritas penduduk propinsinya secara 
langsung.Apa artinya A.Gani jadi gubernur kalau ia membiarkan penduduknya 
dihina.  Dengan demikian, kita mengangkat masalah "hinaan" ini ke tingkat lebih 
tinggi. Mustahil jika gubernur mengatakan untuk kegiatan ini tidak tersedia 
dana. Jika gubernur tidak mau menanganinya, Tuah Pahu yang walikota, patut 
didorong. Masalah "hinaan" terbuka yang dilakukan oleh Buchary dan Hisyam patut 
diurus sampai tuntas baik secara ilmu mau pun secara administratif.Bila perlu 
mereka dituntut sampai ke depan pengadilan. Forum Hijau, Betang Borneo, Lembaga 
Studi Dayak21, bahkan pemerintah propinsi bisa dan berhak melakukannya. Hinaan 
terhadap suatu komunitas etnik bertentangan dengan "bhinneka tunggal ika", 
bertentangan dengan nilai-nilai republiken dan keindonesiaan.Nordin dengan 
Walhi Kaltengnya baru menyelenggarakan diskusi itu kalau gubernur dan walikota 
tidak mau menyelenggarakannya. Jika yang terakhir ini yang menjadi kenyataan 
hal ini lagi-lagi menunjukkan bahwa lapisan bawah bisa mengatur diri mereka 
sendiri seperti halnya ketika pemerintahan Sampit lumpuh total pada saat 
Tragedi Sampit 2000 meletus.Tentu saja ini membanggakan. 


Agar tulisan Buchary bisa dipelajari dan dibahas bersama secara luas, saya 
usulkan agar tulisan tersebut secara bersambung disiarkan melalu milis 
dayak@xxxxxxxxxxxxxxx dan mengucap-borneo@yahoogroups. com. 


Adanya "hinaan" yang dilakukan oleh orang tipe Buchary yang juga dilakukan oleh 
orang yang secara tersirat mengatakan Dayak setelah menjadi "victim" menjadi 
"killers", saya kira tidak jauh berbeda dari "politik budaya ragi usang" dan 
"mengosongkan gelas" yang menganggap "Dayak" tidak lain dari "dajakers" lambang 
segala kejahatan dan keburukan. Pandangan-pandangan begini nampak sangat aneh 
jika masih berlangsung sampai sekarang.Aneh tapi nyata. Saya berani mengatakan 
"sarjana-sarjana ilmu sosial" tipe ini tidak lain dari sarjana-sarjana anti 
Republik dan anti Indonesia bahkan anti kemanusiaan. Bayangkan "victim" yang 
tidak mau jadi "victim" kemudian membela haknya dinamakan "killers". Siapa 
"killer" sesungguhnya? Yang menyebut diri sarjana dan menekuni ilmu sosial 
ataukah orang Dayak? "Sarjana ilmu sosial" bisa menjadi "killers". "Killers" 
dari segi pikiran dan budaya. Kita sekarang kembali berhadapan dengan "killers" 
yang menyebut diri sarjana dan ilmuwan sosial [Lihat: Lampiran-lampiran]. 
Tuduhan-tuduhan begini sesungguhnya menunjukkan betapa yang menyebut diri 
sarjana ilmuwan sosial dengan spesialisasi Dayak, sebenarnya tidak tahu apa-apa 
tentang  budaya dan tatanan nilai Dayak.  Sebagai satu contoh saja:Budaya 
betang diidentikkan sebagai betang secara fisik dan bukan nyawa spiritual atau 
konsep filosofisnya. Pengetahuan mereka tentang Dayak dan budaya Dayak masih 
sangat tanggung dan sudah menjadikan Dayak untuk tangga menjual dirinya sebagai 
ilmuwan sosial. Dengan pandangan dan sikap demikian, sang "sarjana" dengan 
pongah menyebut orang Dayak sebagai "bloon", merasa dirinya lebih tahu tentang 
nyawa spiritualitas Dayak daripada orang Dayak sendiri. Ini hanya satu contoh 
dan tentu saja bisa saya tambahkan.


