[nasional_list] [ppiindia] Re: Franz Magnis-Suseno: Pluralisme Dalam Sengketa

  • From: "RM Danardono HADINOTO" <rm_danardono@xxxxxxxx>
  • To: ppiindia@xxxxxxxxxxxxxxx
  • Date: Thu, 20 Oct 2005 13:22:44 -0000

** Mailing List Nasional Indonesia http://www.ppi-india.org ** 
** Situs milis nasional: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia ** 
** Info Beasiswa Indonesia http://informasi-beasiswa.blogspot.com **
Mas Muhkito,


Sebuah tulisan yang sangat legawa, lugas dan jujur:

------------------
"Masalahnya dapat dirumuskan begini: Agama-agama mengklaim membawa 
berkah dan keselamatan kepada seluruh manusia. Tetapi dalam kenyataan 
sebagian sejarah agama-agama monotheis, Keyahudian, Kristianitas dan 
Islam,ditulis dengan darah. 

Itu beda dengan agama misionaris besar keempat didunia, Budhisme. 

Sejauh saya tahu, penyebaran Budhisme serta pertemuan dan 
komunikasinya dengan agama-agama "saingan" tak pernah disertai
kekerasan. 

Sebagai anggota yakin salah satu agama misionaris,Kristianitas 
Katolik, yang banyak mencurahkan darah dan cenderung ke
kekerasan dalam sejarah dan konfrontasinya dengan agama-agama lain, 
sayamerasa malu, sekaligus iri dan rindu dengan gaya "misi" Budhisme 
itu. Saya merasa bahwa sebenarnya itulah cara agama-agama misionaris
melakukan misi mereka dan bertemu dengan agama-agama lain...."


------------


Ini patut kita renungkan bersama. Menolak kekerasan dalam segala 
bentuk, adalah jalan terindah untuk menyampaikan iman kita pada 
sesama umat. 

Damai. Penuh respekt. Tidak merendahkan yang lain.


