[nasional_list] [ppiindia] Pers dalam Struktur Kekuasaan Pasar

  • From: "Ambon" <sea@xxxxxxxxxx>
  • To: <"Undisclosed-Recipient:;"@freelists.org>
  • Date: Sat, 19 Feb 2005 22:46:53 +0100

** Mailing List Nasional Indonesia PPI India Forum **

http://www.sinarharapan.co.id/berita/0502/19/opi01.html


Pers dalam Struktur Kekuasaan Pasar
 Oleh Triyono Lukmantoro

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pada peringatan Hari Pers Nasional 2005 
di Pekanbaru, Riau, menegaskan bahwa pada masa pemerintahannya pers tidak 
akan dikekang dan pemerintah tidak akan melakukan pembredelan terhadap media 
massa. Namun, ketika pers tidak lagi dikontrol oleh mekanisme pembredelan 
yang dijalankan negara, benarkah secara otomatis pers memiliki ruang gerak 
yang lebih bebas? Pertanyaan tersebut selalu relevan untuk dikemukakan untuk 
menyoroti kondisi pers aktual. Selain itu, pada aspek yang lain, pihak 
pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla pun menyatakan akan 
memberlakukan Undang-Undang Pers sebagai produk hukum yang berlaku sebagai 
lex specialis. Ini berarti terhadap setiap kasus hukum yang dikenakan kepada 
pekerja pers, tidak diberlakukan lagi hatzaai artikelen (pasal-pasal karet 
dari produk hukum kolonial) yang dapat menjebloskan jurnalis ke penjara. 
Denda dalam bentuk pembayaran uanglah yang justru akan membatasi ruang gerak 
kalangan pekerja pers.
Negara selama ini memang selalu dijadikan sebagai "Sang Terdakwa" dalam 
setiap kasus hukum yang menimpa pers. Jelas, ini semua akibat pekerja pers 
belum lepas dari trauma yang berhasil ditebarkan rezim otoriter-militeristik 
Orde Baru. Juga, akibat para pelaksana (bukan penegak!) hukum sekarang ini 
masih sering menerapkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang secara 
real dapat membelenggu pekerja pers. Namun, sudah selesaikah semua 
pembatasan terhadap pers jika negara surut menjalankan intervensinya serta 
lex specialis segera diterapkan? Artinya, benarkah kekuasaan negara dan lex 
specialis menjadi panacea (obat mujarab untuk menyembuhkan semua penyakit) 
dalam setiap kasus hukum yang dihadapi pers?
Jawabannya, dengan tegas, harus dinyatakan tidak! Sebabnya adalah kebebasan 
pers selalu berada di bawah struktur kekuasaan yang melingkupinya. Ini 
berarti kebebasan pers tidak pernah merealisasikan dirinya secara 
eksistensial, melainkan secara struktural. Sehingga, struktur kekuasaanlah 
yang pada prinsipnya menjadi komponen utama dalam menentukan ruang gerak 
kebebasan pers. Apabila selama rezim Orde Baru berkuasa, struktur kekuasaan 
(power structure) itu sangat dideterminasikan oleh negara (state), maka 
setelah Soeharto luruh dari kekuasaannya, struktur kekuasaan yang menentukan 
pers adalah pasar (market).
Pada problem inilah kita harus mampu mengevaluasi keberadaan institusi pasar 
dengan kritis. Hal itu dikarenakan bahwa pasar bukanlah sekadar sebagai 
situs (tempat) untuk melakukan transaksi antara pihak penjual dan pembeli. 
Pasar bagi kalangan penganut liberalisme, yang bertumpu pada doktrin 
pertarungan bebas (free fight), memang menjanjikan kebebasan. Tetapi, 
sebenarnya, pasar tidak dengan sendirinya memberikan jalan yang demokratis. 
Sebab, bukankah para pelaku dalam pasar pers selalu memiliki modal dan 
kemampuan yang tidak pernah berimbang?

