** Mailing List Nasional Indonesia PPI India Forum ** Republika Rabu, 16 Februari 2005 Muara Kasus Jurnalisme: Etika atau Hukum? Oleh : S Sinansari ecip Dosen Universitas Hasanuddin dan Universitas Indonesia Jika ada kasus pelanggaran jurnalisme, pendapat masyarakat segera terpecah dua. Mereka, terutama dari kalangan jurnalis/pers, ingin persoalan diselesaikan secara etika, yaitu menerapkan kode etik profesi jurnalisme. Mereka yang lain, terutama penegak hukum, minta diselesaikan secara hukum, berproses ke pengadilan. Manakala jalan yang terakhir tersebut diambil maka kalangan pers akan mengatakannya sebagai kriminalisasi pers, kesalahan pers dianggap sama dengan tindak kejahatan biasa, misalnya mencuri, membunuh, merampok, dan menipu. Karya jurnalisme adalah karya intelektual, yang tidak mungkin disamakan dengan karya keterampilan mencopet, misalnya. Pemerintah dominan Pada masa pemerintahan Soeharto, berlaku UU Pers No 21/1982, yang menempatkan kedudukan dan peran pemerintah sangat dominan. Pers media cetak dikendalikan dengan pemberian izin yang ketat dan pers media elektronika kebanyakan dikuasai oleh keluarga orang-orang sangat penting. Pada periode itu, untuk wartawan, hanya diakui satu organisasi yakni Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Tidak ada wartawan yang bukan anggota PWI. Bila media melakukan kesalahan jurnalisme maka wartawan tersebut pertama-tama dikeluarkan dari keanggotaan PWI, yang otomatis tidak bisa lagi mencari nafkah melalui kegiatan jurnalisme. Tidak jarang, jika ada wartawan dianggap melanggar seperti itu, dilakukan tindakan politis oleh pemerintah, yakni penghentian terbit. Ini kasus contohnya adalah pada Tabloid Monitor, yang memuat hasil jajak pendapat tentang siapa yang menjadi tokoh pembaca. Nabi Muhammad SAW terpilih menjadi tokoh nomor 11 sementara Arswendo Atmowiloto, pimpinan Tabloid Monitor terpilih menjadi tokoh nomor 10. Sebagian masyarakat Muslim marah, terjadi keresahan di tengah masyarakat. Arswendo kemudian diproses secara hukum sampai dihukum penjara. Mestinya kasus ini cukup diproses secara hukum kalau dianggap terjadi tindak pidana berat tanpa harus mematikan terbitnya Tabloid Monitor. UU Pers yang sekarang lebih maju dan reformis. UU ini dilahirkan pada periode Presiden BJ Habibie. Untuk mendirikan media cetak, tidak perlu lagi izin. PWI tidak lagi menjadi satu-satunya organisasi wartawan Indonesia. Sebanyak 26 organisasi wartawan membuat kode etik bersama yang diberi nama Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI). PWI sendiri tetap mempunyai Kode Etik Jurnalistik PWI, yang hanya berlaku untuk anggota-anggotanya. Pasal 7 Ayat 2 UU Pers No 40/1999 menyebutkan bahwa wartawan Indonesia mempunyai dan menaati kode etiknya. Pada bagian yang lain (Pasal 15 Ayat 2c), Dewan Pers diberi kewenangan untuk memutuskan KEWI sebagai kode etik wartawan yang dipakai bersama dan mengawasi pelaksanaannya. Karena dinyatakan dalam UU Pers maka KEWI mempunyai implikasi hukum. Beberapa hal yang ada di dalam KEWI, yang sebetulnya berlingkup etika profesi atau norma, juga ''ditingkatkan'' ke tataran hukum. Dua ujung Pelanggaran yang dilakukan oleh wartawan dalam bentuk karya jurnalismenya, diharapkan cukup diselesaikan dengan mekanisme jurnalisme juga. Media yang memuatnya wajib membuat perbaikan atau ralat tulisan yang pertama, dalam format yang kurang lebih sama. Ini dikenal sebagai Hak Jawab yang dimiliki masyarakat dan media harus melayaninya. Manakala media tidak melayani Hak Jawab diancam hukuman denda paling tinggi Rp 500 juta (Pasal 18 Ayat 2). Sering media kurang memperhatikan kemungkinan dia melanggar tatanan. Jika pihak yang merasa dirugikan bereaksi dalam bentuk somasi sekalian mengancam tuntutan ganti rugi, baru terkejut. Tuntutannya cukup besar sampai miliaran rupiah, yang membuat pusing media. Media lalu mencoba cari akses ke pihak penuntut