** Mailing List Nasional Indonesia http://www.ppi-india.org ** ** Situs milis nasional: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia ** ** Info Beasiswa Indonesia http://informasi-beasiswa.blogspot.com ** Mas Muhkito, Sebuah tulisan yang sangat legawa, lugas dan jujur: ------------------ "Masalahnya dapat dirumuskan begini: Agama-agama mengklaim membawa berkah dan keselamatan kepada seluruh manusia. Tetapi dalam kenyataan sebagian sejarah agama-agama monotheis, Keyahudian, Kristianitas dan Islam,ditulis dengan darah. Itu beda dengan agama misionaris besar keempat didunia, Budhisme. Sejauh saya tahu, penyebaran Budhisme serta pertemuan dan komunikasinya dengan agama-agama "saingan" tak pernah disertai kekerasan. Sebagai anggota yakin salah satu agama misionaris,Kristianitas Katolik, yang banyak mencurahkan darah dan cenderung ke kekerasan dalam sejarah dan konfrontasinya dengan agama-agama lain, sayamerasa malu, sekaligus iri dan rindu dengan gaya "misi" Budhisme itu. Saya merasa bahwa sebenarnya itulah cara agama-agama misionaris melakukan misi mereka dan bertemu dengan agama-agama lain...." ------------ Ini patut kita renungkan bersama. Menolak kekerasan dalam segala bentuk, adalah jalan terindah untuk menyampaikan iman kita pada sesama umat. Damai. Penuh respekt. Tidak merendahkan yang lain. Salam danardono --- In ppiindia@xxxxxxxxxxxxxxx, Muhkito Afiff <muhkito.afiff@xxxx> wrote: > > ------------------------------------- > IslamEmansipatoris.com, Jum'at, 14 Oktober 2005 > > > > Oleh: Franz Magnis-Suseno > > > Adalah jasa Majelis Muslim Indonesia (MUI) bahwa mereka mengangkat > kembali ke panggung diskursus publik sebuah tema yang tidak > berhenti-henti menentang tiga agama Abrahamistik: hal pluralisme. Debat > ini memang tidak boleh dan tidak dapat dihindari dan kita harus > berterima kasih kepada MUI bahwa MUI mengembalikannya ke panggung > diskursus publik. Prasaran ini?yang tidak secara khusus mau menanggapi > sikap MUI?mau menjadi sumbangan terhadap diskusi itu. > > Masalahnya dapat dirumuskan begini: Agama-agama mengklaim membawa berkah > dan keselamatan kepada seluruh manusia. Tetapi dalam kenyataan sebagian > sejarah agama-agama monotheis, Keyahudian, Kristianitas dan Islam, > ditulis dengan darah. Itu beda dengan agama misionaris besar keempat di > dunia, Budhisme. Sejauh saya tahu, penyebaran Budhisme serta pertemuan > dan komunikasinya dengan agama-agama "saingan" tak pernah disertai > kekerasan. Sebagai anggota yakin salah satu agama misionaris, > Kristianitas Katolik, yang banyak mencurahkan darah dan cenderung ke > kekerasan dalam sejarah dan konfrontasinya dengan agama-agama lain, saya > merasa malu, sekaligus iri dan rindu dengan gaya "misi" Budhisme itu. > saya merasa bahwa sebenarnya itulah cara agama-agama misionaris > melakukan misi mereka dan bertemu dengan agama-agama lain. > > Namun sejarah tidak bisa ditiadakan lagi. Dan di sini bukan tempat untuk > menelusuri (yang sudah banyak dilakukan) mengapa agama-agama monotheis > begitu cenderung ke kekerasan dan kekejaman . > > Karen Amstrong dalam "A History of God" melakukannya dan apa yang > ditulisnya memang menjadi bahan refleksi serius bagi anak-anak > agama-agama Abrahamistik. Akan tetapi, Karen Amstrong sendiri, mantan > suster itu, mengaku tidak lagi percaya pada Allah personal (hal mana > sama dengan mengatakan bahwa ia memang