Salam

danardono





--- In ppiindia@xxxxxxxxxxxxxxx, Muhkito Afiff <muhkito.afiff@xxxx> 
wrote:
>
> -------------------------------------
> IslamEmansipatoris.com, Jum'at, 14 Oktober 2005
> 
> 
> 
> Oleh: Franz Magnis-Suseno
> 
> 
> Adalah jasa Majelis Muslim Indonesia (MUI) bahwa mereka mengangkat 
> kembali ke panggung diskursus publik sebuah tema yang tidak 
> berhenti-henti menentang tiga agama Abrahamistik: hal pluralisme. 
Debat 
> ini memang tidak boleh dan tidak dapat dihindari dan kita harus 
> berterima kasih kepada MUI bahwa MUI mengembalikannya ke panggung 
> diskursus publik. Prasaran ini?yang tidak secara khusus mau 
menanggapi 
> sikap MUI?mau menjadi sumbangan terhadap diskusi itu.
> 
> Masalahnya dapat dirumuskan begini: Agama-agama mengklaim membawa 
berkah 
> dan keselamatan kepada seluruh manusia. Tetapi dalam kenyataan 
sebagian 
> sejarah agama-agama monotheis, Keyahudian, Kristianitas dan Islam, 
> ditulis dengan darah. Itu beda dengan agama misionaris besar 
keempat di 
> dunia, Budhisme. Sejauh saya tahu, penyebaran Budhisme serta 
pertemuan 
> dan komunikasinya dengan agama-agama "saingan" tak pernah disertai 
> kekerasan. Sebagai anggota yakin salah satu agama misionaris, 
> Kristianitas Katolik, yang banyak mencurahkan darah dan cenderung 
ke 
> kekerasan dalam sejarah dan konfrontasinya dengan agama-agama lain, 
saya 
> merasa malu, sekaligus iri dan rindu dengan gaya "misi" Budhisme 
itu. 
> saya merasa bahwa sebenarnya itulah cara agama-agama misionaris 
> melakukan misi mereka dan bertemu dengan agama-agama lain.
> 
> Namun sejarah tidak bisa ditiadakan lagi. Dan di sini bukan tempat 
untuk 
> menelusuri (yang sudah banyak dilakukan) mengapa agama-agama 
monotheis 
> begitu cenderung ke kekerasan dan kekejaman .
> 
> Karen Amstrong dalam "A History of God"  melakukannya dan apa yang 
> ditulisnya memang menjadi bahan refleksi serius bagi anak-anak 
> agama-agama Abrahamistik. Akan tetapi, Karen Amstrong sendiri, 
mantan 
> suster itu, mengaku tidak lagi percaya pada Allah personal (hal 
mana 
> sama dengan mengatakan bahwa ia memang tidak percaya lagi pada 
adanya 
> Allah karena Allah secara hakiki bersifat personal, artinya, bisa 
> mengetahui, bertindak, berminat, bermaksud, berkomunikasi; Amstrong 
> termasuk mereka yang meleburkan agama-agama ke dalam 
suatu `ekspresi 
> dimensi transenden dalam manusia'), ia bisa menghindar dari tugas 
yang 
> justru membebani kita yang tetap percaya bahwa ada Allah personal, 
hal 
> mana juga berarti bahwa kita juga berpegang pada pluralitas, ya 
> perbedaan antara agama-agama. Justru sebagai itu jalinan komunikasi 
> positif dan penuh percaya menjadi tugas bagi kita. Apabila, seperti 
kata 
> Amstrong, pada dasarnya tak ada perbedaan antara agama-agama karena 
> menurut dia semua tidak lebih dari ekspresi dimensi religius dalam 
> manusia, masalah khas hubungan antara mereka yang berbeda dapat 
> dihindari. Karena itu beberapa dari nasehat terselubung Karen 
Amstrong 
> saya anggap agak gampangan.
> 
> Tetapi kita tentu wajib belajar dari sejarah. Sejarah yang untuk 
> sebagian buruk itu jangan ditutup-tutup, melainkan diingat untuk 
tidak 
> diulang lagi, atau, lebih tepat, untuk, dengan rahmat Allah, 
membebaskan 
> diri dari padanya. Yang jelas, di abad ke-21 mutu suatu agama tidak 
akan 
> diukur dari klaim-klaimnya sendiri, melainkan dari apakah dia 
> betul-betul menunjukkan diri sebagai rahmat bagi seluruh masyarakat 
di 
> tengah-tengahnya ia hadir. Jadi sebagai kekuatan yang ramah, yang 
> mendukung kehidupan, yang mendamaikan, yang acuh tak acuh terhadap 
> ketidakadilan, penindasan dan peminggiran mereka yang lemah di 
manapun 
> dan dari golongan apapun, yang tidak beringas dan menakutkan, 
melainkan 
> sejuk dan positif, yang anti kekerasan, komunikatif, mampu 
membangun 
> hubungan atas dasar saling percaya. Agama harus nyata-nyata 