Akan berlangsungnya diskusi tentang buku LIPI yang memuat artikel Buchary itu 
dinilai oleh Ronny Teguh sebagai "sebuah moment dari intelektual Dayak. Untuk 
melakukan pembenaran dari diri terhadap apa yang di tulis oleh orang lain". 
"Moment" untuk merobah hal yang negatif menjadi positif, "moment" untuk menegak 
kembangkan toleransi dan saling paham yang dalam kata-kata Marko Mahin: 

"Kami  menghormati adat,  budaya dan keyakinan yang mungkin berbeda dengan  
Dayak. Kami berharap  pula penghargaan serupa bisa kami dapatkan. Tentu  saja 
kami senang jika setiap suku bangsa di Indonesia ini mencintai  leluhurnya 
masing- masing".


Agaknya menghina seperti yang dilakukan oleh sementara "ilmuwan sosial" dari 
LIPI dan bukan LIPI, lebih gampang dari bertoleransi dan saling menghormati, 
sama sulitnya dengan menjadi republiken dan Indonesia yang merupakan bagian 
dari tataran nilai universalisme [lihat:E.Balladur:2004, Tentang Nilai-Nilai 
Jacobinisme].


Paris, Februari 2005. 
-------------------
JJ.Kusni

LAMPIRAN-LAMPIRAN:

----- Original Message ----- 
From: ronny teguh 
To: dayak@xxxxxxxxxxxxxxx 
Sent: Sunday, February 06, 2005 10:19 AM
Subject: Re: [dayak] Diskusi Buku LIPI



Dear Marko dan Kawan2 yang lain.

Ini sebuah moment dari intelektual dayak. untuk
melakukan pembenaran dari diri terhadap apa yang di tulis oleh orang lain. 

Untuk Nordin. tarima kasih untuk tempat, dan perlu dipikirkan makanan kecil, 
saya bisa sponsor sedikit. 

Untuk Rinting.
seperti Pak Lewis dan beberapa teman2 dari Kaharingan perlu di undang. supaya 
kita punya kekuatan yang lebih dari beberapa aspek intelektual.

marko. 
Tgl 11 dan 12 Sepertinya bagus untuk kita membahas makalahmu dan membuat surat 
pernyataan yang di tandatangani oleh seluruh intelektual dayak sebagai langkah 
protes tersebut.

Oh ya, jangan tgl 14 feb. ada valentine di palangka raya. 

Ronny



--- Walhi Kalteng <wlh_kalteng1@xxxxxxxxxxxx> wrote:

> 
> Marko, Ronny dkk..
 
> Saya memanggul tanggungjawab menyediakan tempat saja... Sekalian sedikit 
> snack [atau danum puti ih...lah]. Masing-masing je dumah imbit cangkir seng 
> kabuat...   Masalah tanggal tasarah je marawei ih...  Asal ela tanggal 10 
> Feb...aku merayakan Imlek...
 
Kutunggu khabarnya.
 
> nordin
 
> ini alamatnya.
 
==> walhi kalimantan tengah <==
 Jl. Gemini No. 91 Komp. Amaco Palangkaraya
 73112 Kalimantan Tengah  -  Indonesia
 Telpon : +62 [536] 22882, Fax : +62[536] 38382
 e-mail : wlh_kalteng1@xxxxxxxxxxxx


----- Original Message ----- 
> From: "marko_mahin" marko_mahin@xxxxxxxxx
Yth. Kawan-kawan semua,
Aku sudah menulis makalah untuk menanggapi tulisan  Buchari yang  diterbitkan 
oleh LIPI.  Aku menawarkan kita bisa mendiskusikan buku  ini di Palangka Raya. 
Terimakasih untuk Nordin yang telah menawarkan  tempat diskusi di WALHI. 
Sekarang masalah  tanggal, bagaimana kalau  tanggal 11 atau 12 Februari 2005.  
Diskusi ini akan lebih berkualitas  kalau ada yang bisa mengundang 
saudara-saudara dari Kaharingan  (MBAHKI, MAKRI, BAKDI).  Terimakasih untuk 
Pahari  Ronny yang sudah  bersedia menjadi organiser untuk kegiatan ini. 
 