Darwinisme Sosial
Seluruh kalkulasi yang berfondasikan pada paham liberalisme, pada titik 
kulminasinya, mendorong pers untuk terjerembab dalam proses evolusi gaya 
Darwinisme sosial (social Darwinism). Apa maksudnya? Dalam pasar pers, yang 
muncul tidak lain adalah lembaga-lembaga korporasi (perusahaan) pers yang 
akan saling bertarung untuk merebut kehidupan (struggle for life). Namun, 
hanya korporasi yang paling kuat dari aspek permodalannya yang pada akhirnya 
keluar sebagai pemenang dan mampu mempertahankan keberadaannya (survival of 
the fittest). Implikasi lebih jauh dari itu adalah di antara pekerja pers, 
akibat dipaksa untuk menjalankan kompetisi, selalu dihinggapi egoisme dan 
kemerosotan solidaritas.
Apalagi, bukankah sejumlah institusi profesional bagi kalangan jurnalis 
selama ini hanya mengurusi problematik kinerja dan kualifikasi jurnalistik 
belaka? Apakah nasib dan solidaritas di antara jurnalis sendiri akibat 
terkena PHK (Pemutusan Hubungan Kerja), misalnya, juga menjadi bagian yang 
diperjuangkan? Tampaknya, memang, belum terpikirkan. Bahkan, organisasi 
profesi bagi kalangan jurnalis tampaknya masih mengidap romantisme politik 
yang diwariskan rezim Orde Baru. Seharusnya lembaga organisasional yang 
melindungi para jurnalis sudah melepaskan diri dari belenggu 
romantis-traumatik itu. Sebab, dalam realitasnya, jurnalis yang divonis 
bersalah oleh pengadilan tidak lagi dapat diberi predikat sebagai hero 
(pahlawan) yang melawan kalangan tiran, melainkan tidak lebih sebagai 
kriminal (penjahat) murni.
Selain itu, pasar pula yang pada akhirnya menjadi penentu karakter bagi 
keberlanjutan interaksi antara pers dengan masyarakatnya. Hal ini bermakna 
bahwa jurnalis tidak lebih sekadar sebagai buruh yang bekerja bagi pemilik 
modal. Ketika jurnalis berperan sebagai buruh, maka yang paling menentukan 
kehidupannya adalah kalangan pemilik modal. Dan, karena jurnalis sudah 
disesaki oleh berbagai perhitungan yang bercorak kapitalistik, maka jurnalis 
dalam melihat dan memberlakukan masyarakat pun tidak lebih sebagai pasar 
sasaran (target market). Masyarakat pun diposisikan sebagai konsumen dengan 
perhitungan jurnalisme yang bernyawa pada "berikan pada konsumen apa yang 
mereka inginkan" (give the consumers what they want), dan bukan pada 
semangat "berikan pada publik apa yang mereka butuhkan" (give the public 
what they need).
Jika masyarakat telah ditempatkan sebagai konsumen, dan bukan publik, maka 
apa yang dinamakan sebagai misi jurnalis untuk mencerdaskan dan memberikan 
pencerahan bagi masyarakat pun, akan tinggal sebagai memori masa silam yang 
terlalu manis. Tampaknya, apa yang dideskripsikan sebagai struktur kekuasaan 
yang dikendalikan pasar semacam itu telah menjadi sejenis "kodrat" yang 
terberi begitu saja (given), dan bahkan mungkin juga dilihat sebagai hal 
yang semestinya terjadi demikian (taken for granted). Jurnalis pun tidak 
mampu mengelak untuk berperan sebagai produsen pemberitaan yang berlaku 
sebagai komoditas. Akhirnya, jurnalis mengalami keterasingan (alienation) 
pada tiga domain kehidupan utamanya, yaitu terasing dari dirinya sendiri, 
terasing dari masyarakatnya, serta bahkan terasing dengan sesama jurnalis 
akibat mengalami kemorosotan solidaritas.
Lantas, siapa yang paling diuntungkan dalam kehidupan pers yang sepenuhnya 
ditentukan oleh struktur kekuasaan pasar? Sekali lagi, para pemilik modal! 
Kalangan penguasa ini jelas tidak sudi untuk disebut sebagai kaum kapitalis, 
karena memiliki makna yang sedemikian peyoratif (jelek dan negatif). Mereka 
lebih senang dan merasa terhormat untuk diberi julukan sebagai investor atau 
pelaku bisnis. Perhitungan yang digenggam oleh pemilik modal itu seolah-olah 
hanya sebatas pada penumpukan modal (accumulation of capital) serta mengeruk 
keuntungan secara maksimal (maximizing profits). Ini menjadikan kalangan 
kapitalis seolah-olah sekadar mengurusi persoalan ekonomi, dan terlepas dari 
masalah-masalah politik serta sangat suci dari persoalan-persoalan praktis 
kekuasaan.

