** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List ** ** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: ** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ ** ** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral scholarship, kunjungi http://informasi-beasiswa.blogspot.com **http://www.pikiran-rakyat.co.id/cetak/2006/022006/13/0901.htm Pers, Negara, dan Propaganda Oleh SEPTIAWAN SANTANA K. HARI Pers Indonesia datang lagi. Kali ini membawa pesan tersendiri. Pesannya kali ini, antara lain, ripuh-nya media menolak pemerintah. Pers diojok-ojok sebiduk dengan kepentingan pemerintah. Hal itu misalnya terlihat di kasus empat Peraturan Pemerintah (PP) tentang penyiaran. Banyak ahli mengapungkan protes terbuka. Beberapa organisasi kewartawanan berteriak. Ada yang bahkan hendak mengajukan uji materi (judicial review) ke Mahkamah Agung (MA). Keempat PP itu dinilai dapat mengembalikan kontrol pemerintah. Tapi, soalnya bukan hanya penguasa (negara). Pengusaha (pelaku media) bisa ikutan. Penguasa dan pelaku media bisa kongkalingkong di alur main pasar bebas (free market model). Apa pasal? Awalnya negara "Negara jadi pusat peran dalam tumpukan, konstruksi, dan pembangunan jaringan komunikasi," tulis Eric Neveu (2005) ketika menyoal "Pemerintah, Negara, dan Media". Media dirancang (atas nama publik) untuk kepentingan negara. Sejak zaman kolonialisme, negara memang memanfaatkan media: sebagai alat perang. Yakni, sejak teknologi media dinujumkan ampuh dalam menekuk-lutut kesadaran orang sejagat. Saat ekspansi kolonial, sistem telegrafik dan radio dimanfaatkan. Siarannya diharap membius rakyat di wilayah musuh. Bisa membius rakyat jadi mesiu untuk menggulingkan pemerintahannya sendiri: tergerak untuk mengumpat, membuka baju, atau siap mati syahid. Praktek ini dipakai, misalnya, selama abad 19. Selama perang antarkolonial, media jadi alat tempur tambahan. Dan, terus dipakai sampai ke masa kolonialisme perang berakhir. Media dipakai sebagai alat siar politis dan ideologis. Maka, tumbuhlah agensi pers buatan Jerman, Inggris dan Prancis, selama abad 19; menyiarkan amanat strategis tertentu. Selama Perang Dingin, AS menyiarkan Voices of America, Radio Free Eroupe; Britania Raya membuat BBC; dan Prancis Radio France International (RFI). Tugasnya menolak Blok Soviet. Wilayah siarannya (broadcast propaganda) dicorongkan juga ke Dunia Ketiga (Mattelart 1995; Semelin, 2000). Tapi, kemudian, orang jadi sumpek, sadar ada bahaya di siaran propaganda ini. Takut pada upaya negara jadi sepersis Nazi dan kolaborasinya. Berbagai penolakan lalu muncul. Mereka menolak regimentasi propaganda itu jadi keterlaluan. Mereka tolak kehendak negara yang ingin jadi "lembaga penerangan" publik. Residu swasta Namun demikian, gerakan penolakan tidak sepenuhnya berhasil. Warna propaganda tetap mengintai di dalam kerja media. Herman & Chomsky (1988) melihat itu. Ada pesan dan lambang "propaganda", secara sistemik, dibenihkan ketika melayani masyarakat. Secara menyelinap, pers menyampur kepentingan pemerintah untuk kepentingan propaganda. Hal itu terjadi di Amerika. Deborah Chambers (dalam Burgh, 2000) memaparkan bagaimana jurnalisme AS tumbuh dari konspirasi elite. Media jadi subjek ordinat politik, ekonomi, militer dan kultur elite. Para "penjaga gawang" (gatekeepers) media cuma jadi sekrup jaringan pemerintah dan bisnis media. Secara konspiratif, menurut Herman (2000), uang dan "propaganda" kekuasaan diinjeksi ke dalam sistem pasar bebas. Politik dagang sapi, misalnya, terjadi di tempat-tempat wangi dan tersembunyi antara para elite media dengan penguasa. Di depan publik, keduanya tampil soleh, ngarakyat, ngabela saparakanca nu garering... Kalau urusannya sekadar larangan narkoba atau judi, tidak jadi soal. Tapi, bagaimana bila menyangkut urusan penyakit ingin terus berkuasa, ingin citra politis positif terus, ingin rakyat jadi sohib yang jinak, tidak banyak protes, sekali pun dimanipulasi dan dikorupsi terus-menerus. Untuk niat tak jelas itulah, pers campur pemerintah campur korporasi lain berhubungan, mengoperasionalisasikan muatan propaganda. Secara sistemik, uang dan kekuasaan mengatur gerak media. Ada yang ekstrem, secara monopolistik, menyensor. Ada yang pura-pura longgar, melalui pola bisnis media atau rancangan undang-undang media: hingga publik merasa tak ada yang salah. Proses kerjanya, antara lain, bisa secara "terbuka" formal-legalistik. Kekuasaan mengundang-undangkan perilaku dan performa media massa yang sepersis asas kebebasan pers, dan melindungi rakyat dari mara bahaya kekuatan supranatural informasi. Pelaku media secara "sadar" dan "terbuka" mengikuti apa yang digariskan. Publik pun tersihir (Mc.Quaill, 2000). Padahal, ada ideologi kekuasaan (Althusers) diaplikasikan ke dalam hegemoni media (Gramsci's). Propaganda kekuasan menginsentifikasi ruang pasar bebas. Larut bersama jargon-jargon freedom, identity, integration, diversity, dan bahkan informasi itu sendiri. Hasil kerja korporasi kekuatan tersembunyi itu: propaganda kekuasaan seakan jadi sepersis keinginan rakyat sendiri. Maka itulah, di Hari Pers Indonesia kali ini, saya melongo membaca puisi Taufik Ismail, Mikrofon (1992), dalam antologi Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia (2000). "Aku lihat diriku berubah di depan mikrofon .... Di depan mikrofon pada hari Senin aku jadi burung merak, Selasa tokek, Rabu bengkarung, Kemis beo, Jumat domba, Sabtu monyet, dan Ahad babi..." Saya melongo membayangkan pers jadi corong mikrofon para penguasa kebun binatangnya George Orwell, Animal Farm. "Ah, eta mah cuma aya di dunia puisi jeung novel...," sembur istri saya. "Tong sok suuzon, ari jadi jelema teh." Saya terkesiap. Iih, seyem (baca: serem). Tapi, "selamat tahun (lahir) diulang Pers Indonesia...." *** Penulis, dosen Fikom Universitas Islam Bandung. [Non-text portions of this message have been removed] *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://groups.yahoo.com/group/ppiindia *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx 5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx 6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/ ** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List ** ** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: ** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ ** ** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral scholarship, kunjungi http://informasi-beasiswa.blogspot.com **