[nasional_list] [ppiindia] Pers, Negara, dan Propaganda

  • From: "Ambon" <sea@xxxxxxxxxx>
  • To: <"Undisclosed-Recipient:;"@freelists.org>
  • Date: Mon, 13 Feb 2006 10:54:09 +0100

** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com 
**http://www.pikiran-rakyat.co.id/cetak/2006/022006/13/0901.htm



      Pers, Negara, dan Propaganda
      Oleh SEPTIAWAN SANTANA K. 


      HARI Pers Indonesia datang lagi. Kali ini membawa pesan tersendiri. 
Pesannya kali ini, antara lain, ripuh-nya media menolak pemerintah. Pers 
diojok-ojok sebiduk dengan kepentingan pemerintah.

      Hal itu misalnya terlihat di kasus empat Peraturan Pemerintah (PP) 
tentang penyiaran. Banyak ahli mengapungkan protes terbuka. Beberapa organisasi 
kewartawanan berteriak. Ada yang bahkan hendak mengajukan uji materi (judicial 
review) ke Mahkamah Agung (MA). Keempat PP itu dinilai dapat mengembalikan 
kontrol pemerintah. Tapi, soalnya bukan hanya penguasa (negara). Pengusaha 
(pelaku media) bisa ikutan. Penguasa dan pelaku media bisa kongkalingkong di 
alur main pasar bebas (free market model).

      Apa pasal? 

      Awalnya negara 

      "Negara jadi pusat peran dalam tumpukan, konstruksi, dan pembangunan 
jaringan komunikasi," tulis Eric Neveu (2005) ketika menyoal "Pemerintah, 
Negara, dan Media". Media dirancang (atas nama publik) untuk kepentingan 
negara. 

      Sejak zaman kolonialisme, negara memang memanfaatkan media: sebagai alat 
perang. Yakni, sejak teknologi media dinujumkan ampuh dalam menekuk-lutut 
kesadaran orang sejagat. 

      Saat ekspansi kolonial, sistem telegrafik dan radio dimanfaatkan. 
Siarannya diharap membius rakyat di wilayah musuh. Bisa membius rakyat jadi 
mesiu untuk menggulingkan pemerintahannya sendiri: tergerak untuk mengumpat, 
membuka baju, atau siap mati syahid.

      Praktek ini dipakai, misalnya, selama abad 19. Selama perang 
antarkolonial, media jadi alat tempur tambahan. Dan, terus dipakai sampai ke 
masa kolonialisme perang berakhir. Media dipakai sebagai alat siar politis dan 
ideologis. 

      Maka, tumbuhlah agensi pers buatan Jerman, Inggris dan Prancis, selama 
abad 19; menyiarkan amanat strategis tertentu. Selama Perang Dingin, AS 
menyiarkan Voices of America, Radio Free Eroupe; Britania Raya membuat BBC; dan 
Prancis Radio France International (RFI). Tugasnya menolak Blok Soviet. Wilayah 
siarannya (broadcast propaganda) dicorongkan juga ke Dunia Ketiga (Mattelart 
1995; Semelin, 2000).

      Tapi, kemudian, orang jadi sumpek, sadar ada bahaya di siaran propaganda 
ini. Takut pada upaya negara jadi sepersis Nazi dan kolaborasinya. Berbagai 
penolakan lalu muncul. Mereka menolak regimentasi propaganda itu jadi 
keterlaluan. Mereka tolak kehendak negara yang ingin jadi "lembaga penerangan" 
publik. 

      Residu swasta

      Namun demikian, gerakan penolakan tidak sepenuhnya berhasil. Warna 
propaganda tetap mengintai di dalam kerja media. 

      Herman & Chomsky (1988) melihat itu. Ada pesan dan lambang "propaganda", 
secara sistemik, dibenihkan ketika melayani masyarakat. Secara menyelinap, pers 
menyampur kepentingan pemerintah untuk kepentingan propaganda. 

      Hal itu terjadi di Amerika. Deborah Chambers (dalam Burgh, 2000) 
memaparkan bagaimana jurnalisme AS tumbuh dari konspirasi elite. Media jadi 
subjek ordinat politik, ekonomi, militer dan kultur elite. Para "penjaga 
gawang" (gatekeepers) media cuma jadi sekrup jaringan pemerintah dan bisnis 
media.

      Secara konspiratif, menurut Herman (2000), uang dan "propaganda" 
kekuasaan diinjeksi ke dalam sistem pasar bebas. Politik dagang sapi, misalnya, 
terjadi di tempat-tempat wangi dan tersembunyi antara para elite media dengan 
penguasa. Di depan publik, keduanya tampil soleh, ngarakyat, ngabela 
saparakanca nu garering...

      Kalau urusannya sekadar larangan narkoba atau judi, tidak jadi soal. 
Tapi, bagaimana bila menyangkut urusan penyakit ingin terus berkuasa, ingin 
citra politis positif terus, ingin rakyat jadi sohib yang jinak, tidak banyak 
protes, sekali pun dimanipulasi dan dikorupsi terus-menerus. 

      Untuk niat tak jelas itulah, pers campur pemerintah campur korporasi lain 
berhubungan, mengoperasionalisasikan muatan propaganda. Secara sistemik, uang 
dan kekuasaan mengatur gerak media. Ada yang ekstrem, secara monopolistik, 
menyensor. Ada yang pura-pura longgar, melalui pola bisnis media atau rancangan 
undang-undang media: hingga publik merasa tak ada yang salah. 

      Proses kerjanya, antara lain, bisa secara "terbuka" formal-legalistik. 
Kekuasaan mengundang-undangkan perilaku dan performa media massa yang sepersis 
asas kebebasan pers, dan melindungi rakyat dari mara bahaya kekuatan 
supranatural informasi. Pelaku media secara "sadar" dan "terbuka" mengikuti apa 
yang digariskan. Publik pun tersihir (Mc.Quaill, 2000).

      Padahal, ada ideologi kekuasaan (Althusers) diaplikasikan ke dalam 
hegemoni media (Gramsci's). Propaganda kekuasan menginsentifikasi ruang pasar 
bebas. Larut bersama jargon-jargon freedom, identity, integration, diversity, 
dan bahkan informasi itu sendiri.

      Hasil kerja korporasi kekuatan tersembunyi itu: propaganda kekuasaan 
seakan jadi sepersis keinginan rakyat sendiri.

      Maka itulah, di Hari Pers Indonesia kali ini, saya melongo membaca puisi 
Taufik Ismail, Mikrofon (1992), dalam antologi Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia 
(2000).

      "Aku lihat diriku berubah di depan mikrofon .... Di depan mikrofon pada 
hari Senin aku jadi burung merak, Selasa tokek, Rabu bengkarung, Kemis beo, 
Jumat domba, Sabtu monyet, dan Ahad babi..."

      Saya melongo membayangkan pers jadi corong mikrofon para penguasa kebun 
binatangnya George Orwell, Animal Farm.

      "Ah, eta mah cuma aya di dunia puisi jeung novel...," sembur istri saya. 
"Tong sok suuzon, ari jadi jelema teh." 

      Saya terkesiap. Iih, seyem (baca: serem). Tapi, "selamat tahun (lahir) 
diulang Pers Indonesia...." ***  

      Penulis, dosen Fikom Universitas Islam Bandung.
     
        


[Non-text portions of this message have been removed]



***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx
5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx
6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com **

Other related posts:

  • » [nasional_list] [ppiindia] Pers, Negara, dan Propaganda