mendobrak 
> batas-batas kecemburuan, kecurigaan, kebencian, dendam, arogansi. 
Jadi 
> agama harus membawa diri dengan rendah hati. Itu berarti, para 
agamawan, 
> para tokoh agama, harus betul-betul rendah hati, tahu diri, selalu 
siap 
> ditegur, diminta pertanggungjawaban, siap belajar, siap memperbaiki 
> diri. Sikap rendah hati itu hakiki karena kalau agamawan arogan, ia 
> justru menyangkal apa yang diakui dengan mulut, yaitu iman dan 
ketaatan 
> kepada Allah. Hanya manusia yang tahu bahwa ia selalu masih tidak 
tahu, 
> termasuk mengenai agamanya sendiri, dapat menjadi serius tentang 
Allah 
> yang Mahatahu dan Mahabaik dan Mahaadil. Orang yang betul-betul 
tahu 
> tentang Allah, tahu juga betapa pengertiannya sendiri, termasuk 
> pengertiannya tentang agamanya sendiri, teramat batas. Ia rendah 
hati 
> dan tidak arogan.
> 
> Indonesia
> 
> Indonesia merupakan negara paling plural di dunia. plural berarti 
> majemuk. Dari Sabang sampai Merauke, terentang di atas ribuan pulau 
> sejauh lebih dari 5000 kilometer, dengan ratusan bahasa, suku 
dengan 
> adat dan budaya sendiri-sendiri, pelbagai daerah yang cukup 
berbeda, 
> serta hampir semua agama yang terdapat di dunia juga ada, serta 
> agama-agama itu sendiri juga jauh dari monolit. Indonesia itu 
secara 
> hakiki plural. Itulah yang sudah terungkap dalam semboyan "Bhinneka 
> Tunggal Ika".
> 
> Maka jelas juga bahwa Indonesia hanya bisa bersatu, bahkan bangsa 
> Indonesia hanya ada, kalau kemajemukan itu diakui. Segala usaha 
untuk 
> menyamaratakan semua dengan satu pola budaya atau beragama adalah 
sama 
> dengan dominasi sebagian warga di atas yang lain-lain dan pasti 
akan 
> mengakibatkan kehancuran Indonesia. Indonesia terlalu besar untuk 
> dipertahankan kesatuannya hanya dengan cara-cara paksa. Karena itu 
para 
> pendiri Republik ini menyepakati Pancasila, karena itu tokoh-tokoh 
Islam 
> pun 1945 memiliki keluasan wawasan dan kebesaran hati untuk 
menerima 
> bahwa negara yang baru diproklamasikan kemerdekaannya ini harus 
dimiliki 
> oleh semua warganya, tanpa membedakan antara mayoritas dan 
minoritas. 
> Itulah hakikat Pancasila. Dan karena Pancasila dipertahankan sampai 
hari 
> ini, Indonesia masih bersatu.
> 
> Pluralisme
> 
> Persatuan ini sekarang diancam oleh kelompok-kelompok yang keras 
> eksklusif, yang mau memaksakan pandangan totaliter mereka kepada 
yang 
> lain. Eksklusivisme mereka mengancam eksistensi Indonesia. kiranya 
jelas 
> bahwa bangsa seplural Indonesia hanya bisa ditata secara inklusif. 
> Penataan inklusif berarti bahwa undang-undang dasar dan sistem 
hukum 
> disusun sedemikian rupa sehingga di Indonesia semua komponen bangsa 
bisa 
> merasa seperti di rumahnya sendiri. Undang-undang dasar serta 
> perundangan harus dapat diterima oleh semua sehingga tidak ada yang 
> harus mengorbankan identitasnya demi keIndonesiaannya. Setiap 
kelompok 
> dan komponen bebas hidup menurut cita-citanya sendiri, tetapi tak 
ada 
> kelompok satu pun yang boleh memaksakan cita-cita atau keyakinannya 
> kepada yang lain. Indonesia masih bersatu karena sampai sekarang 
semua 
> eksklusivisme tegas-tegas ditolak.
> 
> Oleh karena itu, apabila pluralisme dikutuk, perlu dikatakan dengan 
> jelas apa yang dikutuk dan apa yang tidak dikutuk. Jangan sampai 
ada 
> kesan bahwa kemajemukan bangsa dan tatanan negara dan masyarakat 
> Indonesia yang inklusif mau dibatalkan dan diganti dengan 
kediktatoran 
> eksklusivitas keyakinan salah satu golongan.
> Memang betul, istilah pluralisme kadang-kadang dibajak sebagai nama 
> untuk pandangan yang mengatakan bahwa semua agama adalah sama saja. 
Atas 
> nama pluralisme agama-agama diminta agar jangan menganggap dirinya 
> sendiri paling benar. Agama-agama diartikan sebagai ungkapan 
berbeda 
> dari dimensi transenden manusia yang sama sahnya. Bahwa pandangan 
ini 