tidak percaya lagi pada adanya > Allah karena Allah secara hakiki bersifat personal, artinya, bisa > mengetahui, bertindak, berminat, bermaksud, berkomunikasi; Amstrong > termasuk mereka yang meleburkan agama-agama ke dalam suatu `ekspresi > dimensi transenden dalam manusia'), ia bisa menghindar dari tugas yang > justru membebani kita yang tetap percaya bahwa ada Allah personal, hal > mana juga berarti bahwa kita juga berpegang pada pluralitas, ya > perbedaan antara agama-agama. Justru sebagai itu jalinan komunikasi > positif dan penuh percaya menjadi tugas bagi kita. Apabila, seperti kata > Amstrong, pada dasarnya tak ada perbedaan antara agama-agama karena > menurut dia semua tidak lebih dari ekspresi dimensi religius dalam > manusia, masalah khas hubungan antara mereka yang berbeda dapat > dihindari. Karena itu beberapa dari nasehat terselubung Karen Amstrong > saya anggap agak gampangan. > > Tetapi kita tentu wajib belajar dari sejarah. Sejarah yang untuk > sebagian buruk itu jangan ditutup-tutup, melainkan diingat untuk tidak > diulang lagi, atau, lebih tepat, untuk, dengan rahmat Allah, membebaskan > diri dari padanya. Yang jelas, di abad ke-21 mutu suatu agama tidak akan > diukur dari klaim-klaimnya sendiri, melainkan dari apakah dia > betul-betul menunjukkan diri sebagai rahmat bagi seluruh masyarakat di > tengah-tengahnya ia hadir. Jadi sebagai kekuatan yang ramah, yang > mendukung kehidupan, yang mendamaikan, yang acuh tak acuh terhadap > ketidakadilan, penindasan dan peminggiran mereka yang lemah di manapun > dan dari golongan apapun, yang tidak beringas dan menakutkan, melainkan > sejuk dan positif, yang anti kekerasan, komunikatif, mampu membangun > hubungan atas dasar saling percaya. Agama harus nyata-nyata mendobrak > batas-batas kecemburuan, kecurigaan, kebencian, dendam, arogansi. Jadi > agama harus membawa diri dengan rendah hati. Itu berarti, para agamawan, > para tokoh agama, harus betul-betul rendah hati, tahu diri, selalu siap > ditegur, diminta pertanggungjawaban, siap belajar, siap memperbaiki > diri. Sikap rendah hati itu hakiki karena kalau agamawan arogan, ia > justru menyangkal apa yang diakui dengan mulut, yaitu iman dan ketaatan > kepada Allah. Hanya manusia yang tahu bahwa ia selalu masih tidak tahu, > termasuk mengenai agamanya sendiri, dapat menjadi serius tentang Allah > yang Mahatahu dan Mahabaik dan Mahaadil. Orang yang betul-betul tahu > tentang Allah, tahu juga betapa pengertiannya sendiri, termasuk > pengertiannya tentang agamanya sendiri, teramat batas. Ia rendah hati > dan tidak arogan. > > Indonesia > > Indonesia merupakan negara paling plural di dunia. plural berarti > majemuk. Dari Sabang sampai Merauke, terentang di atas ribuan pulau > sejauh lebih dari 5000 kilometer, dengan ratusan bahasa, suku dengan > adat dan budaya sendiri-sendiri, pelbagai daerah yang cukup berbeda, > serta hampir semua agama yang terdapat di dunia juga ada, serta > agama-agama itu sendiri juga jauh dari monolit. Indonesia itu secara > hakiki plural. Itulah yang sudah terungkap dalam semboyan "Bhinneka > Tunggal Ika". > > Maka jelas juga bahwa Indonesia hanya bisa bersatu, bahkan bangsa > Indonesia hanya ada, kalau kemajemukan itu diakui. Segala usaha untuk > menyamaratakan semua dengan satu pola budaya atau beragama adalah sama > dengan dominasi sebagian warga di atas yang lain-lain dan pasti akan > mengakibatkan kehancuran Indonesia. Indonesia terlalu besar untuk > dipertahankan kesatuannya hanya dengan cara-cara paksa. Karena itu para > pendiri Republik ini menyepakati Pancasila, karena itu tokoh-tokoh Islam > pun 1945 memiliki keluasan wawasan dan kebesaran hati untuk menerima > bahwa negara yang baru diproklamasikan kemerdekaannya ini harus dimiliki > oleh semua warganya, tanpa membedakan antara mayoritas dan minoritas. > Itulah hakikat Pancasila. Dan karena Pancasila dipertahankan sampai hari > ini, Indonesia masih bersatu. > > Pluralisme > > Persatuan ini sekarang diancam oleh kelompok-kelompok yang keras > eksklusif, yang mau memaksakan pandangan totaliter mereka kepada yang > lain. Eksklusivisme mereka mengancam eksistensi Indonesia. kiranya jelas > bahwa bangsa seplural Indonesia hanya bisa ditata secara inklusif. > Penataan inklusif berarti bahwa undang-undang dasar dan sistem hukum > disusun sedemikian rupa sehingga di Indonesia semua komponen bangsa bisa > merasa seperti di rumahnya sendiri. Undang-undang dasar serta > perundangan harus dapat diterima oleh semua sehingga tidak ada yang > harus mengorbankan identitasnya demi keIndonesiaannya. Setiap kelompok > dan komponen bebas hidup menurut cita-citanya sendiri, tetapi tak ada > kelompok satu pun yang boleh memaksakan cita-cita atau keyakinannya > kepada yang lain. Indonesia masih bersatu karena sampai sekarang semua > eksklusivisme tegas-tegas ditolak. > > Oleh karena itu, apabila pluralisme dikutuk, perlu dikatakan dengan > jelas apa yang dikutuk dan apa yang tidak dikutuk. Jangan sampai ada > kesan bahwa kemajemukan bangsa dan tatanan negara dan masyarakat > Indonesia yang inklusif mau dibatalkan dan diganti dengan kediktatoran > eksklusivitas keyakinan salah satu golongan. > Memang betul, istilah pluralisme kadang-kadang dibajak sebagai nama > untuk pandangan yang mengatakan bahwa semua agama adalah sama saja. Atas > nama pluralisme agama-agama diminta agar jangan menganggap dirinya > sendiri paling benar. Agama-agama diartikan sebagai ungkapan berbeda > dari dimensi transenden manusia yang sama sahnya. Bahwa pandangan ini > ditolak adalah wajar. Tetapi pandangan ini jangan disebut pluralisme. > Pandangan ini bukan pluralisme, melainkan relativisme. Apabila > relativisme mengatakan bahwa semua agama sama saja, semua hanya ungkapan > berbeda dari kodrat religius manusia yang sama, di mana lantas > pluralisme? Pluralisme yang benar justru mengakui perbedaan di antara > agama-agama dan bersedia menerimanya. Jadi relativisme justru tidak > pluralistik dan juga tidak toleran karena menuntut agar agama-agama > melepaskan dulu keyakinan bahwa mereka benar. Maka kalau pandangan ini > yang mau ditolak, sebaiknya jangan disebut pluralisme melainkan relativisme. > > Bahwa relativisme bertentangan dengan hakekat agama-agama wahyu kiranya > memang jelas. Relativisme menganggap semua agama sama benarnya. Nah, > bagaimana saya dapat mempercayai sesuatu apabila saya tidak boleh > percaya bahwa yang saya percayai itu benar? Pluralisme persis > sebaliknya. Pluralisme justru menerima bahwa kita mempunyai > kepercayaan-kepercayaan yang berbeda, yang tidak seluruhnya dapat > disesuaikan satu dengan yang lainnya. Para pluralis tidak merelativkan > ajaran masing-masing, mereka tentu mempercayai agamanya sendiri, tetapi > mereka juga yakin bahwa meskipun iman kita