Aku menunggu respons kita semua.
 
Salam,
Marko Mahin

De: "Made Supriatma" <amt_supriatma@xxxxxxxxx>
À: <dayak@xxxxxxxxxxxxxxx>
Objet: Re: [dayak] SURAT KEPADA ORANG SEKAMPUNG:PROSES DESIVILISASI?! [2]
Date: vendredi 4 février 2005 17:25


Bung Kusni,

Saya rasa kok agak exagerration kalau dibilang ada proses "decivilization" 
terhadap Dayak. Mungkin nggak sesederhana itu. Saya justru tertarik dengan 
proses "rekonstruksi" etnisitas ini. Soalnya bukanlah "Budaya Betang" itu 
hancur apa nggak. Tapi, siapa yang mengkonstruksi "Budaya Betang" ini dalam 
jaman modern dan lamented (menyesali) kepunahannya? Saat di Kalteng taon 2003 
kemaren, saya sempat ketemu dengan aktivis yang berapi-api menjelaskan kepada 
saya bagaimana budaya betang ini sudah runtuh. Saya dengan bloon bertanya, 
budaya betang itu apa? Dia bilang budaya rumah panjang, saling tolong menolong, 
etc. Penjelasan klasik yang terdengar dimana-mana. Lalu iseng saya goda dia: 
gini aja, kalau kamu sekarang ini disuruh hidup di rumah betang, sanggup nggak? 
Disini,jawabannya mulai nggak jelas. Jelas dia nggak sanggup.

Nah, kalau Bung Kusni bilang, ilmuwan sosial meng-kontruksi sivilisasi; maka 
apa fungsi dari "elite" dan para "aktivis ethnic" (sorry ini adalah istilah 
ilmu sosial lagi) yang juga "mengkonstruksi etnisitas"? Dalam banyak hal, 
justru konstruksi identitas yang datang dari pihak yang belakangan ini yang 
justru lebih "politicized" ketimbang konstruksi ilmuwan sosial. 

Sekali lagi, bagi saya, sebagai orang yang mendalami ilmu sosial, yang lebih 
penting adalah mempertanyakan mengapa discourse macam Rumah Betang dan 
kepunahannya itu muncul? Siapa yang memunculkannya? Apakah muncul dalam bentuk 
"myth" kemudian dikonstruksikan menjadi etnosentrisme? 

Saya barusan saja membaca buku bagus karangan Prof.Mahmood Mamdani, judulnya 
"When Victims Become Killers." Disini digambarkan betapa berbahayanya 
konstruksi macam ini JIKA digabungkan dengan discourse bahwa kelompoknya adalah 
"VICTIM" dari proses sejarah.


Akankah kita bergerak ke sana?

Salam takzim saya,

-AMTS



De: "Budhisatwati KUSNI" <katingan@xxxxxxxxxxxxxxxx>
À: "dayak" <dayak@xxxxxxxxxxxxxxx>; <mengucap-borneo@xxxxxxxxxxxxxxx>
Cc: "ronny teguh" <ronnyteguh@xxxxxxxxx>
Objet: SURAT KEPADA ORANG SEKAMPUNG: LIPI MELECEHKAN  MARTABAT DIRINYA ?
Date: jeudi 3 février 2005 16:50

SURAT KEPADA ORANG SEKAMPUNG: 

LIPI MELECEHKAN MARTABAT DIRINYA?

"Kami  menghormati adat,  budaya dan keyakinan yang mungkin berbeda dengan  
Dayak. Kami berharap  pula penghargaan serupa bisa kami dapatkan. Tentu  saja 
kami senang jika setiap suku bangsa di Indonesia ini mencintai  leluhurnya 
masing- masing" -- Marko Mahin, Dosen Antropologi Agama di STT GKE Banjarmasin



Kata-kata yang saya jadikan motto di atas adalah ucapan Marko Mahin, dosen 
antropologi pada Sekolah Tinggi Teologi Gereja Kalimantan Evanglist, 
Banjarmasin setelah membaca buku  "hasil kerja  peneliti dari Pusat   
Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan LIPI pada  2003. Kata  pengantarnya 
ditulis langsung oleh Kepala Pusat  Penelitian dan  Kemasyarakatan LIPI, 
Muhammad Hisyam. Judul buku  setebal 191 halaman  itu cukup panjang, yakni  
Agama dan Pandangan Hidup. Studi Tentang Local  Religion di Beberapa  Wilayah 
Indonesia. Studi Tentang Kaharingan di  Masyarakat Dayak  Kalimantan dan Sunda 
Wiwitan di Masyarakat Badui  Banten" [lihat: Harian Suara Pembaruan, Jakarta, 
02 Februari 2005]. 