> ditolak adalah wajar. Tetapi pandangan ini jangan disebut 
pluralisme. 
> Pandangan ini bukan pluralisme, melainkan relativisme. Apabila 
> relativisme mengatakan bahwa semua agama sama saja, semua hanya 
ungkapan 
> berbeda dari kodrat religius manusia yang sama, di mana lantas 
> pluralisme? Pluralisme yang benar justru mengakui perbedaan di 
antara 
> agama-agama dan bersedia menerimanya. Jadi relativisme justru tidak 
> pluralistik dan juga tidak toleran karena menuntut agar agama-agama 
> melepaskan dulu keyakinan bahwa mereka benar. Maka kalau pandangan 
ini 
> yang mau ditolak, sebaiknya jangan disebut pluralisme melainkan 
relativisme.
> 
> Bahwa relativisme bertentangan dengan hakekat agama-agama wahyu 
kiranya 
> memang jelas. Relativisme menganggap semua agama sama benarnya. 
Nah, 
> bagaimana saya dapat mempercayai sesuatu apabila saya tidak boleh 
> percaya bahwa yang saya percayai itu benar? Pluralisme persis 
> sebaliknya. Pluralisme justru menerima bahwa kita mempunyai 
> kepercayaan-kepercayaan yang berbeda, yang tidak seluruhnya dapat 
> disesuaikan satu dengan yang lainnya. Para pluralis tidak 
merelativkan 
> ajaran masing-masing, mereka tentu mempercayai agamanya sendiri, 
tetapi 
> mereka juga yakin bahwa meskipun iman kita berbeda, kita bersatu 
dalam 
> nilai-nilai yang kita miliki bersama. Nilai-nilai para agamawan 
pluralis 
> itu adalah, misalnya, hormat terhadap keutuhan setiap manusia, 
penolakan 
> pemakaian kekerasan untuk meyelesaikan perbedaan, lalu keadilan, 
> kebebasan beragama, berpendapat dan berekspresi, solidaritas dengan 
kaum 
> miskin dan tertindas. Kita di Indonesia banyak sudah mendapat 
pengalaman 
> sangat positif bahwa kita memang memiliki niilai-nilai bersama 
melintang 
> agama-agama yang berbeda.
> 
> Hanya orang yang betul-betul pluralis bisa toleran. Toleransi 
jangan 
> dianggap pendapat bahwa "semua agama sama saja". Toleransi mengakui 
> perbedaan. Toleransi dalam arti yang sebenarnya adalah penerimaan 
> gembira terhadap kenyataan bahwa kita berbeda, bahwa di sekitar 
kita 
> hidup orang-orang dengan kepercayaan-kepercayaan dan agama-agama 
yang 
> berlainan. Toleransi adalah pengakuan terhadap orang dan kelompok 
orang 
> lain dalam keberlainannya. Pluralisme bersedia menjamin toleransi 
itu 
> dengan melembagakan hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang sama 
> orang-orang dengan kepercayaan-kepercayaan religius yang berbeda 
itu. 
> jadi pluralisme juga berarti meyakini dan menjamin hak asasi 
kebebasan 
> beragam dan kebebasan untuk menentukan sendiri pola kehidupan 
religius.
> 
> Inklusivisme Keselamatan
> 
> Hal pluralisme harus dibedakan dari sebuah pertanyaan lain, yang 
memang 
> sangat mendasar, yaitu pertanyaan apakah keselamatan abadi, terbuka 
bagi 
> seluruh umat manusia (asal bertobat dari dosa-dosa mereka), atau 
hanya 
> kepada mereka yang termasuk agamanya sendiri? Jadi misalnya apakah 
orang 
> Katolik dapat percaya bahwa orang yang tidak dibaptis masuk surga? 
> Apakah orang Islam dapat percaya bahwa orang Katolik atau orang 
Konghucu 
> yang baik masuk surga?
> 
> Tentu saja, jawaban atas pertanyaan itu hanya dapat diberikan oleh 
> masing-masing agama sendiri. untuk umat Katolik Konsili Vatikan II 
> (lembaga tertinggi Gereja Katolik di mana semua uskup sedunia 
berkumpul 
> di bawah pimpinan Paus) telah memberikan suatu jawaban yang 
penting. 
> Pada tahun 1965 Konsili itu menyatakan tiga hal: Pertama, juga 
orang 
> yang tidak dibaptis, bahkan yang, tanpa kesalahannya sendiri, tidak 
> percaya pada Allah, dapat diselamatkan asal mereka hidup menurut 
suara 
> hati mereka. Kedua, setiap orang berhak untuk mengikuti agama yang 
> diyakininya. Ketiga, umat Katolik dianjurkan untuk menghormati apa 
yang 
> baik dalam agama-agama lain. Dalam Gereja-gereja Protestan terdapat 
> pandangan yang berbeda-beda tentang hal itu. Dalam agama Islam 