berbeda, kita bersatu dalam > nilai-nilai yang kita miliki bersama. Nilai-nilai para agamawan pluralis > itu adalah, misalnya, hormat terhadap keutuhan setiap manusia, penolakan > pemakaian kekerasan untuk meyelesaikan perbedaan, lalu keadilan, > kebebasan beragama, berpendapat dan berekspresi, solidaritas dengan kaum > miskin dan tertindas. Kita di Indonesia banyak sudah mendapat pengalaman > sangat positif bahwa kita memang memiliki niilai-nilai bersama melintang > agama-agama yang berbeda. > > Hanya orang yang betul-betul pluralis bisa toleran. Toleransi jangan > dianggap pendapat bahwa "semua agama sama saja". Toleransi mengakui > perbedaan. Toleransi dalam arti yang sebenarnya adalah penerimaan > gembira terhadap kenyataan bahwa kita berbeda, bahwa di sekitar kita > hidup orang-orang dengan kepercayaan-kepercayaan dan agama-agama yang > berlainan. Toleransi adalah pengakuan terhadap orang dan kelompok orang > lain dalam keberlainannya. Pluralisme bersedia menjamin toleransi itu > dengan melembagakan hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang sama > orang-orang dengan kepercayaan-kepercayaan religius yang berbeda itu. > jadi pluralisme juga berarti meyakini dan menjamin hak asasi kebebasan > beragam dan kebebasan untuk menentukan sendiri pola kehidupan religius. > > Inklusivisme Keselamatan > > Hal pluralisme harus dibedakan dari sebuah pertanyaan lain, yang memang > sangat mendasar, yaitu pertanyaan apakah keselamatan abadi, terbuka bagi > seluruh umat manusia (asal bertobat dari dosa-dosa mereka), atau hanya > kepada mereka yang termasuk agamanya sendiri? Jadi misalnya apakah orang > Katolik dapat percaya bahwa orang yang tidak dibaptis masuk surga? > Apakah orang Islam dapat percaya bahwa orang Katolik atau orang Konghucu > yang baik masuk surga? > > Tentu saja, jawaban atas pertanyaan itu hanya dapat diberikan oleh > masing-masing agama sendiri. untuk umat Katolik Konsili Vatikan II > (lembaga tertinggi Gereja Katolik di mana semua uskup sedunia berkumpul > di bawah pimpinan Paus) telah memberikan suatu jawaban yang penting. > Pada tahun 1965 Konsili itu menyatakan tiga hal: Pertama, juga orang > yang tidak dibaptis, bahkan yang, tanpa kesalahannya sendiri, tidak > percaya pada Allah, dapat diselamatkan asal mereka hidup menurut suara > hati mereka. Kedua, setiap orang berhak untuk mengikuti agama yang > diyakininya. Ketiga, umat Katolik dianjurkan untuk menghormati apa yang > baik dalam agama-agama lain. Dalam Gereja-gereja Protestan terdapat > pandangan yang berbeda-beda tentang hal itu. Dalam agama Islam Nurcholis > Madjid (dan beberapa teolog diluar Indonesia, seperti misalnya Abdulaziz > Sachedina) memperlihatkan bahwa juga orang di luar agama Islam, misalnya > orang Yahudi atau orang Budha, dapat merupakan orang "Islam" apabila ia > menyerah kepada Yang Ilahi menurut keyakinan agamanya sendiri, dan > karena itu ia dapat masuk surga. > > Namun harus diperhatikan bahwa pandangan ini lebih tepat tidak disebut > pluralisme, melainkan inklusivisme. Sedangkan mereka yang berpendapat > bahwa di luar agama mereka sendiri tidak ada yang bisa masuk surga > disebut eksklusivis. Pernah tiga agama Abrahamistik, Yahudi, Kristiani > dan Islam, tegas-tegas eksklusif. Mereka masing-masing pernah menyangkal > bahwa orang di luar mereka masing-masing bisa masuk surga. Bahkan ada > yang berpendapat bahwa mereka yang