** Mailing List Nasional Indonesia PPI India Forum ** SURAT KEPADA ORANG SEKAMPUNG: LIPI MELECEHKAN MARTABAT DIRINYA? "Kami menghormati adat, budaya dan keyakinan yang mungkin berbeda dengan Dayak. Kami berharap pula penghargaan serupa bisa kami dapatkan. Tentu saja kami senang jika setiap suku bangsa di Indonesia ini mencintai leluhurnya masing- masing" -- Marko Mahin, Dosen Antropologi Agama di STT GKE Banjarmasin Kata-kata yang saya jadikan motto di atas adalah ucapan Marko Mahin, dosen antropologi pada Sekolah Tinggi Teologi Gereja Kalimantan Evanglist, Banjarmasin setelah membaca buku "hasil kerja peneliti dari Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan LIPI pada 2003. Kata pengantarnya ditulis langsung oleh Kepala Pusat Penelitian dan Kemasyarakatan LIPI, Muhammad Hisyam. Judul buku setebal 191 halaman itu cukup panjang, yakni Agama dan Pandangan Hidup. Studi Tentang Local Religion di Beberapa Wilayah Indonesia. Studi Tentang Kaharingan di Masyarakat Dayak Kalimantan dan Sunda Wiwitan di Masyarakat Badui Banten" [lihat: Harian Suara Pembaruan, Jakarta, 02 Februari 2005]. Menurut Marko Mahin, tulisan yang mengenai budaya Kaharingan yang terdapat dalam buku terbitan LIPI itu "Isinya salah total. Ini keterlaluan. Peneliti LIPI itu tidak teliti dan isinya merusak nama baik orang Dayak yang sejak lama selalu dijelek-jelekan dengan sebutan orang primitif, tidak mengenal Tuhan dan sejumlah sebutan negatif dan ngawur". Melanjutkan komentarnya setelah membaca tulisan tersebut Marko Mahin berkata: "Ya, ampun, kok bisa ada penelitian yang ngawur seperti itu. Tega sekali para peneliti itu menghina kami. Saat ini kami hanya bisa marah dan berdoa semoga kesalahan serupa tidak terjadi lagi di kemudian hari dan penulis meralat tulisan itu". A.A.Sudirman, wartawan Suara Pembaruan, Jakarta menulis bahwa "Bagian buku yang dipermasalahkan Marko dan warga Dayak lainnya [lihat milis dayak@xxxxxxxxxxxxxxx, 3 Febuari 2005] tercantum dalam bab berjudul Pendukung Agama Kaharingan di Palangkaraya Kalimantan Tengah. Muh. Saleh Buchary, peneliti LIPI yang menulis bab itu menyebutkan, saat konflik antara komunitas Dayak dengan komunitas Madura di Sampit dan Palangka Raya, suku Dayak terlebih dahulu melakukan upacara ritual Tiwah. Upacara itu dilakukan untuk meminta izin leluhurnya untuk melakukan tindakan terhadap orang Madura. Peneliti yang tampaknya memang kurang teliti itu, dalam bagian lain laporannya juga menyebutkan masalah Tiwah dalam halaman 89 buku.Pemaparannya sama dengan isu halaman 102" [lihat:Harian Suara Pembaruan, Jakarta, 02 Februari 2005]. Padahal ujar Marko "Tiwah itu memang upacara ritual yang bermakna untuk mengantarkan arwah keluarga yang sudah meninggal ke surga. Upacara ritual seb elum berangkat perang itu dinamakan Manajah Antang", kata Marko yang berasal dari keluarga Dayak Ngaju itu". Dari titik ini saja nampak betapa kadar Muh. Saleh Buchary sebagai peneliti dan ilmuwan sosial. Berdasarkan titik ini saja nampak bahwa Muh.Saleh Buchary melakukan kesalahan total yang memperlihatkan ketiadaan pengetahuannya tentang budaya Dayak tapi sudah memberanikan diri bicara tentang budaya Dayak atas nama penelitian ilmiah dengan panji LIPI.Belum lagi jika benar apa yang dikatakan oleh Marko Mahin bahwa Muh. Saleh Buchary telah melalui