Menurut Marko Mahin, tulisan yang mengenai budaya Kaharingan yang terdapat 
dalam buku terbitan LIPI itu "Isinya salah  total. Ini keterlaluan. Peneliti 
LIPI itu tidak  teliti dan isinya merusak nama baik orang Dayak yang sejak lama 
selalu  dijelek-jelekan  dengan sebutan orang primitif, tidak mengenal Tuhan  
dan sejumlah  sebutan negatif dan ngawur". Melanjutkan komentarnya setelah 
membaca tulisan tersebut Marko Mahin berkata: "Ya, ampun, kok bisa ada  
penelitian yang ngawur  seperti itu. Tega sekali para peneliti itu menghina  
kami. Saat ini  kami hanya bisa marah dan berdoa semoga kesalahan  serupa tidak 
 terjadi lagi di kemudian hari dan penulis meralat  tulisan itu". 

A.A.Sudirman, wartawan Suara Pembaruan, Jakarta menulis bahwa "Bagian  buku 
yang  dipermasalahkan Marko dan warga Dayak lainnya [lihat milis 
dayak@xxxxxxxxxxxxxxx, 3 Febuari 2005] tercantum dalam bab   berjudul Pendukung 
Agama Kaharingan di Palangkaraya  Kalimantan Tengah.  Muh. Saleh Buchary, 
peneliti LIPI yang menulis bab  itu menyebutkan,  saat konflik antara komunitas 
Dayak dengan komunitas  Madura di Sampit  dan Palangka Raya, suku Dayak 
terlebih dahulu  melakukan upacara  ritual Tiwah. Upacara itu dilakukan untuk 
meminta  izin leluhurnya  untuk melakukan tindakan terhadap orang Madura. 
Peneliti yang  tampaknya memang kurang teliti itu, dalam bagian  lain 
laporannya juga  menyebutkan masalah Tiwah dalam halaman 89 buku.Pemaparannya 
sama  dengan isu halaman 102" [lihat:Harian Suara Pembaruan, Jakarta, 02 
Februari 2005]. Padahal ujar Marko  "Tiwah itu  memang upacara ritual yang 
bermakna untuk  mengantarkan arwah keluarga  yang sudah meninggal ke surga. 
Upacara ritual  sebelum berangkat  perang itu dinamakan Manajah Antang", kata 
Marko  yang berasal dari  keluarga Dayak Ngaju itu". Dari titik ini saja nampak 
betapa kadar Muh. Saleh Buchary sebagai peneliti dan ilmuwan sosial. 