Nurcholis 
> Madjid (dan beberapa teolog diluar Indonesia, seperti misalnya 
Abdulaziz 
> Sachedina) memperlihatkan bahwa juga orang di luar agama Islam, 
misalnya 
> orang Yahudi atau orang Budha, dapat merupakan orang "Islam" 
apabila ia 
> menyerah kepada Yang Ilahi menurut keyakinan agamanya sendiri, dan 
> karena itu ia dapat masuk surga.
> 
> Namun harus diperhatikan bahwa pandangan ini lebih tepat tidak 
disebut 
> pluralisme, melainkan inklusivisme. Sedangkan mereka yang 
berpendapat 
> bahwa di luar agama mereka sendiri tidak ada yang bisa masuk surga 
> disebut eksklusivis. Pernah tiga agama Abrahamistik, Yahudi, 
Kristiani 
> dan Islam, tegas-tegas eksklusif. Mereka masing-masing pernah 
menyangkal 
> bahwa orang di luar mereka masing-masing bisa masuk surga. Bahkan 
ada 
> yang  berpendapat bahwa mereka yang di luar agama sendiri (yang 
tidak 
> dibaptis, yang tidak formal termasuk Islam) masuk neraka. Namun 
sejak 
> beberapa puluh tahun ada refleksi teologis baru yang membuka pintu 
ke 
> arah pandangan yang lebih inklusif. Yang jelas, eksklusivisme 
sekarang 
> dipertanyakan. Dari luar agama ditanyakan bagaimana agama bisa 
> mempermaklumkan Tuhan yang baik hati dan adil sekaligus mengajar 
bahwa 
> semua orang yang tidak termasuk agama mereka sendiri masuk neraka, 
> termasuk orang-orang yang kelihatan hidup dengan baik. Dalam 
sejarah, 
> terlalu banyak hal mengerikan dilakukan atas nama agama. Maka 
sekarang, 
> siapapun yang terdorong untuk menunjuk bahwa ada itu Allah yang 
adil dan 
> penuh kasih sayang mestinya amat berhati-hati memasukkan siapapun 
ke 
> neraka kekal.
> 
> Kesimpulan Sementara
> 
> Kita sudah melihat beberapa arti kata pluralisme. Ada yang 
mencampurkan 
> pluralisme dengan relativisme. Jadi dengan anggapan bahwa semua 
agama 
> pada hakekatnya sama saja (dan bahwa semua agama berupa "agama 
bumi"). 
> Pandangan ini sudah betul kalau ditolak oleh agama-agama 
Abrahamistik, 
> akan tetapi seharusnya pandangan ini tidak disebut pluralisme, 
melainkan 
> relativisme. Jadi yang mestinya ditolak adalah relativisme. Begitu 
pula 
> harapan bahwa surga terbuka bagi seluruh umat manusia dan bukan 
hanya 
> bagi anggota agamanya sendiri?suatu anggapan yang harus disikapi 
oleh 
> masing-masing agama sendiri, sesuai dengan dasar-dasar 
> keyakinannya?bukan pluralisme, melainkan "inklusivisme 
keselamatan". 
> Pluralisme dalam arti yang sebenarnya adalah suatu implikasi dari 
sikap 
> toleran: yaitu kesediaan untuk menerima baik kenyataan pluralitas 
> agama-agama, artinya kenyataan bahwa dalam satu masyarakat dan 
negara 
> hidup orang dan kelompok orang dengan keyakinan agama yang berbeda. 
> Pluralisme sama sekali tidak menuntut agar semua keyakinan itu 
dianggap 
> benar. Pluralisme tidak bicara tentang kebenaran. Melainkan 
pluralisme 
> itu sikap keterbukaan: meskipun barangkali saya sulit memahami 
ajaran 
> agama golongan lain, namun saya sepenuhnya menghormati 
keberadaannya di 
> lingkungan hidup masyarakat dan negara saya sendiri. Nah, sikap 
terbuka 
> itu berkaitan erat dengan dua sikap yang juga dibahas dalam fatwa 
MUI, 
> yaitu "liberalisme" dan "sekularisme".
> 
> Liberal?
> 
> Di dua istilah itupun masalahnya adalah apa yang dimaksud 
dengannya. 
> Dengan "liberal" MUI rupa-rupanya mau menolak anggapan bahwa setiap 
> orang `bebas' (liber, akar kata liberal) untuk meramu agamanya 
sendiri, 
> daripada taat kepada wahyu. Tentu keprihatinan itu dapat 
dimengerti. 
> Setiap agama akan menolak bahwa setiap orang dapat menyusun 
agamanya 
> menurut seleranya sendiri.
> 
> Tetapi jangan sampai yang dimengerti dalam masyarakat adalah bahwa 
yang 
> mau dikutuk adalah keterbukaan. Sejauh saya tahu, di negara ini 
tidak 
> ada agamawan yang mau meramu agamanya menurut seleranya sendiri. 
Maksud 
> mereka yang menamakan diri "liberal" adalah lain. Mereka yakin 