artikel yang disebut sebagai hasil penelitian itu telah "menghina" masyarakat Dayak. Patut dipertanyakan apa motif Muh.Saleh Buchary bersikap "menghina" komunitas Dayak. Dari segi keindonesiaan dan nilai-nilai republiken apakah sikap "menghina" suatu etnik tanpa memahami budaya etnik itu sendiri merupakan sikap nalar dan obyektif dari seorang peneliti dan ilmuwan sosial? Diloloskannya tulisan "menghina" dari seorang yang tidak tahu budaya Dayak oleh LIPI tapi ngomong tentang Dayak secara "ngawur", saya kira sama dengan sikap tidak bertanggungjawab dan sikap LIPI yang melecehkan martabat dirinya. Karena itu saya sangat setuju dengan usulan beberapa cendekiawan Dayak dari berbagai daerah, agar tulisan ini dibahas dan dibelejedi tuntas. Dalam pembahasan ini bila perlu Muh. Saleh Buchory sendiri dan Muhammad Hisyam yang memberi Kata Pengantar buku LIPI itu diundang untuk mempertanggungjawabkan sikap "ngawur" dan "menghina" mereka. Sebagai ilmuwan, selayaknya mereka tidak punya alasan untuk mengelak hadir dengan beaya sendiri atau beaya LIPI. Dari segi seorang manusia, mereka pun layak hadir mempertanggungjawabkan kata-kata mereka. Karena Muh. Saleh Buchory menyinggung soal konflik Sampit, maka selayaknya pembahasan buku tersebut dilakukan di Pangka Raya, Kalimantan Tengah. Kalau Muh.Saleh Buchary tidak bisa mempertanggungjawabkan kata-katanya maka ia diminta minta maaf secara terbuka di depan forum, pers, tivi atas hinaan yang sudah dilontarkannya dan Muhammad Hisyam dituntut untuk menarik peredaran buku yang yang mengatasnamai LIPI itu. Kasus ini mencemarkan nama LIPI sebagai lembaga ilmu pengetahuan. T untutan ini patut diajukan jika Muh.Saleh Buchary dan Muhammad Hisyam tidak bisa mempertanggungjawabkan kata-kata mereka, tuntutan yang bertolak dari apa yang dikatakan oleh Marko Mahin:"Kami menghormati adat, budaya dan keyakinan yang mungkin berbeda dengan Dayak. Kami berharap pula penghargaan serupa bisa kami dapatkan. Tentu saja kami senang jika setiap suku bangsa di Indonesia ini mencintai leluhurnya masing- masing". Untuk menyelenggarakan diskusi demikian, berdasarkan pengalaman saya ketika bekerja di Palangka Raya sama sekali tidak ada kesulitan apa pun. Sedangkan penyelenggaraannya bisa dilakukan oleh Betang Borneo atau Forum Hijau atau Dayak21, Universitas Negeri Palangka Raya atau Lembaga-lembaga lainnya. Selain membahas tulisan Muh.Saleh Buchary, pada kesempatan ini kita pun bisa bicara tentang keindonesiaan dan nilai-nilai republiken. Apakah Muh. Saleh Buchary melalui tulisan pseudo ilmiahnya yang secara tidak langsung diantari oleh Muhammad Hisyam dengan mengatasnamai LIPI sesuai dan setia akan nilai-nilai ini. Kiranya patut digarisbawahi dalam diskusi membahas tulisan dan buku LIPI ini dihindari sikap-sikap emosional, dihindari jangan sampai terulang sikap kekerasan seperti yang pernah dialami ketika menolak pandangan alm.Selo Soemardjan, ketika berbicara di depan Kongres Masyarakat Kalteng di Palangka Raya 2002. Argumentasi hadapi dengan argumentasi dan data sehingga melalui da ta-data yang dipaparkan nampak jelas bahwa Muh.Saleh Buchary tidak lain dari peneliti LIPI bertaraf nol ketika berbicara tentang Dayak. Tapi sebagai orang Dayak, selayaknya juga sanggup menerima kenyataan sebagai kenyataan, tentu saja hinaan dan kata