di luar agama sendiri (yang tidak > dibaptis, yang tidak formal termasuk Islam) masuk neraka. Namun sejak > beberapa puluh tahun ada refleksi teologis baru yang membuka pintu ke > arah pandangan yang lebih inklusif. Yang jelas, eksklusivisme sekarang > dipertanyakan. Dari luar agama ditanyakan bagaimana agama bisa > mempermaklumkan Tuhan yang baik hati dan adil sekaligus mengajar bahwa > semua orang yang tidak termasuk agama mereka sendiri masuk neraka, > termasuk orang-orang yang kelihatan hidup dengan baik. Dalam sejarah, > terlalu banyak hal mengerikan dilakukan atas nama agama. Maka sekarang, > siapapun yang terdorong untuk menunjuk bahwa ada itu Allah yang adil dan > penuh kasih sayang mestinya amat berhati-hati memasukkan siapapun ke > neraka kekal. > > Kesimpulan Sementara > > Kita sudah melihat beberapa arti kata pluralisme. Ada yang mencampurkan > pluralisme dengan relativisme. Jadi dengan anggapan bahwa semua agama > pada hakekatnya sama saja (dan bahwa semua agama berupa "agama bumi"). > Pandangan ini sudah betul kalau ditolak oleh agama-agama Abrahamistik, > akan tetapi seharusnya pandangan ini tidak disebut pluralisme, melainkan > relativisme. Jadi yang mestinya ditolak adalah relativisme. Begitu pula > harapan bahwa surga terbuka bagi seluruh umat manusia dan bukan hanya > bagi anggota agamanya sendiri?suatu anggapan yang harus disikapi oleh > masing-masing agama sendiri, sesuai dengan dasar-dasar > keyakinannya?bukan pluralisme, melainkan "inklusivisme keselamatan". > Pluralisme dalam arti yang sebenarnya adalah suatu implikasi dari sikap > toleran: yaitu kesediaan untuk menerima baik kenyataan pluralitas > agama-agama, artinya kenyataan bahwa dalam satu masyarakat dan negara > hidup orang dan kelompok orang dengan keyakinan agama yang berbeda. > Pluralisme sama sekali tidak menuntut agar semua keyakinan itu dianggap > benar. Pluralisme tidak bicara tentang kebenaran. Melainkan pluralisme > itu sikap keterbukaan: meskipun barangkali saya sulit memahami ajaran > agama golongan lain, namun saya sepenuhnya menghormati keberadaannya di > lingkungan hidup masyarakat dan negara saya sendiri. Nah, sikap terbuka > itu berkaitan erat dengan dua sikap yang juga dibahas dalam fatwa MUI, > yaitu "liberalisme" dan "sekularisme". > > Liberal? > > Di dua istilah itupun masalahnya adalah apa yang dimaksud dengannya. > Dengan "liberal" MUI rupa-rupanya mau menolak anggapan bahwa setiap > orang `bebas' (liber, akar kata liberal) untuk meramu agamanya sendiri, > daripada taat kepada wahyu. Tentu keprihatinan itu dapat dimengerti. > Setiap agama akan menolak bahwa setiap orang dapat menyusun agamanya > menurut seleranya sendiri. > > Tetapi jangan sampai yang dimengerti dalam masyarakat adalah bahwa yang > mau dikutuk adalah keterbukaan. Sejauh saya tahu, di negara ini tidak > ada agamawan yang mau meramu agamanya menurut seleranya sendiri. Maksud > mereka yang menamakan diri "liberal" adalah lain. Mereka yakin bahwa > agamawan harus terbuka. Terbuka terhadap segala pertanyaan, terbuka > untuk dikritik, terbuka terhadap pandangan-pandangan yang berbeda dalam > agamanya sendiri, terbuka terhadap sangkalan dan bantahan. Liberalisme > dalam arti ini adalah sikap orang yang masih mau belajar, yang sadar > bahwa manusia tidak pernah bisa memahami seluruh maksud dan kekayaan > wahyu Tuhan yang Mahakuasa, jadi yang tidak secara