** Mailing List Nasional Indonesia PPI India Forum ** Media Indonesia Kamis, 24 Februari 2005 OPINI Pemimpin Aceh Haruskah Diimpor? Aly Yusuf; The Indonesian Institute Center For Public Policy Research, Jakarta TENTU kita sedikit bertanya, bagaimana caranya Presiden Amerika Serikat saat ini, Bush Junior, mampu dengan mudah merangkul Bush Senior dan Bill Clinton untuk bersama-sama menarik simpati masyarakat AS dan dunia agar peduli terhadap bencana tsunami di Asia, termasuk Aceh dan Sumut. Padahal mereka berbeda partai politik (pandangan politik), bahkan bertolak belakang dalam melaksanakan kebijakan-kebijakan pemerintahannya. Tapi menghadapi masalah ini, 'baju' yang mereka miliki seakan hilang dengan mudah. Ataupun kita bisa bertanya juga, seberapa besar rasa memiliki dan kemanusiaan Wali Kota New York dalam melakukan kegiatan evakuasi pada saat setelah serangan 11 September 2001, dengan lengan baju yang tergulung dan reruntuhan yang siap kapan pun melumatnya, tanpa rasa takut berjuang untuk orang lain. Akan lebih miris lagi ketika kita melihat pemimpin kita bagaimana menghadapi bencana di Aceh. Coba kita tengok, bagaimana para menteri memakai baju yang teramat formal dan mahal dengan fasilitas yang melebihi penderitaan korban dengan gagah mengunjungi daerah korban tsunami. Bahkan, para wakil rakyat kita pun tidak mau ketinggalan dengan kebesaran 'pin' yang dimilikinya 'bertamu' sesaat hanya untuk melihat dari balik kaca, seberapa keras 'tangisan' pengungsi yang mereka dengar. Kita harusnya malu dan menutup mata jika melihat bagaimana Menteri Luar Negeri AS dan Sekretariat Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa datang dengan mengenakan pakaian siap kerja. Padahal ini bukan negara mereka, mereka bukan bagian dari masyarakat Indonesia, tapi mereka adalah manusia. Jadi ke manakah jiwa empati yang dimiliki pemimpin kita? Padahal mereka adalah anak negeri ini yang berperan vital dalam menentukan masa depan Indonesia. Bencana tsunami di Aceh dan Sumut sedikit banyak memberikan ilustrasi seberapa tepat kita memilih 'pemimpin' untuk menjadi nakhoda besar Indonesia. Beberapa kasus yang telah dicontohkan oleh pemimpin kita dalam bersikap, semakin meyakinkan bahwa belum ada pemimpin yang memiliki jiwa empati terhadap sesama. Sebut saja Nabire, Maumere, dan Flores yang sampai sekarang belum mampu keluar dari dampak bencana tersebut. Kita pun berharap, Aceh tidak seperti daerah di atas. Lihat saja bagaimana perkembangan yang terjadi selama proses pemulihan di Aceh dan Sumut. Dimulai dengan silang pendapat soal penanganan pengungsi, distribusi, adopsi anak, psikologi, perhitungan kerugian, keberadaan pasukan asing, hingga pada persoalan yang lebih kompleks bagaimana membentuk Aceh kembali pascatsunami, yang pasti sifat pesimistis dan kecemasan membayangi. Bagaimana tidak, hingga sekarang belum ada satu pun konsep yang dihasilkan oleh pemimpin kita bisa dijadikan "rujukan" dalam memulai pemulihan di Aceh. Mungkin kita bisa belajar dari skenario Mont Fleur, yang menggagas masa depan Afrika Selatan dengan merangsang perdebatan untuk menciptakan masa depan dengan kebenaran yang pasti. Di mana skenario ini melibatkan seluruh sumber daya tidak terkecuali pemerintah, dan keputusan dibentuk dari tindakan individu, organisasi, serta institusi. Mont Fleur menitikberatkan bagaimana vitalnya para pemimpin dalam menggagas masa depan sesuai kemampuan dan sumber daya yang dimiliki hanya dalam hitungan hari, padahal kondisi lingkungan tidak memungkinkan. Tengoklah peristiwa Proses Destino Columbia untuk membangun masa depan Kolombia dari kehancuran di berbagai sistem masyarakat dan negara. Bagaimana mereka merapatkan berbagai kepentingan menjadi penyusun skenario yang tangguh dan kemudian memperluas pembicaraan tentang strategi dan membangun visi bersama secara nasional. Di mana proses ini sangat sederhana dengan melakukan negosiasi kepentingan-kepentingan secara informal dengan tidak mengikat, logis dan menantang, melibatkan