sifat yang tak berdasar bukan kenyataan.Dengan mengangkat Muh. Saleh Buchary sebagai penelitinya, LIPI secara langsung memerosotkan tarafnya sebagai lembaga ilmu pengetahuan.Sebagai pembahas utama buku LIPI tersebut, saya usulkan Marko Mahin, Ronny Teguh dan Elisae Sumadi bisa melakukannya secara bersama-sama atau secara individual. Yang perlu diajak hadir, saya usulkan: orang-orang dari Akademi Kaharingan, tokoh-tokoh adat, damang,pisur, tokoh-tokoh budaya Dayak, pejabat-pejabat dan lembaga-lembaga terkait dan pihak-pihak yang dianggap perlu. Tulisan ini sekaligus ajakan kepada Muh.Saleh Buchary dan Muhammad Hisyam untuk mempertanggungjawabkan kata-kata mereka di hadapan masyarakat Dayak di Tanah Dayak, mempertanggungjawabkan m artabat LIPI. Kalau Muh. Saleh Buchary dan Muh. Hisyam berani datang, berikan waktu seleluasa mungkin berbicara guna mempertangungjawabkan kata-kata "hinaan" dan "ngawur" mereka. Setelah itu, bantah mereka secara tenang. Saya harap Muh.Saleh Buchary dan Muh.Hisyam tidak mencari dalih untuk menghindari. Kesanggupan dan ketidaksanggupan anda berdua bisa disampaikan melalui milis dayak@xxxxxxxxxxxxxxx . Datanglah ke pertemuan itu kelak Bung Muh.Saleh Buchory dan Muhammad. Hisyam!Datanglah dengan sikap seorang ilmuwan yang bertanggungjawab. "Tangan mencencang bahu memikul", ujar tetua kita. Paris,Februari 2005. JJ.KUSNI Lampiran: SUARA PEMBARUAN DAILY Upacara Tiwah Budaya Dayak MATA Marko Mahin melotot. Kaget. Tangannya memegang buku terbitan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Tepat di halaman 102 buku itu, tertera keterangan soal upacara ritual Tiwah."Isinya salah total. Ini keterlaluan. Peneliti LIPI itu tidak teliti dan isinya merusak nama baik orang Dayak yang sejak lama selalu dijelek-jelekan dengan sebutan orang primitif, tidak mengenal Tuhan dan sejumlah sebutan negatif dan ngawur", kata pendiri Lembaga Sudi Dayak-21 di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, belum lama ini. Buku yang dipegang Marko itu memang hasil kerja peneliti dari Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan LIPI pada 2003. Kata pengantarnya ditulis langsung oleh Kepala Pusat Penelitian dan Kemasyarakatan LIPI, Muhammad Hisyam. Judul buku setebal 191 halaman itu cukup panjang, yakni Agama dan Pandangan Hidup. Studi Tentang Local Religion di Beberapa Wilayah Indonesia. Studi Tentang Kaharingan di Masyarakat Dayak Kalimantan dan Sunda Wiwitan di Masyarakat Badui Banten. Marko mengungkapkan, buku itu ia terima atas jasa baik seorang sahabatnya asal Jepang. "Saya membaca buku itu di lobi hotel Alia Jakarta sebulan lalu. Ya, ampun, kok bisa ada penelitian yang ngawur seperti itu. Tega sekali para peneliti itu menghina kami. Saat ini kami hanya bisa marah dan berdoa semoga kesalahan serupa tidak terjadi lagi di kemudian hari dan penulis meralat tulisan itu", kata dosen antropologi agama di Sekolah Tinggi Teologia Gereja Kalimantan Evangelist itu. Lalu bagian mana yang membuat Marko resah? Bagian buku yang dipermasalahkan Marko dan warga Dayak lainnya tercantum dalam bab berjudul Pendukung Agama Kaharing di Palangkaraya Kalimantan Tengah. Muh Saleh Buchary, peneliti LIPI yang menulis bab itu menyebutkan, saat konflik antara komunitas Dayak dengan komunitas Madura di Sampit dan Palangka Raya, suku Dayak