[nasional_list] [ppiindia] Menimbang Solusi Permasalahan TKI

  • From: "Ambon" <sea@xxxxxxxxxx>
  • To: <"Undisclosed-Recipient:;"@freelists.org>
  • Date: Sat, 19 Feb 2005 22:54:00 +0100

** Mailing List Nasional Indonesia PPI India Forum **

http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=188168&kat_id=16

Sabtu, 19 Februari 2005

Menimbang Solusi Permasalahan TKI 
Oleh : Tamsil Linrung
Anggota Komisi IX DPR RI dari FPKS
Sudah melampaui batas kemanusiaan. Itulah kualitas derita tenaga kerja 
Indonesia (TKI) di Malaysia, terutama yang ilegal. Uniknya, hal itu tak membuat 
jera para TKI. Dengan berdalih gaji yang belum terbayar atau faktor lain, di 
antara mereka tetap bersikeras untuk bertahan di negeri jiran. Maka, perlu 
dipikirkan bagaimana memayungi TKI yang jumlahnya masih ratusan ribu orang, 
baik yang di Malaysia atau di negara-negara lain yang hingga kini menjadi 
tumpuan harapan keluarga di Tanah Air.

Pemerintah diminta memiliki agenda lebih konkrit, keberpihakan yang lebih 
jelas, dan tindakan nyata yang responsif terhadap perkembangan yang terjadi 
pada TKI di luar negeri. Masalahnya, di Indonesia sendiri ketersediaan lapangan 
kerja masih terbatas, sementara tingkat pengangguran mencapai 40 juta orang 
lebih. Akhirnya, para tenaga kerja Indonesia mengalir ke luar negeri. 

Sangat rasional apabila pemerintah memberikan ''kompensasi'' yang riil berupaa 
perlindungan hak-hak jiwanya dari ancaman fisik majikan atas nama pribadi atau 
perusahaan yang mempekerjakan TKI. Inilah sikap politik umum yang perlu 
dijabarkan dalam garis hukum dan politik (kesepakatan bilateral) yang sama-sama 
harus dihargai oleh kedua pihak: Indonesia sebagai pengerah jasa TKI dan 
negara-negara lain seperti Malaysia, Singapura, Malaysia, Arab Saudi, Kuwait, 
Hongkong, Korea Selatan dan Jepang yang tercatat sebagai peengguna jasa TKI.

Penyelesaian jangka panjang
Kesepakatan bilateral sangatlah tidak mungkin berhadapan langsung dengan 
majikan. Namun, pemerintah yang menerima TKI dapat membuat persyaratan ketat 
yang harus ditaati oleh majikan dengan konsekuensi hukum jika melanggarnya. Hal 
ini tampaknya belum dilakukan karena hingga saat ini masi dirasakan tiada 
pembelaan yang cukup serius terhadap nasib TKI dari pemerintah setempat. 

Lebih dari itu, manakala terjadi problem hukum (seperti pelecehan seksual yang 
kadang menggiring aksi pembelaan diri korban dan mengakibatkan pembunuhan, atau 
kasus penganiayaan oleh majikan), para TKI perlu didampingi penasihat hukum. 
Pendampingan hukum ini, semasa proses penyidikan atau pengadilan, semata-mata 
untuk mencapai keadilan hukum. Juga, dalam kerangka menghormati hukum yang 
berlaku akibat perbedaan sistem hukum yang ada, sehingga penanganan sebuah 
kasus TKI tidak berimplikasi pada wilayah politik kedua negara.

Dalam kaitan ini, memang dibutuhkan diplomasi. Komunikasi politik yang penuh 
nuansa persahabatan jauh lebih kental nilai kemanusiaannya dan kualitas 
keadilannya dibanding penerapan hukum yang kaku. Karenanya, unsur diplomasi 
menjadi sangat relevan untuk ikut dimainkan akibat perbedaan sistem hukum dan 
sistem budaya dua negara.