Berdasarkan titik ini saja nampak bahwa Muh.Saleh Buchary melakukan kesalahan 
total yang memperlihatkan ketiadaan pengetahuannya tentang budaya Dayak tapi 
sudah memberanikan diri bicara tentang budaya Dayak atas nama penelitian ilmiah 
dengan panji LIPI.Belum lagi jika benar apa yang dikatakan oleh Marko Mahin 
bahwa Muh. Saleh Buchary telah melalui artikel yang disebut sebagai hasil 
penelitian itu telah "menghina" masyarakat Dayak. Patut dipertanyakan apa motif 
Muh.Saleh Buchary bersikap "menghina" komunitas Dayak. Dari segi keindonesiaan 
dan nilai-nilai republiken apakah sikap "menghina" suatu etnik tanpa memahami 
budaya etnik itu sendiri merupakan sikap nalar dan obyektif dari seorang 
peneliti dan ilmuwan sosial? Diloloskannya tulisan "menghina" dari seorang yang 
tidak tahu budaya Dayak oleh LIPI tapi ngomong tentang Dayak secara "ngawur", 
saya kira sama dengan sikap tidak bertanggungjawab dan sikap LIPI yang 
melecehkan martabat dirinya. Karena itu saya sangat setuju dengan usulan 
beberapa cendekiawan Dayak dari berbagai daerah, agar tulisan ini dibahas dan 
dibelejedi tuntas. Dalam pembahasan ini bila perlu Muh. Saleh Buchory sendiri 
dan Muhammad Hisyam yang memberi Kata Pengantar  buku LIPI itu diundang untuk 
mempertanggungjawabkan sikap "ngawur" dan "menghina" mereka. Sebagai ilmuwan, 
selayaknya mereka tidak punya alasan untuk mengelak hadir dengan beaya sendiri 
atau beaya LIPI. Dari segi seorang manusia, mereka pun layak hadir 
mempertanggungjawabkan kata-kata mereka. Karena Muh. Saleh Buchory menyinggung 
soal konflik Sampit, maka selayaknya pembahasan buku tersebut dilakukan di 
Pangka Raya, Kalimantan Tengah. Kalau Muh.Saleh Buchary tidak bisa 
mempertanggungjawabkan kata-katanya maka ia diminta minta maaf secara terbuka  
di depan forum, pers, tivi atas hinaan yang sudah dilontarkannya dan Muhammad 
Hisyam dituntut untuk menarik peredaran buku yang yang mengatasnamai LIPI itu. 
Kasus ini mencemarkan nama LIPI sebagai lembaga ilmu pengetahuan. Tuntutan ini 
patut diajukan jika Muh.Saleh Buchary dan Muhammad Hisyam tidak bisa 
mempertanggungjawabkan kata-kata mereka, tuntutan yang bertolak dari apa yang 
dikatakan oleh Marko Mahin:"Kami  menghormati adat, budaya dan keyakinan yang 
mungkin berbeda dengan  Dayak. Kami berharap  pula penghargaan serupa bisa kami 
dapatkan. Tentu  saja kami senang jika setiap suku bangsa di Indonesia ini 
mencintai  leluhurnya masing- masing".   

Untuk menyelenggarakan diskusi demikian, berdasarkan pengalaman saya ketika 
bekerja di Palangka Raya sama sekali tidak ada kesulitan apa pun. Sedangkan 
penyelenggaraannya bisa dilakukan oleh Betang Borneo atau Forum Hijau atau 
Dayak21, Universitas Negeri Palangka Raya atau Lembaga-lembaga lainnya. Selain 
membahas tulisan Muh.Saleh Buchary, pada kesempatan ini kita pun bisa bicara 
tentang keindonesiaan dan nilai-nilai republiken. Apakah Muh. Saleh Buchary 
melalui tulisan pseudo ilmiahnya yang secara tidak langsung diantari oleh 
Muhammad Hisyam dengan mengatasnamai LIPI sesuai dan setia akan nilai-nilai 
ini.  Kiranya patut digarisbawahi dalam diskusi membahas tulisan dan buku LIPI 
ini dihindari sikap-sikap emosional, dihindari jangan sampai terulang sikap 
kekerasan seperti yang pernah dialami ketika menolak pandangan alm.Selo 
Soemardjan, ketika berbicara di depan Kongres Masyarakat Kalteng di Palangka 
Raya 2002. Argumentasi hadapi dengan argumentasi dan data sehingga melalui 
data-data yang dipaparkan nampak jelas bahwa Muh.Saleh Buchary tidak lain dari 
peneliti LIPI bertaraf nol ketika berbicara tentang Dayak. Tapi sebagai orang 
Dayak, selayaknya juga sanggup menerima kenyataan sebagai kenyataan, tentu saja 
hinaan dan kata sifat yang tak berdasar bukan kenyataan.Dengan mengangkat Muh. 
Saleh Buchary sebagai penelitinya, LIPI secara langsung memerosotkan tarafnya 
sebagai lembaga ilmu pengetahuan.Sebagai pembahas utama buku LIPI tersebut, 
saya usulkan Marko Mahin, Ronny Teguh dan Elisae Sumadi bisa melakukannya 
secara bersama-sama atau secara individual. Yang perlu diajak hadir, saya 
usulkan: orang-orang dari Akademi Kaharingan, tokoh-tokoh adat, damang,pisur, 
tokoh-tokoh budaya Dayak, pejabat-pejabat dan lembaga-lembaga terkait dan 
pihak-pihak yang dianggap perlu. Tulisan ini sekaligus ajakan kepada Muh.Saleh 
Buchary dan Muhammad Hisyam untuk mempertanggungjawabkan kata-kata mereka di 
hadapan masyarakat Dayak di Tanah Dayak, mempertanggungjawabkan martabat LIPI. 
Kalau Muh. Saleh Buchary dan Muh. Hisyam berani datang, berikan waktu seleluasa 
mungkin berbicara guna mempertangungjawabkan kata-kata "hinaan" dan "ngawur" 
mereka. Setelah itu,  bantah mereka secara tenang. Saya harap Muh.Saleh Buchary 
dan Muh.Hisyam tidak mencari dalih untuk menghindari. Kesanggupan dan 
ketidaksanggupan  anda berdua bisa disampaikan melalui milis 
dayak@xxxxxxxxxxxxxxx . Datanglah ke pertemuan itu kelak Bung Muh.Saleh Buchory 
dan Muhammad. Hisyam!Datanglah dengan sikap seorang ilmuwan yang 
bertanggungjawab. "Tangan mencencang bahu memikul", ujar tetua kita.