berbagai pihak dan terpadu, kolektif dan konstruktif, serta melahirkan pilihan generatif. Sebenarnya kita telah memiliki 'pemimpin-pemimpin' yang setidaknya mewakili contoh-contoh di atas. Tapi itulah kelemahan kita, yang tidak mau menghargai hasil kerja dan tidak belajar pada pengalaman terdahulu. Malah, mereka melakukan dengan gaya dan keinginan sendiri. Maka jangan salah jika Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia meminta bantuan 'pemimpin' lain untuk datang. Padahal ada yang lebih berwenang melakukan itu. Dengan dalih situasi darurat, tindakan mengambil langkah ini dibenarkan. Atau kita bisa melihat contoh, bagaimana mantan pemimpin kita menjenguk dengan simbol salat bersama sebagai aktualisasi jiwa empati, padahal harusnya lebih dari itu. Lebih menjengkelkan lagi, para mantan pemimpin kita rasanya tidak memiliki jiwa empati sebagai pemimpin. Jangankan melakukan rekonsiliasi seperti tiga Presiden Amerika Serikat untuk berkampanye menggalang dana kemanusiaan atau mencontoh Perdana Menteri Australia dengan baju kerja dan raut muka 'muram' datang ke lokasi bencana, berkomunikasi pun tidak pernah apalagi pergi bersama untuk sekadar menghibur para korban tsunami Aceh. Jadi apakah seperti itu 'pemimpin' kita? Sudah sepantasnya kita membuat skenario yang akan memberikan suatu jalan. Memang skenario tidak berusaha meramalkan apa yang akan terjadi, tetapi dapat membantu kita untuk lebih memahami apa yang mungkin terjadi di kemudian hari. Menggagas masa depan Aceh merupakan sebuah keharusan meskipun dalam ruang dan suasana yang tidak pernah jelas. Langkah ini harus cepat dilakukan untuk mengatur rakyat Aceh, yang mulai kehilangan harapan dan menimbulkan kembali kepercayaan terhadap pelindungnya selama ini (Indonesia). Meskipun terlambat, rasa simpati dan tumbuh kepercayaan kepada pihak-pihak yang secara tanggap ada ketika mereka butuh. Tanpa bermaksud 'mengerdilkan' pemimpin di Indonesia dan menggantikan para 'aktor' yang tersibukkan dengan rutinitas pekerjaan. Badan Otorita Khusus yang akan dibentuk oleh pemerintah untuk menangani Aceh dan Sumut, sedikit memberikan angin segar di saat ketidakpastian terus meningkat sejalan jumlah korban yang meninggal. Meskipun harus menunggu satu hingga tiga bulan ke depan untuk mengetahui sosok seperti apa lembaga tersebut, setidaknya ada upaya untuk menunjukkan rasa empati pemimpin kita untuk menunjukkan bagaimana memimpin kapal besar yang terkena bencana. Hal lain yang perlu kita perhatikan dalam mengamati lembaga ini adalah bagaimana mereka yang hidup di Aceh dengan segala kekurangan dan bahaya kematian, harus menunggu perangkat, tugas, wewenang, tanggung jawab dan pertanggungjawaban yang dimiliki lembaga tersebut, yang entah kapan bisa direalisasikan. Kedua, jangan sampai mencontoh pengelolaan Otorita Batam yang dibuat pemerintah, dengan lebih memberikan keleluasaan bagi pihak luar untuk membangun. Padahal akar sosial dan budaya tidak pernah mereka miliki, atau dengan kata lain, menjauhkan rasa kepemilikan dari penduduk asli daerah itu sendiri. Ketiga, batasan yang jelas dengan Bakornas sebagai lembaga penanggulangan bencana dan pengungsi. keempat, masalah hukum yang berkenaan dengan undang-undang otonomi khusus Aceh khususnya kewenangan. Dan kelima, mencermati supaya tidak terjadi pengembalian kekuasaan pemerintah ke Aceh lewat Badan Otorita Aceh tersebut. *** [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Give underprivileged students the materials they need to learn. Bring education to life by funding a specific classroom project. http://us.click.yahoo.com/4F6XtA/_WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx 5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx 6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/ ** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List ** ** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: ** http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ ** ** Website resmi http://www.ppi-india.uni.cc **