Bila aspek perlindungan TKI diselenggarakan secara komprehensif, tidak akan 
terjadi ketegangan bilteral. Perdana Menteri Malaysia Abdullah Badawi tidak 
perlu merespons secara emosional ketika Presiden Yudhoyono akan mengirim tim 
pembela untuk menyelesaikan gaji para TKI yang belum dibayarkan. Presiden 
tampaknya tetap menghargai hak pihak yang mempekerjakan TKI, tapi sekaligus 
mengedepankan huku. Namun, kita juga dapat memahami reaksi Badawi karena proses 
hukum itu berpotensi besar akan mempermalukan rakyat dan negaranya. 

Di sinilah nasionalisme Badawi muncul. Landasan reaksi Pemerintah Malaysia 
tidak akan terjadi jika tercapai kesepakatan bilateral jauh sebelumnya. 
Formulasi solusi yang berjangka panjang seperti itu harus segera dibangun. 
Pemulangan para TKI akhir-akhir ini seharusnya dijadikan momentum untuk 
melakukan pendekatan politik agar tercapai kesepakatan bilateral terkait 
penempatan TKI di luar negeri. Pada sisi pemerintah Indonesia, harus 
menyelesaikan problem strukturalnya terlebih dulu seperti memberlakukan standar 
kemampuan TKI, tidak boleh meloloskan tenaga kerja yang buta huruf, dan 
sebagainya. Dengan demikian, para TKI dapat memahami kontrak kerja sekaligus 
dapat bekerja profesional. 

Untuk PJTKI, Depnakertrans dapat menuntut adanya pendidikan dan pelatihan TKI 
yang bukan sekadar memenuhi prasyarat formal. PJTKI juga harus melaporkan data 
TKI yang sebenarnya. Degan data yang tidak dipalsukan, akan lebih mudah bagi 
pemerintah untuk memberikan bantuan hukum apabila mereka mendapatkan musibah. 
Sementara itu, Imigrasi juga harus segera ditertibkan. Pasalnya, banyak TKI 
legal yang menjadi ilegal karena mahalnya biaya pengurusan paspor dan dokumen 
lain. Biaya paspor yang tadinya Rp 115 ribu melambung menjadi Rp 800 ribu. 

Problem kultural
Dari sisi negara penerima TKI, terlihat adanya problem kultural yang perlu 
diselesaikan. Ada kesan TKI dianggap sebagai budak meskipun mereka diberikan 
upah. Akibatnya, para TKI dieksploitasi tanpa mengindahkan hak-hak mereka. TKI 
tidak dianggap sebagai mitra kerja. Implikasinya, cara pandang kultural ini 
membuat para majikan cenderung lebih mengedepankan kepentingan dirinya sendiri 
dibanding memahami kepentingan TKI.

Nasib TKW di negara-negara Arab akibat problem struktural ini sangat 
mengenaskan. Pelecehan seksual terhadap TKW kerap tidak dianggap sebagai 
perbuatan melanggar hukum. Tidaklah mengherankan jika pemerintahan Arab 
cenderung melindungi kepentingan warganegaranya yang memperkosa sejumlah TKW. 
Keberpihakan mereka kian kental apabila terjadi pembunuhan terhadap majikan 
oleh para TKW yang sebenarnya hanya berusaha mempertahankan kehormatannya.

Problem kultural ini tidak mudah diubah. Apabila pemerintah Indonesia melakukan 
pengetatan terhadap pengiriman TKI serta berusaha 'menekan' agar negara 
penerima TKI berubah, maka dengan mudahnya mereka akan mencari tenaga kerja 
dari negara lain. Apalagi, tenaga kerja dari Filipina, Vietnam, Bangladesh, dan 
India kian profesional. Dengan demikian, 'pemutusan' pasokan TKI hanya akan 
membeban penyediaan lapangan kerja di Tanah Air.