Paris,Februari 2005.

JJ.KUSNI



Lampiran:

SUARA PEMBARUAN DAILY 
  
Upacara Tiwah Budaya Dayak
 
MATA Marko Mahin melotot. Kaget. Tangannya memegang  buku terbitan  Lembaga 
Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Tepat di  halaman 102 buku  itu, tertera 
keterangan soal upacara ritual Tiwah."Isinya salah  total. Ini keterlaluan. 
Peneliti LIPI itu tidak  teliti dan isinya   merusak nama baik orang Dayak yang 
sejak lama selalu  dijelek-jelekan  dengan sebutan orang primitif, tidak 
mengenal Tuhan  dan sejumlah   sebutan negatif dan ngawur", kata pendiri 
Lembaga  Sudi Dayak-21 di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, belum lama ini. 
 
Buku yang dipegang Marko itu memang hasil kerja  peneliti dari Pusat   
Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan LIPI pada  2003. Kata  pengantarnya 
ditulis langsung oleh Kepala Pusat  Penelitian dan  Kemasyarakatan LIPI, 
Muhammad Hisyam. Judul buku  setebal 191 halaman  itu cukup panjang, yakni  
Agama dan Pandangan Hidup. Studi Tentang Local  Religion di Beberapa  Wilayah 
Indonesia. Studi Tentang Kaharingan di  Masyarakat Dayak  Kalimantan dan Sunda 
Wiwitan di Masyarakat Badui  Banten. 
 
Marko mengungkapkan, buku itu ia terima atas jasa  baik seorang  sahabatnya 
asal Jepang. "Saya membaca buku itu di  lobi hotel Alia   Jakarta sebulan lalu. 
Ya, ampun, kok bisa ada  penelitian yang ngawur  seperti itu. Tega sekali para 
peneliti itu menghina  kami. Saat ini  kami hanya bisa marah dan berdoa semoga 
kesalahan  serupa tidak  terjadi lagi di kemudian hari dan penulis meralat  
tulisan itu", kata dosen antropologi agama di Sekolah Tinggi  Teologia Gereja  
Kalimantan Evangelist itu. 
 
Lalu bagian mana yang membuat Marko resah? Bagian  buku yang  dipermasalahkan 
Marko dan warga Dayak lainnya  tercantum dalam bab   berjudul Pendukung Agama 
Kaharing di Palangkaraya  Kalimantan Tengah.  Muh Saleh Buchary, peneliti LIPI 
yang menulis bab  itu menyebutkan,  saat konflik antara komunitas Dayak dengan 
komunitas  Madura di Sampit  dan Palangka Raya, suku Dayak terlebih dahulu  
melakukan upacara  ritual Tiwah. Upacara itu dilakukan untuk meminta  izin 
leluhurnya  untuk melakukan tindakan terhadap orang Madura. Peneliti yang  
tampaknya memang kurang teliti itu, dalam bagian  lain laporannya juga  
menyebutkan masalah Tiwah dalam halaman 89 buku.