terlebih dahulu melakukan upacara ritual Tiwah. Upacara itu dilakukan untuk meminta izin leluhurnya untuk melakukan tindakan terhadap orang Madura. Peneliti yang tampaknya memang kurang teliti itu, dalam bagian lain laporannya juga menyebutkan masalah Tiwah dalam halaman 89 buku. Pemaparannya sama dengan isu halaman 102. Anehnya, peneliti ternyata telah memberikan keterangan yang tepat soal upacara Tiwah pada halaman 87 buku tersebut. Pada halaman itu peneliti memang tidak menyebutkan kata upacara ketika menyebutkan kata Tiwah. Tapi besar kemungkinan yang dimaksud dalam kalimat tersebut ialah upacara Tiwah. Tiwah merupakan upaya warga Dayak untuk mengantarkan arwah leluhurnya ke alam nirwana. Demikian kata, peneliti dari LIPI itu. "Tiwah itu memang upacara ritual yang bermakna untuk mengantarkan arwah keluarga yang sudah meninggal ke surga. Upacara ritual sebelum berangkat perang itu dinamakan Manajah Antang", kata Marko yang berasal dari keluarga Dayak Ngaju itu. Gelisah Marko tentu saja tidak sendirian ketika berbicara tentang sakit hatinya ketika membaca, mendengar dan menyadari betapa buruknya citra warga Dayak di mata orang luar Dayak. Warga Dayak lainnya, lepas dari agama mereka saat ini, punya jeritan serupa. Nila Riwut, contohnya. Ia sejak lama aktif menggalang diskusi, pertemuan dan penerbitan hingga berbagai kegiatan kesenian yang berkaitan dengan segala hal yang berkaitan dengan dunia orang Dayak. Ia rupanya menyimpan kegelisahan serupa. Dalam beberapa kali perjumpaan dengan Pembaruan, ia tidak bosan- bosannya menceritakan harapannya tentang sebuah Indonesia yang lebih toleran. Saling menghormati satu sama lain."Kami menghormati adat, budaya dan keyakinan yang mungkin berbeda dengan Dayak. Kami berharap pula penghargaan serupa bisa kami dapatkan. Tentu saja kami senang jika setiap suku bangsa di Indonesia ini mencintai leluhurnya masing- masing", katanya beberapa waktu lalu. Ia tidak hanya mengumbar kata- kata. Bertahun-tahun ia mengumpulkan tulisan dan dokumen ayahnya, Tjilik Riwut. Dari balik tumpukan dokumen ayahnya yang juga tokoh Dayak itu, terbitlah buku berjudul Manaser Panatau Tatu Hiang. Sebuah judul yang memikat jika kita tahu arti di balik kata-kata itu yakni menyelami kekayaan leluhur. "Leluhur bangsa Indonesia termasuk orang Dayak itu sudah punya kebudayaan tinggi. Mengangkat keluhuran leluhur berarti akan selalu ingat asal-usul. Ingat asal usul meningkatkan rasa percaya diri, yang pada akhirnya melahirkan jati diri yang sejati. Seseorang yang memiliki jati diri yang kuat tidak mudah terombang-ambing oleh gelombang badai kehidupan,'' kata Nila, mengutip petuah ayahnya yang pernah menjadi sahabat Bung Karno itu. PEMBARUAN/AA SUDIRMAN*** [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Give the gift of life to a sick child. Support St. Jude Children's Research Hospital's 'Thanks & Giving.' http://us.click.yahoo.com/lGEjbB/6WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx 5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx 6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/ ** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List ** ** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: ** http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ ** ** Website resmi http://www.ppi-india.uni.cc **