bahwa 
> agamawan harus terbuka. Terbuka terhadap segala pertanyaan, terbuka 
> untuk dikritik, terbuka terhadap pandangan-pandangan yang berbeda 
dalam 
> agamanya sendiri, terbuka terhadap sangkalan dan bantahan. 
Liberalisme 
> dalam arti ini adalah sikap orang yang masih mau belajar, yang 
sadar 
> bahwa manusia tidak pernah bisa memahami seluruh maksud dan 
kekayaan 
> wahyu Tuhan yang Mahakuasa, jadi yang tidak secara arogan mengklaim 
> sudah mengetahui segala apa tentang agamanya. Kaum liberal secara 
hakiki 
> bersifat rendah hati. Mereka mengakui bahwa agama mereka masih 
memiliki 
> potensi-potensi yang hanya dapat diaktualisasi apabila kaum 
agamawan mau 
> belajar dan terbuka.
> 
> Sekularisasi?
> 
> Hal yang mirip dapat dikatakan tentang "sekularisasi". Kalau yang 
mau 
> ditolak adalah sekularisme yang menolak segala peran agama di ruang 
> publik?suatu tradisi anti-Katolik dari negara-negara berbahasa 
Latin di 
> Eropa dan Amerika Latin di abad ke-18 sampai permulaan abad ke-20?
maka 
> itu sangat wajar. Akan tetapi, 35 tahun lalu Nurcholis Madjid sudah 
> menegaskan bahwa agama, ya agama Islam, sebenarnya mendukung 
> sekularisasi dalam arti bahwa apa yang duniawi (= "sekuler") memang 
> harus dilihat sebagai perkara duniawi. Khususnya negara merupakan 
> perkara duniawi dan karena itu jangan diagamakan.
> 
> Kalau sekarang orang bicara tentang "negara sekular", yang dimaksud 
> bukan model Prancis kuno itu tadi, melainkan dua hal: Pertama, 
bahwa 
> negara tidak berhak untuk memaksakan kelakuan religius. Kedua, 
dalam 
> negara sekuler agama-agama tidak dapat memaksakan ajaran-ajaran 
mereka 
> pada negara. Agama berhak mempunyai hukumnya sendiri, tetapi hukum 
itu 
> bukan hukum negara dan apakah warga agama itu mentaati hukum itu 
atau 
> tidak, tidak boleh diawasi atau dipaksakan oleh negara. Dalam arti 
ini 
> negara sekuler adalah implikasi pluralisme agama. negara sekuler 
bukan 
> dalam arti bahwa agama tidak mempunyai tempat dalam kehidupan 
bangsa, 
> melainkan bahwa lembaga negara tidak dikuasai oleh satu agama dan 
bahwa 
> hukum negara ditentukan secara demokratis, dalam hormat terhadap 
hak-hak 
> asasi manusia, oleh semua. Tetapi dalam negara sekuler agama-agama 
> diakui sebagai anggota civil society yang amat penting, barangkali 
> paling penting, yang terus menerus mengingatkan kembali nilai-nilai 
> kehidupan bersama serta menentang segala usaha negara untuk 
mengusahakan 
> tujuan-tujuannya dengan cara yang tidak bermoral.
> 
> Penutup
> 
> Dulu agama-agama untuk sebagian besar terlindung dari pandangan 
luar. 
> Tetapi sekarang agama-agama pun di panggung publik manusia global. 
> Agama-agama perlu usaha baru untuk membuat orang percaya bahwa 
mereka 
> betul-betul rahmat bagi seluruh alam. Bukan bahwa mereka 
mengatakannya 
> sendiri itulah yang menentukan, melainkan bahwa orang-orang, 
termasuk 
> orang-orang luar yang bersentuhan dengan agama itu, mengalaminya. 
Yang 
> akan menentukan apakah manusia millenium ketiga tetap menghormati 
> agama-agama adalah apakah agama-agama muncul sebagai kekuatan moral 
yang 
> positif, terbuka dan berperikemanusiaan. []
> 
> 
> Versi asli dapat dibaca di:
> http://islamemansipatoris.com/artikel.php?id=384
>






------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Get fast access to your favorite Yahoo! Groups. Make Yahoo! your home page
http://us.click.yahoo.com/dpRU5A/wUILAA/yQLSAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx
5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx
6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 




** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Website resmi http://www.ppi-india.org **
** Beasiswa Indonesia, http://informasi-beasiswa.blogspot.com **

Other related posts:

  • » [nasional_list] [ppiindia] Re: Franz Magnis-Suseno: Pluralisme Dalam Sengketa