Maka, kebijakan dan diplomasi politik menjadi prasyarat untuk melakukan 
perlindungan terhadap para TKI: melakukan perbaikan struktural di dalam negeri, 
dan mendesak perubahan kultural di negara pengguna jasa TKI. Dalam pandangan 
ini, kunjungan resmi Presiden SBY ke Malaysia untuk menuntaskan kasus TKI 
bermakna positif. Memang, tidak semua kebijakan yang disepakati kedua negara 
dapat memuaskan TKI.Pemerintahan PM Badawi sudah menginstruksikan agar para 
majikan yang masih menunggak pembayaran gaji TKI harus segera menyelesaikannya. 
Sikap Badawi ini secara politis akan memelihara citranya di dunia internasional 
maupun di depan rival politisi domestiknya.

Tidak cukup
Model penyelesaian TKI tetap dinilai kurang jika pemerintah tidak segera 
menyuguhkan model solusi yang bersentuhan langsung dengan kepentingan ekonomi. 
Pemerintah harus pula memikirkan sekitar 26 ribu TKI ilegal yang terdampar di 
Nunukan, Kaltim. Banyak TKI yang enggan pulang ke daerah asalnya karena malu 
atau masih berniat kembali mengadu untung ke Malaysia.

Pemerintah sebenarnya dapat membuka perkebunan di Nunukan. Tanah kabupaten itu 
sangat cocok untuk perkebunan kelapa sawit dan karet. Tim Penanggulangan TKI 
Ilegal dari Fraksi PKS dalam rapat kerja Komisi IX DPR RI dengan pemerintah 
pernah mengusulkan pembukaan perkebunan kelapa sawit seluas 200.000 hektar di 
sekitar Nunukan. Pemerintah menyambut positif usulan itu, meski yang kini telah 
disiapkan baru sekitar 24.000 hektar. Kebijakan ini akan banyak menyerap TKI 
ilegal yang kini masih tinggal di Nunukan.

Pembukaan lapangan kerja baru memang bukan perkara ringan bagi pemerintah. 
Tapi, SBY telah terlanjur janji dalam kampanyenya untuk menurunkan pengangguran 
dari 9,5 persen (2003) menjadi 5,1 persen pada awal 2005. Pemerintah harus 
segera menggepakkan payung politiknya dengan sejumlah kebijakan konkrit. Di 
samping alokasi APBN, pemerintah dengan otoritasnya dapat menginstruksikan ke 
seluruh lembaga keuangan bank ataupun nonbank, terutama yang berstatus BUMN, 
untuk mendukung pembangunan sektor riil. Pihak swasta juga didorong untuk 
berpartisipasi. Bagi mereka yang memiliki track reccord baik, patutlah 
pemerintah memberikan fasilitas dan insentif.

Terobosan ekonomi itu jelas akan disambut gembira oleh para TKI ilegal. 
Pemerintah pun dalam rangka mencegah keinginan TKI ilegal ke Malaysia harus 
memberlakukan standar gaji (upah) yang menarik, tidak boleh lebih rendah dari 
standar nilai yang ditawarkan para majikan Malaysia. 

Untuk mencapainya, pemerintah secara dini sudah harus memikirkan bagaimana 
membangun sistem pengolahan produksi pascapanen, termasuk pemasarannya, baik 
pasar ekspor ataupun domestik. Dengan langkah manajemen ini pendapatan dari 
perkebunan kelapa sawit bukan hanya akan mampu mencapai standar upah atau gaji 
yang kompetitif dibanding Malaysia, tapi pemerintah itu sendiri akan 
mendapatkan devisa yang besar. Pembukaan perkebunan kelapa sawit akan 
memberikan multiplier effect bagi perkonomian nasional.

 

[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
DonorsChoose. A simple way to provide underprivileged children resources 
often lacking in public schools. Fund a student project in NYC/NC today!
http://us.click.yahoo.com/5F6XtA/.WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx
5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx
6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Website resmi http://www.ppi-india.uni.cc **

Other related posts:

  • » [nasional_list] [ppiindia] Menimbang Solusi Permasalahan TKI