arogan mengklaim > sudah mengetahui segala apa tentang agamanya. Kaum liberal secara hakiki > bersifat rendah hati. Mereka mengakui bahwa agama mereka masih memiliki > potensi-potensi yang hanya dapat diaktualisasi apabila kaum agamawan mau > belajar dan terbuka. > > Sekularisasi? > > Hal yang mirip dapat dikatakan tentang "sekularisasi". Kalau yang mau > ditolak adalah sekularisme yang menolak segala peran agama di ruang > publik?suatu tradisi anti-Katolik dari negara-negara berbahasa Latin di > Eropa dan Amerika Latin di abad ke-18 sampai permulaan abad ke-20? maka > itu sangat wajar. Akan tetapi, 35 tahun lalu Nurcholis Madjid sudah > menegaskan bahwa agama, ya agama Islam, sebenarnya mendukung > sekularisasi dalam arti bahwa apa yang duniawi (= "sekuler") memang > harus dilihat sebagai perkara duniawi. Khususnya negara merupakan > perkara duniawi dan karena itu jangan diagamakan. > > Kalau sekarang orang bicara tentang "negara sekular", yang dimaksud > bukan model Prancis kuno itu tadi, melainkan dua hal: Pertama, bahwa > negara tidak berhak untuk memaksakan kelakuan religius. Kedua, dalam > negara sekuler agama-agama tidak dapat memaksakan ajaran-ajaran mereka > pada negara. Agama berhak mempunyai hukumnya sendiri, tetapi hukum itu > bukan hukum negara dan apakah warga agama itu mentaati hukum itu atau > tidak, tidak boleh diawasi atau dipaksakan oleh negara. Dalam arti ini > negara sekuler adalah implikasi pluralisme agama. negara sekuler bukan > dalam arti bahwa agama tidak mempunyai tempat dalam kehidupan bangsa, > melainkan bahwa lembaga negara tidak dikuasai oleh satu agama dan bahwa > hukum negara ditentukan secara demokratis, dalam hormat terhadap hak-hak > asasi manusia, oleh semua. Tetapi dalam negara sekuler agama-agama > diakui sebagai anggota civil society yang amat penting, barangkali > paling penting, yang terus menerus mengingatkan kembali nilai-nilai > kehidupan bersama serta menentang segala usaha negara untuk mengusahakan > tujuan-tujuannya dengan cara yang tidak bermoral. > > Penutup > > Dulu agama-agama untuk sebagian besar terlindung dari pandangan luar. > Tetapi sekarang agama-agama pun di panggung publik manusia global. > Agama-agama perlu usaha baru untuk membuat orang percaya bahwa mereka > betul-betul rahmat bagi seluruh alam. Bukan bahwa mereka mengatakannya > sendiri itulah yang menentukan, melainkan bahwa orang-orang, termasuk > orang-orang luar yang bersentuhan dengan agama itu, mengalaminya. Yang > akan menentukan apakah manusia millenium ketiga tetap menghormati > agama-agama adalah apakah agama-agama muncul sebagai kekuatan moral yang > positif, terbuka dan berperikemanusiaan. [] > > > Versi asli dapat dibaca di: > http://islamemansipatoris.com/artikel.php?id=384 > ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Get fast access to your favorite Yahoo! Groups. Make Yahoo! your home page http://us.click.yahoo.com/dpRU5A/wUILAA/yQLSAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx 5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx 6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/ ** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List ** ** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: ** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ ** ** Website resmi http://www.ppi-india.org ** ** Beasiswa Indonesia, http://informasi-beasiswa.blogspot.com **