termasuk pengacaranya. Biasanya terjadi tawar menawar. Media menawarkan lipuan khusus sebagai imbalan tulisan yang dianggap merugikan tersebut atau pemuatan tulisan perbaikan tanpa revisi. Mahkamah Agung pernah berpendapat, tidak digunakannya hak jawab oleh seseorang yang dirugikan berarti yang bersangkutan mengakui bahwa tulisan tersebut benar. Pendapat MA ini terjadi pada tahun 1993 atas perkara Harian Garuda, Medan, dan pembacanya, yang dikalahkan di tingkat pengadilan negeri dan pengadilan tinggi. MA menyatakan, berita-berita yang telah dimuat Garuda tidak tergolong sebagai perbuatan melawan hukum. Tapi sayang, keputusan MA tidak dipakai sebagai yurisprudensi. Pihak lain di dalam masyarakat ingin memproses ke pengadilan, baik setelah mendapatkan layanan hak jawab maupun tidak. Warga yang merasa dirugikan nama baiknya (pencemaran nama baik) oleh media cetak langsung protes atau menggugat melalui Dewan Pers. Dewan Pers kemudian mencarikan penyelesaian dengan muara penggunaan hak jawab. Jika yang bersangkutan belum puas, dia masih bisa melapor ke polisi untuk proses ke pengadilan, melalui proses hukum pidana. Bisa juga dia langsung melapor ke polisi tanpa menggunakan hak jawab. Di lingkungan Kode Etik Jurnalistik PWI ada kebiasaan baik. Mereka yang mengajukan perkara ke Dewan Kehormatan PWI Pusat harus menyatakan jika menggunakan proses hak jawab tidak perlu lagi mengajukan proses pengadilan. Di sini ada pilihan yang tegas. Sikap mendua sebaiknya diakhiri. Kalangan pers ingin tidak ada lagi kriminalisasi pers. Paling tinggi kalau ada perkara hasil karya wartawan hukumannya bukan penjara kurungan melainkan denda (perdata), yang tidak dibayar oleh pribadi wartawan yang bersangkutan melainkan dibayar oleh perusahaannya. Siapa yang bertanggung jawab? Pada zaman UU Pers No 11/1966 dan UU No. 21/1982, pertanggungjawaban yuridis berjenjang seperti air terjun. Jika terjadi pelanggaran pidana pemberitaan maka yang bertanggung jawab adalah pimpinan, yang bisa menurunkan tanggung jawabnya kepada redaktur atau pun reporter. Mungkin karena sejarah, biasanya yang tetap tampil sebagai penanggung jawab di pengadilan adalah pimpinan redaksi. Namun, menurut UU Pers No 40/1999, jika terjadi tindak pidana pers maka berlaku undang-undang yang telah ada, yakni tidak bisa tidak mestilah KUHP. Itu disebut dalam Penjelasan Pasal 12 UU No. 40/1999. Pertanggungjawaban menurut KUHP adalah siapa yang berbuat harus bertanggung jawab. Proses yang dijalani oleh obyek berita adalah pengaduan ke Dewan Pers, Jl Kebon Sirih, Jakarta Pusat. Media yang memuat/menyiarkan berita tersebut dipanggil oleh Dewan Pers, diminta klarifikasi. Jika menurut penilaian Dewan Pers, berdasar KEWI, tidak terjadi pelanggaran maka media itu bebas. Bila ternyata media bersalah maka media ini wajib melayani hak jawab. Masih ada pendapat yang perlu diperhatikan, yakni yang mengatakan semua orang berposisi sama dalam tatanan hukum. Artinya, tidak ada keistimewaan yang melekat pada subyek hukum yang berprofesi tertentu. Wartawan diposisikan sama dengan siapa saja terhadap hukum. Karena perbuatan pidana, wartawan akan ditindak dengan KUHP. Persoalannya adalah apakah jika ada pelanggaran atas karya jurnalisme, itu tindak pidana dengan ancaman kurungan ataukah tindak kesalahan profesi. [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Give the gift of life to a sick child. Support St. Jude Children's Research Hospital's 'Thanks & Giving.' http://us.click.yahoo.com/lGEjbB/6WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx 5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx 6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/ ** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List ** ** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: ** http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ ** ** Website resmi http://www.ppi-india.uni.cc **