Pemaparannya sama  dengan isu halaman 102.   Anehnya, peneliti ternyata telah 
memberikan  keterangan yang tepat  soal upacara Tiwah pada halaman 87 buku 
tersebut. Pada halaman itu  peneliti memang tidak menyebutkan kata upacara  
ketika menyebutkan  kata Tiwah. Tapi besar kemungkinan yang dimaksud  dalam 
kalimat  tersebut ialah upacara Tiwah. 
 
Tiwah merupakan upaya warga Dayak untuk mengantarkan  arwah leluhurnya  ke alam 
nirwana. Demikian kata, peneliti dari LIPI  itu. "Tiwah itu  memang upacara 
ritual yang bermakna untuk  mengantarkan arwah keluarga  yang sudah meninggal 
ke surga. Upacara ritual  sebelum berangkat  perang itu dinamakan Manajah 
Antang", kata Marko  yang berasal dari  keluarga Dayak Ngaju itu. 

Gelisah 
Marko tentu saja tidak sendirian ketika berbicara  tentang sakit  hatinya 
ketika membaca, mendengar dan menyadari  betapa buruknya citra  warga Dayak di 
mata orang luar Dayak. Warga Dayak  lainnya, lepas dari  agama mereka saat ini, 
punya jeritan serupa. Nila  Riwut, contohnya.  Ia sejak lama aktif menggalang 
diskusi, pertemuan  dan penerbitan  hingga berbagai kegiatan kesenian yang 
berkaitan  dengan segala hal  yang berkaitan dengan dunia orang Dayak. Ia 
rupanya  menyimpan  kegelisahan serupa. 
 
Dalam beberapa kali perjumpaan dengan Pembaruan, ia  tidak bosan- bosannya 
menceritakan harapannya tentang sebuah  Indonesia yang lebih  toleran. Saling 
menghormati satu sama lain."Kami  menghormati adat,  budaya dan keyakinan yang 
mungkin berbeda dengan  Dayak. Kami berharap  pula penghargaan serupa bisa kami 
dapatkan. Tentu  saja kami senang jika setiap suku bangsa di Indonesia ini 
mencintai  leluhurnya masing- masing", katanya beberapa waktu lalu. Ia tidak  
hanya mengumbar kata- kata. Bertahun-tahun ia mengumpulkan tulisan dan  dokumen 
ayahnya,  Tjilik Riwut. Dari balik tumpukan dokumen ayahnya  yang juga tokoh  
Dayak itu, terbitlah buku berjudul Manaser Panatau  Tatu Hiang. Sebuah  judul 
yang memikat jika kita tahu arti di balik  kata-kata itu yakni  menyelami 
kekayaan leluhur. "Leluhur bangsa  Indonesia termasuk orang  Dayak itu sudah 
punya kebudayaan tinggi. Mengangkat  keluhuran leluhur  berarti akan selalu 
ingat asal-usul. 
 
Ingat asal usul meningkatkan rasa percaya diri, yang pada akhirnya  melahirkan 
jati diri yang sejati. Seseorang yang  memiliki jati diri  yang kuat tidak 
mudah terombang-ambing oleh  gelombang badai  kehidupan,'' kata Nila, mengutip 
petuah ayahnya yang  pernah menjadi  sahabat Bung Karno itu.  PEMBARUAN/AA 
SUDIRMAN***


[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Take a look at donorschoose.org, an excellent charitable web site for
anyone who cares about public education!
http://us.click.yahoo.com/O.5XsA/8WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx
5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx
6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Website resmi http://www.ppi-india.uni.cc **

Other related posts:

  • » [nasional_list] [ppiindia] SURAT KEPADA ORANG SEKAMPUNG:DISKUSI BUKU LIPI