Padahal, yang terjadi sebenarnya tidaklah demikian. Antara aspek bisnis dan 
politis tidak dapat dipisahkan sama sekali. Ekonomi sebagai basis pada cara 
berproduksi masyarakat (mode of production) merupakan penentu pada arah 
kekuasaan politis. Inilah yang lazim disebut dengan ekonomi-politik pers 
(political economy of the press). Malahan lebih dari itu, dalam ranah 
politik yang sangat praktis, para pemilik modal itulah yang menjadi penentu 
bagi bergulirnya opini publik (public opinion) untuk mendesakkan 
kepentingan-kepentingan bisnis mereka sendiri. Sehingga, apa pun yang 
diopinikan oleh kalangan pemilik modal seakan-akan menjadi cerminan yang 
sempurna dari berbagai aspirasi masyarakat.

Kepemimpinan Moral
Dalam lingkup persoalan ini, Jurgen Habermas sudah memberikan sinyalemen, 
yaitu ketika pers menjadi sedemikian tergantung pada periklanan komersial 
dan dukungan permodalan, perhitungan-perhitungan ekonomis pun menjadi hal 
yang paling dipertimbangkan. Ini berarti kalangan individual yang mampu 
mengontrol kapitallah yang akan menentukan opini publik. Pers sebagai ruang 
publik (public sphere) bagi keberlangsungan interaksi dan pertarungan 
gagasan yang bebas dari dominasi penguasa untuk menghasilkan opini publik 
yang sejati, ternyata, sudah digerogoti oleh para pemodal itu sendiri. 
Kalangan penguasa bisnis ini memang tidak berwajah sebengis penguasa negara, 
karena mereka melakukannya secara halus (subtle) dengan mekanisme 
kepemimpinan moral dan intelektual (hegemoni).
Lebih tegas lagi, Habermas menamakan fenomena yang terdapat dalam kehidupan 
pers itu sebagai refeodalisasi ruang publik. Artinya adalah opini publik 
yang pada awalnya terbentuk melalui proses diskursif (perdebatan melalui 
wacana yang sehat) dan kesepakatan (konsensus), kini telah diambil alih 
kalangan elite media, yang tidak lain merupakan pemilik modal itu sendiri. 
Akan lebih membahayakan lagi, tentu saja, jika pemilik modal itu melakukan 
persekutuan dengan elite politik dalam institusi negara serta elite 
intelektual yang bercokol di kampus.
Persekongkolan pemilik modal pers dengan elite politik akan menghasilkan apa 
yang disebut sebagai suara korporasi seolah-olah menjadi suara negara. 
Hingga pada akhirnya korporasi yang mengurusi bisnis dan bernilai ekonomis 
dianggap sebagai negara itu sendiri yang mengelola kepentingan publik. 
Sedangkan persekutuan kalangan pemilik modal pers dengan elite intelektual 
menjadikan kekuasaan kalangan kapitalis menjadi absah (legitimate) secara 
moral. Sebab, bukankah pernyataan-pernyataan kalangan elite intelektual 
telah menjadi sejenis sabda yang digulirkan oleh kalangan agamawan? Ini 
disebabkan bahwa elite intelektual dengan berbekal pengetahuan yang 
dimilikinya dapat menjadi semacam penopang "kebenaran religius" dalam bentuk 
yang lebih sekuler.
Feodalisme yang pada awalnya berarti sistem ekonomi yang bertumpu pada 
penguasaan tanah, sehingga yang berlangsung kemudian adalah relasi kekuasaan 
antara pemilik tanah dengan penyewa tanah dan buruh tani, ternyata dapat 
muncul kembali dalam kehidupan pers. Ini dapat terjadi karena pers telah 
masuk dalam struktur kekuasaan yang dikendalikan oleh pasar. Dan, para 
penguasa pasar itu tidak lain adalah kaum pemodal yang melakukan 
transformasi dengan cara bermetamorfosis sebagai raja-raja baru (the new 
lords) yang menentukan arus penciptaan opini publik. Namun, mampukah kita 
terlepas dari berbagai jeratan struktur kekuasaan pasar ini?

Penulis pengajar filsafat dan etika pada Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP 
Universitas Diponegoro Semarang.

 Copyright © Sinar Harapan 2003 



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Give underprivileged students the materials they need to learn. 
Bring education to life by funding a specific classroom project.
http://us.click.yahoo.com/4F6XtA/_WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx
5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx
6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Website resmi http://www.ppi-india.uni.cc **

Other related posts:

  • » [nasional_list] [ppiindia] Pers dalam Struktur Kekuasaan Pasar